Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum telah mencakup segala aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai

makhluk sosial kini tidak luput dari banyaknya aturan yang memang wajib ditaati.

Tujuannya agar manusia dapat hidup tertib, nyaman, aman, dan tenteram. Selain

itu, adanya aturan atau hukum juga dapat dijadikan batasan dari berbagai perilaku

manusia. Tentunya apabila dalam suatu kehidupan tidak ada hukum yang berlaku,

kehidupan tersebut akan menjadi kacau karena manusia akan berbuat semuanya

sesuai dengan kehendak pribadi. Namun sebagai kaidah dalam kehidupan

berbangsa dan bernergara, masih banyak terdapat praktik-praktik pelanggaran

hukum yang tak jarang justru dilakukan oleh para aparat yang dianggap penegak

hukum.

Adalah sifat alami makhluk hidup (termasuk manusia) di mana yang kuat

atau mayoritas cendrung melanggar hak pihak yang lemah atau minoritas. Kalimat

“siapa yang kuat, dia yang menang dan berkuasa” bukan hanya diterapkan oleh

binatang di rimba belantara namun sudah sejak dahulu manusia pun menganut

prinsip yang sama. Golongan mayoritas seringkali menyalahgunakan

kekuasaannya, melakukan berbagai hal yang lepas dari koridor aturan.

Pelanggaran dan ketidakadilan tidak boleh dibiarkan terus berlasung.

Maka, antara lain untuk memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah

inilah, akhirnya memunculkan konsep rule of law yang dimaksudkan untuk



 

membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan

untuk menindas kaum tak berdaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam suatu

negara hukum, semua orang harus tunduk kepada hukum secara sama, yakni

tunduk kepada hukum yang adil. Untuk lebih dapat memahaminya bisa dibaca

dalam isi tulisan ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas maka yang menjadi

permasalahan adalah :

1. Bagaimana konsep negara rule of law?

2. Bagaimana pelaksanaan rule of law saat ini?

C. Tujuan

Setelah mempelajari makalah ini diharapkan mampu memahami hal

berikut :

1. Konsep rule of law.

2. Pelaksanaan implementasi rule of law di Indonesia.



 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Rule of Law

Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke-19, seiring

dengan negara konstitusi dan demokrasi. The rule of law dikemukakan oleh

seorang Albert Venn Dicey pada tahun 1885 yang dituangkannya dalam sebuah

buku berjudul Introduction To The Study Of The Law Of Constitution. Sejak

itulah the rule of law mulai menjadi bahan kajian dalam pengembangan negara

hukum, bahkan menyebar ke setiap negara yang memiliki sistem berbeda-beda.

Idealisme konsep rule of law yang berbasis pada common law seperti yang

dibanggakan oleh rakyat Inggris dalam sejarah praktek ketatanegaraan telah

mengalami perubahan dan menjadi kekhawatiran, karena setelah A.V. Dicey

meninggal faham-faham fasisme, sosialis dan nasionalis serta komunis

berkembang pesat. The rule of law dalam literatur-literatur terkemuka memiliki

pengertian yang sama dengan negara hukum. Demikian juga dalam kepustakaan

Indonesia, istilah negara hukum merupakan penterjemahan langsung

dari Rechtstaat. Pernyataan ini dikuatkan pendapat para pakar-pakar hukum di

Indonesia, diantaranya adalah Notohamidjojo dan Sumrah, adapun masing-masing

pernyataan mereka, adalah: “Dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang

dirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad IX itu, maka timbul juga istilah

negara hukum (rechtstaat).” “Yang sudah kita kenal lebih lama adalah

pengertianRechtstaat atau negara hukum atau untuk menjamin kata-kata dalam



 

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, negara yang berdasarkan atas hukum.”

Dari dua pendapat tersebut dapat dijadikan acuan bahwa Rechstaat sama artinya

dengan negara hukum. Begitu juga dengan apa yang dinamakan rule of

law memiliki pengertian yang sama dengan negara hukum.

Rule of law adalah konsep tentang common law, yaitu seluruh aspek

negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun di atas prinsip

keadilan dan egalitarian. Pendapat yang sangat intens dapat dilihat dari apa yang

dikemukakan oleh Moch. Kusnardi, yakni: “Lain dari pada negara Eropa Barat, di

Inggris sebutan Negara Hukum(Rechstaat) adalah The Rule Of Law, sedangkan di

Amerika Serikat diucapkan sebagai Government of law, but not of man.”

Maksudnya adalah bahwa hukum menjadi petunjuk bagi praktek kenegaraan suatu

negara. Dengan kata lain, hukumlah yang tertinggi dan bukan pemerintah. Rule of

law identik dengan keadilan.

