Terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam alinea keempat UUD 1945 merupakan cita-cita mulia bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
Sebagian orang memahami istilah kemiskinan dari perspektif subyektif
dan komparatif, sementara yang lainya melihatnya dari segi moral dan evaluatif. Sebagian besar konsepsi mengenai kemiskinan sering dikaitkan dengan aspek ekonomi, institusional, dan struktural. Akan tetapi kemiskinan dalam arti kebutuhan sosial dapat dipahami sebagai situasi kelangkaan pelayanan sosial dan rendahnya aksesbilitas lembaga-lembaga pelayanan sosial seperti lembaga pendidikan, informasi, dan kesehatan.
Berbicara mengenai pelayanan sosial di bidang kesehatan, kesehatan
merupakan hak dan investasi bagi semua warga negara termasuk masyarakat miskin. Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan bab 2 pasal 2 mengatakan, pembangunan kesehatan diselenggrakan berdasarkan kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat usaha bersama, dan kekeluargan, adil dan merata, perikehidupan dan keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri. Pasal 3 juga menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya
sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli dalam satu program kesehatan. Arti hidup sehat yang sangat penting telah menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan hidup manusia yang utama disamping kebutuhan hidup lainya (Depkes RI, 2009). Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh orang per orang tetapi juga oleh keluarga, kelompok dan bahkan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan status kesehatan yang optimal, maka berbagai upaya harus dilaksanakan, salah satunya adalah menyelenggrakan pelayanan kesehatan (Pohan, 2007). Pembangunan kesehatan mengacu kepada konsep “Paradigma Sehat”, yaitu pembangunan kesehatan yang memberi prioritas utama pada upaya pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) dibandingkan upaya penyembuhan atau pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pembangunan kesehatan merupakan sebuah intervensi yang akan mendukung pembangunan ekonomi, utamnya dalam pengentasan kemiskinan dan penanggulangan krisis ekonomi. Gunnar Myrdal, seorang pakar ekonomi kesehatan mengatakan “people sick becouse they are poor. They become poorer becouse they are sick, and they become sicker becouse they are poorer” Pelayanan terhadap masyarakat pengguna, termasuk orang miskin haruslah merupakan pelayanan yang optimal, artinya pelayanan yang kualitasnya dapat dipertangunggjawabkan dan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna pelayanan (Moenir, 2006).
Pelayanan kesehatan perorangan maupun pelayanan administratif,
penunjang seperti sarana dan prasarana harus mempertimbangkan ketiga hal diatas. Ketiga karakteristik tersebut menekankan adanya keadilan dalam hal memperoleh pelayanan (equity and acses), mutu pelayanan bagi pengguna agar hasil yang diharapkan (kesembuhan) tercapai. Pembangunan sarana fisik telah berhasil memperbaiki ketersediaan pelayanan kesehatan, walaupun jumlah fasilitas pelayanan kesehatan primer meningkat terus dan merupakan pilihan utama bagi sebagian penduduk, namun tingkat pemerataanya masih relatif rendah. Kelompok penduduk miskin yang justru paling sedikit memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Dalam UU No.23/1992 tentang kesehatan, ditetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatanya, dan Negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin. Indonesia sejak tanggal 1 Januari 2014 sudah memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai salah satu wujud dari Jaminan Sosial Nasional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Melalui program ini, setiap warga negara bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang komperhensif yang mencangkup promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative dengan biaya yang ringan karena menggunakan sistem asuransi. Dengan menjadi peserta program JKN ini, pada saat berobat kita hanya perlu mengikuti prosedur yang ditetapkan dan menunjukkan kartu kepesertaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan. Pemerintah dalam implementasi SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Berkaitan dengan institusi BPJS Kesehatan, UU BPJS secara jelas menyatakan bahwa PT Askes (Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. Selanjutnya semua program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Kementrian Kesehatan, akan diambil alih oleh BPJS Kesehatan. Berdasarkan peta jalan JKN dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013, BPJS Kesehatan mengklasifikasi penggunanya ke dalam 2 kategori besar, yaitu: 1. Non Penerima Bantuan Iuran (non-PBI) merupakan golongan masyarakat mampu yang bisa membayar permi secara mandiri. 