Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi

Penyakit tuberkulosis pada bayi dan anak disebut juga tuberkulosis primer

dan merupakan penyakit sistemik. Tuberkulosis primer biasanya mulai

secara perlahan-lahan sehingga sukar ditentukan saat timbulnya gejala

pertama (Ngastiyah, 2014).

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru

yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan

nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari

penderita kepada orang lain (Manurung dkk, 2013).

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh basilus

tuberkel, anggota famili Mycobacterium (Axton, 2013).

B. Epidemiologi

Menurut Widoyono (2011) morbiditas tinggi biasanya terdapat pada

kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah dan prevalensinya

lebih tinggi pada daerah perkotaan daripada pedesaan. Insiden TBC di

Amerika Serikat adalah 9,4 per 100.000 penduduk pada tahun 1994 (lebih

dari 24.000 kasus dilaporkan). Anak yang pernah terinfeksi TBC memiliki

resiko menderita penyakit ini sepanjang hidupnya sebesar 10%. Epidemi

pernah dilaporkan pada tempat orang-orang berkumpul, seperti rumah

perawatan, penampungan tuna wisma, rumah sakit, ekolah, dan penjara.


Dari tahun 1989-1992 terjadi KLB multidrug resistance (MDR) minimal

terhadap isoniazid dan rifampisin didaerah tempat penderita HIV

berkumpul. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun

1986, penyakit tuberkulosis di Indonesia merupakan penyebab kematian ke-

3 dan menuduki urutan ke-10 penyakit terbanyak di masyarakat. World

Health Oraginaztion (WHO) menyatakan 22 negara dengan beban TBC

tertinggi di dunia berasal dari negara Afrika, Asia, Amerika, dan Brazil.

Hampir semua negara ASEAN masuk kedalam 22 negara tersebut, kecuali

Singapura dan Malaysia. Penyakit ini menyerang semua golongan usia dan

jenis kelamin, serta merambah tidak hanya pada golongan sosial ekonomi

rendah. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentase

penderita TBC terbesar adalah usia 25-34 tahun (23,67%) dan terendah

berada pada usia 0-14 tahun (1,31%).

Berdasarkan data badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2015 terdapat 9

juta kasus tuberkulosis baru di dunia, dan dari 9 juta kasus tuberkuosis

tersebut, 1 jutanya adalah anak berusia kurang dar 15 tahun (Kemenkes,

2016). Sedangkan pada tahun 2007, jumlah penderita tuberkulosis di

Indonesia sekitar 528.000. Pada Global Report WHO tahun 2010, jumlah

penderita tuberkulosis pada tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus dimana

169.2213 merupakan kasus TBC baru BTA positif, 108.616 kasus TBC

BTA negatif, 11.215 TBC ekstra paru, 3709 kasus TBC yang kambuh, dan

1.978 adalah kasus pengobatan ulang.


C. Etiologi

Menurut Suriadi (2010) etiologi tuberkulosis pada anak terbagi menjadi :

1. Mycobacterium tuberculosa

Mycobacterium tuberculosa adalah sejenis kuman berbentuk batang

dengan ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0,3-0,6 um. Kuman ini terdiri

dari asam lemak. Sehingga, kuman ini lebih tahan terhadap asam,

gangguan kimia, dan fisis (Manurung dkk, 2013)..

2. Herediter

Herediter merupakan infeksi yang kemungkinan diturunkan secara

genetik.

3. Jenis kelamin

Pada akhir masa anak-anak, angka kematian lebih banyak terjadi pada

anak perempuan.

4. Usia

Pada masa bayi dan anak-anak, kemungkinan terjadi infeksi sangat

tinggi karena sistem imun bayi masih rendah.

5. Anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi

lebih mudah

6. Status nutrisi yang kurang

7. Infeksi berulang seperti HIV, measles, pertusis

8. Tidak mematuhi aturan pengobatan

D. Manifestasi Klinis

Menurut Manurung, dkk (2013) manifestasi klinis tuberkulosis pada


stadium awal tidak spesifik. Namun, seiring dengan perjalanan penyakit

akan menambah jaringan paru yang mengalami kerusakan. Sehingga,

menyebabkan peningkatan produksi sputum dan mengakibatkan penderita

batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran sputum. Secara rinci,

manifestasi klinis tuberculosis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Gejala Sistemik

a. Demam

Demam merupakan gejala pertma dari tuberculosis paru, biasanya

timbul pada sore dan malam hari disertai keringat. Serangan

demam berikutnya dapat terjadi stelah, 3 bulan, 6 bulan, dan 9

bulan. Demam ini seperti demam influenza, semakin lama akan

semakin panjang masa serangannya. Sedangkan, masa bebas

serangannya akan semakin pendek. Demam dapat mencapai suhu

tinggi, yaitu 40°C-41°C.

b. Malaise

Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat terjadi

rasa tidak enak pada badan, pegal-pegal, dan mudah lelah.

c. Anoreksia dan penurunan berat badan

Tuberculosis dapat menyebabkan penderita mengalami penurunan

nafsu makan sehingga memungkinkan terjadinya penurunan berat

badan (Widagdo, 2011 dalam Suriadi, 2010).

d. Sakit kepala (Widagdo, 2011 dalam Suriadi, 2010)


2. Gejala Respiratorik

a. Batuk

Batuk akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan

bronkus. Batuk mula-mula terjadi karena iritasi bronkus, apabila

tidak mendapat penanganan yang baik, iritasi ini dapat

mengakibatkan peradangan pada bronkus. Sehingga, batuk akan

menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang

produk-prosuk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid

atau purulen.

b. Batuk darah

Batuk berdarah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan

ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya

pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat

pecanya aneurisma pada dinding kavitas. Melainkan, dapat terjadi

karena ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah inilah yang

sering membawa penderita untuk berobat ke dokter.

c. Sesak nafas

Gejala ini ditemkan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan

paru yang cukup luas. Pada awal penyakit, gejala ini tidak

ditemukan.

d. Nyeri dada

Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang berada dipleura

terkena. Gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.


E. Patofisiologi

Menurut Manurung, dkk (2013) kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh

melalui udara pernafasan. Bakteri yang terhirup akan dipindahkan melalui

jalan nafas ke alveoli. Didalam alveoli, mereka akan berkumpul dan mulai

untuk memperbanyak diri. Selain itu, bakteri juga dapat berpindah ke sistem

limfe dan cairan darah ke bagian tubuh yang lain. Ketika kuman masuk

kedalam tubuh, sistem imun tubuh akan berespon dengan cara melakukan

reaksi inflamasi. Fagosit menekan banyak bakteri, limposit spesifik

tuberculosis menghancurkan bakteri dan jaringan normal. Reaksi jaringan

ini menimbulkan penumpukan eksudat dalam alveoli, sehingga

menyebabkan bronchopneumonisa. Infeksi awal biasanya terjadi sekitar 2

sampai 10 minggu setelah pemajaman. Massa jaringan baru yang disebut

granuloma merupakan gumpalan basil yang masih hidup maupun yang

sudah mati dan dikelilingi oleh makrofag. Sehingga membentuk granuloma

yang nantinya akan diubah menjadi jaringan fibrosa bagian sentral yang

biasa disebut tuberkel. Bakteri dan makrofag akan mengalami nekrotik,

sehingga membentuk massa seperti keju. Setelah pemajaman dan infeksi

awal, individu dapat mengalami penyakit taktif karena sistem imun tubuh

yang tidak adekuat. Penyakit aktif juga dapat terjadi karna aktifitas bakteri

dan infeksi ulang. Tuberkel akan pecah dan melepaskan bahan seperti keju

kedalam bronchi. Tuberkel yang pecah ini akan sembuh dan membentuk

jaringan parut paru yang terinfeksi, sehingga mengakibatkan terjadinya

bronchopneumonia lebih lanjut.


