Anda di halaman 1dari 9

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif

Menurut Pandangan Islam

Yuli Sulistina (0014.04.27.2019)

Universitas Muslim Indonesia

Email:yulisulistiana27@gmail.com

I . PENDAHULAN

Pemikiran tentang hakikat manusia telah dimulai sejak jaman dahulu dan terus
berlangsung sampai saat ini. Pemikiran tentang hakikat manusia belum berakhir dan tidak
akan pernah berakhir. Ternyata orang menyelidiki manusia dalam alam semesta merupakan
bagian yang amat penting karena dengan uraian ini dapat diketahui dengan jelas tentang
potensi yang dimiliki manusia serta peranan yang harus dilakukan dalam alam semesta.

Uraian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar bagi perumusan tujuan
pendidikan, pendekatan yang harus ditempuh dalam proses belajar mengajar serta aspek-
aspek yang perlu diperhatikan dalam pendidikan. Selain itu, uraian ini juga penting dilakukan
karena manusia dalam kegiatan pendidikan adalah merupakan subjek dan objek yang terlibat
didalamnya. Karena tentu adanya konsep tentang manusia maka akan sulit ditentukan arah
yang akan dituju dalam pendidikan.

Dalam berbagai literatur, ditemukan berbagai pandangan para ahli tentang hakekat
manusia. Salah satu ahli di bidang filsafat dan antropologi Sastra Prateja mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu
peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakekat manusia hanya dapat dilihat dalam
perjalanan sejarahnya, dalam sejarah bangsa manusia.

Manusia Perspektif Islam Menurut Sastra Prateja lebih lanjut, apa yang kita peroleh
dari pengamatan kita atas pengalaman manusi adalah suatu rangkaian antropological
constantss yaitu dorongandorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Ada 6 (enam)
antropological, constants yang dapat ditarik dari pengaman sejarah manusia, yaitu: 1) Relasi
manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis. 2) Keterlibatan dengan sesama.
3) Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional, 4) Ketergantungan masnyarakat dan
kebudayaan pada waktu dan tempat, 5) Hubungan timbal balik antara teori dan praktis, 6)

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 1
kesadaran religius dan para-religius.1 Keenam antropological constants tersebut merupakan
satu sistesis dan masing-masing saling berpengaruh satu dengan lainnya. Pendapat tersebut
berkesan memberikan gambaran tentang manusia dari sudut empiris, yaitu dari sudut di mana
manusia itu hidup dan bereksistensi dalam kehidupannya. Hal ini akan membantu untuk
menjelaskan proses perjalanan yang harus ditempuh manusia pada umumnya. Keenaan
masalah tersebut nampak merupakan rangkaian kegiatan yang bisa ditinggalkan oleh
manusia, yang secara umum dapat dikatakan bahwa dalam bereksistensi manusia tidak bisa
melepaskan dari ketergantungannya kepada orang lain.

Seorang pemikir abad modern Dr. Alexis Carrel; seorang peletak dasar-dasar
humoniora di Barat, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena
derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbadning terbalik dengan perhatiannya yang
demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya. 2 Pendapat ini menunjukan betapa
sulitnya memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga setiap kali seseorang
selesai memahami dari satu aspek tentang manusia maka akan muncul aspek yang lainnya
yang belum ia bahas.

Berbicara tentang manusia, ada 4 (empat) aliran yang mendefinisikan manusia, yaitu :
Pertama, aliran serba Zat, Aliran ini berpendapat bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah
zat atau materi. Zat atau materi itulah hakekat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi
dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu hakekat manusia adalah zat atau materi.
Sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari
sang ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, kemudian tumbuh menjadi janin yang
akhirnya akan lahir ke dunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa,
pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, hayalan, asosiasi, penghayatan,
dan sebagainya) dari zat atau materi yang sel-sel tubuh. Oleh karena itu, manusia sebagai
materi memiliki keperluan-keperluan yang bersifat matei pula, artinya manusia mendapatkan
kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi. Dari dasar pemikiran tersebut
maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya
di dunia maka pandangan materialistis tersebut identik dengan pandangan hidup yang bersifat
duniawi, sedangkan yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai hayalan belaka.