2. Penerima Bantuan Iuran (PBI) merupakan golongan masyarakat tidak mampu yang perminya dibayarkan oleh negara. Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iuranya dibayari pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah. Dalam menjalankan program kesehatan BPJS Kesehatan bekerjasama dengan berbagai fasilitas kesehatan seperti posyandu, rumah sakit, dan puskesmas untuk mebuka pintu pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam pelayanan BPJS, fungsi puskesmas akan dimaksimalkan menjadi penyelenggara pelayanan kesehatan dasar sebagai kontak pertama pada pelayanan kesehatan yang memiliki peran besar dan strategis. Pemberi pelayann kesehatan yang bermutu baik dari dokter maupun tenaga medis lainya akan memberikan kepuasan bagi diri pasien yang berefek pada keinginan pasien untuk kembali kepada institusi yang memberikan pelayanan yang efektif. Pasien PBI atau non PBI yang mendapatkan pelayanan di Puskesmas perlu diperhatikan apakah terjadi kesenjangan pelayanan antara pasien PBI atau Penerima Bantuan Iuran dan non PBI yang membayar iuran sendiri karena dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya bidang kesehatan. Adanya prinsip mutu pelayanan di Puskesmas sebagai FKTP perlu untuk dilihat bagaimana analisis kepuasan yang dirasakan oleh peserta BPJS. BPJS Kesehatan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi semua warga Indonesia tanpa kecuali. Semua warga wajib ikut program ini agar terjadi pemerataan dalam pelayanan kesehatan. Puskesmas merupakan lembaga pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi utama menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi masyarakat. Sehubungan dengan itu dapatlah dinyatakan puskesmas adalah sisi pemberi pelayanan kepada masyarakat dengan segala latar belakang sosial kulturnya. Dalam mendukung pelaksanaan program JKN khusunya bagi pengguna BPJS Kesehatan kategori PBI, Rumah Sakit atau Puskesmas memiliki peranan yang sangat penting kepada masyarakat. Pelayanan sosial di bidang kesehatan di Jawa Timur yang ada di salah satu Puskesmas Kabupaten Jember yaitu Puskesmas Mayang, memberikan pelayanan kepada masyarakat baik rawat inap maupu rawat jalan. Seiring meningkatnya kesadaran pasien miskin untuk menggunakan pelayanan kesehatan ini, masih banyak ditemukan pelayanan yang kurang memuaskan dan terkesan kurang peduli terhadap pasien pengguna BPJS Kesehatan PBI. Berdasarkan studi pendahuluan wawancara awal terhadap 10 pasien BPJS Kesehatan PBI, 7 diantaranya mengeluhkan tentang pelayanan yang ada di Puskesmas Mayang. Diantaranya masalah tenaga kesehatan puskesmas yang dikeluhkan kurang memberikan respon terhadap keluhan pasien BPJS Kesehatan PBI, masalah kenyamanan, informasi dan komunikasi petugas kesehatan yang dinilai kurang terhadap pasien BPJS Kesehatan PBI. Berdasarkan dari hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang “Kualitas Pelayanan Kesehatan Puskesmas Mayang Berdasarkan Persepsi Pengguna BPJS Kesehatan PBI.” Di Puskesmas Mayang Kabupaten Jember.
1.2 Rumusan Masalah
Semakin memuaskan pelayanan yang diberikan kepada pasien, maka persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan puskesmas akan semakin baik, sehingga masyarakat mempercayakan kesehatanya sepenuhnya kepada puskesmas tersebut. Dari penjelasan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana Kualias Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Mayang yang ditujukan kepada pasien BPJS Kesehatan PBI yang menjalani rawat inap?
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis kualitas pelayanan kesehatan puskesmas berdasarkan persepsi pengguna BPJS Kesehatan PBI.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian manfaat yang diharapkan bisa diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang kualitas pelayanan kesehatan puskesmas berdasarkan persepsi pengguna BPJS Kesehatan PBI. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pelaksana layanan kesehatan BPJS Kesehtan dalam pemecahan masalah pelayanan terutama di Puskesmas Mayang, Kabupaten Jember.