Anda di halaman 1dari 61

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman atau rangsangan-


rangsangan yang bersifat merusak. Mukosa mulut dapat mengalami kelainan yang
bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan kondisi herediter. Pada keadaan
normal di dalam rongga mulut terdapat bermacam-macam kuman yang merupakan
bagian daripada flora mulut dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan disebut
apatogen. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka kuman-kuman yang
apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan gangguan atau menyebabkan berbagai
penyakit/infeksi. Daya tahan mulut dapat menurun karena gangguan mekanik (trauma,
cedera), gangguan kimiawi, termik, defisiensi vitamin, kekurangan darah (anemi).

Mulut bukan sekedar pintu masuk makanan dan minuman, tetapi fungsi mulut
lebih dari itu dan tidak banyak orang menyadari besarnya peranan mulut bagi
kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Orang tua dan anak-anak akan sadar
pentingnya kesehatan gigi dan mulut ketika terjadi masalah atau ketika terkena
penyakit. Oleh karena itu kesehatan gigi dan mulut sangat berperan dalam menunjang
kesehatan seseorang. Jika rongga mulut kotor, maka sistem pencernaan juga akan
terganggu.

Pada individu tertentu dapat terjadi reaksi alergi terhadap jenis makanan
tertentu sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa mulut, begitu juga
dengan faktor psikis dan hormonal. Ini semua dapat terjadi pada suatu gangguan mulut
yang disebut stomatitis. Stomatitis atau sariawan dapat menyerang segala usia
termasuk pada anak. Kesadaran anak dalam menjaga kesehatan rongga mulutnya tentu
masih sangat rendah, dimana faktor peran orangtua merupakan hal yang dominan.
Peran serta orangtua sangat diperlukan dalam membimbing, memberikan pengertian,

1
mengingatkan, dan menyediakan fasilitas kepada anak agar dapat memelihara
kebersihan gigi dan mulutnya. Selain itu, orangtua mempunyai peran yang cukup besar
dalam mencegah terjadinya berbagai penyakit gigi dan mulut pada anak. Maka perlu
diketahui gejala klinik secara dini dari stomatitis, maupun komplikasi neurologisnya
dengan harapan angka kejadian stomatitis pada anak-anak dapat ditekan dan
mengurangi angka kejadian penyakit tersebut. Dari uraian di atas, penulis menuliskan
makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stmatitis” dengan harapan
dapat memberikan informasi dan pemahaman terhadap tenaga kesehatan serta para
pembaca agar dapat waspada dan lebih mengenali sejak dini tenatang penyakit
stomatitis.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari stomatitis ?

2. Apa saja macam-macam penyakit stomatitis ?

3. Apa saja etiologi penyakit stomatitis ?

4. Apa saja tanda & gejala stomatitis ?

5. Bagaimana patofisiologi stomatitis ?

6. Apa saja komplikasi stomatitis ?

7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan penyakit stomatitis ?

8. Bagaimana penatalaksanaan dan pengobatan pada pasien dengan penyakit


stomatitis?

9. Bagaimana pencegahan pada penyakit stomatitis ?

2
1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu pengertian dari stomatitis ?

2. Untuk mengetahui apa saja Macam-macam dari penyakit stomatitis ?

3. Untuk mengetahui apa saja etiologi penyakit stomatitis ?

4. Untuk mengeahui apa saja tanda&gejala stomatitis ?

5. Untuk mengetahui patofisiologi stomatitis ?

6. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari stomatitis ?

7. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan diagnostik pada pasien stomatitis ?

8. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dan pengobatan pada pasien


stomatitis

9. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan pada penyakit stomatitis ?

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Stomatitis

Stomatitis berasal dari bahasa yunani , Stoma yang berarti mulut dan itis yang
berarti radang/inflamasi.

Peradangan atau pembengkakan, kemerahan yang umum terjadi pada bagian


mulut. Penyakit ini meliputi bagian membran lendir halus yang melapisi mulut
(mucosa), bibir, lidah, dan indera perasa . jika diakibatkan oleh herpes maka disebut
dengan Stomatitis herpes.

Stomatitis adalah kondisi peradangan pada mulut karena kontak dengan


pengiritasi seperti tembakau, defisiensi vitamin, infeksi oleh bakteri, virus atau jamur,
dan penggunaan obat kemoterapi (Potter & Perry, 2005). Menurut Donna L.Wong dkk
stomatitis adalah imflamasi mukosa oral, yang dapat meliputi mukosa bukal (pipi) dan
labial (bibir), lidah, gusi, angit-langit dan dasar mulut.

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada
mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser
tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak
berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, dan
palatum lunak dan mukosa orofaring.

SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya
penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan
terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini ringan karena tidak
bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang-orang yang
menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu.
Apalagi jika SAR dialami oleh bayi dan atau anak-anak dengan frekuensi yang tinggi
akan akan membuat bayi dan atau anak tersebut akan mengalami komplikasi yang
berbahaya. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang
berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis dengan
gejala klinis yang sama.

4
2.2. Epidemiologi

Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang di teliti. Angka
prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi penduduk di seluruh dunia. Penelitian
telah menemukan terjadinya SAR pada dewasa sekitar 2% di Swedia (1985), 1,9% di
Spanyol (2002) dan 0,5% di Malaysia (2000). SAR.

Tampaknya jarang terjadi di Bedouins Kuwaiti yaitu sekitar 5% dan ditemukan


0,1% pada masyarakat India di Malaysia. Namun, SAR sangat sering terjadi di
Amerika Utara. Di Indonesia belum diketahui berapa prevalensi SAR di masyarakat,
tetapi dari data klinik penyakit mulut di rumah sakit Ciptomangun Kusumo tahun 1988
sampai dengan 1990 dijumpai kasus SAR sebanyak 26,6%, periode 2003-2004
didapatkan prevalensi SAR dari 101 pasien terdapat kasus SAR 17,3%.
SAR lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, pada orang dibawah 40
tahun, orang kulit putih, tidak merokok, dan pada anak-anak. Menurut Smith dan Wray
(1999), SAR dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan
pada masa dewasa muda. SAR paling sering dimulai selama dekade kedua dari
kehidupan seseorang. Pada sebagian besar keadaan, ulser akan makin jarang terjadi
pada pasien yang memasuki dekade keempat dan tidak pernah terjadi pada pasien yang
memasuki dekade kelima dan keenam.

2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada
SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya
berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari pasta gigi dan obat kumur
sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik, gangguan immunologi, alergi dan
sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok, infeksi bakteri, penyakit
sistemik, dan obat-obatan. Dokter gigi sebaiknya mempertimbangkan bahwa faktorfaktor
tersebut dapat memicu perkembangan ulser SAR.

1. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS

Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen


berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang
dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena
efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan

5
lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang
menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit.
Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang sama juga
melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami
kurang menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang
menggandung SLS.

2. Trauma

Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.
Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi
setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena
tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi,
makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor
yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma
dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.

3. Genetik

Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang
menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah
human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut.
HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel
mononukleus ke epitelium. Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua
menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien
dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat
dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.

4. Gangguan Immunologi

Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR,
adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu
penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien
SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi
sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak
diketahui.1,6 Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap
resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan

6
dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva. Sedangkan menurut
Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita
SAR.

5. Stres

Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan


lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi.
Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung
terhadap ulser stomatitis rekuren ini.

6. Defisiensi Nutrisi

Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita
defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat,
13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat
dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi,
vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90%
dari pasien tersebut mengalami perbaikan.

Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2
dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan
kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6
10% dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama
3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren
berkurang.

Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi
dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR yang
persisten sembuh dan tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti
lain juga mengatakan adanya kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena
pemberian preparat Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun
kadar serum Zink pada pasien SAR pada umumnya normal.

7
7. Hormonal

Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang
mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor
hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron.

Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron
secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran
darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan
keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi
sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan
terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan
dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut.

8. Infeksi Bakteri

Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya
hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan penelitian
lebih lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR. Donatsky
dan Dablesteen mendukung pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan
titer antibodi terhadap Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan
dengan kontrol.

9. Alergi dan Sensitifitas

Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas)
terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen
ini dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan
antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya sendiri.

SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan
pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi
palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa
bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa
panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi
sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang
kemudian berkembang menjadi SAR.

8
10. Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen


kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan
seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.

11. Penyakit Sistemik

Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi
pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus
dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan
evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan
keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi
neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s.

12. Merokok

Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang
menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan
keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan
yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti
merokok.

2.4. Patofisiologi

Stomatitis yang disebabkan berbagai macam faktor, diantaranya bakteri, jamur


dan faktor traumatic seperti tergigit atau tergores sikat gigi. Penyebab oleh Candida
Albicans (monilia: thrush) banyak dijumpai pada bayi. Stomatitis terlihat sebagai titik-
titik putih kecil di bagian dalam pipi,lidah, dan atap mulut. Agak mirip dadih susu
namun memiliki ukuran yang lebih besar dan dapat dengan mudah dilepaskan
menggunakan spatula. Candida albicans dapat di kultur dalam jumlah besar dari apusan
namun sering dapat di kultur dari mulut atau tenggorokan anak sehat. Stomatitis berupa
reaksi inflamasi dan lesi ulseratif dangkal yang terjadi pada permukaan mukosa mulut
atau orofaring. Gingigo-stomatitis herpetica (HGS) disebabkan oleh herpes virus
simpleks dapat menyebabkan infeksi primer atau kekambuhan yang tidak terlalu berat.
Infeksi primer di mulai dengan faring menjadi edema dan eritema, vesikula muncul
pada mukosa menyebabkan nyeri berat dan bau napas khas. Penyakit ini dapat

9
berlangsung 5 sampai 14 hari dengan berbagai keparahan.

Tubuh sebenarnya memiliki pertahanan tubuh alamiah terhadap serangan bakteri.


Pertahanan ini disebut dengan sistem laktoperoksidase (LP-system). Sistem ini terdapat
pada saliva atau ludah. LP system dapat berfungsi sebagai bakteriostatis terhadap
bakteri mulut dan bakteriosid terhadap bakteri patogen jika tersedia ketiga
komponennya. Yaitu enzim laktoperoksidase, dosianat, dan hydrogen peroksida
(H2O2). Bakteri di dalam mulut dapat berkembang biak tak terkendali karena sistem
laktoperoksidase yang merupakan pertahanan alami dalam saliva umumnya rusak. Hal
ini dikarenakan seringnya mengonsumsi makanan yang mengandung zat-zat kimia,
seperti perasa, pewarna, pengawet, bahkan yang memakai zat pembasmi hama.

Pemakaian deterjen (sodium laurit sulfat) yang berlebihan dalam pasta gigi juga
dapat sebagai peneyebab dari rusaknya ludah. Bila dalam pemakaian yang berlebihan
atau melebihi toleransi dapat dengan mudah merusak ludah dan menghancurkan
sistem pertahanan alami. Tidak hanya itu, pemakaian antiseptik pada obat kumur atau
pasta gigi juga dapat merusakkan LP system, sebab antiseptik ini bersifat bakteriosid
sehingga dapat membunuh semua bakteri yang berada di dalam rongga mulut, yang
dapat mengakibatkan lingkungan mukosa mulut menjadi rusak.

Seperti telah diterangkan bahwa mulut merupakan pintu gerbang masuknya


kuman-kuman atau rangsangan-rangsangan yang bersifat merusak. Dilain pihak mulut
tidak dapat melepaskan diri dari masuknya berbagai jenis kuman ataupun berbagai
pengaruh rangsangan antigenik yang bersifat merusak.

Rangsangan perusak yang masuk sesuai dengan potensinya akan ditanggapi oleh
tubuh baik secara lokal atau sistemik. Tanggapan ini dapat berlangsung wajar, artinya
tanggapan-tanggapan tersebut secara normal dapat dieleminasi melalui aksi
fagositosis. Sebenarnya reaksi tubuh terhadap rangsangan yang merusak itu bertujuan
untuk mengurangi atau meniadakan peradangan tersebut. Tetapi kadang-kadang reaksi
jaringan amat berlebih, melebihi porsi stimulusnya sendiri sehingga reaksi pertahanan
yang tadinya dimaksudkan untuk melindungi struktur dan fungsi jaringan justeru
berakhir dengan kerusakan jaringan sendiri.