F. Pemeriksaan Diagnostik

Untuk menegakkan diagnosa tuberculosis paru, maka test yang sering

dilakukan pada klien, terbagi menjadi :

1. Pemeriksaan radiologis: foto rontgen thorax

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam

pada foto rontgen thorax. Akan tetapi, terdapat beberapa gambaran

yang karakteristik untuk tuberkulosis paru, yaitu :

a. Lesi terutama terdapa dilapangan atas paru

b. Bayangan berwarna atau bercak

c. Terdapat kavitas tunggal atau multiple

d. Terdapat klasifikasi

e. Apabila lesi bilateral, terutama bila terdapat dilapangan atas paru

f. Bayangan abnormal yang menetap pada foto thorax setelah foto

ulang beberapa minggu kemudian.

Gambaran yang tampak pada foto thorax tergantung dari stadium

penyakit. Pada lesi baru diparu yang berupa sarang pneumonia, terdapat

gambaran bercak seperti awan dengan batas yang tidak jelas.

Kemudian, pada fase berikutnya bayangan akan lebih padat dan batas

lebih jelas. Apabila lesi diliputi oleh jaringan ikat, maka akan terlihat

bayangan bulat berbatas tegas yang biasa disebut tuberkuloma. Apabila

lesi tuberkulosis meluas, maka akan terjadi perkejuan yang apabila

dibatukan akan menimbulkan kavitas. Foto thorax PA dan lateral,

biasanya sudah cukup memberikan gambaran (Manurung dkk, 2013).


2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosa tuberkulosis

paru, yaitu :

a. Pemeriksaan darah

Pada TB paru aktif, biasanya ditemukan peningkatan leukosit dan

laju endap darah (LED).

b. Sputum BTA

Pemeriksaan bakteriologik dilakukan untuk menemukan kuman

tuberkulosis. Diagnosa pasti akan ditegakan, bila pada biakan

ditemukan kuman tuberkulosis. Pemeriksaan ini penting untuk

diagnosa defiitive dan menilai kemajuan klien. Pemeriksaan ini

dilakukan tiga kali berturut-turut dan biakan atau kultur BTA

selama 4-8 minggu (Manurung dkk, 2013).

3. Tes tuberculin (mantoux test)

Menurut Manurung, dkk (2013) pemeriksaan ini banyak digunakan

untuk menegakan diagnosa terutama pada anak-anak. Biasanya

diberikan suntika PPD (Protein Perified Derivation) secara intacutan

0,1 cc. Lokasi penyuntikan umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah

sebelah kiri bagian depan. Penilaian test tuberkulosis dilakukan setelah

48-72 jam penyntikan dengan menguukur diameter dari pembengkakan

(indurasi) yang terjadi pada lokasi penyuntikan. Indurasi berupa

kemerahan dengan hasil sebagai berikut :

a. Indurasi 0-5 mm : negatif

b. Indurasi 6-9 mm : meragukan


c. Indurasi > 10 mm : positif

4. Uji Bacillus Calmette-Guerin (BCG)

Di Indonesia, BCG diberikan secara langsung tanpa uji tuberkulin. Bila

anak yang mendapat BCG langsung terjadi reaksi lokal dalam waktu

kurang dari 7 hari setelah penyuntikan, perlu dicurigai adanya

tuberkulosis. Oleh karena itu, BCG dapat dijadikan sebagai alat

diagnostik (Ngastiyah, 2014).

G. Penatalaksanaan

Menurut Ngastiyah (2014) penatalaksanaan medis dari tuberkulosis pada

anak adalah :

1. Rifampisin

Diberikan 1x sehari dengan dosis 10 mg/kg BB/hari. Dapat diberikan

melalui oral dan IV. Diminum dalam keadaan lambung kosong dan

diberikan selama 6-9 bulan.

2. Isoniazide (INH)

Diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB/hari melalui oral dan IM.

Lama pemberian 18-24 bulan.

3. Streptomisin (STM)

Diberikan dengan dosisi 20-40 mg/kg BB/hari melalui IM atau IV.