Latar belakang kelahiran rule of law :

1. Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan

pemerintahan negara.

2. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu demokrasi konstitusional.

3. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara

hukum.

Menurut Prof. Sunarjati Hartono, mengutip pendapat yang digunakan

Friedman bahwa kata “rule of law” dapat dipakai dalam arti formil (in the formal

sense) dan dalam arti materil (ideological sense). Dalam arti formil ini, maka the

rule of law adalah “organized public power” atau kekuasaan umum yang

 

terorganisir, misalnya negara. Sedangkan dalam arti materil, the rule of law adalah

berbicara tentang just law yakni hukum yang mengandung keadilan.

Menurut T.D.Weldon, pengertian mengenai negara yang menganut paham

the rule of law yang berarti negara tersebut tidak hanya memiliki suatu peradilan

yang sempurna di atas kertas saja, akan tetapi ada atau tidaknya the rule of law

dalam suatu negara tergantung daripada kenyataan apakah rakyatnya benar-benar

dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil, baik dari sesama warga

negaranya, maupun dari pemerintahnya. Secara umum, hukum adalah kumpulan

aturan-aturan yang ditetapkan negara yang dikenakan sanksi atau konsekuensi bila

melanggarnya. Dapat dikatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah

negara hukum.

Secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hukum, karena

menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law

merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat

dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif,

tidak memihak, tidak personal, dan otonom.

Dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara

terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-

wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh

hukum. Dengan demikian sejak kelahirannya konsep negara hukum atau rule of

law ini memeng dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan

penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas

rakyatnya (abuseof power, abuse the droit).



 

Karena itu, yang dimaksudkan dengan negara hukum adalah suatu sistem

kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang

tersususn dalam suatu konstitusi, di mana semua orang dalam negara tersebut,

baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang

sama sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang

berbeda diperlakukan berbeda atas dasar pembedaan yang rational, tanpa

memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah, dan kepercayaan

serta kewenangan pemerintah dibatasi dalam suatu perinsip distribusi kekuasaan,

sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-

hak rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan

peranannya secara demokratis.

Jadi, kehidupan manusia harus teratur, dan oleh karenanya agar timbul

keteraturan, hidup manusia harus diatur oleh hukum. Karena itu pula, seperti yang

dikatakan oleh Dicey, bahwa ada tiga arti dari rule of law, yaitu sebagai berikut :

1. Supremacy of law

Unsur Supremacy Of Law mengandung arti bahwa tidak ada

kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power), baik rakyat (yang

diperintah) maupun raja (yang memerintah). Kedua-duanya tunduk pada

hukum (regular law). Prinsip ini menempatkan hukum dalam kedudukan

sebagai panglima. Hukum dijadikan sebagai alat untuk membenarkan

kekuasaan, termasuk membatasi kekuasaan itu. Jadi yang berkuasa,

berdaulat dan supreme adalah hukum, dan bukan kekuasaan. Supremasi

absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau



 

prerogatif penguasa. Ini berarti tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang

dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau melanggar hukum.

Unsur supremasi hukum ini dapat dikatakan bersifat sama dengan

ajaran yang dikemukakan Krabbe tentang teori kedaulatan hukum (rechts

souvereiniteit), teori yang menentang ajaran staats souvereiniteit yang

umumnya dianut oleh pemikir-pemikir kenegaraan Jerman.

Perwujudan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) di

negara-negara Anglo Saxon sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di

negara-negara Eropa Kontinental yang menganut konsep rechtstaats.

Supremasi hukum menurut konsep ini (rechtstaat) adalah menempatkan

negara sebagai subyek hukum, sehingga konsekuensi hukumnya dapat

dituntut di pengadilan. Sementara di negara Anglo Saxon tidaklah

demikian, supremasi hukum menurut konsep rule of law, tidak

menempatkan sebagai subyek hukum. Negara dalam konsep ini tidak

dapat berbuat salah, sehingga konsekuensinya tidak dapat

mempertanggungjawabkan sesuatu di pengadilan.

2. Equality before the law

Berlakunya prinsip persaman dalam hukum (equality before the

law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum dan tidak

seorangpun yang berada di atas hukum (above the law). Jadi setiap warga

negara sama kedudukannya di hadapan hukum. Penguasa maupun warga

negara bisa; apabila melakukan tort (perbuatan melanggar



 

hukum: Surechtmatige daad; delict), maka akan diadili menurut

aturan common law dan di pengadilan biasa.

