Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Informed Consent

Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat
penjelasan/keterangan/informasi)dan concent (memberikan persetujuan/mengizinkan. Informed
concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi.

Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan kepada pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Menurut Veronika Komalawati pengertian informed concent adalah suatu kesepakatan atau persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapatkan
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Dalam Permenkes no 585 tahun 1989 ( pasal 1), Informed concent ditafsirkan sebagai persetujuan
tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.

. 2.2 Dasar Hukum Informed Consent

Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya
pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989
tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan
tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh
sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis
dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.

Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan
konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88
tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No.
585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.

Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik, maka
peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan
persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan
bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapat persetujuan”.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun 1989
tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: Pasal 45 ayat

1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.

3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4. Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.

5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri

Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama
pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan
kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

2.3 Bentuk Informed Consent

Informed consent harus dilakukan setiap kali akan melakukan tindakan medis, sekecil apapun tindakan
tersebut. Menurut depertemen kesehatan (2002), informed consent dibagi menjadi 2 bentuk :

1) Implied consent

Yaitu persetujuan yang dinyatakan tidak langsung. Contohnya: saat bidan akan mengukur tekanan darah
ibu, ia hanya mendekati si ibu dengan membawa sfingmomanometer tanpa mengatakan apapun dan si
ibu langsung menggulung lengan bajunya (meskipun tidak mengatakan apapun, sikap ibu menunjukkan
bahwa ia tidak keberatan terhadap tindakan yang akan dilakukan bidan)
2) Express Consent

Express consent yaitu persetujuan yang dinyatakan dalam bentuk tulisan atau secara verbal. Sekalipun
persetujuan secara tersirat dapat diberikan, namun sangat bijaksana bila persetujuan pasien dinyatakan
dalam bentuk tertulis karena hal ini dapat menjadi bukti yang lebih kuat dimasa mendatang. Contoh,
persetujuan untuk pelaksanaan sesar.

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak
pelaksana jasa tindakan medis (petugas kesehatan) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk, yaitu :

a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar,
sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI
No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi
yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi
informed consent);

b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak
mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;

c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan
yang akan dilakukan terhadap dirinya.

2.4 Tujuan dan Manfaat Informed Consent

A. Tujuan

1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan petugas kesehatan yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.

2. Memberi perlindungan hukum kepada petugas kesehatan terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada
melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

B. Manfaat

1. Membantu kelancaran tindakan medis. Melalui informed consent, secara tidak langsung terjalin
kerjasama antara bidan dank lien sehingga memperlancar tindakan yang akan dilakukan. Keadaan ini
dapat meningkatkan efisiensi waktu dalam upaya tindakan kedaruratan.
2. Mengurangi efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tindakan bidan yang tepat dan
segera, akan menurunkan resiko terjadinya efek samping dan komplikasi.

3. Mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit, karena si ibu memiliki pemahaman
yang cukup terhadap tindakan yang dilakukan.

4. Meningkatkan mutu pelayanan. Peningkatan mutu ditunjang oleh tindakan yang lancar, efek
samping dankomplikasi yang minim, dan proses pemulihan yang cepat.

5. Melindungi bidan dari kemungkinan tuntutan hukum. Jika tindakan medis menimbulkan masalah,
bidan memiliki bukti tertulis tentang persetujuan pasien.

2.5 Elemen Informed Consent

Ada tiga element yang membentuk Informed Consent, yaiutu :

a. Threeshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan
sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan
sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki
kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan
tertentu (keputusan yang reasonableberdasarkan alasan yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai
21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah
apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan
menjadi terganggu.

b. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure(pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada
tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat
mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada
pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

a. Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan


bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan
bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang
”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial
pasien.

b. Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan.
Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-
nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

c. Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

Pengertian Informed Choice

Informed Choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang alternatif asuhan
yang akan dialaminya, pilihan (choice) harus dibedakan dari persetujuan (concent). Persetujuan penting
dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk
semua prosedur yang dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut pandang
wanita (pasien) sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.

2.9 Tujuan Informed Choice

Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya
membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk
memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang
dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan
penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.,,

Daftar pustaka

Ratih Kusuma Wardhani. 2009. Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Di Rsup
Dr. Kariadi Semarang. Tesis tidak diterbitkan. Semarang: FH Universitas Diponegoro.
· Samil, Ratna Suprapti. Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka: Jakarta.,

· Informed Consent dan Informed Refusal, Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2003.

Anda mungkin juga menyukai