Dalam keadaan yang tidak wajar, (Trauma, Stres dll ) terjadi ketidak seimbangan
immunologik yang melahirkan fenomena alergi dan defisiensi immunologi dengan

10
efek kerusakan-kerusakan yang menyangkut komponen vaskuler, seluler dan matriks
daripada jaringan. Dalam hal ini sistem imun yang telah dibangkitkan untuk melawan
benda asing oleh porsi reaksi yang tidak seimbang akhirnya ikut merusak jaringan-
jaringan sendiri disekitarnya. Misalnya pelepasan mediator aktif dari aksi-aksi
komplemen, makrofag, sel plasma, sel limposit dan leukosit, histamin, serta
prostaglandin.

2.5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada metode diagnosa
laboratoriam spesifik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa SAR. SAR
diawali gejala prodormal yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar selama 24-
48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas, dangkal, bulat atau
oval, tertutup selaput pseudomembran kuning keabu- abuan, dan dikelilingi pinggiran
yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan.3
Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:
1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada
waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat dimana
lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan menginfeksi
epitelium, dan edema akan mulai berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada
tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus. Intensitas rasa
nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini
papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan
fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi
oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak meninggalkan jaringan
parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru
berkembang.

2.6. Tanda dan Gejala

11
Menurut Williams dan Wilkins pada tahun 2008 membagi stomatitis berdasarkan
tanda dan gejalanya, yaitu:

a. Stomatitis hipertik akut

1) Nyeri seperti terbakar di mulut

2) Gusi membengkak dan mudah berdarah, selaput lendir terasa perih

3) Ulse papulovesikular di dalam mulut dan tenggorokan; akhirnya menjadi lesi


berkantung keluar disertai areloa ynag memerah, robek, dan membertuk sisik.

4) Limfadenitis submaksilari

5) Nyeri hilang 2 sampai 4 hari sebelum ulser sembuh secara keseluruhan

b. Stomatitis aftosis

1) Selaput lendir terasa terbakar, kesemutan, dan sedikit membengkak

2) Ulser tunggal ataupun multipel, berbentuk kecil dengan pusat berwarna


keputihan dan berbatas merah

3) Nyeri berlangsung 7 samapi 10 hari, dan sembuh total dalam 1 sampai 3


minggu.

2.7. Klasifikasi

Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis aftosa rekuren
tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa rekuren tipe
herpetiformis.
1. SAR Tipe Minor
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai dengan
85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat dan
oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang
eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai daerah-daerah non-
keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut.

Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan

12
akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.

Gambar 1. Stomatitis aftosa rekuren tipe minor

2. SAR Tipe Mayor


Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari tipe
minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-3 cm,
berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja
dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin.3
Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk
dengan bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang
menunjukkan bahwa terjadi edema. Selalu meninggalkan jaringan parut setelah
sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan lamanya ulser.

Gambar 2. Stomatitis aftosa rekuren tipe mayor

3 . SAR Tipe Herpetiformis


Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya (yang dapat
terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis
herpetik primer, tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada SAR
tipe herpetiformis. SAR tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari
kasus SAR. Setiap ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0
mm dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur.

Setiap ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan tidak akan
meninggalkan jaringan parut ketika sembuh.

13
Gambar 3. Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis

2.8. Pemeriksaan penunjang

Dilakukan pengolesan lesi dengan Toluidin biru 1% topical dengan swab atau kumur
sedangkan diagnosis pasti dengan menggunakan biopsy.

Pemeriksaan laboratorium
a. WBC menurun pada stomatitis sekunder
b. Pemeriksaan kultur virus : cairan vesikel dan herpes simplek stomatitis
c. Pemeriksaan kultur baktteri : eksudat untuk membentuk vincent’s stomatit.

2.9. Diagnosis

Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser. Biasanya
pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada mulutnya, lokasi ulser
berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan sejak dari umur berapa
terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan faktor
predisposisi juga harus dicatat. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada
bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya
sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan
kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.

2.10. Diagnosis Banding

Lesi SAR bisa sangat mirip dengan manifestasi penyakit lain dan sulit dibedakan
dengan beberapa penyakit tertentu. Untuk membedakannya, ada beberapa hal yang
perlu diketahui diantaranya:
- Jumlah, bentuk, dan ukuran lesi, serta seberapa sering lesi hilang timbul
(rekuren)
- Usia penderita saat pertama kali timbul sariawan
- Perubahan mukosa atau jaringan kutan
- Ada/tidaknya keterlibatan sistem organ atau adanya gejala lain

14
- Obat-obatan yang sedang dikonsumsi
- Faktor-faktor pada host/penderita, misalnya:
- Genetik
- Defisiensi nutrisi
- Masalah pada sistem imun
- Stress, masalah psikologis atau fisik
- Apakah pasien menderita HIV/AIDS
Penyakit AIDS biasanya bermanifestasi secara klinis di rongga mulut. Biasanya timbul
ulserasi bisaberupa SAR dalam jenis minor, mayor atau herpetiform. Selain itu juga
dapat terjadi candidiasis yaituinfeksi jamur Candida.

2.11. Penatalaksanaan

Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya adalah :


1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami
yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan menghindari
faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.
3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien dapat
mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan.
Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan menjaga
kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup,
terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga
mulut dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur menggunakan air garam hangat
atau obat kumur.
SAR juga dapat dicegah dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat seperti
sayur dan buah yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi.
Karena penyebab SAR sulit diketahui maka pengobatannya hanya untuk
mengobati keluhannya saja. Perawatan merupakan tindakan simtomatik dengan tujuan
untuk mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan meningkatkan
periode bebas penyakit. Bagi pasien yang mengalami stomatitis aftosa rekuren mayor,
perawatan diberikan dengan pemberian obat untuk penyembuhan ulser dan
diinstruksikan cara pencegahan. Bagi pasien yang mengalami SAR akibat trauma
pengobatan tidak diindikasikan.
Pasien yang menderita SAR dengan kesakitan yang sedang atau parah, dapat

15
diberikan obat kumur yang mengandung benzokain dan lidokain yang kental untuk
menghilangkan rasa sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit. Bagi
menghilangkan rasa sakit yang berlangsung sehingga enam jam, dapat diberikan
zilactin secara topikal. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran
impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut. Dapat juga
diberikan ziladent yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesia. Selain
itu, dapat juga menggunakan larutan betadyne secara topikal dengan efek yang sama.
Dyclone digunakan sebagai obat kumur tetapi hanya sebelum makan dan sebelum
tidur. Aphthasol merupakan pasta oral amlexanox yang mirip dengan zilactin yang
digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk lapisan pelindung pada
ulser.
Bagi mempercepat penyembuhan ulser, glukokortikoid, baik secara oral atau
topikal adalah andalan terapi. Topikal betametason yang mengandung sirup dan
fluocinonide ointment dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan. Pemberian
prednison secara oral ( sampai 15 mg / hari) pada ksaus SAR yang lebih parah. Hasil
terapeutik dalam dilihat dalam satu minggu.
Thalidomide adalah obat hipnotis yang mengandung imunosupresif dan
antiinflamasi. Obat ini telah digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren
mayor, sindrom Behcet, serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis
telah membatasi penggunaannya.
Klorheksidin adalah obat kumur antibakteri yang mempercepatkan
penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin
diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250mg dalam 10 cc sirup
direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu.
Levamisol telah dianjurkan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR, namun oleh
karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini kurang diindikasikan.
Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan hanya dapat merusak
jaringan normal disekeliling ulser dan bila pemakaiannya berlebihan maka akan
mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.

2.12. Komplikasi dan Prognosis

* Komplikasi

16
Dampak gangguan pada kebutuhan dasar manusia:

a. Pola nutrisi : nafsu makan menjadi berkurang, pola makan menjadi tidak

teratur

b. Pola aktivitas : kemampuan untuk berkomunikasi menjadi sulit

c. Pola Hygine : kurang menjaga kebersihan mulut

d. Terganggunya rasa nyaman : biasanya yang sering dijumpai adalah perih

Stomatitis memunculkan berbagai macam komplikasi bagi tubuh kita


diantaranya:

1. Komplikasi akibat kemoterapi

Karena sel lapisan epitel gastrointestinal mempunyai waktu pergantian yang mirip
dengan leukosit, periode kerusakan terparah pada mukosa oral frekuensinya
berhubungan dengan titik terendah dari sel darah putih. Mekanisme dari toksisitas
oral bertepatan dengan pulihnya granulosit. Bibir, lidah, dasar mulut, mukosa
bukal, dan palatum lunak lebih sering dan rentan terkena komplikasi dibanding
palatum keras dan gingiva; hal ini tergantung pada cepat atau tidaknya pergantian
sel epithelial. Mukosa mulut akan menjadi tereksaserbasi ketika agen
kemoterapeutik yang menghasilkan toksisitas mukosa diberikan dalam dosis tinggi
atau berkombinasi dengan ionisasi penyinaran radiasi.

2. Komplikasi Akibat Radiasi

Penyinaran lokal pada kepala dan leher tidak hanya menyebabkan perubahan
histologis dan fisiologis pada mukosa oral yang disebabkan oleh terapi sitotoksik,
tapi juga menghasilkan gangguan struktural dan fungsional pada jaringan
pendukung, termasuk glandula saliva dan tulang. Dosis tinggi radiasi pada tulang
yang berhubungan dengan gigi menyebabkan hypoxia, berkurangnya supplai darah
ke tulang, hancurnya tulang bersamaan dengan terbukanya tulang, infeksi, dan
nekrosis. Radiasi pada daerah kepala dan leher serta agen antineoplastik merusak
divisi sel, mengganggu mekanisme normal pergantian mukosa oral.

Kerusakan akibat radiasi berbeda dari kerusakan akibat kemoterapi, pada volume

17
jaringan yang terus teradiasi terus-menerus akan berbahaya bagi pasien sepanjang
hidupnya. Jaringan ini sangat mudah rusak oleh obat-obatan toksik atau penyinaran
radiasi lanjutan, Mekanisme perbaikan fisiologis normal dapat mengurangi efek ini
sebagai hasil dari depopulasi permanen seluler.

3. Komplikasi Akibat Pembedahan

Pasien dengan osteoradionekrosis yang melibatkan mandibula dan tulang wajah,


maka debridemen sisa pembedahan dapat merusak. Usaha rekonstruksi akan
menjadi sia-sia, kecuali jaringan oksigenasi berkembang pada pembedahan.

Terapi hiperbarik oksigen telah berhasil menunjukkan rangsangan terhadap formasi


kapiler baru terhadap jaringan yang rusak dan telah digunakan sebagai tambahan
pada debridemen pembedahan.

* Prognosis

Prognosis stomatitis didasarkan pada masalah yang menyebabkan adanya gangguan


ini. Infeki pada stomatitis biasanya dapat disebabkan karena pengobatan atau bila
masalahnya disebabkan oleh obat-obatan maka yang harus dilakukan adalah dengan
mengganti obat. Stomatitis yang disebabkan oleh iritasi lokal dapat diatasi dengan
oral hygene yang bagus, memeriksakan gigi secara teratur, diet yang bermutu, dan
pengobatan.