Berbeda dengan pendapat aliran yang pertama, aliran kedua disebut aliran serba ruh
ini berpendapat bahwa segala hakekat sesuatu yang ada di dunia ini adalah “ruh”, termasuk di
dalamnya hakekat manusia itu sendiri. Adapun zat adalah manifestasi dari pada ruh di atas

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 2
dunia ini. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang sehingga tidak dapat disentuh atau
dilihat oleh panca indera. Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun
kecilnya zat itu. Istilah istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama adalah jiwa, sukma,
nyawa, semangat dan sebagainya. Materi hanyalah penjelmaan ruh. Fichte berkata “bahwa
segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis
perupaan, perubahan dan penjelmaan dari pada ruh”.

Dasar pikiran dari aliran ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya
daripada materi. Hal ini dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang sudah
meninggal, akan dianggap sudah tidak ada lagi di dunia meskipun badannya atau raganya
masih utuh. Demikian aliran ini menganggap bahwa ruh itu adalah hakekat, sedangkan badan
adalah penjelmaan atau bayangan saja.

Aliran ketiga adalah aliran yang mencoba mengawinkan antara aliran serba zat dan
aliran serbaruh. Aliran ini dinamakan aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia
itu pada hakekatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua
substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama
lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh dan juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan.
Hanya dalam perwujudannya manusia itu seba dua, jasad dan ruh yang keduanya berintegrasi
membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang brsifat
kausal atau sebab akibat, artinya antara keduanya sa;ing pengaruh mempengaruhi. Apa yang
terjadi di satu pihak akn mempengaruhi di pihak lain.

Pembahasan tentang hakekat manusia ternyata terus menerus berjalan dan tak kunjung
berakhir. Orang belum merasa puas dengan pandangan-pandangan di atas. Ahli-ahli filsafat
modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakekat manusia, mana yang merupakan
eksistensi manusia atau wujud manusia itu sesungguhnya.

Aliran keempat ini disebut aliran eksistensialisme. Pandangan aliran ini adalah
mencari inti hakekat manusia. Yaitu apa yang menguasai manusia tidak dari sudut serba zat
atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran ini, melainkan memandang dari segi eksistensi
manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia ini.

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 3
II. PEMBAHASAN

1. POTENSI MANUSIA
Setidaknya ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk makna
manusia, yaitu: al-basyar, al-insan, dan al-nas. Meskipun ketiga kata tersebut
menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian
yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini:
1) Al- Basyar
Kosa kata al- basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 37 kali yang 25
kali diantaranya mengacu kepada arti yang berkaitan dengan kebutuhan primer
manusia (makan, minum dan seks), termasuk para nabi dan rasul. Sedangkan 13 kata
lainnya digunakan dalam hubungannya dengan masalah orang muslim dan orang
kafir, baik berupa ungkapan-ungkapan orang kafir, tentang pengingkaran mereka
terhadap status kenabian para utusan Tuhan berdasarkan alasan bahwa para nabi itu
adalah manusia biasa seperti halnya mereka juga, atau hubungannya dengan
pernyataan firman Tuhan bagi rasul-Nya yang memiliki sifat-sifat (basyariyah)
manusia (Abd. al-Baqi, 1987; Nizar, 2002).
2) Al-Nas, Al-Ins, dan Al-Nas
Kata insan ada yang berasal dari kata anasa, al-uns atau anisa, dan nasiya. Dari
asal kata anasa yang berarti melihat, mengetahui, dan minta izin, terlihat bahwa kata
insan dikaitkan dengan aspek utama kemanusiaan, yaitu kemampuan penalaran yang
dengannya manusia mampu mengamati, mencermati, menangkap, mengidentifikasi,
mengelompokkan, dan menganalissis berbagai kasus dan kondisi dalam berbagai
realitas yang dihadapinya dengan cara membuat hubungan antar fakta dan informasi
dalam berbagai realitas yang ada menuju pengambilan suatu kesimpulan dan atau
keputusan yang akan menjadi pelajaran atau hikmah yang berguna bagi kehidupannya
(Muhmidayeli, 2013).
2. KEDUDUKAN MANUSIA DALAM ALAM SEMESTA
1) Abdu/ Mu’abbid
Kedudukan manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar adalah
sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah swt. Hal ini biasanya didasarkan
pada petunjuk QS. al-Dzariyat/51:56, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali agar mereka menyembah (ibadah) kepada-Ku.”

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 4
Sebagai mu’abbid, manusia kata Muhmidayeli (2011) dalam hal ini dituntut
untuk mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya dan menjadikan sifat-
sifat itu aktual dalam berbagai tindakannya. Pengupayaan sifat-sifat Tuhan ini ke
dalam dirinya merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan humanitas manusia
muslim sebagai potret dan lambang kebaikan dan kebajikan yang mesti selalu ditiru
dan diupayakan agar ia menjadi sikap diri menuju aktualisasi diri.
2) Khalifah
Shihab (2010) telah membahas masalah konsep kekhalifahan ini. Menurut
hasil penelitiannya, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat kata khalifah dalam bentuk
tunggal sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al- Baqarah ayat 30 dan surat shad ayat
26; dan dalam bentuk plural (jamak), yaitu khalaif dan khulafa’ yang masing-masing
diulang sebanyak empat kali dan tiga kali (Q.S. al- An’am/6:165; Yunus/10:14, 73;
Fathir/35:39, Al- A’raf/7:69, 74 dan al-Naml/27:62.) Keseluruhan kata tersebut
menurutnya berakar pada kata ‘khulafa’ yang pada mulanya berarti “di belakang”.
Dari sini, kata khalifah menurutnya seringkali diartikan sebagai “pengganti” (karena
yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantiannya.
3. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan utama Islam adalah menegakkan suatu
tatanan masyarakat yang adil yang berdasarkan etika. Apakah individu yang lebih
penting dalam masyarakat adalah instrumen yang diperlukan di dalam penciptaannya
atau sebaliknya, hal tersebut merupakan permasalahan akademis, karena tampaknya
individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Tidak ada manusia sebagai individu
tanpa adanya masyarakat. Oleh karenanya, menurut Fazlur Rahman, konsep amal
perbuatan manusia yang ditawarkan al-Qur’an, senantiasa dan hanya berarti di dalam
sebuah konteks sosial. Disinilah manusia dipertemukan pada dua sisi kesadaran.
Pertama, kesadaran pada keberadaan (eksistensi) dari sendiri sebagai suatu diri
(individualitas), dan Kedua, kesadaran pada keberadaan (eksistensi) bersama orang
lain atau kebersamaan (sosialitas). Kedua kesadaran tersebut merupakan dua
Psympathic, aspek yang berpadu sebagai suatu kesatuan, ibarat dua sisi mata uang,
yang dapat dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan. Aspek yang satu menunjang yang
lain dan sebaliknya, yang memungkinkan manusia hidup secara manusiawi.
Kesadaran individualitas menekankan manusia sebagai individu yang otonom
dalam mengantarkannya menjadi manusia yang beriman. Akan tetapi sulit dibantah
bahwa dalam otonomi individu tidak memerlukan individu yang lain. Dalam

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 5
keterhubungan (korelasi dan komunikasi), setiap individu di satu pihak menjadi
semakin otonom, sedang di pihak lain mewujudkan penerimaan dan penghargaan atas
otonomi individu yang lain. Dalam hubungan itu manusia menjalankan hakikat
sosialitasnya, yang hanya mungkin terwujud apabila ada orang lain.
Untuk memahami konsep manusia sebagai makhluk sosial dalam perspektif
Islam, terdapat dua konsep dasar manusia berkenaan dengan hakikat sosialitasnya.
Pertama, istilah insan jika dibandingkan dengan istilah lain yang menunjukkan makna
manusia (seperti basyar, banu adam dan zurriyat adam), mengandung makna konsep
manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat keramahan dan kemampuan
mengetahui yang sangat tinggi, yang dengannya dapat dipahami sebagai makhluk
kultural dan sosial.
Konsep manusia sebagai makhluk kultural terlihat dalam pernyataan al-Qur’an
bahwa manusia dilengkapi dengan sarana pengetahuan pendengaran, penglihatan, dan
budi sehingga mereka dapat memperoleh pengetahuan meskipun dilahirkan dalam
keadaan tidak tahu sama sekali seperti dikemukakan oleh QS. An-Nahl : 78.
َ ٰ ‫ا َو َج َع َل لَ ُك ُم ٱل َّس ْم َع َوٱأْل َب‬Xfًٔ‫َوٱهَّلل ُ أَ ْخ َر َج ُكم ِّم ۢن بُطُو ِن أُ َّم ٰهَتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُمونَ َش ْئـ‬
َ‫ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬XYِٔ‫ْص َر َوٱأْل َ ْفٔـ‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar
kamu bersyukur.”
Kedua, Jika dibanding dengan fungsi manusia sebagai „abdullah, maka fungsi
manusia sebagai khalifah lebih menekankan peran manusia sebagai makhluk sosial
dalam menginternalisasikan tugas kebudayaan yang berciri kreatif pada
kehidupannya, agar selalu dapat menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan
kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat.
Kedua konsep dasar tersebut telah meletakkan dasar yang kuat bahwa
pandangan tentang manusia menurut al-Qur’an bukan saja diposisikan sebagai
makhluk yang individualistik, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Oleh karenanya,
secara rinci, al-Qur’an juga mengemukakan beberapa penegasan normatif mengenai
bagaimana mewujudkan kebersamaan (sosialitasnya) sebagai bagian dari hakikat
manusia, di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Kewajiban berbuat baik, menghormati dan menghargai orang lain,
menyerukan kebaikan dan mencegah kejahatan,
2) Kewajiban manusia untuk saling tolong menolong seperti dikemukakan dalam
QS. Al-Ma’idah : 2:

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 6
ِ ‫اونُوا َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق َو ٰى ۖ َواَل تَ َعا َونُوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ ۖ إِ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال ِعقَا‬
‫ب‬ َ ‫َوتَ َع‬
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
3) Kewajiban manusia untuk berbuat adil seperti dikemukakan dalam QS. An-
Nisa : 58 yaitu:
‫ ْد ِل ۚ ِإ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم‬X‫وا بِ ْال َع‬XX‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُم‬ ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُؤَ ُّدوا اأْل َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت إِلَ ٰى أَ ْهلِهَا َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
‫صيرًا‬ ِ َ‫بِ ِه ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب‬
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.”
4) Kewajiban manusia untuk tidak berprasangka, mencari-cari kesalahan orang
lain, saling menggunjing, dan saling mencaci maki seperti dikemukakan dalam
QS. al-Hujarat : 12, yaitu: َّ—ٌَّ
ۚ ‫ا‬X‫ْض‬ً ‫ ُكم بَع‬X‫ْض‬ُ ‫وا َواَل يَ ْغتَب بَّع‬ ۟ X‫َّس‬
ُ ‫ْض ٱلظَّنِّ إِ ْث ٌم ۖ َواَل تَ َجس‬ َ ‫وا َكثِيرًا ِّمنَ ٱلظَّنِّ إِ َّن بَع‬X ۟ Xُ‫ا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬XXَ‫ٰيَٓأَيُّه‬
۟ Xُ‫وا ٱجْ تَنِب‬X
َ
۟ ْ
ٌ‫أَيُ ِحبُّ أَ َح ُد ُك ْم أَن يَأ ُك َل لَحْ َم أَ ِخي ِه َم ْيتًا فَ َك ِر ْهتُ ُموهُ ۚ َوٱتَّقُوا ٱهَّلل َ ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ تَوَّابٌ َّر ِحيم‬
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa janganlah kamu mencaricari
kesalahan orang lain dan jaganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya
yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang”.
5) Kewajiban manusia untuk menghargai hak hidup orang lain dengan tidak
saling membunuh seperti dikemukakan dalam QS. al-Maidah : 32, QS. Al-
An’am : 151, yaitu: َ
X‫ َن‬X‫ و‬Xُ‫ِ ل‬X‫ ق‬X‫ع‬Xْ Xَ‫ ت‬X‫ ْم‬X‫ ُك‬Xَّ‫ ل‬X‫ َع‬Xَ‫ ل‬Xِ‫ِ ه‬X‫ ب‬X‫م‬Xْ X‫ ُك‬X‫ ا‬XَّX‫ ص‬X‫و‬Xَ X‫ ْم‬X‫ِ ُك‬X‫ ل‬X‫ َذ‬Xٰ Xۚ XِّX‫ ق‬X‫ َح‬X‫ ْل‬X‫ِ ا‬X‫ِ اَّل ب‬X‫ إ‬Xُ ‫ هَّللا‬X‫ َم‬XَّX‫ ر‬X‫ َح‬X‫ِ ي‬X‫ ت‬Xَّ‫ل‬X‫ ا‬X‫س‬
Xَ X‫ ْف‬Xَّ‫ن‬X‫ل‬X‫ ا‬X‫ا‬X‫ و‬Xُ‫ ل‬Xُ‫ ت‬X‫ ْق‬Xَ‫ اَل ت‬X‫و‬Xَ
Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 7
“… dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…”.
6) Pada level sosial-politik al-Qur’an menguatkan unit kekeluargaan paling dasar
dan masyarakat muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan.
Semua kaum muslimin dinyatakan bersaudara; Bersama-sama mereka tidak
dapat digoyahkan sebagai sebuah bangunan yang kokoh.
7) Al-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk menegakkan prinsip-prinsip syura
dalam melaksanakan urusan bersama seperti dikemukakan dalam QS. Asy-
Syura : 38, yaitu:
َ ‫صاَل ةَ َوأَ ْم ُرهُ ْم ُش‬
َ‫ور ٰى بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْميُ ْنفِقُون‬ َّ ‫َوالَّ ِذينَ ا ْستَ َجابُوا لِ َربِّ ِه ْم َوأَقَا ُموا ال‬
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka”.
8) Al-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk menegakkan tata sosial moral
yang egalitarian dengan melakukan reformasi terhadap dunia.

III. PENUTUP

Manusia diberi kelebihan oleh Tuhan dibanding dengan makhluk yang lainnya.
Kelebihan itu baik pada bentuk jasmani, maupun pada struktur rohaninya. Struktur jasmani
yang terdiri dari beberapa panca indera dapat berguna menerima pengetahuan dan menjadilah
yang disebut pengetahuan empiris. Positivisme juga lahir dari pengetahuan empiris.
Pancaindera terdiri dari mata, telinga, hidung, kulit dan alat pengecap juga makhluk lain
dimilikinya, tetapi tidak dapat menangkap pengetahuan melalui pancainderanya, hanya
manusia yang dapat menangkap pengetahuan empiris. Sedangkan struktur rohaninya lebih
menakjubkan lagi, karena memiliki daya yakni daya rohani, daya kalbu, daya akal dan daya
hidup.

Manusia memiliki daya-daya untuk melaksanakan fungsinya, baik sebagai ‘abdi


(mu’abbid), khalifah fi al-ardh, maupun immarah fi al-ardh. Sebagai Mu’abbid, manusia
dituntut tidak hanya semata-mata dalam konteks ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan
lain sebagainya, tetapi juga segala sesuatu aktivitas yang bernilai baik dalam kehidupannya
yang dilakukan dengan tujuan pendekatan diri pada penciptanya, Tuhan. Sebagi khalifah,

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 8
manusia bertugas untuk menata dunia sedemikian rupa sehingga dapat menjadikan manusia
hidup sejahtera, damai, sentosa dan bahagia.

Selain itu tampaknya individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Tidak ada
manusia sebagai individu tanpa adanya masyarakat. Disinilah manusia dipertemukan pada
dua sisi kesadaran. Pertama, kesadaran pada keberadaan (eksistensi) dari sendiri sebagai
suatu diri (individualitas), dan Kedua, kesadaran pada keberadaan (eksistensi) bersama orang
lain atau kebersamaan (sosialitas). Kedua kesadaran tersebut merupakan dua Psympathic,
aspek yang berpadu sebagai suatu kesatuan, ibarat dua sisi mata uang, yang dapat dibedakan
tetapi tak dapat dipisahkan. Aspek yang satu menunjang yang lain dan sebaliknya, yang
memungkinkan manusia hidup secara manusiawi. Oleh karena itu, manusia dapat disebut
sebagai mahluk sosial karena tidak dapat berdiri sendiri dalam menjalankan kehidupannya
sebagai mahluk sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Al-Ta’dib Vol. 10 No. 1, Januari-Juni 2017

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 526. Tafsere Volume 1 Nomor 1
Tahun 2013

Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi 2012, Vol. V, No.1: 743 – 755

Jurnal Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 2, Juli 2010, hlm 161-173

ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010

Hakikat Diri Manusia Menelusuri Proses Pencarian Perspektif Dalam Pandangan Islam | 9

Anda mungkin juga menyukai