AVINDA (201823013)
Dalam Pasal 32 ayat 1 dari PP Nomor 61 Tahun 2014 dijelaskan tentang apa yang
sesungguhnya yang dimaksud dengan indikasi darurat medis itu yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf
a meliputi:
a. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu
kondisi dimana seorang ibu yang akan melahirkan dan kemudian dalam proses
persalinan tim dokter mengindkasikan bahwa Si Ibu terancam keselamatan jiwanya
karena alasan medis, sehingga demi menyelamatkan nyawa Si Ibu, maka dokter
diizinkan melakukan Aborsi (tentunya dengan kemauan pasien dan atau seizin
suaminya. Kasus Aborsi Disebabkan Nyawa Wanita/Ibu Hamil Terancam Maut dan
Kasus Aborsi Disebabkan Janin Menderita Penyakit/Cacat Bawaan. Untuk itu yang
pertama akan dibahas adalah kasus aborsi yang dilakukan dengan alasan nyawa
seorang ibu terancam kematian/maut jika melahirkan bayinya. Kasus Aborsi
Disebabkan Nyawa Wanita/Ibu Hamil Terancam Maut Meskipun kasus aborsi yang
dilakukan dengan alasan demi keselamatan nyawa seorang ibu atau wanita yang
sedang menghadapi proses persalinan. Terkait Hak Mencabut Nyawa Janin/Bayi
yang dikandung seorang wanita, apalagi kalau bayinya sehat dan layak untuk hidup.
Kasus ini seolah-seolah menimbulkan dilema, mana yang hendak dipertahankan,
nyawa Si Ibu atau Si Bayi, seperti makan buah Simalakama.
b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Aborsi dapat dilakukan
asalkan ada persetujuan dari pihak pasangan suami-istri yang bersangkutan. Kasus
aborsi dikarenakan alasan indikasi kedaruratan medis yang kedua dari PP Nomor 61
Tahun 2014 Pasal 31 ayat . Yang menarik didiskusikan di sini ialah bahwa dalam
perkembangan dunia medis saat ini terkadang menghadapi masalah penyakit serius
yang diderita seorang janin. Misalnya, ada janin yang terkena HIV/AIDS atau
penyakit lainnya yang mengancam nyawa janin. Dalam kasus ini pemerintah
mengizinkan para dokter medis melakukan aborsi secara sehat dan aman dengan
sepengetahuan dan persetujuan pasien.
Namun tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat 2 UU Kesehatan itu HANYA
DAPAT dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan
diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten
dan berwenang.
Akibat yang ditimbulkan dari dilakukannya aborsi terdiri dari akibat fisik dan akibat psikis.
Akibat ini tidak hanya muncul dari aborsi tidak aman, namun aborsi yang aman dan ditangani
ahlinya pun masih memiliki potensi untuk menyebabkan akibat fisik dan psikis yang negatif.
Menurut 28 Eastman dan Hellman (1961) serta Abu Zahr dan Ahman (1998) (dalam
Praptohardjo, 2007), akibat fisik dari aborsi, antara lain:
a. Pendarahan
b. Infeksi alat reproduksi (vagina, rahim, ovarium) yang dapat menyebabkan parametritis,
peritonitis, dan abses panggul
c. Gagal ginjal akibat masuknya sisa-sisa janin ke dalam sirkulasi darah
d. Kanker
e. Endotoxin Shock (syok kuman)
f. Demam akibat alat yang dipakai tidak steril
g. Nyeri panggul kronis
h. Mandul atau sulit hamil
i. Saluran tuba tersumbat sehingga menyebabkan tidak bisa hamil lagi
j. Kehamilan ektopik.
Sementara itu akibat psikologis atau psikis dari aborsi berupa apa yang disebut sebagai Post-
Traumatic Abortion Syndrom (PAS) atau stres pasca aborsi. Beberapa gejala yang muncul di
antaranya (Praptohardjo, 2007 & Hawari, 2006) yaitu:
a. Cemas, sedih, dan marah
b. Kehilangan harga diri
c. Perasaan bersalah dan rasa malu d. Histeris atau berteriak-teriak
e. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi
f. Depresi, keinginan untuk bunuh diri 29
g. Terlibat penggunaan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif)
h. Mengalami gangguan dalam berhubungan seksual
Selain itu gejala yang muncul adalah insomnia dan seringkali muncul rasa benci atau
permusuhan dengan kaum pria, terutama pria yang menghamilinya (Chang, 2009).
Dafatar Pustaka