Diberikan setiap hari selama 1-3 bulan. Dilanjutkan 2-3 kali seminggu

selama 1-3 bulan.

4. Pirazinamid

Diberikan dengan dosis 20-40 mg/kg BB/hari melalui oral sebanyak 2x


sehari selama 4-6 bulan.

5. Kortikosteroid

Diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis yang masih sensitif

dalam bentuk kortison dengan dosis 10-15 mg/kg BB/hari.

H. Komplikasi

Komplikasi dari tuberkulosis paru, yaitu :

1. Meningitis

Meningitis terjadi ketika mycobacterium tuberkulosis tidak hanya

menyebar ke paru-paru, melainkan juga menyerang otak sehingga

menimbulkan meningitis (Suriadi, 2010).

2. Spondilitis

Spondilitis adalah keadaan dimana mycobacterium tuberkulosis

menyerang ruas-ruas tulang belakang pada area toraks (Suriadi, 2010).

3. Pleuritis

Pleuritis merupakan peradangan yang terjadi pada pleura yang

disebabkan oleh infeksi bakteri seperti mycobacterium tuberculosis

(Suriadi, 2010).

4. Bronkopneumonia

Mycobacterium tuberculosa menyebabkan penumpukan eksudat dalam

alveoli sehingga dapat mengakibatkan bronkopneuomonia (Manurung

dkk, 2013).

5. Hepatitis, ketulian, dan gangguan gastrointestinal

Hepatitis, ketulian, dan gangguan gastrointestinal dapat terjadi karena


efek samping dari obat-obatan yang dikonsumsi (Manurung dkk, 2013).

6. Emphisema dan efusi pleura (Manurung dkk, 2013)

I. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Manurung, dkk (2013) pengkajian pada pasien dengan

tuberculosis paru, yaitu :

a. Data Subyektif

1) Kelelahan umum dan kelemahan, nafas pendek, kesulitan tidur

2) Demam dimalam hari dan hilang timbul

3) Perasaan tidak berdaya

4) Hilang nafsu makan, mual, muntah, penurunan BB

5) Nyeri dada meningkat karena sering batuk

6) Awalnya batuk kering, tetapi setelah peradangan menjadi batuk

produktif

7) Perubahan kapasitas fisik

b. Data Obyektif

1) Demam biasanya subfebril, sampai 40°C-41°C

2) Takikardia, takipnea, atau dispnea

3) Turgor kulit buruk, kering, bersisik, hilang lemak subkutis

4) Pengembangan pernafasan tidak simetris dan bunyi nafas

menurun

5) Perkusi thorax redup, kavitas yang besar: hipersonora atau

timpani
6) Auskultasi suara nafas tambahan: ronchi basah, kasar, dan

nyaring. Vesikuler melemah bila terdapat penebalan pleura.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Axton (2013) dan Manurung, dkk (2013) diagnosa

keperawatan tubeculosis paru meliputi :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d infeksi bakteri pada paru,

peningkatan produksi sekret, sputum yang kental

b. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d

peningkatan status metabolik, penurunan nafsu makan

c. Intoleransi aktifitas b.d demam, anoreksia, peningkatan upaya

pernafasan, keletihan

d. Kurang pengetahuan orang tua b.d ketidaktauan tentang penyakit

anak dan cara penularannya, keterbatasan kognitif atau budaya

bahasa, rasa bersalah sekunder akibat penyakit yang diderita anak

e. Resiko tinggi terjadinya kekambuhan b.d gizi buruk

3. Intervensi

Menurut Axton (2013) dan Manurung, dkk (2013) intervensi

keperawatan tubeculosis paru meliputi :

a. Dx 1 : Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d infeksi bakteri pada

paru, peningkatan produksi sekret, sputum yang kental

Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif

Kriteria Hasil : sekret (-), bunyi nafas vesikuler, reflek batuk (+),

TTV normal
Intervensi :