Ulkus sembuh dalam waktu 1-2 minggu tetapi dapat kambuh setiap bulan sekali atau
beberapa bulan sekali atau beberapa kali dalam setahun

BAB 3

18
LAPORAN KASUS

3.1. CASE REPORT 1

Oral Ulcers as an Initial Presentation of


Juvenile Pemphigus: A Case Report
a a b
I-Hsuan Chen , Shu-Chi Mu , Dino Tsai , Yuh-Yu
c d a,
Chou , Li-Fang Wang , Ling-Jen Wang *
a Department of Pediatrics, Shin-Kong Wu Ho-Su Memorial Hospital, Taipei, Taiwan

b Department of Dermatology, Shin-Kong Wu Ho-Su Memorial Hospital, Taipei, Taiwan


c Department of Pathology, Shin-Kong Wu Ho-Su Memorial Hospital, Taipei, Taiwan
d Department of Dermatology, National Taiwan University, Taipei, Taiwan

Received Apr 22, 2013; received in revised form Jul 9, 2013; accepted Aug 1,
2013 Available online 2 December 2013

Ulkus Oral sebagai Gejala Awal Juvenile Pemphigus: Laporan Kasus

Pemphigus vulgaris (PV) adalah suatu penyakit autoimun dimana autoantibodi,

imunoglobulin G, menyerang keratinosit dalam epidermis. Gejala klasik dari PV adalah

vesikel atau bulla flaksid di mukosa oral, trunkus, lipat paha, dan ekstremitas. Onset usia

biasanya antara 40-60 tahun dan kasus PV jarang terjadi pada anak atau remaja. Di sini kami

menyajikan seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang mengalami nyeri pada ulkus oral

sejak 3 bulan yang lalu dan bulla yang menyebar ke seluruh tubuh beberapa hari setelahnya.

Pemphigus paraneoplastik merupakan diagnosis banding karena gambaran lesi kulit yang

atipikal. Namun, PV dikonfirmasi melalui pewarnaan hematoksilin dan eosin dan

pemeriksaan immunofluoresens dari spesimen biopsi kulit. Pasien menunjukkan respons baik

terhadap terapi kortikosteroid dan agen imunosupresif rituximab.

Kata Kunci: Ulkus oral; pemphigus paraneoplastik; pemphigus vulgaris; rituximab

19
1. Pendahuluan

Pemphigus vulgrais (PV) adalah suatu penyakit lepuh autoimun dari kulit dan

membran mukosa. Autoantibodi menyerang permukaan keratinosit yang menyebabkan

hilangnya adhesi antar sel dalam epidermis. Usia onset biasanya antara 40-60 tahun. Penyakit

ini jarang terjadi pada anak dan remaja.1-4 PV diobati dengan kortikosteroid sistemik dosis

tinggi untuk mengontrol nyeri dan penyebaran lesi selama fase akut. Setelah fase akut

terkontrol, agen imunosupresif (AIS) digunakan untuk menggantikan steroid (steroid-

sparing) dan untuk menurunkan produksi autoantibodi patogen. Di sini kami melaporkan

kasus seorang remaja berusia 17 tahun yang mengalami ulkus oral kronik dan didiagnosis

dengan PV berdasarkan temuan histopatologis dan imunofluoresen direk (IFD).

2. Laporan Kasus

Seorang anak laki-laki Taiwan berusia 17 tahun datang dengan riwayat nyeri pada

ulkus oral sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya, ia didiagnosis dengan hand-foot-mouth disease.

Ia mendapat terapi suportif seperti analgesik dan semprot anestesi lokal namun efeknya

terbatas dan ulkus oral masih ada. Ia menyangkal penggunaan obat-obatan lain dan riwayat

infeksi sebelumnya. Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit autoimun.

Ia datang rutin ke poliklinik departermen THT. Ulkus oral persisten dengan kesan

mukositis refrakter. Karena itu, sebelumnya ia diresepkan prednisolone (0.35 mg/kg/hari)

selama 1 bulan. Namun, efeknya terbatas. Selain itu timbul vesikel multipel dari bibir, leher,

tangan, trunkus, ekstremitas, dan lipat paha hingga bokong. Karena itu, ia dirujuk ke klinik

kami.

Ia mengalami batuk selama 6-8 minggu, rasa lelah, dan penurunan berat badan (4 kg)

akibat diakibatkan ulkus oral yang nyeri. Ia terlihat berat kurang (underweight) (indeks

massa tubuh: 16 kg/m2) dan tampak pucat. Pemeriksaan wajah menunjukkan ulkus oral

multipel dengan krusta dan jaringan nekrotik terdistribusi dari bagian luar bibir hingga

20
palatum molle dan durum (Gambar 1).

Gambar 1. Ulkus oral dengan jaringan nekrotik di atasnya.

Selain itu, terdapat vesikel bundar dan bulla dengan isi serosa, sedikit meninggi, yang

tersebar di sepanjang trunkus dan keempat tungkai (Gambar 2). Diagnosis banding awal

meliputi infeksi herpes virus, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), penyakit Behcet,

dan defisiensi imun (Tabel 1). Dilakukan uji Tzanck smear yang menunjukkan sel datia

(multinucleated giant cell).

21
Gambar 2. Vesikel dan bulla menyebar ke trunkus.

Penyakit Presentasi klinis Terapi Efek samping


Data laboratorium
Infeksi
HIV Limfadenopati generalisata, penurunan Terapi antiretroviral Bervariasi antar
berat badan, infeksi oportunistik aktif obat, infeksi
Skrining HIV, Western blot oportunistik
Virus herpes Lesi vesikel pada lidah, mukosa bukal, Acyclovir Nausea, vomit
simpleks dan tepi kemerahan
Tzanck semar, kultur, PCR
Virus varisela-zoster Papul, vesikel, pustul, krusta yang Acyclovir Nausea, vomit
ditemukan bersamaan
Tzanck smear, kultur, PCR
Hand-foot-mouth Vesikel di palatum molle atau tonsil Terapi simtomatis -
disease
Kultur virus, PCR
Kandidiasis oral Plak putih-krim Nystatin Nyeri abdomen,
Kultur jamur nausea, vomit
Keganasan
Karsinoma sel Makula atau pla hiperkeratoti dengan Kemoterapi topikal, -
skuamosa batas tajam cryoterapi, eksisi
Biopsi bedah
Melanoma Makula coklat dengan tepi iregular Eksisi bedah -
Biopsi
Penyakit autoimun
Lupus eritematosus Ruam kupu-kupu, plak berskuama Prednisolone, obat Infeksi, toksisitas
sistemik Patologi, ANA, dsDNA imunosupresif ginjal atau hati
Penyakit Behcet Ulkus apthosa rekuren, ulkus genital, lesi Glukokortikoid, Sindrom Cushing,
mata (uveitis) atau kulit (eritema kolkisin, azathioprine osteoporosis

22
nodosum)
Tidak ada uji labor patognomonik
Penyakit Reiter Artritis, enthesitis, dysuria, uretritis NSAID, Dispepsia,
HLA-B27, faktor rheumatoid glukokortikoid toksisitas ginjal
Penyakit kulit
Pemphigus Blister flaksid, keterlibatan ukosa Prednisolone, Sindrom Cushing,
Patologi, IFD imunosupresan, osteoporosis,
metotreksat infeksi
oportunistik
Pemphigoid Bula tegang, pruritus Prednisolone, Sindrom Cushing,
Patologi, IFD imunosupresan osteoporosis,
infeksi
oportunistik
Eritema multiforme Lesi target, keterlibatan membran Terapi simtomatis -
mukosa (ulkus oral, eritema)
Tidak ada uji labor spesifik
Liken planus Pruritus, ungu, polygonal, planar, papul, Steroid topikal, -
plak antihistamin, retinoid
Diagnosis klinis, patologi topikal
Stomatitis aphtosa Ulkus oral nyeri, dangkal, bundar-ovoid, Kortikosteroid, -
soliter atau multipel klorherksidin
Darah lengkap, panel kimia, panel nutrisi glukonat

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan eosinofilia (9.2%) dan hitung jenis leukosit

predominan limfosit (50.4%), peningkatan laju endap darah (18 mm/jam), peningkatan

protein C-reaktif (1.08 mg/dL), penurunan kadaar imunoglobulin G (IgG) (621 mg/dL), dan

titer negatif untuk skrining HIV, antibodi antinuklear, kultur darah, IgM virus herpes

simplek-1 (HSV-1), IgM HSV-2, dan IgMVZV, namun titer positif untuk IgG virus varisela-

zoster. Foto thorax menunjukkan peningkatan infiltrasi paru bilateral.

Ia mendapat acyclovir (1500 mg/m2/hari) karena kesal awal (infeksi cacar air).

Oxacillin (93 mg/kg/hari) juga diinfus untuk mencakup infeksi bakteri sekunder. Ig intravena

(IVIG; 976 mg/kg/hari) diinjeksi selama 2 hari karena kadar IgG rendah, yang kami anggap

terkait dengan status nutrisi yang buruk selama 3 bulan terakhir. Namun, hasilnya tidak

memuaskan.

Uveitis diperiksa oleh seorang ahli oftalmologi untuk penyakit Behcet namun

temuannya negatif. Namun, timbul bulla yang lebih flaksid di sisi medial bilateral dari paha

23
selama rawat inap. Karena itu, dilakukan biopsi kulit. Temuan histopatologis meliputi

akantolisis dan keratinosit suprabasal. Asesmen IFD menunjukkan pewarnaan IgG

interseluler dan C3 sebagian besar di lapisan suprabasal dari epidermis (Gambar 3). Karena

itu, didiagnosis kelompok pemphigus. Karena usia muda dan bula tegang pada leher dan

pergelangan kaki, dilakukan CT abdomen untuk menyingkirkan pemphigus paraneoplastik

(PPN). Hasil menunjukkan tidak ada pembesaran limfonodus di mediastinum, paraaorta, atau

iliaka bilateral. Sehingga, kami menghentikan acyclovir dan meresepkan metilprednisolone

intravena (1.2 mg/kg/hari).

Gambar 3. Imunofluoresen direk menunjukkan imunoglobulin G terdeposit dalam substansi

interseluler dari epidermis.

Setelah terapi steroid, kondisi pasien meningkat drastis. Ulkus oral dan vesikel

sembuh dan nafsu makannya kembali. Ia dirujuk ke spesialis PV di National Taiwan

University Hospital (NTUH) untuk terapi lanjutan. Bahkan dengan prednisolone dosis tinggi,

beberapa vesikel masih ditemukan. Karena itu, setelah mendapat persetujuan, kami

meresepkan rituximab intravena (500 mg) per minggu sebanyak 4 dosis sebelum pemberian

obat-obatan lain dalam mengobati PV di departermen dermatologi NTUH. Kini, penyakitnya

terkontrol tanpa obat oral.

24
3. Diskusi

Pemphigus adalah suatu kelompok penyakit kulit lepuh autoimun yang dicirikan

dengan terbentuknya blister yang terjadi dalam epidermis akibat akantolisis, yaitu hilangnya

kohersi antar sel epidermis. PV seringkali dimulai di orofaring lalu menyebar ke area yang

melibatkan trunkus, kepala, dan daerah intertriginosa. Pemphigus jarang ditemukan pada

anak-anak, dengan rerata usia 12 tahun saat gejala timbul.5

Stomatitis adalah gejala yang ditemukan pada lebih dari 50% kasus. Epistaksis dan

suara serak juga ditemukan akibat keterlibatan hidung, faring, dan laring. 5 Sebagian besar

pasien datang dengan erosi oral yang nyeri, dan pada beberapa pasien, gejala ini merupakan

satu-satunya manifestasi klinis.6 Beberapa bulan kemudian timbul lesi kulit. Gejala ini

memenuhi pola kasus ini. Diagnosis PV seringkali terlambat bila hanya terdapat manifestasi

oral dan indeks kecurigaan akan jauh lebih rendah pada pasien usia muda karena insiden PV

jarang pada anak.5,7

Lesi kulit pada pasien ini berbeda dari bulla flaksid tipikal yang timbul pada PV.

Vesikel dan bulla relatif tegang. Karena itu, PPN dicurigai akibat menyerupai PV.8 Pada

PPN, blister tegang dengan eritema di sekitarnya lebih sering terlihat pada ekstremitas

daripada area lain.9 PPN telah dikaitkan dengan limfoma non-Hodgkin, thymoma, penyakit

Castleman, dan limfoma limfositik kronik. Pasien ini tidak menunjukkan dermatitis interface

vakuolar pada pemeriksaan histopatologi dan tidak menunjukkan deposit IgG dan

komplemen di sepanjang zona membran basal (ZMB) pada temuan IFD. Karena itu,

diasumsikan PV pada kasus ini.