Equality Before The Law yang dikemukakan oleh Dicey adalah

dilatar belakangi adanya suatu realitas pada saat itu di Inggris, yang dia

lihat sangat baik dan ia bermaksud memberikan kritikan pada situasi saat

itu terhadap Perancis yang pemerintahannya memperlakukan perbedaan

antara pejabat negara dengan rakyat biasa.

Di Inggris tidak mengenal pengadilan khusus bagi pejabat negara

yang melanggar hukum, seperti yang teranulir di sistem Eropa

Kontinental (civil law) berupa pengadilan administrasi (administratief

rechts praak) atau seperti di Indonesia berwujud Peradilan Tata Usaha

Negara dengan dikuatkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1986

sebagaimana perubahan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara. Pandangan rakyat Inggris (tak terkecuali the

man in the street), Common law adalah suatu kebanggaan. Sifat yang

konsisten terhadap monosistem peradilan, yakni peradilan umum yang

berpuncak di Supreme Court, jika di Indonesia semacam Mahkamah

Agung. Namun bagi mereka tidak mengenal adanya perbedaan perkara,

semua perkara tunduk pada satu sistem peradilan.

3. Constitution based human rights

Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang

bersangkutan, dalam hal ini, hukum yang berdasarkan konstitusi harus

melarang setiap pelanggarannya terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.



 

Secara harfiah dapat dikatakan bahwa apa yang telah dituangkan ke dalam

konstitusi itu haruslah dilindungi keberadaannya.

Di Inggris hak-hak asasi (the right to personal freedom, the right to

freedom of discussion, dan the right to public meeting) dijamin dengan

hukum-hukum biasa, kebiasaan ketatanegaraan ataupun dengan putusan

hakim. Sedangkan Undang-undang dasarnya hanya merupakan

generalisasi dari praktek ataupun kebiasaan yang sudah berlangsung,

seperti halnya hak-hak kebebasan dalam Habeas Corpus

Act, sesungguhnya telah ada sebelum Habeas Corpus Act diundangkan.

Mengutip apa yang tertera didalam bukunya Oemar Seno Adji

pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa negara

hukum secara formal harus memiliki, yaitu:

1) Hak Asasi Manusia;

2) Pembagian Kekuasaan;

3) Wermatigheid van bestuur (pemerintahan harus berdasarkan

peraturan-peraturan);

4) Peradilan tata usaha dalam perselisihan.

B. Konsep Negara Hukum Indonesia dalam Rule of Law

Rumusan tentang unsur-unsur rechtsstaat yang dikemukakan oleh Stahl

maupun rumusan tentang unsur-unsur the rule of law yang dikemukakan oleh A.

V. Dicey tersebut di atas, adalah merupakan pandangan klasik, sebab dalam

perkembangan selanjutnya, khususnya dalam memenuhi tuntutan perkembangan

abad ke-20, perkembangan negara-negara hukum, penyelenggaraan negara oleh


10 
 

pemerintah yang berubah, kegiatan negara telah menyebar untuk mengatur

berbagai pokok persoalan kehidupan bernegara, negara hukum klasik berubah

menjadi negara kesejahteraan modern (wefare state).

Dari rumusan konsep rule of law baik yang klasik maupun yang dinamis

hasil Konres ICJ tahun 1965 di Bangkok, dikatakan bahwa konsep rule of

law dalam kaitannya dengan negara hukum memang sangat identik dan tak dapat

dipisahkan karena maksud dasar dari rule of law itu sendiri adalah

penyelenggaraan negara berdasarkan demokrasi konstitusi,yang dengan tegas

adanya keharusan untuk menjamin hak-hak asasi warga negaranya, persamaan di

depan hukum, dan pengawasan atas jalannya pemerintahan.

John Locke mengungkapkan satu teori tentang pemisahan kekuasaan

dalam karyanya yang berjudul Two Treatises of Civil Education

Government (1960), inti dari ajaran Locke ini, adalah:

1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang;

2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan melaksanakan undang-undang;

3. Kekuasaan Federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar

negeri dan menyatakan perang dan damai.

Teori ini diikuti oleh Montesquieu, yang memisahkan kekuasaan negara

menjadi 3 dan dilaksanakan oleh 3 lembaga negara, yang dikenal dengan Trias

Politica, yaitu :

1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang yang

dipegang oleh lembaga pembentuk undang-undang;


11 
 

2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan melaksanakan undang-undang,

biasanya dilaksanakan oleh Presiden atau Perdana Menteri bersama-sama

menteri-menteri, secara umum disebut pemerintah;

3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan kehakiman, biasanya dilaksanakan

oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lainnya.