1) Kaji dan catat frekuensi nafas, suara nafas, suhu, jumlah dan

karakteristik sekret

R/ untuk mendeteksi perubahan yang ada pada klien

2) Atur posisi tubuh klien


R/ ketika klien berada pada posisi semi fowler, ekspansi paru
lebih maksimal
3) Dorong pemberian asupan cairan
R/ membantu mengencerkan sekret
4) Berikan tindakan fisioterapi dada
R/ mengeluarkan sputum sehingga membantu memperbaiki
jalan nafas
5) Lakukan suction jika bayi atau anak tidak mampu membersihka
jalan nafas
R/ membantu mengeluarkan sekret
6) Kolaborasi pemberian OAT dan mukolitik
R/ mengatasi infeksi bakteri
7) Kolaborasi pemberian oksigen
R/ melonggarkan jalan nafas
b. Dx 2 : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d

peningkatan status metabolik, penurunan nafsu makan

Tujuan : Nutrisi adekuat

Kriteria Hasil : Nafsu makan meningkat, tidak terjadi penurunan

BB, porsi makan kembali normal, turgor kulit elastis dan kenyal

Intervensi :

1) Timbang dan catat berat badan klien di jam yang sama setiap

hari

R/ mendapatkan pembacaan yang akurat


2) Kaji ketidakmampuan anak untuk makan

R/ mengetahui kemampuan klien

3) Menganjurkan kepada orang tua agar anak makan dengan porsi

sedikit tapi sering

R/ untuk mencegah mual

4) Menganjurkan kepada orang tua agar anak makan dalam

keadaan makanan hangat

R/ menambah nafsu makan

5) Pertahankan kebersihan mulut klien

R/ meningkatkan rasa nyaman

6) Kolaborasi dengan ahli diit untuk menentukan komposisi diit

R/ menentukan diit yang tepat

c. Dx 3 : Intoleransi aktifitas b.d demam, anoreksia, peningkatan

upaya pernafasan, keletihan

Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitas secara bertahap

Kriteria Hasil : Mampu beraktifitas tanpa disertai perubahan

keadaan umum, mampu beraktifitas secara mandiri, terjadi

keseimbangan antara waktu beraktifitas dan beistirahat.

Intervensi :

1) Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak

R/ agar anak merasa lebih aman

2) Monitor respon tubuh klien terhadap aktivitas

R/ untuk mengetahui perubahan yang terjadi

3) Monitor nutrisi dan sumber energi yang kuat


R/ sebagai sumber tenaga dalam beraktifitas

4) Ciptakan suasana lingkungan yang tenang

R/ agar anak merasa rileks

5) Bantu anak melakukan aktifitas secara bertahap

R/ tirah baring yang lama menyebabkan kelemahan pada

anggota gerak

d. Dx 4 : Kurang pengetahuan orang tua b.d ketidaktauan tentang

penyakit anak dan cara penularannya, keterbatasan kognitif atau

budaya bahasa, rasa bersalah sekunder akibat penyakit yang

diderita anak

Tujuan : Orang tua akan memiliki dasar pengetahuan yang adekuat

mengenai penyakit dan perawatan anak.

Kriteria Hasil : orang tua klien dapat menjawab pertanyaan yang

diajukan, mengerti tentang penjelasan yang diberikan, dan tidak

bertanya-tanya lagi akan penyakitnya.

Intervensi :

1) Kaji dan catat pengetahuan dan pemahaman orang tua tentang

penyakit anak

R/ menghasilkan dasar pengetahuan yang memungkinkan

dilakukan penyuluhan

2) Dengarkan kekhawatiran dan ketakutan orang tua

R/ memungkinkan orang tua mengungkapkan perasaannya. Hal

ini memberi cara kepada mereka untuk mendapatkan informasi

baru
3) Berikan informasi tentang tuberkulosis kepada orang tua

R/ penyuluhan orang tua akan memungkinkan perawatan yang

akurat dan meningkatkan koping orang tua

4) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan serta ciptakan hubungan

antara anak dan orang tua

R/ agar trust dapat terbina

e. Dx 5 : Resiko tinggi terjadinya kekambuhan b.d gizi buruk

Tujuan : klien tidak mengalami resiko kekambuhan

Kriteria Hasil : sputum (-), BTA (-), OAT diminum tuntas, RR

dalam batas normal, foto thorax normal.