Kortikosteroid sistemik, baik tunggal ataupun kombinasi dengan AIS, adalah terapi

utama untuk PV pada anak. Obat-obatan ini menurunkan sintesis antibodi. Prednisolone

adalah agen lini pertama dengan dosis 1-2 mg/kg/hari. Pada kasus kami, metilprednisolone

(1.2 mg/kg/hari) digunakan dan efeknya baik. Ulkus dan bulla mulai sembuh. IVIG (1

25
g/kg/hari x 2 hari) diberikan sebelum pemberian steroid. Namun, lesi kulit tidak mengalami

regresi dan terbentuk bulla baru. Dosis IVIG yang digunakan untuk PV sebesar 2 g/kg/siklus

pada penelitian sebelumnya.10 Frekuensi infus per bulan hingga tercapai respons klinis yang

memuaskan. Jumlah siklus total bervariasi dari 19-61 bulan (rerata: 28.5 bulan). 10 Indikasi

untuk IVIG adalah tidak adanya respons terhadap prednisolone atau adanya efek samping.

Kami mencurigai bahwa satu siklus IVIG tidak cukup untuk mencapai perbaikan klinis.

Sebaliknya, biaya IVIG yang mahal dan potensi serangan kardiovaskular akibat sindrom

hiperviskositas membuat IVIG menjadi pilihan pad apasien dengan PV refrakter

kortikosteroid.11 Berdasarkan alasan bahwa pemphigus merupakan gangguan autoimun yang

dipicu autoantibodi, terapi yang mendeplesi klon sel B autoreaktif telah diselidiki untuk

pengobatan pemphigus. Rituximab, suatu antibodi monoklonal terhadap antigen CD20 pada

limfosit B telah ditunjukkan efektif untuk PV dan pemphigus foliaseus.

Kami melaporkan suatu kasus juvenile PV yang datang dengan ulkus oral berat dan

vesikle generalisata. Diagnosis terlambat akibat jarangnya penyakit ini pada anak.

Pembelajaran dari kasus ini adalah penyakit bulla autoimun harus dimasukkan dalam

diagnosis banding saat anak menderita lesi oral berat atau refrakter. PPN harus disingkirkan

bila terdapat vesikel atipikal dan kemungkinan keganasan. Steroid adalah obat lini pertama

untuk PV dan rituximab menjanjikan pada kasus refrakter atau steroid-sparing.

26
3.2. CASE REPORT 2

MIGRATORY STOMATITIS – CASE PRESENTATION

Ana Maria Filioreanu¹, Cristina Popa¹*, George Alexandru Maftei¹,Ioanina Parlatescu²,

Carmen Larisa Nicolae², Eugenia Popescu³

1Oral Medicine Discipline, Faculty of Dental Medicine, “Grigore T. Popa” University of

Medicine and Pharmacy Iasi 2 Oral Medicine Discipline, Faculty of Dental Medicine, “Carol

Davila” University of Medicine and Pharmacy Bucuresti 3 Oral Surgery Discipline, Faculty

of Dental Medicine, “Grigore T. Popa” University of Medicine and Pharmacy Iasi

*Corresponding author.Email: dr.cristinapopa@gmail.com

Stomatitis Migratoris – Presentasi Kasus

Abstrak

Stomatitis migratoris adalah kondisi rekuren langka dengan etiologi yang tidak diketahui

yang melibatkan mukosa lingual, dengan gambaran umum geographic tongue. Faktor-faktor

seperti keturunan, defisiensi nutrisi, atau stress dapat menjadi faktor yang berkontribusi

terhadap gambaran lesi. Secara klinis, lesi tampak sebagai lesi sirkular, ultipel, eritema,

dengan bintik merah dikelilingi oleh aspek putih, sempit, hiperkeratotik dengan gambaran

ireguler, sedikit meninggi pada 24 jam. Kondisi ini dapat memiliki tanda klinis khusus bila

lesi terletak pada lidah, dan dapat melibatkan area mukosa oral lain, seperti labial atau lantai

mukosa mulut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan kasus klinis pasien dengan

dua lokasi lesi yang sesuai dengan stomatitis migratoris.

Pemeriksaan anatomopatologis membuktikan diagnosis stomatitis migratoris, sehingga kami

dapat memulai terapi spesifik, yang mana pasien merespon positif.

Kata Kunci: Stomatitis migratoris, geographic tongue, geographic stomatitis

27
Pendahuluan

Stomatitis migratoris adalah modifikasi jaringan dari mukosa oral yang biasanya

dimulai pada masa kanak-kanak, dengan transmisi autosomal dominam dan evoluasi jinak

[1,2]. Kondisi ini bermanifestasi klinis hilang-timbul. Reaktivasi diakibatkan oleh stress,

kondisi emosional, infeksi sekitar (dento-gingiva, faring), atau terkait dengan penyakit

patologi umum [1,3,4].

Pada sebagian besar kasus, lesi dimulai pada permukaan dorsal lidah dan timbul lesi

lain di area topografis lain dari mukosa oral. Hume membagi stomatitis migratoris menjadi:

Tipe 1: lesi pada aspek dorsal, tepi, dan ujung lidah, dengan potensi perluasan ke aspek

lingual ventral; lesi dapat bermigrasi dan melalui fase aktif dan remisis (geographic tongue –

tanpa manifestasi di area mukosa oral lain); Tipe 2: geographic tongue, disertai dengan lesi

yang terletak di area mukosa oral lain; Tipe 3: lesi melibatkan mukosa lingual, dengan

gambaran atipikal disertai dengan depapilasi mukosa oral pada berbagai lokasi; Tipe 4: lesi

sirsinata dengan gambaran tipikal dan lokasi atipikal (melibatkan berbagai area mukosa oral,

namun jarang pada permukaan lidah), tanda klinis bervariasi dan sulit untuk membedakan

lesi [5]. Penelitian ini menyajikan sebuah kasus stomatitis migratoris dimana akibat distribusi

atipikal dari lesi, kondisi ini dapat menyerupai kondisi patologis lain.

Kasus Klinis

Pasien MZ, pria, berusia 37 tahun, datang ke Maxillofacial Surgery Outpatient Clinic

of “Sf Spiridon” County Emergency Hospital di Iasi, dengan keluhan lelah dan rasa tidak

nyaman pada aspek dorsal lidah dan mukosa palatum, dengan gangguan fungsional mastikasi

dan menelan. Dari anamnesis dan sudut pandang gejala, pasien melaporkan bahwa ia

sebelumya tidak mengamati lesi atau nyeri (rasa terbakar).

Pemeriksaan intraoral menunjukkan adanya lesi eritem multipel, yang memiliki

28
gambaran bintik merah dikelilingi dengan tepi hiperkeratotik putih dangkal, dengan

gambaran ireguler, sedikit meninggi. Lesi terletak pada mukosa aspek dorsal lidah, palatum

durum dan molle. Pada mukosa lidah, lesi memiliki gambaran tipikal untuk glossitis

migratoris (geographic tongue, glossitis eksfoliatif marginal atau annulus migrans) yang

tampak sebagai pola sirsinata kompleks dengan modifikasi gambaran dalam 24 jam [Gambar

1, 2]

Gambar 1. Glossitis migratoris. 3 hari dari onset.

Gambar 2. Glossitis migratoris. 4 hari dari onset.

Mukosa palatum menunjukkan pola lesi yang sama namun kurang sedikit berbetuk

dan gambaran memudar [Gambar 3, 4].

29
Gambar 3. Stomatitis migratoris. 3 hari dari onset.

Gambar 4. Stomatitis migratoris, mukosa palatum.

Seringkali, pada kasus lokalisasi lesi aspek dorsal seperti geographic tongue,

kepastian diagnosis didasari pada anamnesis dan pemeriksaan klinis. Karena langkanya lesi

pada area mukosa oral (mukosa palatum), kami mempertimbangkan perlu untuk

membuktikan diagnosis menggunakan pemeriksaan histopatologis.

Karena itu, kami dapat menegakkan diagnosis banding dari lesi dengan menggunakan

diagnosis untuk kondisi lain dengan tanda klinis serupa.

Diagnosis banding meliputi: psoriasis, liken planus oral, kandidiasis oral akut,

erithroplakia, lupus eritematosus diskoid atau sistemik, lesi ulseratif reaktif, dan alergi obat.

Untuk melakukan pemeriksaan anatomopatologis, sampel biopsi diambil dari aspek

dorsal lidah. Hasil histopatologi dari jaringan epitel menunjukkan: parakeratosis dan tidak

ada lapisan granulosa, akantosis dari lapisan spinosa khususnya pada lsapiran atas suprabasal

30
dan hiperplasia pseudoepiteliomatosa; pada korion superfisial, terdapat infiltrasi inflamasi

kaya limfosit, makrofag, dan neutrofil. Area putihs lesi ditemukan pada permukaan sel epitel

nekrotik dan infiltrasi inflamasi predominan terdiri atas neutrofil pada korion superfisial.

Area eritema dari lesi dicirikan dengan hilangnya papila filiform terkait dengan infiltrat

inflamasi mononuklear subepitel, hipertrofi suprapapiler, dan ektasia vaskular. Pemeriksaan

klinis dan hasil dari pemeriksaan histopatologis membuktikan diagnosis Stomatitis

Migratoris Tipe 2 (Klasifikasi Hume).

Karena pasien mengalami sensasi terbakar, nyeri, dan gangguan fungsional, kami

merekomendasikan terapi simtomatis dengan: cuci mulut anestesi, vitamin A topikal,

antihistamin, dan suplemen berbasis zinc. Kami juga merekomendasikan menghindari kontak

dengan iritan lokal, serta diet yang menghindari makanan asam dan pedas.

Diskusi

Stomatitis migratoris (SM) pertama kali dijabarkan pada tahun 1955 dengan istilah

eritema migratoris yang terjadi di area mukosa manapun [6]. Kondisi ini juga dikenal sebagai

geographic stomatitis, ectopic geographic tongue, penyakit Cooke atau mukositis migratoris

[2,7,8].

Lokasi utama adalah: mukosa aspek dorsal lidah, mukosa jugular, dan mukosa bagian

dalam dari bibir. Gingiva, mukosa alveolar, dan palatum molle jarang terlibat [9,10,11].

Van der Wal N dkk. menjabarkan adanya lesi pada mukosa palatum sebagai bentuk

manifestasi oral dari psoriasis dan manifestasi geographic stomatitis [12].

Lokasi utama adalah mukosalingual dengan gambaran geographic tongue. Dijabarkan

pertama kali oleh Reiter pada tahun 1831, geographic tongue (GT) adalah suatu penyakit

inflamasi kronik yang tampak sebagai kondisi patologis tunggal, atau dalam konteksi

stomatitis migratoris.

31
Kondisi ini dimediasi imun dan etiologinya tidak diketahui [4,5,13].

Kondisi ini menyerang antara 0.6%-4.8% dari populasi dunia, dan terjadi lebih sering

pada anak-anak, dan pada dewasa, kondisi ini lebih umum pada wanita [14,15].

Lesi mengalami perubahan lokasi, bentuk, dan ukuran seiring waktu, utamanya

meyerang dua per tiga aspek dorsal distal dan tepi lateral dari lidah, serta area lain dari

mukosa oral pada kasus staomtitis migratoris, dengan pola siklus lesi lingual timbul seperti

yang dijelaskan di atas.

Literatur mengenai kasus ini masih rendah.

Namun, beberapa peneliti yakin bahwa insiden kondisi ini sebenanrnya lebih tinggi,

namun kasusnya tidak selalu terdiagnosis karena evoluasi kondisi bersifat asimtomatis juga

akibat gambaran glossitis migratoris, yang mana mudah untuk didiagnosis [4,16].

Walau etiologinya tidak diketahui, adanya stomatitis migratoris dapat berhubungan

dengan gangguan umum, seperti psoriasis oral, sindrom Reiter, kandidiasis akut atrofi, liken

planus, atau lupus eritematosis [1,17].

Pada sindrom Reiter, riwayat penyakti dan pemeriksaan klinis dapat beguna

membedakan lesi karena gambaran geographic stomatitis berhubungan dengan trias

konjungitvitis, uretritis, artritis [3].

Pada kasus psoriasis, lesi mukosa oral memiliki gambaran serupa, dan Weathers dkk.

pada tahun 1974 menjabarkan tiga jenis kondisi klinis: geographic tongue, geogprahic

stomatitis, dan psoriasis intraoral. Kondisi ini mencirikan stomatitis migratoris melalui tanda

patognomonik berikut: ciri migratoris, tidak nyeri, dan tidak kronik [18].

Ralls dan Warnock menyatakan bahwa stomatitis migratoris adalah bentuk

manifestasi parsial dari psoriasis dan sindrom Reiter [19].

Dalam hal perkembangan lesi, mereka gambaran dan lokasi lesi cenderung berubah

dalam hitungan menit hingga jam.

32
Kondisi ini dicirikan dengan periode eksaserbasi dan remisi. Pada beberapa pasien,

lesi sembuh dalam dua minggu, dan pasien lain, lesi bertahan selama beberapa bulan [19].

Terlepas dari kerangka waktunya, cedera sembuh tanpa meninggalkan parut, dan bila

kambuh, mereka cenderung terletak di lokasi lain yang disebut sebagai migratoris [14].

Weathers dkk. membagi lesi geografi menjadi dua subkelompok: eritema sirsinata

perstans dan eritema sirsinata migrans [18].

Brooks dan Balciunas menunjukkan bahwa 34% dari pasien memiliki riwayat lesi

migratoris [5].

Bila lesi memiliki lokasi atipikal, pemeriksaan histopatolgosi berguna untuk

diagnosis, walau gambaran jaringan seringkali serupa dengan lesi psoriasiform.

Karena perubahan jaringan tergantung pada stadium klinis lesi, dan pada area dimana

biopsi diambil, fragmen dari jaringan yang diambil harus mencakup ketiga karakteristik area:

perifer, garis putih, dan daerah eritema.

Karena secara umum merupakan kondisi asimtomatis jinak, stomatitis migratoris

tidak memerlukan terapi. Bila pasien mengalami sensasi terbakar dan nyeri, atau gangguan

fungsional, direkomendasikan untuk diberikan: cuci mulut anestesi, vitamin A topikal,

antihistamin dan suplemen berbasis zinc. Pasien harus menghindari kontak dengan iritan

lokal, dan mengadopsi diet yang menghindari makanan asam dan pedas [13]. Pada bentuk

yang lebih berat, kami merekomendasikan agen topikal seperti traimcinolone, takrolimus,

atau bahkan siklosporin oral [10,20,21].

Kesimpulan

Stomatitis migratoris adalah kondisi jinak dengan etiologi yang tidak diketahui.

33
Diagnosis yang teapt dari kondisi ini penting untuk tatalaksana terapi yang tepat dan

menyingkirkan kecurigaan transformasi maligna dari lesi.

Adanya modifikasi tersebut pada mukosa oral berperan sebagai barometer imunitas

pasien, dan juga sebagai gejala dala konteks patologi umum lain.

3.3. CASE REPORT 3

34
Large oral ulcer of tongue related to dental trauma Gian Paolo Bombeccari1, Gianpaolo

Guzzi2, Francesco Pallotti3, Massimo Porrini1, Aldo Bruno Giannì1, Francesco Spadari1

Ulkus Oral Besar pada Lidah Terkait dengan Trauma Gigi

RANGKUMAN

Seorang pria Filipina berusia 36 tahun menderita nyeri terbakar padaa lidahnya dengan

eritema lingual dan perdarahan oral sejak beberapa bulan yang lalu. Di sini kami menyajikan

suatu kasus klasik ulkus oral kronik terkait dengan trauma mekanik gigi. Dalam kasus ini,

maloklusi crossbite unilateral menyebabkan lesi mukosa oral yang dapat menyebabkan ulkus

lidah besar kronik dan displasia epitel ringan. Dibuat sebuah tongue retaining-device khusus.

Dengan tidak adanya trauma gigi, ulkus lidah kroniknya sembuh dalam beberapa minggu.

Kasus ini menunjukkan bukti mengenai hubungan langsung antara trauma oral kronik dan

potensi terjadinya proses displasia.

Kata Kunci: ulkus traumatik kronik, displasia oral, ulkus lidah, trauma gigi, maloklusi

PENDAHULUAN

Cedera mekanik berperan penting sebagai etiologi ulkus traumatik kronik (chronic

traumatic ulcer/CTU). Tepi dan permukaan lidah dan aksis oklusal dari mukosa pipi biasanya

merupakan lokasi yang paling sering terlibat (1,2). Iregularitas prostesis, kawat besi, dan gigi

retak adalah penyebab paling umum dari CTU, hiperplasia, dan fibrosis akibat dampaknya

pada mukosa oral.

Beberapa peneliti berhipotesis terdapat hubungan sebab-akibat antara trauma gigi

berulan dan karsinoma mulut (1-9). Dua peneliti menunjukkan bahwa CTU berperan sebagai

promoter tumor pada model eksperimental (10,11).

Sayangnya, saat ini belum ada laporan yang menunjukkan bukti histopatologis dari

potensi efek karsinogenik pada jaringan oral akibat trauma gigi.

35
Dalam laporan ini, kami melaporkan tatalaksana displasia epitel ringan dari

lidahakibat trauma gigi kronik yang berasal dari trauma oklusal akibat crossbite maksila

unilateral.

LAPORAN KASUS

Pada Mei 2012, seorang pria Filipina berusia 36 tahun datang ke departemen patologi

oral kami dengan keluhan glossodynia, lidah merah, dan perdahan oral. Ia melaporkan

adanya lesi lidah yang timbul sejak 6 bulan sebelumnya setelah lidahnya tergigit.

Lesi di lidahnya membesar, dengan nyeri yang semakin hebat. Ia tidak memiliki

riwayat merokok atau konsumsi alkohol. Riwayat medis sebelumnya tidak signifikan. Pada

beberapa bulan sebelumnya, ia tidak mengonsumsi obat-obatan apapun. Pemeriksaan

intraoral menunjukkan ulkus dalam pada tepi kiri sepertiga tengah lidah. Pada palpasi, teraba

lesi terapa keras-elastis, dengan tepi meninggi, berukuran 0.8x0.5 cm (Gambar 1). Pasien

memiliki crossbite posterior ipsilateral (skeletal) melibatkan gigi premolar maksila pertama

dan kedua dan molar pertama (2.4, 2.5, 2.6) yang berhubungan dengan hipoplasia maksila da

makroglossia sebagai etiologinya (Gambar 2). Berdasarkan pemeriksaan oral, kami

berpendapat bahwa ulkus lidahnya diakibatkan cedera trauma pada lidah akibat trauma gigi.

Gambar 1. Ulkus traumatik pada tepi kiri lidah.

36
Gambar 2. Crossbite unilateral terkait dengan hipomaksila.

Untuk mengurangi kejadian lidah tergiti, khususnya selama tidur, kami melakukan

reduksi koronal (plastik koronal) pada gigi premolar maksila pertama dan kedua (2.4, 2.5,

2.6).

Pada 15 hari setelah eksisi bedah, hanya diamati reduksi parsial dari lesi ulkus pada

lidahnya, yang masih tampak terinfiltrasi saat palpasi. Pemeriksaan intraoral menunjukkan

gambaran mukosa lidah abnormal dengan ulserasi luas dengan tepi ireguler, dilapisi dengan

fibrin (kedalaman sekitar 8 mm), dikelilingi oleh area atrofi eritem. Area keputihan diamati

pada tepi ulkus lidah. Terdapat pengerasan tepi, yang mengindikasikan infiltrasi dini, dengan

kesan ulkus traumati kronik dan dibuktikan dengan biopsi insisi menggunakan punch scalpel

berdiameter 4 mm. Evaluasi histopatologis dari ulkus lidah menunjukkan akantosis dan

displasia epitel ringan (Gambar 3). Lesi diperkirakan tidak bisa sembuh total, karena terdapat

makroglossia dan trauma gigi. Selain itu, kami mengamati area lidah lain yang mengalami

trauma akibat trauma oklusal. Eksisi bedah dari lesi tidak menjami hasil jangka panjang yang

memuaskan, karena terdapat traumatisme gigi persisten. Terapi orthodonti memerlukan

waktu yang terlallu lama dan prognosisnya masih belum jelas.

37
Gambar 3. Mukosa lidah, dengan akantosis dan displasia ringan (10x).

Karena itu, semua kemungkinan terapi rehabilitasi dijelaskan kepada pasien, namun ia

menolak. Sebagai pilihan darurat sementara, alat resin akrilik removable dengan flange

lateral (tongue retaining-device, TD) dibuat untuk melindungi mukosa lidah terhadap trauma

gigi persisten kronik (Gambar 4, 5).

Gambar 4. Alat resin akrilik (tongue retaining-device) pada model plaster.

Gambar 5. Alat dipasang dalam mulut; perhatikan bahwa flange lingual melindungi lidah

38
pasien.

Gamar 6. Penyembuhan total dari lesi 2 bulan setelah biopsi.

Desain tongue retaining-device tidak terfiksasi pada gigi dan pasien dapat melepasnya

dengan mudah. Tongue retaining-device memiliki manfaat pasif dan dibuat sebagai space

maintainer dengan bentuk menyerupai gigi pada area edentulous. Basis dari removable

tongue retaining-device tidak berkontak langsung dengan mukosa alveolus dan stabilitasnya

dilindungi oleh stabilitasi ortho metal hook serta basis akrilik pada permukaan lingual darai

gigi.

TDR dibuat dengan resin denture heat-polymerized (yaitu resin akrilik heat

polymerized konvensional). Pasien menggunakan TDR sepanjang hari kecuali saat makan.

Pada pemeriksaan follow-up (setelah 15-60 hari), observasi klinis setelah penggunaan TDR

menunjukkan remisi gradual dari lesi lidahnya, hingga akhirnya mencapai penyembuhan total

(Gambar 6). Pada 6 bulan follow-up, sampel jaringan lidah berdiameter 3 mm diambil dari

area lesi untuk mengonfirmasi regresi patologi (Gambar 7). Pada 30 bulan follow-up, tidak

diamati adanya bukti kekambuhan lesi.

39
Gambar 7. Mukosa lidah tanpa tanda inflamasi dan displasia (4x)

DISKUSI

Diagnosis banding klinis dari ulkus traumatik kronik dari lidah mengarah pada ulkus

kronik soliter lain dari mulut, seperti ulkus bakteri (sifilis sekunder, tuberkulosis), ulkus

mikosis (mikosis dalam), ulkus autoimun (stomatitis aphtosa tipe mayor), dan cedera lidah

terkait dengan erupsi insisor bawah primer (Penyakit Riga-Fede). Kondisi patologis lain yang

harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding ulkus oral adalah granuloma ulseratif

traumatik dengan eosinofilia stroma dimana lidah merupakan lokasi yang paling sering

terlibat. Kondisi ini dicirikan dengan adanya tepi indurasi ringan, laju pertumbuhan yang

cepat, menyerupai ulserasi traumatik dan/atau infeksi mikosis dalam atau karsinoma sel

skuamosa. Secara mikroskopis, kondisi ini dapat dibedakan dari CTU berdasarkan epitel

intak terdiferensiasi baik, infiltrat inflamasi yang banyak, dan eosinofilia. (12)

Penelitian epidemiologi umumnya menganalisis hubungan antara CTU akibat denture

dan kanker, dan sebagian besar tidak melibatkan faktor traumatik lain seperti kelainan gigi

atau kebiasaan parafungsional. (4) Ulkus traumatik kronik (chronic traumatic ulcer/CTU)

dapat tidak nyeri dengan dasar mengeras dan tepi meninggi. Akibatnya, CTU mungkin tidak

dapat dibedakan dari karsinoma sel skuamosa berdasarkan ciri klinisnya saja. Ulkus oral

traumatik berhubungan dengan penyebab mekanik, kimiawi, termal dan/atau radioterapeutik.

Trauma kronik sebagai etiologi karsinogenesis oral masih kontroversial, dengan

40
mempertimbangkan bukti terkini. (13) Dihipotesiskan bahwa iritasi kronik akibat trauma gigi

menyebabkan paparan karsinogen, sehingga dapat bekerja sebagai kofaktor pada kelompok

berisiko tinggi. (13) Velly dkk. menyatakan bahwa iritasi fisik kronik dari epitel lidah akibat

masalah dentisi dapat memicu displasia dan karsinogenesis terlepas dari faktor lain. (1)

Serupa, Rosenquist dkk. melaporkan temuan serupa dalam sebuah penelitian kasus-kontrol

pada penduduk Swedia. (8) Penelitian eksperimental pada model hewan menunjukkan bahwa

trauma oral kronik dapat memicu lesi ulseratif dari rongga mulut dengan cara yang sama

seperti ulkus traumatik kronik pada manusia. (10,11). Penelitian-penelitian ini menunjukkan

bahwa CTU berperan dalam stadium promosi karsinogenesis oral, dimulai oleh karsinogen

lain seperti merokok serta alkohol pada manusia. Namun faktor perancu seperti tembakau dan

alkohol tidak ditemukan pada kasus ini. Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan

inflamasi pada kanker terkait CTU. Pertama, sel menjalani peningkatan mitosis untuk

memperbaiki cedera jaringan lunak dan hal ini berhubungan dengan peningkatan

kecenderungan cedera DNA oleh agen kimiawi lain untuk menginfiltrasi karsinogenesis oral.

(10,11) Kedua, inflamasi kronik pada lokasi yang terlibat oleh trauma oral kronik dapat

melepaskan mediator kimia dan meningkatkan stress oksidatif. (11,14). Selain itu, di antara

faktor risiko independen lain, status sosioekomi dinaytakan berhubungan terbalik dengan

insiden kanker oral. Faktor ini juga dicerminkan pada subyek dengan maloklusi dan

kepatuhan mereka pada pedoman perawatan dan pecncegahan. (15)

Dalam studi kasus ini, dengan mempertimbangkan bahwa temuan histopatologis dari

ulkus oral kronik menunjukkan displasia ringan, diperlukan waktu untuk menyembuhkan lesi

lidahnya. Pada satu sisi, pendekatan orthodonti/orthopedi memerlukan waktu yang lama

untuk mendapatkan penyembuhan total dan meningkatkan risiko menimbulkan neoplasia

oral. Di sisi lain, eksisi bedah dari lesi akan lebih cepat namun tidak menjamin penyembuhan

yang stabil karena adanya maloklusi yang tidak terkoreksi. Selain itu, pendekatan bedah

41
merupakan pendekatan yang invasif. Kami memutuskan untuk tidak melakukan pendekatan

bedah dan pasien setuju.

Kami membuat suatu TRD berdasarkan konsep pelindung lidah. Pasien mencapai

penyembuhan total dengan perkembangan progresif dan hasil yang stabil. Dalam kasus ini,

keberhasilan terapi juga dipengaruhi oleh kepatuhan pasien. Penyembuhan CTU

menunjukkan bahwa lesi displasia dini dapat reversibel bila sumber iritasi dapat dieliminasi.

(16).

Berdasarkan pengetahuan kami, hanya terdapat satu kasus yang melaporkan hubungan

langsung antara ulkus traumatik kronik dan karsinoma oral terkait dengan karsinogen

kimiawi. (6). Kami tidak dapat menemukan studi kasus terkait hubungan antara trauma gigi

dan ulkus oral dengan displasia.

KESIMPULAN

Kasus ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan sebab-akibat antara trauma kronik

dan ulkus oral dengan displasia ringan. Pengalaman kami menekankan pentingnya diagnosis

dan terapi dini untuk mencegah transformasi maligna dari lesi ulkus oral.

3.4. CASE REPORT 4

42
Allergic Contact Stomatitis from Composite Restoration

1 Lecturer, Department of Preventive Dentistry, College of Dentistry, Jouf University, Sakaka, Kingdom of Saudi Arabia

2 Lecturer, Department of Oral & Maxillofacial Surgery and Diagnostic Sciences, College of Dentistry, Jouf University,
Sakaka, Kingdom of Saudi Arabia

3 Associate Professor & Head of Department, Department of Preventive Dentistry, College of Dentistry, Jouf University,
Sakaka, Kingdom of Saudi Arabia

4Dental Intern, College of Dentistry,RakhiIssrani,JoufUnivLecturer,rsity,SakakDepartment,Kingdomof


ofPreventiveSaudiArabiaDentistry, College of Dentistry, Jouf University, Sakaka, Kingdom*CorrespofndingSaudi
Arabiauthor:.

Received: November 29, 2018; Published: January 17, 2019

Stomatitis Kontak Alergi akibat Restorasi Komposit

Abstrak

Mukosa oral manusia rentan terhadap berbagai patogen yang berpotensi menyebabkan alergi

kontak seperti material gigi, makanan, dan produk hygiene oral. Terlepas dari itu, patologi

kontak oral biasanya tidak diamati karena resistensi bawaan dari mukosa oral terhadap iritan.

Kami melaporkan suatu kasus pria berusia 56 tahun dengan stomatitis kontak alergi terhadap

restorasi komposit yang datang dengan eritema, ulserasi, dan vesikulasi mukosa labial bagian

atas. Kasus ini dilaporkan karena merupakan kasus langka dan masih kurangnya informasi

mengenai kondisi ini dalam literatur.

Kata Kunci: Stomatitis kontak alergi; Komposit; Material gigi; Rongga oral.

Dalam naskah ini, dilaporkan sebuah kasus reaksi kontak alergi akibat kontak

langsung dengan restorasi komposit, yang mengalami remisi klinis setelah pelepasan restorasi

resin komposit.

Laporan Kasus

43
Seorang pria berusia 56 tahun dilaporkan ke Departemen Kedokteran Gigi Preventif,

College of Dentistry, Sakaka, Jouf, KSA, dengan keluhan utama lesi yang semakin lama

semakin nyeri pada bibir bagian atas sejak 15 hari. Ia menceritakan mendapatkan terapi gigi

dengan restorasi komposit pada kaninus maksila kanan 15 hari yang lalu di klinik gigi swasta.

Dalam 24 jam setelah terapi gigi, ia melapor ke klinik gigi yang sama dengan keluhan sensasi

terbakar pada bibir bagian atas. Ia diberikan sebuah gel anestesi (benzocaine) dan digunakan

secara lokal pada mukosa labial bagian atas selama 5 hari dan pasien mengatakan gejalanya

sedikit berkurang. Namun setelah 10 hari, ia menyadari terdapat lesi eritema kecil melibatkan

keseluruhan mukosa labial bagian atas dan mulai menggunakan gel anestesi tanpa konsultasi.

Hal ini diikuti dengan ulserasi disertai dengan sensasi terbakar dan nyeri yang membuatnya

datang kembali untuk konsultasi gigi. Tidak ada riwayat alergi, penyakit sistemik, obat-

obatan, atau riwayat keluarga dengan atopi.

Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan ekstraoral tidak menunjukkan kelainan. Pemeriksaan intraoral

menunjukkan basis eritema dengan ulserasi dan vesikulasi dari keseluruhan mukosa labial

bagian atas. Pasien memiliki restorasi komposit anterior pada kaninus maksila kanannya

(Gambar 1). Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan proksimitas restorasi komposit,

dibuat diagnosis stomatitis kontak alergi terhadap restorasi komposit dan direncanakan

pelepasan restorasi komposit. Namun, stomatitis apthosa dan pemphigus dipertimbangkan

dalam diagnosis banding.

44
Gambar 1. Eritema, ulserasi, dan vesikulasi mukosa.

Gambar 2. 5 hari setelah penggantian restorasi komposit, terdapat remisi signifikan dari lesi,

walau belum sepenuhnya hilang.

Terapi

Terapi yang diajukan kepada pasien adalah pengangkatan segera dari restorasi

komposit pada kaninus maksila kanan.

Follow-Up

Setelah 5 hari, pasien melapor ke departemen dan terdapat remisi parsial dari lesi

intraoral. Selain itu, nyeri dan sensasi terbakar hilang total setelah penggantian restorasi

komposit. Pasien dianjurkan untuk menghindari paparan terhadap material gigi berbasis resin.

45
Diskusi

Rongga oral, meliputi bibir, seringkali terpapar terhadap sejumlah senyawa yang

berpotensi mengiritasi dan mengsensitisasi [1]. Reaksi kontak alergi (RKA) adalah suatu

istilah yang menjabarkan reaksi akibat kontak senyawa dengan mukosa oral yang dimediasi

oleh mekanisme imunologis [2]. Faktor etiologi utama yang menyebabkan RKA dalam mulut

adalah material gigi, makanan, dan produk hygiene oral [3]. Manifestasi klinis dari RKA

pada rongga oral luas karena tidak ada gejala klinis patognomonik atau spesifik yang ada.

Lesi biasanya terdiri dari eritema, edema, deskuamasi, vesikulasi, dan ulserasi, lesi mirip

leukoplakia, dan reaksi likenoid [4].

Penggunaan material akrilik, resin, dan polimer dalam kedokteran gigi restorasi

merupakan kemajuan dalam kedokteran gigi yang memberikan estetika dan peningkatan

pelayanan perawatan gigi [5]. Terdapat penelitian yang telah dilakukan mengenai reaksi

biologis terhadap amalgam, namun reaksi terhadap material lain pengganti amalgam belum

diselidiki secara luas. Baik untuk pasien maupun personil, informasi adekuat mengenai

potensi bahaya material pengganti amalgam tampkanya masih kurang [6].

Resin komposit aman untuk digunakan dan biasanya tidak menyebabkan reaksis

apapun [5]. Insiden yang dilaporkan mengenai efek samping pada pasien akibat material

berbasis resin dalam kedokteran gigi cukup langka, terlepas dari penggunaannya yang luas,

namun kadangkala dapat terjadi [7]. Bila terjadi alergi, hal ini dapat diakibatkan alasan

berikut [8].;

1. Paparan terhadap komponen air dan saliva seperti enzim: Pada rongga oral, air

dari saliva menginfiltrasi jaringan tiga dimensi dari polimer melalui elektrolisis dan

hidrolisis, yang menyebabkan pembengkakan jaringan dengan peningkatan jarak antar

rantai. Hal ini menyebabkan difusi dari monomer residual bebas dan additif (seperti

initiator, inhibitor stabiliser, dll. ) dari jaringan polimer ke rongga oral. Secara umum,

46
Triethyleneglycol-dimetacrylate (TEGDMA) ditemukan di komposit terpolimerasi,

namun juga senyawa lain seperti Bisphenol-A-glycidyl-di methacrylate (Bis-GMA),

urethane-di methyl acrylate (UDMA) ethylene glycol methacrylate (EGDMA), dan

formaldehidm telah terdeteksi dalam jumlah yang lebih sedikit. Juga, telah

ditunjukkan bahwa permukaan luar dari material yang un-polymerized oxygen-

inhibited menyebabkan degradasi yang lebih besar [8].

2. Mikroorganisme dalam rongga oral: Biodegradasi dari material berbasis resin

akibat mikroorganisme dalam rongga oral dapat terjadi namun kurang diselidiki.

3. Stress mekanik akibat menggigit dan mengunyah: Terkait sifat mekanik dari

material, hasil dari biodegradasi adalah penurunan kekerasan permukaan dan aus serta

kelelahan resistensi (fatigue resistance), yang dapat menyebabkan pelepasan senyawa

tambahan. Kebocoran dair material ini dapat terlihat dalam waktu lama setelah

polimerisasi.

4. Berbagai suhu, pH dan kimia dari diet: Faktor ini juga diperkirakan memiliki

dampak pada biodegradasi material gigi. Telah dibuktikan bahwa kebocoran by-

product pada lingkungan asam tinggi (seperti lingkungan kariogenik) lebih tinggi

daripada larutan netral. Karena itu, perbaikan hygiene oral dapat menyebabkan lebih

sedikit kebocoran dari byproduct.

Walau jumlah senyawa yang dilepaskan mungkin terlalu kecil untuk menyebabkan

reaksis sistemik, reaksi kulit atau mukosa lokal dapat timbul dari kontak langsung dengan

komposit gigi [9].

Kasus ini menunjukkan reaksi kontak alergi berat terhadap restorasi komposit,

sehingga memperingatkan para dokter gigi bahwa material restoratif modern juga dapat

menyebabkan alergi.

Alergi kontak oral umumnya menyerang wanita paruh baya, khususnya usia 50-60

47
tahun [10] dengan spektruk klinis yang luas yang bervariasi dari kesulitan subyektif seperti

rasa terbakar, nyeri, dan mukosa kering (sindrom mulut terbakar) hingga perubahan obyektif

dalambentuk stomatitis non-spesifik dan keilitis dengan kemerahan, mukosa edem, erosi, dan

ulkus [11]. Manifestasi yang lebih jelas adalah reaksi likenoid biasanya terlokalisir pada

mukosa bukal, lidah, dan bibir [1]. Reaksi alergi yang terlihat pada rongga oral selain

stomatitis kontak alergi meliputi stomatitis alergi medikamentosa, reaksi obat terfiksir,

stomatitis (keilitis) venenata, stomatitis dan keilitis granulomatosa, geographic tongue, dan

sindrom Reiter [10]. Banyak kasus dilaporkan dalam literatur dengan berbagai gejala

stomatitis kontak terhadpa restorasi komposit berkisar dari fissura, mengelupasnya mukosa

dan binting perdarahan [5], eritema ringan, pembengkakan mukosa bibir dan bukal terkait

dengan keilitis angularis [12], dan stomatitis kronik [13]. Dalam kasus ini, pasien merupakan

pria berusia 56 tahun dengan tanda dan gejala klinis alergi berat terhadap restorasi komposit.

Walau tidak sering, alergi kontal oral dapat diamati dalam praktik sehari-hari, yang

menyebabkan masalah dalam diagnosis. Riwayat medis pasien berguna dalam melakukan

diagnosis yang tepat, karena terdapat riwayat untuk prosedur gigi sebelumnya. Juga, daerah

anatomis spesifik dari mukosa oral dapat membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis

yang tepat [3].

Dalam terapi pasien dengan hipersensitivitas terhadpa material gigi, harus berhati-hati

dalam menurunkan paparan langsung dari monomer yang tidak bereaksi. Harus berhati-hati

selagi menangani material berbasis resin untuk meminimalisir paparan yang tidak diperlukan

dari material yang sangat reaktif, tak terpolimerisasi, dan menurunkan potensi kebocoran

monomer selama hari pertama setelah restorasi. Rubber-dam harus digunakan rutin untuk

mencegah monomer berikatan dan komposit untuk berkontak dengan mukosa oral. Hal lain

yang harus diwaspadai adalah penggunaan suction untuk menurunkan penguapan, light

curing yang teapt, penggantian komposit pada beberapa lapisan tipis, dan polishing komposit

48
untuk mengangkat lapisan oxygen-inhibited di permukaan [10].

Dalam terapi pasien dengan bukti alergi terhadap restorasi komposit,

direkomendasikan untuk menghindari dan mengganti dengan material lain [2].

Kesimpulan

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan jumlah pasien dengan alergi

akibat berbagai material. Karena itu, dokter gigi harus menyadari kejadian, diagnosis, dan

terapinya. Juga, material gigi harus memenuhi spesifikasi biokompatibilitas yang ketat karena

mereka ditujukan untuk digunakan jangka panjang dalam rongga oral.

3.5 CASE REPORT 5

49
Role of Dentists in the Management of Behcet’s Disease: A Case Report

Nurfianti Ahmad Patoni1, Mohaideen AM. Sitheeque2, Afi Savitri Sarsito3 , Anandina
Irmagita Soegyanto 3, Yuniardini Septorini Wimardhani3 1Oral Medicine Residency
Program, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2Division of Oral
Medicine, Faculty of Dental Sciences, University of Peradeniya, Sri Lanka 3Department of
Oral Medicine, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Corresponding
e-mail to: yuniardini@ui.ac.id

Peran Dokter Gigi dalam Tatalaksana Penyakit Behcet: Laporan Kasus

ABSTRAK

Penyakit Behcet (PB) adalah suatu gangguan inflamasi multi-sistem yang terjadi dalam

bentuk vaskulitis dengan etiologi yang tidak diketahui. Kondisi ini paling sering menyerang

mukosa oral dan genital, kulit, mata, sendi, dan pembuluh darah. Diagnosis definitif dari PB

didasari pada gejala mayor seperti ulkus oral dan genital rekuren dan lesi kulit dan okular

rekuren, disertai dengan gejala terkait berbagai sistem. Namun, manifestasi dini dari PB

sangat mirip dengan stomatitis aphtosa rekuren (SAR). Beberapa tahun dari gambaran

pertamanya seringkali diperlukan untuk diagnosis definitif. Tujuan: Untuk menjabarkan

peran dokter gigi dalam tatalaksana PB pada pasien dengan riwayat SAR rekuren. Laporan

Kasus: Kami mengevaluasi seorang pria berusia 38 tahun dengan riwayat ulkus oral rekuren

selama 10 tahun, disetai dengan lesi kulit dan okular. Pemeriksaan intraoral menunjukkan

ulkus dengan berbagai ukuran dengan dasar putih-kekuningan dan tepi reguler, dikelilingi

oleh halo eritema. Ulkus terletak pada lidah, lantai mulut, dan mukosa gingiva. Walau

diagnosis PB tidak dibuktikan secara histopatologi, lesi pasien memenuhi International

Criteria for Behcet’s disease dengan skor 5. Ulkus oral ditangani dengan klorheksidini cuci

mulut 2 kali/hari dan tindakan suportif. Pendekatan multidisiplin digunakan untuk pasien ini

untuk memberikan terapi komprehensif. Kesimpulan: Dokter gigi dapat menjadi klinisi

pertama yang mendeteksi potensi perkembangan PB pad apasien dengan gejala mirip SAR,

namun disertai dengan lesi kulit dan okular.

50
Kata Kunci: Penyakit Behcet, ulserasi oral, stomatitis aphtosa rekuren

PENDAHULUAN

Penyakit Behcet (PB) adalah suatu gangguan inflamasi rekuren multi-sistem yang

dicirikan dengan perkembangan vaskulitis dengan etiologi yang tidak diketahui.1-3 PB

menyerang hampir semua sistem, sepeti vaskular, saraf pusat, gastrointestinal, pulmonal, dan

urologi dan sendi. Penyakit ini dicirikan oleh empat gejala mayor: ulkus aphtosa oral, ulkus

genital, lesi kulit, dan lesi okular. Selain itu, satu atau lebih gejala minor dapat diamati seperti

artritis, ulserasi gastrointestinal, epididimitis, lesi vaskular, dan gejala yang melibatkan sistem

saraf pusat.3-5

Pada tahun 1937, Hulusi Behcet, seorang dermatologis Turki, adalah yang pertama

menjabarkan trias gejala meliputi ulkus oral rekuren, ulkus genital, dan uveitis, yang

kemudian disebut sebagai sindrom Behcet.3,4 Prevalensi PB terkait dengan rute perdagangan

zama dahulu yang dikenal sebagai “Jalur Sutra.” PB terjadi di seluruh dunia dengan

perbedaan regional. Insiden tertinggi diamati di daerah Mediterranian, Timur Tengah, dan

Timur Jauh (Tabel 1).3,6-8

Tabel 1. Prevalensi penyakit Behcet di dunia.

Negara Prevalensi per 100.000


Turki 20-421
Arab Saudi 19.5
Irak 17
Iran 16.7-80
Jepang 14.6
Mesir 7.6
Hongkong 2.6
Taiwan 1
Amerika Serikat 0.33
Negara Eropa 0.27-7.5

51
Onset usia berkisar antara 20-40 tahun. PB lebih sering dan berat menyerang pria.

Rasio pria-banding-wanita berbeda antar negar. Wanita lebih sering terserang di Jepang dan

Korea, sedangkan pria lebih sering terserang di daerah Timur Tengah. Manifestasi berat

seperti uveitis dan keterlibatan neurologis dan vaskular umumnya dimaati pada pria. 2,7,8

Penyakit Behcet adalah suatau vaskulitis multisistem rekuren yang dapat menyerang organ

atau sistem apapun, namun awalnya ditemukan sebagai ulserasi orogenital dan uveitis.

Kriteria spesifik telah diajukan untuk diagnosis dan identifikasi dari organ yang terlibat oleh

berbagai peneliti nasional. Penyakit Behcet diajukan sebagai akibat reaksi antigen/antibodi.

Antigen dapat berupa eksternal (mikroba atau lainnya).

Stomatitis aphtosa rekuren (SAR) adalah suatu gangguan yang dicirikan dengan ulkus

rekuren yang terbatas pada mukosa oral pada pasien yang sebelumnya asimtomatis. 9 Karena

ulkus oral rekuren ditemukan pada PB dan SAR, SAR dipertimbangkan selama diagnosis

banding PB. Pemeriksaan histopatologis diperlukan untuk perbedaan klinis.4,5,10 SAR

merupakan salah satu penyakit kronik yang paling sering dari rongga oral, yang menyeran

5%-25% dari populasi. Kondisi ini lebih sering menyerang wanita dan individu dengan

tingkat sosioekonomi yang tinggi.11 Usia onset berkisar antara 10-40 tahun. Diagnosis

definitif PB bergantung pada adanya gejala mayor, kadangkala disertai dengan gejala

minor.4,5,11

Kami melaporkan kasus pasien dengan riwayat SAR 10 tahun yang mengalami lesi

kulit dan gejala okular, dengan diagnosis berubah menjadi PB.

LAPORAN KASUS

Seorang pria berusia 38 tahun dirujuk dari Departemen Penyakit Dalam untuk biopsi

52
oral untuk mengidentifikasi vaskuliti untuk potensi diagnosis PB. Ia menderita SAR 10 tahun

(tanpa demam) dan lalu timbul lesi kulit dan okular. Ulkus ini nyeri dan sembuh sendiri

dalam 3-4 minggu. Interval bebas ulkus bertahan sekitar 2 minggu. Sesuai resep dokter gigi,

pasien mendapat triamcinolon acetonide dan nystatin suspensi oral. Dalam 2 tahun

sebelumnya, pasien mengalami vesikel purulen dan nyeri pada kedua paha. Tidak ada ulkus

genital yang dilaporkan, namun terdapat gatal dan nyeri.

Keluhan terkini yaitu mata merah dan visus kabur didiagnosis sebagai uveitis. Sebagai

diagnosis banding, dokter penyakit dalam meminta skrining human immunodeficiency virus

(HIV), venereal disease research laboratory (VDRL), Treponema pallidum

hemagglutination assay (TPHA), rubella toxoplasma, sitomegalovirus, dan virus herpes

simpleks (TORCH), dan antibodi antinuklear (ANA). Pemeriksaan darah menunjukkan

leukosit, basofil, limfosit, dan neutrofil yang rendah dengan laju endap darah yang tinggi.

Skrining HIV, VDRL, dan TPHA non reaktif. Pemeriksaan TORCH menunjukkan IgG anti-

toxoplasma, IgG anti-sitomegalovirs, dan IgG anti-HSV II yang reaktif. Pemeriksaan ANA

positif, dengan pola speckled dan titer 1/100. Pemeriksaan pathergy negatif, dan pemeriksaan

mikologi tidak menunjukkan infeksi jamur.

Pemeriksaan intraoral menunjukkan hygiene oral sedang; kalkulus subgingiva dan

supragingiva, dan ulkus berdiameter 2-5 mm, dikelilingi oleh halo eritema dan dasar putih-

kekuningan, terletak di batas antara gingiva dan lantai mulut pada regio 32 dan di lidah lateral

pada regio 47, 37, dan 34 (Gambar 1). Anamnesis dan pemeriksaan klinis memberikan

diagnosis kerja manifestasi oral dari PB dan gingivitis kronik. Biopsi ulkus pada lidah lateral

kiri dilakukan. Ulkus oral ditangani dengan cuci mulut yang mengandung klorheksidini 0.2%

2 kali/hari.

53
Gambar 1. Ulkus regular pada lateral kiri lidah daerah 34 dan 37 (a), pada lateral kanan lidah

daerah 47(b), pada tepi lingual gingiva dan lantai mulut daerah 32 (c).

Biopsi menunjukkan ulkus kronik, tanpa bukti keganasan dan vaskulits, sehingga

tidak mengkonfirmasi diagnosis PB. Pemeriksaan oral menunjukkan ulkus yang menyembuh,

dengan laserasi traumatik pada palatum kiri pada regio 28 diikuti dengan terapi oral selama

biopsi (Gambar 2). Obat-obatan meliputi prednisolone, azathioprine, omeprazole, asam folat,

dan predniolosone tetes mata (selama 1 minggu). Diagnosis oral didasari pada manifestasi

oral dari PB, ulkus traumatik, dan gingivitis kronik. Ulkus oral ditangani menggunakan

kompres moistened gauze dengan klorheksidin 0.2% 3 kali/hari dan multivitamin suportif

yang mengandung vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin E, asam folat, dan zinc sekali

sehari.

54
Gambar 2. Visit kedua 2 minggu kemudia, penyembuhan ulkus pada lateral kanan lidah (a),

pada lateral kiri (b).

DISKUSI

Manifestasi PB bervariasi, tegantung pada etnis, geografis, dan individu. Manifestasi

berkisar dari gejala mukokutan dan okular hingga keterlibatan sistemik dengan komplikasi

serius. Kriteria untuk diagnosis PB dijabarkan oleh International Study Group pada tahun

1990 (Tabel 2).4,8,12

Tabel 2. Kriteria International Study Group untuk diagnosis penyakit Behcet.

Ulserasi oral rekuren Aphthosa minor/mayor atau ulkus herpertiform yang


kambuh minimal 3 kali dalam 12 bulan terakhir yang
diamati oleh dokter atau pasien
Plus dua dari berikut:
Ulserasi genital rekuren Ulkus aphthosa atau parut yang diamati oleh dokter atau
pasien.
Lesi mata Uveitis anterior/posterior, sel dalam vitreus pada
pemeriksaan slit-lamp atau vaskulitis retina yang diamati

55
oleh ahli oftalmologi.
Lesi kulit Eritema nodosum yang diamati oleh dokter atau pasien, lesi
pseudofolikulitis atau papulopustular, atau nodul akneiform
yang diamati oleh dokter pada pasien paska remaja yang
tidak mendapat kortikosteroid.
Uji pathergy positif Diinterpretasi oleh dokter pada 24-48 jam.

Namun, penggunaan kriteria ini dalam praktik sehari-hari sangat sulit. Selain itu,

karena organ tidak terlibat, kriteria ini kurang sensitif. Selain itu, beberapa penelitian telah

melaporkan bahwa penggunaan uji pathergy positif telah berkurang sejak pertengahan 1980-

an. International Team for the Revision of the International Criteria for Behcet’s Disease

(ICBD) telah mengajukan kriteria baru, meliputi manifestasi neurologis, vaskular,

mukokutan, dan okular, dimana uji pathergy juga dimasukkan, namun bukan dalam kriteria

penilaian primer. Sebuah revisi 2014 juga memasukkan gejala minor (seperti manifestasi

neurologis dan vaskular) sedangkan uji pathergy dan HLA-B51 dianggap sebagai

pemeriksaan suportif (Tabel 3).8,13

Tabel 3. Kriteria untuk diagnosis penyakit Behcet.

Tanda/gejala Poin
Lesi okular 2
Aphthosis genital 2
Apthosis oral 2
Lesi kulit 1
Manifestasi neurologis 1
Manifestasi vaskular 1
Uji pathergy positif 1
Kriteria Internasional untuk Penyakit Behcet: skoring ≥4 mengindikasi penyakit

Behcet

Patogeneis PB menunjukkan peran limfosit T, neutrofil hipereaktif, dan peningkatan

kadar sitokin pro-inflamasi IL-8, IL-17, dan TNF-α. Faktor-faktor ini menstimulasi adhesi

molekul pada sel endotel vaskular seperti CD54 (intercellular adhesion molecule-1 [ICAM-

1]), vascular adhesion molecule 1 (VCAM-1), dan E-selectin oleh sel endotel mikrovaskular

56
dermis manusia. Infiltrasi neutrofil pada perivaskular menyebabkan vaskulitis. 9,14 Infeksi

HSV diajukan sebagai potensi faktor etiologi atau pemicu pada PB. Dalam suatu penelitian

oleh Lee dkk., HSV tipe 1 terdeteksi menggunakan PCR dalam saliva, ulkus intestinal, dan

ulkus genital dari pasien PB (tidak ditemukan pada kontrol sehat), dan HSV memicu produksi

berbagai molekul adhesi sel.15

Suatu penelitian Jepang pada 412 pasien menunjukkan bahwa aphthae oral adalah

gejala awal yang paling sering, yang timbul dengan rerata 7.2 ± 10.2 tahun sebelum

diagnosis PB. Ulkus genital dan lesi kulit dan okular timbul sebagai gejala awal pada sekitar

25% pasien. Komplikasi gastrointestinal, neurologis, dan vaskular timbul paska-diagnosis.8

Aphthosa oral sebagai gejala awal PB ditemukan pada 96.4% pasien di Iran, 98.2% di

Jepang, 100% di Turki, 97.5% di Korea, 100% di Maraoko, dan 100% di Inggris. Ulkus oral

biasanya terletak pada lidah (79.6%), bibir (79.1%), rongga bukal (73.7%), gingiva (59.5%),

dan kadangkala tonsil (29.5%), palatum (27.5%), faring (25.3%), laring, dan esofagus.

Interval antara rekurensi bervariasi dari beberapa hari hingga beberpaa bulan.14,16

Ulkus oral rekuren pada PB penting untuk diagnosis; namun membedakannya dari

SAR sulit. Roy S. Rogers mengklasifikasikan aphthosa oral menjadi apthosis simpleks dan

kompleks (Tabel 4). Pasien PB biasanya memiliki apthosis kompleks. Aphthosis simpleks

paling umum dengan lesi episodik dan singkat, umumnya terjadi pada individu usia muda

(20%-50%). Aphthosis kompleks jarang, persisten, dan berhubungan dengan penyakit

sistemik kronik.17 Ulkus mayor (diameter >10 mm) berhubungan dengan risiko PB paling

tinggi, sedangkan ulkus minor (diameter <10 mm) memiliki risiko paling rendah.

Dibandingkan dengan pasien SAR, pasien PB mengalami ulkus oral pada ≥2 lokasi. Pasien

SAR dengan aphthosis kompleks memerlukan monitoring menggunakan kriteria klinis PB

karena kemungkinan timbulnya PB. Tingkat mortalitas dan morbiditas pada PB didasari pada

keterlibatan saluran gastrointestinal dan vaskular atau sistem saraf pusat. Kondisi ini dapat

57
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa seperti perforasi usus, oklusi arteri, dan

pecahnya aneurisma.3,4

Tabel 4. Klasifikasi stomatitis aphthosa rekuren (Roy S, Rogers).

Aphthosis Simpleks Aphthosis Kompleks


Umum Jarang
Episodik Episodik atau kontinyu
Lesi berumur singkat Persisten
Lesi sedikit Lesi sedikit hingga banyak
3-6 episode/tahun Ulserasi sering atau terus-menerus
Penyembuhan cepat Penyembuhan lambat
Nyeri minimal Nyeri bermakna
Terbatas pada rongga oral Dapat terdapat lesi genital

Dalam laporan ini, ulkus oral dicirikan dengan gejala yang serupa. Mereka berupa

aphthosa minor, dengan dasar putih kekuningan dan dikelilingi oleh halo eritema dan batas

tegas dan ulkus bundar. Ulkus ini sembuh sendiri dan menyebar ke lokasi lain dari rongga

oral. Tursen menemukan bahwa pemeriksaan histopatologi dari ulkus oral pada PB

menunjukkan temuan patologis nonspesifik, dengan vaskulitis limfositik yang ditemukan

pada ulserasi berat.18 Dalam penelitian ini, diagnosis PB tidak dikonfirmasi dengan

pemeriksaan histopatologis karena proses penyembuhan ulkus. Namun, lesi pasien (lesi oral,

okular, dan kulit) memenuhi pedoman ICBD dengan skor 5.

Hingga saat ini, tidak ada uji laboratorium atau temuan histopatologis diagnostik

untuk PB. Diagnosis definitif bergantung pada gejala klinis yang memerlukan beberapa

tahun. Pasien dengan ulkus oral rekuren mungkin tidak mencapai diagnosis definitif PB;

karena itu, pasien memerlukan pemeriksaan mendalam dan follow-up akurat, khususnya di

negara dengan prevalensi PB yang tinggi.

58
KESIMPULAN

Perang dokter gigi penting dalam penegakan diagnosis PB; mereka dapat menjadi

yang pertama kali mendeteksi kondisi ini. Ulkus oral rekuren merupakan gejala awal umum

dari PB, disertai dengan lesi kulit dan okular. Pendekatan multidisiplin diperlukan untuk

diagnosis dan mengobati penyakit.

59
BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Recurrent aphthous stomatitis (RAS) adalah lesi mukosa rongga mulut yang paling sering
terjadi, ditandai dengan ulser yang timbul berulang di mukosa mulutpasien
dengan tanpa adanya gejala dari penyakit lain. Secara klinis kondisi RASdibagi
menjadi 3 tipe yaitu minor, major dan herpetiform.
2. Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada
SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang
memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari
pasta gigi dan obat kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik,
gangguan immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal,
merokok, infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan.
3. Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser.
Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada
mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang
oval. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi,
dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.
4. Untuk menghindari terjadinya RAS, diantaranya dengan menjaga kebersihan
rongga mulut serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama pada
makananyang mengandung vitamin B12 dan zat besi.

4.2. Saran

Sebaiknya masyarakat selalu menjaga oral hygiene sehingga terhindar dari


macam-macam penyakit rongga mulut termasuk Stomatitis . Dan memeriksakan diri
secara rutin ke dokter gigi terutama bila ditemukan benjolan di sekitar rahang dan
mulut.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SK. Mucosal Disease Series; Number VI


Recurrent Aphthous Stomatitis.
(www.biomedexperts.com/Abstract.bme/16390463/mucosal_disease_series_Num
ber_VI_Recurrent_apthous_stomatitis-) (13 Mei 2013)
2. Nally M. I.M. Recurrent aphthous stomatitis and perceived stress (a preliminary
study). (http://apthous-stressutdy.tripod.com/html) (13 Mei 2013).
3. Nisa, R. Stomatitis aftosa rekuren (SAR) yang dipicu oleh stres pada mahasiswa
kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Departemen ilmu penyakit mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara :Medan . 2011; 1-87
4. Doengoes, Marilynn, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC
5. Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA,
Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC
6. Price & Wilson. 2012. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
7. Baughman,D.C& Hackley,J.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
8. Kumar, dkk. 2009. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC
9. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius
10. Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4. Jakarta: EGC
11. Sloane, Ethel.2004. Anatomi dan Fisiologi untk Pemula. Jakarta:EGC
12. Smeltzer, Suzanne. C, Bare, Brenda. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 1. Jakarta: EGC.
13. Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
14. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
15. Melamed F. Aphthous stomatitis. 17 April 2001.
(http://www.med.ucla.edu/modules/wfsection/article.php?articleid=207)
(13 Mei 2013).

61

Anda mungkin juga menyukai