Teori pemisahan kekuasaan balk oleh John Locke maupun oleh

Montesquieu tidak secara tegas dianut dalam konstitusi Indonesia. Menurut Prof.

Dr. Ismail Sunny, bahwa: “Pemisahan kekuasaan dalam arti material tidak

terdapat dan tidak pernah dilaksanakan di Indonesia, yang ada dan dilaksanakan

ialah pemisahan kekuasaan dalam arti formil. Atau dengan perkataan lain, di

Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dengan tidak menekankan pada

pemisahannya, bukan pemisahan kekuasaan”.

Dengan demikian UUD 1945 tidak menganut paham atau teori pemisahan

kekuasaan yang ada adalah pembagian kekuasaan. alasannya adalah sebagai

berikut (sebelum dilaksanakannya Amandemen UUD 1945 tahun 1999 hingga

2003) :

1. Pasal 2 ayat 1, adanya susunan keanggotaan MPR yang terdiri dari angota-

anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan

golongan-golongan (UUD 1945 Pasal 2 ayat 1).

2. Pasal 5 ayat 1 , Kekuasaan pembentukan undang-undang dilaksanakan

bersama-sama presiden dengan DPR.


12 
 

3. Penjelasan Pasal 24, mendelegasikan walaupun kekuasaan kehakiman

ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah.

4. Disamping mempunyai kekuasaan eksekutif presiden juga mempunyai

kekuasaan menetapkan Peraturan Pemerintah.

5. Adanya MPR sebagai pelaksana kedaulatan Rakyat, penyelenggara negara

tertinggi, dan presiden sebagai mandataris penyelenggara pemerintah

tertinggi di bawah Majelis. Hal ini menujukkan adanya pembagian

kekuasaan.

6. UUD 1945 bukan saja tidak menganut paham Trias Politica dalam arti

fungsi atau tugas-tugas, tetapi juga dalam arti organ, karena dalam UUD

1945 ada lebih dari tiga lembaga tinggi negara, yaitu satu lembaga

tertinggi negara dan lima lembaga tinggi negara.

Dalam UUD 1945 unsur pemerintahan berdasar undang-undang tidak

diatur secara tegas, artinya secara harafiah tidak ditemukan, namun tidak berarti

bahwa UUD 1945 tidak mengatur hal ini. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea

ke-4, menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia diatur dalam Undang-Undang

Dasar yang menjamin bangsa dan negara Indonesia hidup sejahtera. Selain itu

dalam Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara disebutkan

bahwa pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme.

Supremasi hukum adalah unsur pertama dari rule of law seperti yang

dikemukakan oleh Dicey. UUD 1945 cukup jelas menyatakan Negara Republik

Indonesia menempatkan hukum pada tempat yang utama sebagai pusat kekuasaan
13 
 

yang ada di dalam negara. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, dalam

Batang Tubuh, Pasal 3, Pasal 4 ayat 1, juga dalam penjelasan, yaitu pada kalimat :

1. Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan

atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat

absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Dalam UUD 1945 hal ini dirumuskan dalam Pasal 27 ayat 1, yang

berbunyi : “Segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

ada kecualinya”. Ketentuan ini telah mencerminkan asas demokrasi, dan bukan

saja hanya menjamin persamaan kedudukan dalam hukum, tetapi juga persamaan

hak dan kewajiban dalam politik, sosial dan budaya. Unsur ini menunjukkan lebih

demokratis jika dibandingkan dengan rule of law.

Unsur-unsur rechtstaat maupun unsus-unsur rule of law, bagi negara

Indonesia telah terpenuhi, namun demikian Indonesia mempunyai ciri khas

tersendiri sebagai negara yang bedasarkan hukum, dengan unsur-unsur utamanya,

yang oleh Azhary dirumuskan sebagai berikut :

1. Hukumnya bersumber pada Pancasila;

2. Berkedaulatan rakyat;

3. Sistem konstitusi;

4. Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga

negara;

5. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain;


14 
 

6. Pembentuk undang-undang adalah presiden bersama-sama dengan DPR;

7. Dianutnya sistem MPR.

Undang-Undang Dasar 1945 ditinjau secara keseluruhan menganut semua

unsur negara hukum baik menurut konsep Eropa Kontinental maupun Anglo

Saxon, dengan beberapa kriteria yang didasarkan pada pandangan hidup dan

falsafah hidup bangsa Indonesia. Secara realitas Indonesia dapat dikatakan

memenuhi persyaratan sebagai negara hukum. Keutamaannya dapat dilihat pada

unsur-unsur negara yakni Cita Pancasila dan penamaan yang khas “Negara

berdasar atas hukum” secara fakta bahwa Indonesia menciptakan sendiri konsep

negara hukumnya berdasarkan cita negara Pancasila, secara universal Indonesia

tidak juga membelakangi konsep umum yang ada di sistem hukum Eropa

Kontinental maupun Anglo Saxon.

C. Strategi Pelaksanaan Rule of Law

Agar pelaksanaan (pengembangan) Rule of law berjalan efektif sesuai

dengan yang diharapkan, maka:

1. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada

corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian nasional

masing-masing bangsa;

2. Rule of law yang merupakan institusi sosial harus didasarkan pada akar

budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa;

3. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial,

gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus

dapat ditegakkan secara adil, dan hanya memihak kepada keadilan.


15 
 

Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dikembangkan hukum progresif

(Satjipto Rahardjo, 2004), yang memihak hanya kepada keadilan itu sendiri,

bukan sebagai alat politik yang memihak kepada kekuasaan seperti seperti yang

selama ini diperlihatkan. Hukum progresif merupakan gagasan yang ingin

mencari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih

bermakna. Asumsi dasar hukum progresif bahwa hukum adalah untuk manusia,

bukan sebaliknya, hukum bukan merupakan institusi yang absolut dan final,

hukum selalu berada dalam proses untuk terus menerus menjadi (law as process,

law in the making). Hukum progresif memuat kandungan moral yang sangat kuat,

karena tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani,

melainkan suatu institusi yang bermoral yaitu kemanusiaan. Hukum progresif

peka terhadap perubahan-perubahan dan terpanggil untuk tampil melindungi

rakyat untuk menuju ideal hukum. Hukum progresif menolak keadaan status quo,

ia merasa bebas untuk mencari format, pikiran, asas serta aksi-aksi, karena hukum

untuk manusia.

Arah dan watak hukum yang dibangun harus berada dalam hubungan yang

sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia, atau “back to law and

order”, kembali kepada orde hukum dan ketaatan dalam konteks

Indonesia. Artinya, bangsa Indonesia harus berani mengangkat Pancasila sebagai

alternatif dalam membangun negara berdasarkan hukum versi Indonesia sehingga

dapat menjadi “Rule of Moral” atau “Rule of Justice” yang bersifat “ke-Indonesia-

an” yang lebih mengedepankan olah hati nurani daripada olah otak, atau lebih

mengedepankan komitmen moral.


16 
 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menelaah pendapat-pendapat para ahli diatas secara formal istilah

negara hukum dapat disamakan dengan Rechtstaat ataupun Rule Of Law, karena

ketiga istilah ini memiliki arah dan tujuan yang sama menghindari adanya

kekuasaan yang bersifat absolut dan mengedepankan serta menyatakan adanya

pengakuan serta perlindungan akan hak-hak asasi manusia.

Adapun perbedaan yang dapat diungkapkan hanya terletak pada

historisnya masing-masing tentang sejarah dan pandang suatu bangsa. Layaknya

ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius

Stahl menggunakan istilah Rechstaat sedangkan ahli-ahli Anglo Saxon seperti

Dicey memakai istilah Rule Of Law. Mungkin penyebutan ini hanyalah bersifat

teknis juridis untuk mengungkapkan suatu kajian ilmu bidang hukum yang

memiliki pembatasan karena, bagaimanapun juga paham klasik akan terus

menginterplasi pemahaman para ahli-ahli hukum seperti halnya konsep negara

tidak dapat campur tangan dalam urusan warganya, terkecuali dalam hal yang

menyangkut keperntingan umum seperti adanya bencana atau hubungan antar

negara. Konsepsi ini yang dikenal dengan “Negara adalah Penjaga

Malam (Nachwachterstaat)”.Konsepsi demikian menurut Miriam Budiardjo

disebut “Negara Hukum Klasik.”


17 
 

B. Saran

Rule of Law (penegakkan hukum) di Indonesia sesungguhnya masih sangat

jauh dari apa yang semestinya dilaksanakan. Untuk itulah, sebagai warga negara

yang baik, masyarakat semestinya mentaati setiap aturan atau hukum yang telah

dibuat. Aturan yang dibuat semata-mata bertujuan agar dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat berjalan selaras tanpa adanya

kericuhan atau kekacauan. Sebagai warga negara Indonesia yang dikenal

menganut negara hukum, kita juga semestinya menunjukkan hal tersebut kepada

dunia internasional bahwa bangsa yang baik adalah bangsa yang taat kepada

hukum.

Anda mungkin juga menyukai