Intervensi :

1) Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan

berulang tuberkulosis

R/ sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi kekambuhan

2) Tekankan pada orang tua klien akan pentingnya tidak

menghentikan pengobatan (OAT)

R/ memberhentikan pengobatan dapat menyebabkan kuman

menjadi resisten terhadap obat tersebut

3) Anjurkan orang tua klien untuk memeriksakan kultur sputum

secara bertahap

R/ untuk mengetahui perkembangbiakan kuman tuberkulosis

yang berada pada tubuh

4) Anjurkan orang tua klien agar mengontrol klien untuk tidak

membuang dahak sembarangan


R/ membuang dahak sembarangan dapat menyebabkan

penularan infeksi

5) Anjurkan orang tua klien untuk makan sering dengan gizi

seimbang

R/ ketika gizi klien seimbang, sistem imun klien akan membaik

secara bertahap

4. Implementasi

Menurut Asmadi (2013) implementasi adalah tahap ketika perawat

mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk

intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Implementasi keperawatan terbagi menjadi 3 tahap, yaitu :

a. Fase pertama yang merupakan fase persiapan dan mencakup

pengetahuan tentang validasi rencana, implementasi, persiapan

klien, dan keluarga

b. Fase kedua dimana merupakan fase puncak implementasi

keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Pada fase ini data yang

sudah dikumpulkan akan disimpulkan dan dihubungkan dengan

reaksi klien.

c. Fase ketiga merupakan terminasi antara perawat denan klien.

Implementasi tindakan keperawatan terbagi menjadi :

a. Independen

Kegiatan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter

atau tenaga kesehatan lainnya.


b. Interdependen

Kegiatan yang memerlukan kerja sama dari tenaga kesehatan lain.

c. Dependen

Berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis atau

instruksi dari tenaga medis.

5. Evaluasi

Menurut Asmadi (2013) evaluasi adalah tahap akhir dari proses

keperawatan. Evaluasi terbagi menjadi 2, yaitu :

a. Evaluasi formatif

Meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP yakni

subjektif, objektif, analisa data, dan perencanaan.

b. Evaluasi sumatif
Dilakukan setelah seluruh aktivitas proses keperawatan selesai
dilakukan. Bertujuan untuk menilai dan memonitor kualitas
pelayanan asuhan keperawatan.

J. Web of Cation (WOC)

Mycobacterium Tuberculosa

Masuk kedalam tubuh bersama udara

Terhirup kedalam sal. nafas Masuk ke sist. limfe dan cairan


(alveoli) darah

Menyerang bagian tubuh lain

Sist. imun merespon dengan cara Pleura Otak Tulang Peritoneum


menimbulkan reaksi inflamasi Demam
Pleuritis Meningitis Spondilitis as.
lambung
 Mual muntah
 Anoreksia
 Penurunan BB

Ketidak
 Peningkatan Penumpukan seimbangan
Penumpukan
produksi sekret bakteri & nutrisi:
eksudat pd alveoli
 Batuk makrofag kurang dari
kebutuhan
tubuh
Bersihan
Efusi pleura jalan nafas Nekrosis
tidak kaseosa
Pembentukan efektif
granuloma
Perkejuan
Berubah menjadi
jar. fibrosa: tuberkel

Tuberkel pecah

Membentuk jar.
parut yg terinfeksi
Tuberkel pecah

bronkopneuomonia
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2013). Konsep Dasar Keperawatan.Jakarta: EGC

Axton. (2013). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Terry penerjemah. Edisi


Jakarta: EGC.

Manurung, Santa dkk. (2013). Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi.


Jakarta: Trans Info Media.

Ngastiyah. (2014). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Suriadi. (2010). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan

Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai