PENDAHULUAN
Mulut bukan sekedar pintu masuk makanan dan minuman, tetapi fungsi mulut
lebih dari itu dan tidak banyak orang menyadari besarnya peranan mulut bagi
kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Orang tua dan anak-anak akan sadar
pentingnya kesehatan gigi dan mulut ketika terjadi masalah atau ketika terkena
penyakit. Oleh karena itu kesehatan gigi dan mulut sangat berperan dalam menunjang
kesehatan seseorang. Jika rongga mulut kotor, maka sistem pencernaan juga akan
terganggu.
Pada individu tertentu dapat terjadi reaksi alergi terhadap jenis makanan
tertentu sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa mulut, begitu juga
dengan faktor psikis dan hormonal. Ini semua dapat terjadi pada suatu gangguan mulut
yang disebut stomatitis. Stomatitis atau sariawan dapat menyerang segala usia
termasuk pada anak. Kesadaran anak dalam menjaga kesehatan rongga mulutnya tentu
masih sangat rendah, dimana faktor peran orangtua merupakan hal yang dominan.
Peran serta orangtua sangat diperlukan dalam membimbing, memberikan pengertian,
1
mengingatkan, dan menyediakan fasilitas kepada anak agar dapat memelihara
kebersihan gigi dan mulutnya. Selain itu, orangtua mempunyai peran yang cukup besar
dalam mencegah terjadinya berbagai penyakit gigi dan mulut pada anak. Maka perlu
diketahui gejala klinik secara dini dari stomatitis, maupun komplikasi neurologisnya
dengan harapan angka kejadian stomatitis pada anak-anak dapat ditekan dan
mengurangi angka kejadian penyakit tersebut. Dari uraian di atas, penulis menuliskan
makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stmatitis” dengan harapan
dapat memberikan informasi dan pemahaman terhadap tenaga kesehatan serta para
pembaca agar dapat waspada dan lebih mengenali sejak dini tenatang penyakit
stomatitis.
2
1.3. Tujuan
3
BAB 2
PEMBAHASAN
Stomatitis berasal dari bahasa yunani , Stoma yang berarti mulut dan itis yang
berarti radang/inflamasi.
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada
mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser
tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak
berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, dan
palatum lunak dan mukosa orofaring.
SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya
penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan
terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini ringan karena tidak
bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang-orang yang
menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu.
Apalagi jika SAR dialami oleh bayi dan atau anak-anak dengan frekuensi yang tinggi
akan akan membuat bayi dan atau anak tersebut akan mengalami komplikasi yang
berbahaya. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang
berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis dengan
gejala klinis yang sama.
4
2.2. Epidemiologi
Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang di teliti. Angka
prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi penduduk di seluruh dunia. Penelitian
telah menemukan terjadinya SAR pada dewasa sekitar 2% di Swedia (1985), 1,9% di
Spanyol (2002) dan 0,5% di Malaysia (2000). SAR.
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada
SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya
berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari pasta gigi dan obat kumur
sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik, gangguan immunologi, alergi dan
sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok, infeksi bakteri, penyakit
sistemik, dan obat-obatan. Dokter gigi sebaiknya mempertimbangkan bahwa faktorfaktor
tersebut dapat memicu perkembangan ulser SAR.
5
lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang
menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit.
Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang sama juga
melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami
kurang menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang
menggandung SLS.
2. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.
Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi
setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena
tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi,
makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor
yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma
dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.
3. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang
menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah
human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut.
HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel
mononukleus ke epitelium. Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua
menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien
dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat
dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.
4. Gangguan Immunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR,
adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu
penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien
SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi
sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak
diketahui.1,6 Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap
resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan
6
dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva. Sedangkan menurut
Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita
SAR.
5. Stres
6. Defisiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita
defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat,
13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat
dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi,
vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90%
dari pasien tersebut mengalami perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2
dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan
kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6
10% dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama
3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren
berkurang.
Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi
dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR yang
persisten sembuh dan tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti
lain juga mengatakan adanya kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena
pemberian preparat Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun
kadar serum Zink pada pasien SAR pada umumnya normal.
7
7. Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang
mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor
hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron.
Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron
secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran
darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan
keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi
sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan
terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan
dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut.
8. Infeksi Bakteri
Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya
hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan penelitian
lebih lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR. Donatsky
dan Dablesteen mendukung pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan
titer antibodi terhadap Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan
dengan kontrol.
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas)
terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen
ini dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan
antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan
pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi
palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa
bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa
panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi
sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang
kemudian berkembang menjadi SAR.
8
10. Obat-obatan
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi
pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus
dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan
evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan
keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi
neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s.
12. Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang
menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan
keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan
yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti
merokok.
2.4. Patofisiologi
9
berlangsung 5 sampai 14 hari dengan berbagai keparahan.
Pemakaian deterjen (sodium laurit sulfat) yang berlebihan dalam pasta gigi juga
dapat sebagai peneyebab dari rusaknya ludah. Bila dalam pemakaian yang berlebihan
atau melebihi toleransi dapat dengan mudah merusak ludah dan menghancurkan
sistem pertahanan alami. Tidak hanya itu, pemakaian antiseptik pada obat kumur atau
pasta gigi juga dapat merusakkan LP system, sebab antiseptik ini bersifat bakteriosid
sehingga dapat membunuh semua bakteri yang berada di dalam rongga mulut, yang
dapat mengakibatkan lingkungan mukosa mulut menjadi rusak.
Rangsangan perusak yang masuk sesuai dengan potensinya akan ditanggapi oleh
tubuh baik secara lokal atau sistemik. Tanggapan ini dapat berlangsung wajar, artinya
tanggapan-tanggapan tersebut secara normal dapat dieleminasi melalui aksi
fagositosis. Sebenarnya reaksi tubuh terhadap rangsangan yang merusak itu bertujuan
untuk mengurangi atau meniadakan peradangan tersebut. Tetapi kadang-kadang reaksi
jaringan amat berlebih, melebihi porsi stimulusnya sendiri sehingga reaksi pertahanan
yang tadinya dimaksudkan untuk melindungi struktur dan fungsi jaringan justeru
berakhir dengan kerusakan jaringan sendiri.
Dalam keadaan yang tidak wajar, (Trauma, Stres dll ) terjadi ketidak seimbangan
immunologik yang melahirkan fenomena alergi dan defisiensi immunologi dengan
10
efek kerusakan-kerusakan yang menyangkut komponen vaskuler, seluler dan matriks
daripada jaringan. Dalam hal ini sistem imun yang telah dibangkitkan untuk melawan
benda asing oleh porsi reaksi yang tidak seimbang akhirnya ikut merusak jaringan-
jaringan sendiri disekitarnya. Misalnya pelepasan mediator aktif dari aksi-aksi
komplemen, makrofag, sel plasma, sel limposit dan leukosit, histamin, serta
prostaglandin.
Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada metode diagnosa
laboratoriam spesifik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa SAR. SAR
diawali gejala prodormal yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar selama 24-
48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas, dangkal, bulat atau
oval, tertutup selaput pseudomembran kuning keabu- abuan, dan dikelilingi pinggiran
yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan.3
Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:
1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada
waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat dimana
lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan menginfeksi
epitelium, dan edema akan mulai berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada
tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus. Intensitas rasa
nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini
papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan
fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi
oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak meninggalkan jaringan
parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru
berkembang.
11
Menurut Williams dan Wilkins pada tahun 2008 membagi stomatitis berdasarkan
tanda dan gejalanya, yaitu:
4) Limfadenitis submaksilari
b. Stomatitis aftosis
2.7. Klasifikasi
Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis aftosa rekuren
tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa rekuren tipe
herpetiformis.
1. SAR Tipe Minor
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai dengan
85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat dan
oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang
eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai daerah-daerah non-
keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut.
Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan
12
akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.
Setiap ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan tidak akan
meninggalkan jaringan parut ketika sembuh.
13
Gambar 3. Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis
Dilakukan pengolesan lesi dengan Toluidin biru 1% topical dengan swab atau kumur
sedangkan diagnosis pasti dengan menggunakan biopsy.
Pemeriksaan laboratorium
a. WBC menurun pada stomatitis sekunder
b. Pemeriksaan kultur virus : cairan vesikel dan herpes simplek stomatitis
c. Pemeriksaan kultur baktteri : eksudat untuk membentuk vincent’s stomatit.
2.9. Diagnosis
Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser. Biasanya
pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada mulutnya, lokasi ulser
berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan sejak dari umur berapa
terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan faktor
predisposisi juga harus dicatat. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada
bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya
sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan
kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.
Lesi SAR bisa sangat mirip dengan manifestasi penyakit lain dan sulit dibedakan
dengan beberapa penyakit tertentu. Untuk membedakannya, ada beberapa hal yang
perlu diketahui diantaranya:
- Jumlah, bentuk, dan ukuran lesi, serta seberapa sering lesi hilang timbul
(rekuren)
- Usia penderita saat pertama kali timbul sariawan
- Perubahan mukosa atau jaringan kutan
- Ada/tidaknya keterlibatan sistem organ atau adanya gejala lain
14
- Obat-obatan yang sedang dikonsumsi
- Faktor-faktor pada host/penderita, misalnya:
- Genetik
- Defisiensi nutrisi
- Masalah pada sistem imun
- Stress, masalah psikologis atau fisik
- Apakah pasien menderita HIV/AIDS
Penyakit AIDS biasanya bermanifestasi secara klinis di rongga mulut. Biasanya timbul
ulserasi bisaberupa SAR dalam jenis minor, mayor atau herpetiform. Selain itu juga
dapat terjadi candidiasis yaituinfeksi jamur Candida.
2.11. Penatalaksanaan
15
diberikan obat kumur yang mengandung benzokain dan lidokain yang kental untuk
menghilangkan rasa sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit. Bagi
menghilangkan rasa sakit yang berlangsung sehingga enam jam, dapat diberikan
zilactin secara topikal. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran
impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut. Dapat juga
diberikan ziladent yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesia. Selain
itu, dapat juga menggunakan larutan betadyne secara topikal dengan efek yang sama.
Dyclone digunakan sebagai obat kumur tetapi hanya sebelum makan dan sebelum
tidur. Aphthasol merupakan pasta oral amlexanox yang mirip dengan zilactin yang
digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk lapisan pelindung pada
ulser.
Bagi mempercepat penyembuhan ulser, glukokortikoid, baik secara oral atau
topikal adalah andalan terapi. Topikal betametason yang mengandung sirup dan
fluocinonide ointment dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan. Pemberian
prednison secara oral ( sampai 15 mg / hari) pada ksaus SAR yang lebih parah. Hasil
terapeutik dalam dilihat dalam satu minggu.
Thalidomide adalah obat hipnotis yang mengandung imunosupresif dan
antiinflamasi. Obat ini telah digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren
mayor, sindrom Behcet, serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis
telah membatasi penggunaannya.
Klorheksidin adalah obat kumur antibakteri yang mempercepatkan
penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin
diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250mg dalam 10 cc sirup
direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu.
Levamisol telah dianjurkan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR, namun oleh
karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini kurang diindikasikan.
Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan hanya dapat merusak
jaringan normal disekeliling ulser dan bila pemakaiannya berlebihan maka akan
mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.
* Komplikasi
16
Dampak gangguan pada kebutuhan dasar manusia:
a. Pola nutrisi : nafsu makan menjadi berkurang, pola makan menjadi tidak
teratur
Karena sel lapisan epitel gastrointestinal mempunyai waktu pergantian yang mirip
dengan leukosit, periode kerusakan terparah pada mukosa oral frekuensinya
berhubungan dengan titik terendah dari sel darah putih. Mekanisme dari toksisitas
oral bertepatan dengan pulihnya granulosit. Bibir, lidah, dasar mulut, mukosa
bukal, dan palatum lunak lebih sering dan rentan terkena komplikasi dibanding
palatum keras dan gingiva; hal ini tergantung pada cepat atau tidaknya pergantian
sel epithelial. Mukosa mulut akan menjadi tereksaserbasi ketika agen
kemoterapeutik yang menghasilkan toksisitas mukosa diberikan dalam dosis tinggi
atau berkombinasi dengan ionisasi penyinaran radiasi.
Penyinaran lokal pada kepala dan leher tidak hanya menyebabkan perubahan
histologis dan fisiologis pada mukosa oral yang disebabkan oleh terapi sitotoksik,
tapi juga menghasilkan gangguan struktural dan fungsional pada jaringan
pendukung, termasuk glandula saliva dan tulang. Dosis tinggi radiasi pada tulang
yang berhubungan dengan gigi menyebabkan hypoxia, berkurangnya supplai darah
ke tulang, hancurnya tulang bersamaan dengan terbukanya tulang, infeksi, dan
nekrosis. Radiasi pada daerah kepala dan leher serta agen antineoplastik merusak
divisi sel, mengganggu mekanisme normal pergantian mukosa oral.
Kerusakan akibat radiasi berbeda dari kerusakan akibat kemoterapi, pada volume
17
jaringan yang terus teradiasi terus-menerus akan berbahaya bagi pasien sepanjang
hidupnya. Jaringan ini sangat mudah rusak oleh obat-obatan toksik atau penyinaran
radiasi lanjutan, Mekanisme perbaikan fisiologis normal dapat mengurangi efek ini
sebagai hasil dari depopulasi permanen seluler.
* Prognosis
Ulkus sembuh dalam waktu 1-2 minggu tetapi dapat kambuh setiap bulan sekali atau
beberapa bulan sekali atau beberapa kali dalam setahun
BAB 3
18
LAPORAN KASUS
Received Apr 22, 2013; received in revised form Jul 9, 2013; accepted Aug 1,
2013 Available online 2 December 2013
vesikel atau bulla flaksid di mukosa oral, trunkus, lipat paha, dan ekstremitas. Onset usia
biasanya antara 40-60 tahun dan kasus PV jarang terjadi pada anak atau remaja. Di sini kami
menyajikan seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang mengalami nyeri pada ulkus oral
sejak 3 bulan yang lalu dan bulla yang menyebar ke seluruh tubuh beberapa hari setelahnya.
Pemphigus paraneoplastik merupakan diagnosis banding karena gambaran lesi kulit yang
pemeriksaan immunofluoresens dari spesimen biopsi kulit. Pasien menunjukkan respons baik
19
1. Pendahuluan
Pemphigus vulgrais (PV) adalah suatu penyakit lepuh autoimun dari kulit dan
hilangnya adhesi antar sel dalam epidermis. Usia onset biasanya antara 40-60 tahun. Penyakit
ini jarang terjadi pada anak dan remaja.1-4 PV diobati dengan kortikosteroid sistemik dosis
tinggi untuk mengontrol nyeri dan penyebaran lesi selama fase akut. Setelah fase akut
sparing) dan untuk menurunkan produksi autoantibodi patogen. Di sini kami melaporkan
kasus seorang remaja berusia 17 tahun yang mengalami ulkus oral kronik dan didiagnosis
2. Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki Taiwan berusia 17 tahun datang dengan riwayat nyeri pada
ulkus oral sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya, ia didiagnosis dengan hand-foot-mouth disease.
Ia mendapat terapi suportif seperti analgesik dan semprot anestesi lokal namun efeknya
terbatas dan ulkus oral masih ada. Ia menyangkal penggunaan obat-obatan lain dan riwayat
Ia datang rutin ke poliklinik departermen THT. Ulkus oral persisten dengan kesan
selama 1 bulan. Namun, efeknya terbatas. Selain itu timbul vesikel multipel dari bibir, leher,
tangan, trunkus, ekstremitas, dan lipat paha hingga bokong. Karena itu, ia dirujuk ke klinik
kami.
Ia mengalami batuk selama 6-8 minggu, rasa lelah, dan penurunan berat badan (4 kg)
akibat diakibatkan ulkus oral yang nyeri. Ia terlihat berat kurang (underweight) (indeks
massa tubuh: 16 kg/m2) dan tampak pucat. Pemeriksaan wajah menunjukkan ulkus oral
multipel dengan krusta dan jaringan nekrotik terdistribusi dari bagian luar bibir hingga
20
palatum molle dan durum (Gambar 1).
Selain itu, terdapat vesikel bundar dan bulla dengan isi serosa, sedikit meninggi, yang
tersebar di sepanjang trunkus dan keempat tungkai (Gambar 2). Diagnosis banding awal
meliputi infeksi herpes virus, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), penyakit Behcet,
dan defisiensi imun (Tabel 1). Dilakukan uji Tzanck smear yang menunjukkan sel datia
21
Gambar 2. Vesikel dan bulla menyebar ke trunkus.
22
nodosum)
Tidak ada uji labor patognomonik
Penyakit Reiter Artritis, enthesitis, dysuria, uretritis NSAID, Dispepsia,
HLA-B27, faktor rheumatoid glukokortikoid toksisitas ginjal
Penyakit kulit
Pemphigus Blister flaksid, keterlibatan ukosa Prednisolone, Sindrom Cushing,
Patologi, IFD imunosupresan, osteoporosis,
metotreksat infeksi
oportunistik
Pemphigoid Bula tegang, pruritus Prednisolone, Sindrom Cushing,
Patologi, IFD imunosupresan osteoporosis,
infeksi
oportunistik
Eritema multiforme Lesi target, keterlibatan membran Terapi simtomatis -
mukosa (ulkus oral, eritema)
Tidak ada uji labor spesifik
Liken planus Pruritus, ungu, polygonal, planar, papul, Steroid topikal, -
plak antihistamin, retinoid
Diagnosis klinis, patologi topikal
Stomatitis aphtosa Ulkus oral nyeri, dangkal, bundar-ovoid, Kortikosteroid, -
soliter atau multipel klorherksidin
Darah lengkap, panel kimia, panel nutrisi glukonat
predominan limfosit (50.4%), peningkatan laju endap darah (18 mm/jam), peningkatan
protein C-reaktif (1.08 mg/dL), penurunan kadaar imunoglobulin G (IgG) (621 mg/dL), dan
titer negatif untuk skrining HIV, antibodi antinuklear, kultur darah, IgM virus herpes
simplek-1 (HSV-1), IgM HSV-2, dan IgMVZV, namun titer positif untuk IgG virus varisela-
Ia mendapat acyclovir (1500 mg/m2/hari) karena kesal awal (infeksi cacar air).
Oxacillin (93 mg/kg/hari) juga diinfus untuk mencakup infeksi bakteri sekunder. Ig intravena
(IVIG; 976 mg/kg/hari) diinjeksi selama 2 hari karena kadar IgG rendah, yang kami anggap
terkait dengan status nutrisi yang buruk selama 3 bulan terakhir. Namun, hasilnya tidak
memuaskan.
Uveitis diperiksa oleh seorang ahli oftalmologi untuk penyakit Behcet namun
temuannya negatif. Namun, timbul bulla yang lebih flaksid di sisi medial bilateral dari paha
23
selama rawat inap. Karena itu, dilakukan biopsi kulit. Temuan histopatologis meliputi
interseluler dan C3 sebagian besar di lapisan suprabasal dari epidermis (Gambar 3). Karena
itu, didiagnosis kelompok pemphigus. Karena usia muda dan bula tegang pada leher dan
(PPN). Hasil menunjukkan tidak ada pembesaran limfonodus di mediastinum, paraaorta, atau
Setelah terapi steroid, kondisi pasien meningkat drastis. Ulkus oral dan vesikel
University Hospital (NTUH) untuk terapi lanjutan. Bahkan dengan prednisolone dosis tinggi,
beberapa vesikel masih ditemukan. Karena itu, setelah mendapat persetujuan, kami
meresepkan rituximab intravena (500 mg) per minggu sebanyak 4 dosis sebelum pemberian
24
3. Diskusi
Pemphigus adalah suatu kelompok penyakit kulit lepuh autoimun yang dicirikan
dengan terbentuknya blister yang terjadi dalam epidermis akibat akantolisis, yaitu hilangnya
kohersi antar sel epidermis. PV seringkali dimulai di orofaring lalu menyebar ke area yang
melibatkan trunkus, kepala, dan daerah intertriginosa. Pemphigus jarang ditemukan pada
Stomatitis adalah gejala yang ditemukan pada lebih dari 50% kasus. Epistaksis dan
suara serak juga ditemukan akibat keterlibatan hidung, faring, dan laring. 5 Sebagian besar
pasien datang dengan erosi oral yang nyeri, dan pada beberapa pasien, gejala ini merupakan
satu-satunya manifestasi klinis.6 Beberapa bulan kemudian timbul lesi kulit. Gejala ini
memenuhi pola kasus ini. Diagnosis PV seringkali terlambat bila hanya terdapat manifestasi
oral dan indeks kecurigaan akan jauh lebih rendah pada pasien usia muda karena insiden PV
Lesi kulit pada pasien ini berbeda dari bulla flaksid tipikal yang timbul pada PV.
Vesikel dan bulla relatif tegang. Karena itu, PPN dicurigai akibat menyerupai PV.8 Pada
PPN, blister tegang dengan eritema di sekitarnya lebih sering terlihat pada ekstremitas
daripada area lain.9 PPN telah dikaitkan dengan limfoma non-Hodgkin, thymoma, penyakit
Castleman, dan limfoma limfositik kronik. Pasien ini tidak menunjukkan dermatitis interface
vakuolar pada pemeriksaan histopatologi dan tidak menunjukkan deposit IgG dan
komplemen di sepanjang zona membran basal (ZMB) pada temuan IFD. Karena itu,
Kortikosteroid sistemik, baik tunggal ataupun kombinasi dengan AIS, adalah terapi
utama untuk PV pada anak. Obat-obatan ini menurunkan sintesis antibodi. Prednisolone
adalah agen lini pertama dengan dosis 1-2 mg/kg/hari. Pada kasus kami, metilprednisolone
(1.2 mg/kg/hari) digunakan dan efeknya baik. Ulkus dan bulla mulai sembuh. IVIG (1
25
g/kg/hari x 2 hari) diberikan sebelum pemberian steroid. Namun, lesi kulit tidak mengalami
regresi dan terbentuk bulla baru. Dosis IVIG yang digunakan untuk PV sebesar 2 g/kg/siklus
pada penelitian sebelumnya.10 Frekuensi infus per bulan hingga tercapai respons klinis yang
memuaskan. Jumlah siklus total bervariasi dari 19-61 bulan (rerata: 28.5 bulan). 10 Indikasi
untuk IVIG adalah tidak adanya respons terhadap prednisolone atau adanya efek samping.
Kami mencurigai bahwa satu siklus IVIG tidak cukup untuk mencapai perbaikan klinis.
Sebaliknya, biaya IVIG yang mahal dan potensi serangan kardiovaskular akibat sindrom
dipicu autoantibodi, terapi yang mendeplesi klon sel B autoreaktif telah diselidiki untuk
pengobatan pemphigus. Rituximab, suatu antibodi monoklonal terhadap antigen CD20 pada
Kami melaporkan suatu kasus juvenile PV yang datang dengan ulkus oral berat dan
vesikle generalisata. Diagnosis terlambat akibat jarangnya penyakit ini pada anak.
Pembelajaran dari kasus ini adalah penyakit bulla autoimun harus dimasukkan dalam
diagnosis banding saat anak menderita lesi oral berat atau refrakter. PPN harus disingkirkan
bila terdapat vesikel atipikal dan kemungkinan keganasan. Steroid adalah obat lini pertama
26
3.2. CASE REPORT 2
Medicine and Pharmacy Iasi 2 Oral Medicine Discipline, Faculty of Dental Medicine, “Carol
Davila” University of Medicine and Pharmacy Bucuresti 3 Oral Surgery Discipline, Faculty
Abstrak
Stomatitis migratoris adalah kondisi rekuren langka dengan etiologi yang tidak diketahui
yang melibatkan mukosa lingual, dengan gambaran umum geographic tongue. Faktor-faktor
seperti keturunan, defisiensi nutrisi, atau stress dapat menjadi faktor yang berkontribusi
terhadap gambaran lesi. Secara klinis, lesi tampak sebagai lesi sirkular, ultipel, eritema,
dengan bintik merah dikelilingi oleh aspek putih, sempit, hiperkeratotik dengan gambaran
ireguler, sedikit meninggi pada 24 jam. Kondisi ini dapat memiliki tanda klinis khusus bila
lesi terletak pada lidah, dan dapat melibatkan area mukosa oral lain, seperti labial atau lantai
mukosa mulut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan kasus klinis pasien dengan
27
Pendahuluan
Stomatitis migratoris adalah modifikasi jaringan dari mukosa oral yang biasanya
dimulai pada masa kanak-kanak, dengan transmisi autosomal dominam dan evoluasi jinak
[1,2]. Kondisi ini bermanifestasi klinis hilang-timbul. Reaktivasi diakibatkan oleh stress,
kondisi emosional, infeksi sekitar (dento-gingiva, faring), atau terkait dengan penyakit
Pada sebagian besar kasus, lesi dimulai pada permukaan dorsal lidah dan timbul lesi
lain di area topografis lain dari mukosa oral. Hume membagi stomatitis migratoris menjadi:
Tipe 1: lesi pada aspek dorsal, tepi, dan ujung lidah, dengan potensi perluasan ke aspek
lingual ventral; lesi dapat bermigrasi dan melalui fase aktif dan remisis (geographic tongue –
tanpa manifestasi di area mukosa oral lain); Tipe 2: geographic tongue, disertai dengan lesi
yang terletak di area mukosa oral lain; Tipe 3: lesi melibatkan mukosa lingual, dengan
gambaran atipikal disertai dengan depapilasi mukosa oral pada berbagai lokasi; Tipe 4: lesi
sirsinata dengan gambaran tipikal dan lokasi atipikal (melibatkan berbagai area mukosa oral,
namun jarang pada permukaan lidah), tanda klinis bervariasi dan sulit untuk membedakan
lesi [5]. Penelitian ini menyajikan sebuah kasus stomatitis migratoris dimana akibat distribusi
atipikal dari lesi, kondisi ini dapat menyerupai kondisi patologis lain.
Kasus Klinis
Pasien MZ, pria, berusia 37 tahun, datang ke Maxillofacial Surgery Outpatient Clinic
of “Sf Spiridon” County Emergency Hospital di Iasi, dengan keluhan lelah dan rasa tidak
nyaman pada aspek dorsal lidah dan mukosa palatum, dengan gangguan fungsional mastikasi
dan menelan. Dari anamnesis dan sudut pandang gejala, pasien melaporkan bahwa ia
28
gambaran bintik merah dikelilingi dengan tepi hiperkeratotik putih dangkal, dengan
gambaran ireguler, sedikit meninggi. Lesi terletak pada mukosa aspek dorsal lidah, palatum
durum dan molle. Pada mukosa lidah, lesi memiliki gambaran tipikal untuk glossitis
migratoris (geographic tongue, glossitis eksfoliatif marginal atau annulus migrans) yang
tampak sebagai pola sirsinata kompleks dengan modifikasi gambaran dalam 24 jam [Gambar
1, 2]
Mukosa palatum menunjukkan pola lesi yang sama namun kurang sedikit berbetuk
29
Gambar 3. Stomatitis migratoris. 3 hari dari onset.
Seringkali, pada kasus lokalisasi lesi aspek dorsal seperti geographic tongue,
kepastian diagnosis didasari pada anamnesis dan pemeriksaan klinis. Karena langkanya lesi
pada area mukosa oral (mukosa palatum), kami mempertimbangkan perlu untuk
Karena itu, kami dapat menegakkan diagnosis banding dari lesi dengan menggunakan
Diagnosis banding meliputi: psoriasis, liken planus oral, kandidiasis oral akut,
erithroplakia, lupus eritematosus diskoid atau sistemik, lesi ulseratif reaktif, dan alergi obat.
dorsal lidah. Hasil histopatologi dari jaringan epitel menunjukkan: parakeratosis dan tidak
ada lapisan granulosa, akantosis dari lapisan spinosa khususnya pada lsapiran atas suprabasal
30
dan hiperplasia pseudoepiteliomatosa; pada korion superfisial, terdapat infiltrasi inflamasi
kaya limfosit, makrofag, dan neutrofil. Area putihs lesi ditemukan pada permukaan sel epitel
nekrotik dan infiltrasi inflamasi predominan terdiri atas neutrofil pada korion superfisial.
Area eritema dari lesi dicirikan dengan hilangnya papila filiform terkait dengan infiltrat
Karena pasien mengalami sensasi terbakar, nyeri, dan gangguan fungsional, kami
antihistamin, dan suplemen berbasis zinc. Kami juga merekomendasikan menghindari kontak
dengan iritan lokal, serta diet yang menghindari makanan asam dan pedas.
Diskusi
Stomatitis migratoris (SM) pertama kali dijabarkan pada tahun 1955 dengan istilah
eritema migratoris yang terjadi di area mukosa manapun [6]. Kondisi ini juga dikenal sebagai
geographic stomatitis, ectopic geographic tongue, penyakit Cooke atau mukositis migratoris
[2,7,8].
Lokasi utama adalah: mukosa aspek dorsal lidah, mukosa jugular, dan mukosa bagian
dalam dari bibir. Gingiva, mukosa alveolar, dan palatum molle jarang terlibat [9,10,11].
Van der Wal N dkk. menjabarkan adanya lesi pada mukosa palatum sebagai bentuk
pertama kali oleh Reiter pada tahun 1831, geographic tongue (GT) adalah suatu penyakit
inflamasi kronik yang tampak sebagai kondisi patologis tunggal, atau dalam konteksi
stomatitis migratoris.
31
Kondisi ini dimediasi imun dan etiologinya tidak diketahui [4,5,13].
Kondisi ini menyerang antara 0.6%-4.8% dari populasi dunia, dan terjadi lebih sering
pada anak-anak, dan pada dewasa, kondisi ini lebih umum pada wanita [14,15].
Lesi mengalami perubahan lokasi, bentuk, dan ukuran seiring waktu, utamanya
meyerang dua per tiga aspek dorsal distal dan tepi lateral dari lidah, serta area lain dari
mukosa oral pada kasus staomtitis migratoris, dengan pola siklus lesi lingual timbul seperti
Namun, beberapa peneliti yakin bahwa insiden kondisi ini sebenanrnya lebih tinggi,
namun kasusnya tidak selalu terdiagnosis karena evoluasi kondisi bersifat asimtomatis juga
akibat gambaran glossitis migratoris, yang mana mudah untuk didiagnosis [4,16].
dengan gangguan umum, seperti psoriasis oral, sindrom Reiter, kandidiasis akut atrofi, liken
Pada sindrom Reiter, riwayat penyakti dan pemeriksaan klinis dapat beguna
Pada kasus psoriasis, lesi mukosa oral memiliki gambaran serupa, dan Weathers dkk.
pada tahun 1974 menjabarkan tiga jenis kondisi klinis: geographic tongue, geogprahic
stomatitis, dan psoriasis intraoral. Kondisi ini mencirikan stomatitis migratoris melalui tanda
patognomonik berikut: ciri migratoris, tidak nyeri, dan tidak kronik [18].
Dalam hal perkembangan lesi, mereka gambaran dan lokasi lesi cenderung berubah
32
Kondisi ini dicirikan dengan periode eksaserbasi dan remisi. Pada beberapa pasien,
lesi sembuh dalam dua minggu, dan pasien lain, lesi bertahan selama beberapa bulan [19].
Terlepas dari kerangka waktunya, cedera sembuh tanpa meninggalkan parut, dan bila
kambuh, mereka cenderung terletak di lokasi lain yang disebut sebagai migratoris [14].
Weathers dkk. membagi lesi geografi menjadi dua subkelompok: eritema sirsinata
Brooks dan Balciunas menunjukkan bahwa 34% dari pasien memiliki riwayat lesi
migratoris [5].
Karena perubahan jaringan tergantung pada stadium klinis lesi, dan pada area dimana
biopsi diambil, fragmen dari jaringan yang diambil harus mencakup ketiga karakteristik area:
tidak memerlukan terapi. Bila pasien mengalami sensasi terbakar dan nyeri, atau gangguan
antihistamin dan suplemen berbasis zinc. Pasien harus menghindari kontak dengan iritan
lokal, dan mengadopsi diet yang menghindari makanan asam dan pedas [13]. Pada bentuk
yang lebih berat, kami merekomendasikan agen topikal seperti traimcinolone, takrolimus,
Kesimpulan
Stomatitis migratoris adalah kondisi jinak dengan etiologi yang tidak diketahui.
33
Diagnosis yang teapt dari kondisi ini penting untuk tatalaksana terapi yang tepat dan
Adanya modifikasi tersebut pada mukosa oral berperan sebagai barometer imunitas
pasien, dan juga sebagai gejala dala konteks patologi umum lain.
34
Large oral ulcer of tongue related to dental trauma Gian Paolo Bombeccari1, Gianpaolo
Guzzi2, Francesco Pallotti3, Massimo Porrini1, Aldo Bruno Giannì1, Francesco Spadari1
RANGKUMAN
Seorang pria Filipina berusia 36 tahun menderita nyeri terbakar padaa lidahnya dengan
eritema lingual dan perdarahan oral sejak beberapa bulan yang lalu. Di sini kami menyajikan
suatu kasus klasik ulkus oral kronik terkait dengan trauma mekanik gigi. Dalam kasus ini,
maloklusi crossbite unilateral menyebabkan lesi mukosa oral yang dapat menyebabkan ulkus
lidah besar kronik dan displasia epitel ringan. Dibuat sebuah tongue retaining-device khusus.
Dengan tidak adanya trauma gigi, ulkus lidah kroniknya sembuh dalam beberapa minggu.
Kasus ini menunjukkan bukti mengenai hubungan langsung antara trauma oral kronik dan
Kata Kunci: ulkus traumatik kronik, displasia oral, ulkus lidah, trauma gigi, maloklusi
PENDAHULUAN
Cedera mekanik berperan penting sebagai etiologi ulkus traumatik kronik (chronic
traumatic ulcer/CTU). Tepi dan permukaan lidah dan aksis oklusal dari mukosa pipi biasanya
merupakan lokasi yang paling sering terlibat (1,2). Iregularitas prostesis, kawat besi, dan gigi
retak adalah penyebab paling umum dari CTU, hiperplasia, dan fibrosis akibat dampaknya
berulan dan karsinoma mulut (1-9). Dua peneliti menunjukkan bahwa CTU berperan sebagai
Sayangnya, saat ini belum ada laporan yang menunjukkan bukti histopatologis dari
35
Dalam laporan ini, kami melaporkan tatalaksana displasia epitel ringan dari
lidahakibat trauma gigi kronik yang berasal dari trauma oklusal akibat crossbite maksila
unilateral.
LAPORAN KASUS
Pada Mei 2012, seorang pria Filipina berusia 36 tahun datang ke departemen patologi
oral kami dengan keluhan glossodynia, lidah merah, dan perdahan oral. Ia melaporkan
adanya lesi lidah yang timbul sejak 6 bulan sebelumnya setelah lidahnya tergigit.
Lesi di lidahnya membesar, dengan nyeri yang semakin hebat. Ia tidak memiliki
riwayat merokok atau konsumsi alkohol. Riwayat medis sebelumnya tidak signifikan. Pada
intraoral menunjukkan ulkus dalam pada tepi kiri sepertiga tengah lidah. Pada palpasi, teraba
lesi terapa keras-elastis, dengan tepi meninggi, berukuran 0.8x0.5 cm (Gambar 1). Pasien
memiliki crossbite posterior ipsilateral (skeletal) melibatkan gigi premolar maksila pertama
dan kedua dan molar pertama (2.4, 2.5, 2.6) yang berhubungan dengan hipoplasia maksila da
berpendapat bahwa ulkus lidahnya diakibatkan cedera trauma pada lidah akibat trauma gigi.
36
Gambar 2. Crossbite unilateral terkait dengan hipomaksila.
Untuk mengurangi kejadian lidah tergiti, khususnya selama tidur, kami melakukan
reduksi koronal (plastik koronal) pada gigi premolar maksila pertama dan kedua (2.4, 2.5,
2.6).
Pada 15 hari setelah eksisi bedah, hanya diamati reduksi parsial dari lesi ulkus pada
lidahnya, yang masih tampak terinfiltrasi saat palpasi. Pemeriksaan intraoral menunjukkan
gambaran mukosa lidah abnormal dengan ulserasi luas dengan tepi ireguler, dilapisi dengan
fibrin (kedalaman sekitar 8 mm), dikelilingi oleh area atrofi eritem. Area keputihan diamati
pada tepi ulkus lidah. Terdapat pengerasan tepi, yang mengindikasikan infiltrasi dini, dengan
kesan ulkus traumati kronik dan dibuktikan dengan biopsi insisi menggunakan punch scalpel
berdiameter 4 mm. Evaluasi histopatologis dari ulkus lidah menunjukkan akantosis dan
displasia epitel ringan (Gambar 3). Lesi diperkirakan tidak bisa sembuh total, karena terdapat
makroglossia dan trauma gigi. Selain itu, kami mengamati area lidah lain yang mengalami
trauma akibat trauma oklusal. Eksisi bedah dari lesi tidak menjami hasil jangka panjang yang
37
Gambar 3. Mukosa lidah, dengan akantosis dan displasia ringan (10x).
Karena itu, semua kemungkinan terapi rehabilitasi dijelaskan kepada pasien, namun ia
menolak. Sebagai pilihan darurat sementara, alat resin akrilik removable dengan flange
lateral (tongue retaining-device, TD) dibuat untuk melindungi mukosa lidah terhadap trauma
Gambar 5. Alat dipasang dalam mulut; perhatikan bahwa flange lingual melindungi lidah
38
pasien.
Desain tongue retaining-device tidak terfiksasi pada gigi dan pasien dapat melepasnya
dengan mudah. Tongue retaining-device memiliki manfaat pasif dan dibuat sebagai space
maintainer dengan bentuk menyerupai gigi pada area edentulous. Basis dari removable
tongue retaining-device tidak berkontak langsung dengan mukosa alveolus dan stabilitasnya
dilindungi oleh stabilitasi ortho metal hook serta basis akrilik pada permukaan lingual darai
gigi.
TDR dibuat dengan resin denture heat-polymerized (yaitu resin akrilik heat
polymerized konvensional). Pasien menggunakan TDR sepanjang hari kecuali saat makan.
Pada pemeriksaan follow-up (setelah 15-60 hari), observasi klinis setelah penggunaan TDR
menunjukkan remisi gradual dari lesi lidahnya, hingga akhirnya mencapai penyembuhan total
(Gambar 6). Pada 6 bulan follow-up, sampel jaringan lidah berdiameter 3 mm diambil dari
area lesi untuk mengonfirmasi regresi patologi (Gambar 7). Pada 30 bulan follow-up, tidak
39
Gambar 7. Mukosa lidah tanpa tanda inflamasi dan displasia (4x)
DISKUSI
Diagnosis banding klinis dari ulkus traumatik kronik dari lidah mengarah pada ulkus
kronik soliter lain dari mulut, seperti ulkus bakteri (sifilis sekunder, tuberkulosis), ulkus
mikosis (mikosis dalam), ulkus autoimun (stomatitis aphtosa tipe mayor), dan cedera lidah
terkait dengan erupsi insisor bawah primer (Penyakit Riga-Fede). Kondisi patologis lain yang
harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding ulkus oral adalah granuloma ulseratif
traumatik dengan eosinofilia stroma dimana lidah merupakan lokasi yang paling sering
terlibat. Kondisi ini dicirikan dengan adanya tepi indurasi ringan, laju pertumbuhan yang
cepat, menyerupai ulserasi traumatik dan/atau infeksi mikosis dalam atau karsinoma sel
skuamosa. Secara mikroskopis, kondisi ini dapat dibedakan dari CTU berdasarkan epitel
intak terdiferensiasi baik, infiltrat inflamasi yang banyak, dan eosinofilia. (12)
dan kanker, dan sebagian besar tidak melibatkan faktor traumatik lain seperti kelainan gigi
atau kebiasaan parafungsional. (4) Ulkus traumatik kronik (chronic traumatic ulcer/CTU)
dapat tidak nyeri dengan dasar mengeras dan tepi meninggi. Akibatnya, CTU mungkin tidak
dapat dibedakan dari karsinoma sel skuamosa berdasarkan ciri klinisnya saja. Ulkus oral
40
mempertimbangkan bukti terkini. (13) Dihipotesiskan bahwa iritasi kronik akibat trauma gigi
menyebabkan paparan karsinogen, sehingga dapat bekerja sebagai kofaktor pada kelompok
berisiko tinggi. (13) Velly dkk. menyatakan bahwa iritasi fisik kronik dari epitel lidah akibat
masalah dentisi dapat memicu displasia dan karsinogenesis terlepas dari faktor lain. (1)
Serupa, Rosenquist dkk. melaporkan temuan serupa dalam sebuah penelitian kasus-kontrol
pada penduduk Swedia. (8) Penelitian eksperimental pada model hewan menunjukkan bahwa
trauma oral kronik dapat memicu lesi ulseratif dari rongga mulut dengan cara yang sama
seperti ulkus traumatik kronik pada manusia. (10,11). Penelitian-penelitian ini menunjukkan
bahwa CTU berperan dalam stadium promosi karsinogenesis oral, dimulai oleh karsinogen
lain seperti merokok serta alkohol pada manusia. Namun faktor perancu seperti tembakau dan
alkohol tidak ditemukan pada kasus ini. Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan
inflamasi pada kanker terkait CTU. Pertama, sel menjalani peningkatan mitosis untuk
memperbaiki cedera jaringan lunak dan hal ini berhubungan dengan peningkatan
kecenderungan cedera DNA oleh agen kimiawi lain untuk menginfiltrasi karsinogenesis oral.
(10,11) Kedua, inflamasi kronik pada lokasi yang terlibat oleh trauma oral kronik dapat
melepaskan mediator kimia dan meningkatkan stress oksidatif. (11,14). Selain itu, di antara
faktor risiko independen lain, status sosioekomi dinaytakan berhubungan terbalik dengan
insiden kanker oral. Faktor ini juga dicerminkan pada subyek dengan maloklusi dan
Dalam studi kasus ini, dengan mempertimbangkan bahwa temuan histopatologis dari
ulkus oral kronik menunjukkan displasia ringan, diperlukan waktu untuk menyembuhkan lesi
lidahnya. Pada satu sisi, pendekatan orthodonti/orthopedi memerlukan waktu yang lama
oral. Di sisi lain, eksisi bedah dari lesi akan lebih cepat namun tidak menjamin penyembuhan
yang stabil karena adanya maloklusi yang tidak terkoreksi. Selain itu, pendekatan bedah
41
merupakan pendekatan yang invasif. Kami memutuskan untuk tidak melakukan pendekatan
Kami membuat suatu TRD berdasarkan konsep pelindung lidah. Pasien mencapai
penyembuhan total dengan perkembangan progresif dan hasil yang stabil. Dalam kasus ini,
menunjukkan bahwa lesi displasia dini dapat reversibel bila sumber iritasi dapat dieliminasi.
(16).
Berdasarkan pengetahuan kami, hanya terdapat satu kasus yang melaporkan hubungan
langsung antara ulkus traumatik kronik dan karsinoma oral terkait dengan karsinogen
kimiawi. (6). Kami tidak dapat menemukan studi kasus terkait hubungan antara trauma gigi
KESIMPULAN
Kasus ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan sebab-akibat antara trauma kronik
dan ulkus oral dengan displasia ringan. Pengalaman kami menekankan pentingnya diagnosis
dan terapi dini untuk mencegah transformasi maligna dari lesi ulkus oral.
42
Allergic Contact Stomatitis from Composite Restoration
1 Lecturer, Department of Preventive Dentistry, College of Dentistry, Jouf University, Sakaka, Kingdom of Saudi Arabia
2 Lecturer, Department of Oral & Maxillofacial Surgery and Diagnostic Sciences, College of Dentistry, Jouf University,
Sakaka, Kingdom of Saudi Arabia
3 Associate Professor & Head of Department, Department of Preventive Dentistry, College of Dentistry, Jouf University,
Sakaka, Kingdom of Saudi Arabia
Abstrak
Mukosa oral manusia rentan terhadap berbagai patogen yang berpotensi menyebabkan alergi
kontak seperti material gigi, makanan, dan produk hygiene oral. Terlepas dari itu, patologi
kontak oral biasanya tidak diamati karena resistensi bawaan dari mukosa oral terhadap iritan.
Kami melaporkan suatu kasus pria berusia 56 tahun dengan stomatitis kontak alergi terhadap
restorasi komposit yang datang dengan eritema, ulserasi, dan vesikulasi mukosa labial bagian
atas. Kasus ini dilaporkan karena merupakan kasus langka dan masih kurangnya informasi
Kata Kunci: Stomatitis kontak alergi; Komposit; Material gigi; Rongga oral.
Dalam naskah ini, dilaporkan sebuah kasus reaksi kontak alergi akibat kontak
langsung dengan restorasi komposit, yang mengalami remisi klinis setelah pelepasan restorasi
resin komposit.
Laporan Kasus
43
Seorang pria berusia 56 tahun dilaporkan ke Departemen Kedokteran Gigi Preventif,
College of Dentistry, Sakaka, Jouf, KSA, dengan keluhan utama lesi yang semakin lama
semakin nyeri pada bibir bagian atas sejak 15 hari. Ia menceritakan mendapatkan terapi gigi
dengan restorasi komposit pada kaninus maksila kanan 15 hari yang lalu di klinik gigi swasta.
Dalam 24 jam setelah terapi gigi, ia melapor ke klinik gigi yang sama dengan keluhan sensasi
terbakar pada bibir bagian atas. Ia diberikan sebuah gel anestesi (benzocaine) dan digunakan
secara lokal pada mukosa labial bagian atas selama 5 hari dan pasien mengatakan gejalanya
sedikit berkurang. Namun setelah 10 hari, ia menyadari terdapat lesi eritema kecil melibatkan
keseluruhan mukosa labial bagian atas dan mulai menggunakan gel anestesi tanpa konsultasi.
Hal ini diikuti dengan ulserasi disertai dengan sensasi terbakar dan nyeri yang membuatnya
datang kembali untuk konsultasi gigi. Tidak ada riwayat alergi, penyakit sistemik, obat-
Pemeriksaan Klinis
menunjukkan basis eritema dengan ulserasi dan vesikulasi dari keseluruhan mukosa labial
bagian atas. Pasien memiliki restorasi komposit anterior pada kaninus maksila kanannya
(Gambar 1). Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan proksimitas restorasi komposit,
dibuat diagnosis stomatitis kontak alergi terhadap restorasi komposit dan direncanakan
44
Gambar 1. Eritema, ulserasi, dan vesikulasi mukosa.
Gambar 2. 5 hari setelah penggantian restorasi komposit, terdapat remisi signifikan dari lesi,
Terapi
Terapi yang diajukan kepada pasien adalah pengangkatan segera dari restorasi
Follow-Up
Setelah 5 hari, pasien melapor ke departemen dan terdapat remisi parsial dari lesi
intraoral. Selain itu, nyeri dan sensasi terbakar hilang total setelah penggantian restorasi
komposit. Pasien dianjurkan untuk menghindari paparan terhadap material gigi berbasis resin.
45
Diskusi
Rongga oral, meliputi bibir, seringkali terpapar terhadap sejumlah senyawa yang
berpotensi mengiritasi dan mengsensitisasi [1]. Reaksi kontak alergi (RKA) adalah suatu
istilah yang menjabarkan reaksi akibat kontak senyawa dengan mukosa oral yang dimediasi
oleh mekanisme imunologis [2]. Faktor etiologi utama yang menyebabkan RKA dalam mulut
adalah material gigi, makanan, dan produk hygiene oral [3]. Manifestasi klinis dari RKA
pada rongga oral luas karena tidak ada gejala klinis patognomonik atau spesifik yang ada.
Lesi biasanya terdiri dari eritema, edema, deskuamasi, vesikulasi, dan ulserasi, lesi mirip
Penggunaan material akrilik, resin, dan polimer dalam kedokteran gigi restorasi
merupakan kemajuan dalam kedokteran gigi yang memberikan estetika dan peningkatan
pelayanan perawatan gigi [5]. Terdapat penelitian yang telah dilakukan mengenai reaksi
biologis terhadap amalgam, namun reaksi terhadap material lain pengganti amalgam belum
diselidiki secara luas. Baik untuk pasien maupun personil, informasi adekuat mengenai
Resin komposit aman untuk digunakan dan biasanya tidak menyebabkan reaksis
apapun [5]. Insiden yang dilaporkan mengenai efek samping pada pasien akibat material
berbasis resin dalam kedokteran gigi cukup langka, terlepas dari penggunaannya yang luas,
namun kadangkala dapat terjadi [7]. Bila terjadi alergi, hal ini dapat diakibatkan alasan
berikut [8].;
1. Paparan terhadap komponen air dan saliva seperti enzim: Pada rongga oral, air
dari saliva menginfiltrasi jaringan tiga dimensi dari polimer melalui elektrolisis dan
rantai. Hal ini menyebabkan difusi dari monomer residual bebas dan additif (seperti
initiator, inhibitor stabiliser, dll. ) dari jaringan polimer ke rongga oral. Secara umum,
46
Triethyleneglycol-dimetacrylate (TEGDMA) ditemukan di komposit terpolimerasi,
formaldehidm telah terdeteksi dalam jumlah yang lebih sedikit. Juga, telah
akibat mikroorganisme dalam rongga oral dapat terjadi namun kurang diselidiki.
3. Stress mekanik akibat menggigit dan mengunyah: Terkait sifat mekanik dari
material, hasil dari biodegradasi adalah penurunan kekerasan permukaan dan aus serta
tambahan. Kebocoran dair material ini dapat terlihat dalam waktu lama setelah
polimerisasi.
4. Berbagai suhu, pH dan kimia dari diet: Faktor ini juga diperkirakan memiliki
dampak pada biodegradasi material gigi. Telah dibuktikan bahwa kebocoran by-
product pada lingkungan asam tinggi (seperti lingkungan kariogenik) lebih tinggi
daripada larutan netral. Karena itu, perbaikan hygiene oral dapat menyebabkan lebih
Walau jumlah senyawa yang dilepaskan mungkin terlalu kecil untuk menyebabkan
reaksis sistemik, reaksi kulit atau mukosa lokal dapat timbul dari kontak langsung dengan
Kasus ini menunjukkan reaksi kontak alergi berat terhadap restorasi komposit,
sehingga memperingatkan para dokter gigi bahwa material restoratif modern juga dapat
menyebabkan alergi.
Alergi kontak oral umumnya menyerang wanita paruh baya, khususnya usia 50-60
47
tahun [10] dengan spektruk klinis yang luas yang bervariasi dari kesulitan subyektif seperti
rasa terbakar, nyeri, dan mukosa kering (sindrom mulut terbakar) hingga perubahan obyektif
dalambentuk stomatitis non-spesifik dan keilitis dengan kemerahan, mukosa edem, erosi, dan
ulkus [11]. Manifestasi yang lebih jelas adalah reaksi likenoid biasanya terlokalisir pada
mukosa bukal, lidah, dan bibir [1]. Reaksi alergi yang terlihat pada rongga oral selain
stomatitis kontak alergi meliputi stomatitis alergi medikamentosa, reaksi obat terfiksir,
stomatitis (keilitis) venenata, stomatitis dan keilitis granulomatosa, geographic tongue, dan
sindrom Reiter [10]. Banyak kasus dilaporkan dalam literatur dengan berbagai gejala
stomatitis kontak terhadpa restorasi komposit berkisar dari fissura, mengelupasnya mukosa
dan binting perdarahan [5], eritema ringan, pembengkakan mukosa bibir dan bukal terkait
dengan keilitis angularis [12], dan stomatitis kronik [13]. Dalam kasus ini, pasien merupakan
pria berusia 56 tahun dengan tanda dan gejala klinis alergi berat terhadap restorasi komposit.
Walau tidak sering, alergi kontal oral dapat diamati dalam praktik sehari-hari, yang
menyebabkan masalah dalam diagnosis. Riwayat medis pasien berguna dalam melakukan
diagnosis yang tepat, karena terdapat riwayat untuk prosedur gigi sebelumnya. Juga, daerah
anatomis spesifik dari mukosa oral dapat membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis
Dalam terapi pasien dengan hipersensitivitas terhadpa material gigi, harus berhati-hati
dalam menurunkan paparan langsung dari monomer yang tidak bereaksi. Harus berhati-hati
selagi menangani material berbasis resin untuk meminimalisir paparan yang tidak diperlukan
dari material yang sangat reaktif, tak terpolimerisasi, dan menurunkan potensi kebocoran
monomer selama hari pertama setelah restorasi. Rubber-dam harus digunakan rutin untuk
mencegah monomer berikatan dan komposit untuk berkontak dengan mukosa oral. Hal lain
yang harus diwaspadai adalah penggunaan suction untuk menurunkan penguapan, light
curing yang teapt, penggantian komposit pada beberapa lapisan tipis, dan polishing komposit
48
untuk mengangkat lapisan oxygen-inhibited di permukaan [10].
Kesimpulan
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan jumlah pasien dengan alergi
akibat berbagai material. Karena itu, dokter gigi harus menyadari kejadian, diagnosis, dan
terapinya. Juga, material gigi harus memenuhi spesifikasi biokompatibilitas yang ketat karena
49
Role of Dentists in the Management of Behcet’s Disease: A Case Report
Nurfianti Ahmad Patoni1, Mohaideen AM. Sitheeque2, Afi Savitri Sarsito3 , Anandina
Irmagita Soegyanto 3, Yuniardini Septorini Wimardhani3 1Oral Medicine Residency
Program, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2Division of Oral
Medicine, Faculty of Dental Sciences, University of Peradeniya, Sri Lanka 3Department of
Oral Medicine, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Corresponding
e-mail to: yuniardini@ui.ac.id
ABSTRAK
Penyakit Behcet (PB) adalah suatu gangguan inflamasi multi-sistem yang terjadi dalam
bentuk vaskulitis dengan etiologi yang tidak diketahui. Kondisi ini paling sering menyerang
mukosa oral dan genital, kulit, mata, sendi, dan pembuluh darah. Diagnosis definitif dari PB
didasari pada gejala mayor seperti ulkus oral dan genital rekuren dan lesi kulit dan okular
rekuren, disertai dengan gejala terkait berbagai sistem. Namun, manifestasi dini dari PB
sangat mirip dengan stomatitis aphtosa rekuren (SAR). Beberapa tahun dari gambaran
peran dokter gigi dalam tatalaksana PB pada pasien dengan riwayat SAR rekuren. Laporan
Kasus: Kami mengevaluasi seorang pria berusia 38 tahun dengan riwayat ulkus oral rekuren
selama 10 tahun, disetai dengan lesi kulit dan okular. Pemeriksaan intraoral menunjukkan
ulkus dengan berbagai ukuran dengan dasar putih-kekuningan dan tepi reguler, dikelilingi
oleh halo eritema. Ulkus terletak pada lidah, lantai mulut, dan mukosa gingiva. Walau
Criteria for Behcet’s disease dengan skor 5. Ulkus oral ditangani dengan klorheksidini cuci
mulut 2 kali/hari dan tindakan suportif. Pendekatan multidisiplin digunakan untuk pasien ini
untuk memberikan terapi komprehensif. Kesimpulan: Dokter gigi dapat menjadi klinisi
pertama yang mendeteksi potensi perkembangan PB pad apasien dengan gejala mirip SAR,
50
Kata Kunci: Penyakit Behcet, ulserasi oral, stomatitis aphtosa rekuren
PENDAHULUAN
Penyakit Behcet (PB) adalah suatu gangguan inflamasi rekuren multi-sistem yang
menyerang hampir semua sistem, sepeti vaskular, saraf pusat, gastrointestinal, pulmonal, dan
urologi dan sendi. Penyakit ini dicirikan oleh empat gejala mayor: ulkus aphtosa oral, ulkus
genital, lesi kulit, dan lesi okular. Selain itu, satu atau lebih gejala minor dapat diamati seperti
artritis, ulserasi gastrointestinal, epididimitis, lesi vaskular, dan gejala yang melibatkan sistem
saraf pusat.3-5
Pada tahun 1937, Hulusi Behcet, seorang dermatologis Turki, adalah yang pertama
menjabarkan trias gejala meliputi ulkus oral rekuren, ulkus genital, dan uveitis, yang
kemudian disebut sebagai sindrom Behcet.3,4 Prevalensi PB terkait dengan rute perdagangan
zama dahulu yang dikenal sebagai “Jalur Sutra.” PB terjadi di seluruh dunia dengan
perbedaan regional. Insiden tertinggi diamati di daerah Mediterranian, Timur Tengah, dan
51
Onset usia berkisar antara 20-40 tahun. PB lebih sering dan berat menyerang pria.
Rasio pria-banding-wanita berbeda antar negar. Wanita lebih sering terserang di Jepang dan
Korea, sedangkan pria lebih sering terserang di daerah Timur Tengah. Manifestasi berat
seperti uveitis dan keterlibatan neurologis dan vaskular umumnya dimaati pada pria. 2,7,8
Penyakit Behcet adalah suatau vaskulitis multisistem rekuren yang dapat menyerang organ
atau sistem apapun, namun awalnya ditemukan sebagai ulserasi orogenital dan uveitis.
Kriteria spesifik telah diajukan untuk diagnosis dan identifikasi dari organ yang terlibat oleh
berbagai peneliti nasional. Penyakit Behcet diajukan sebagai akibat reaksi antigen/antibodi.
Stomatitis aphtosa rekuren (SAR) adalah suatu gangguan yang dicirikan dengan ulkus
rekuren yang terbatas pada mukosa oral pada pasien yang sebelumnya asimtomatis. 9 Karena
ulkus oral rekuren ditemukan pada PB dan SAR, SAR dipertimbangkan selama diagnosis
merupakan salah satu penyakit kronik yang paling sering dari rongga oral, yang menyeran
5%-25% dari populasi. Kondisi ini lebih sering menyerang wanita dan individu dengan
tingkat sosioekonomi yang tinggi.11 Usia onset berkisar antara 10-40 tahun. Diagnosis
definitif PB bergantung pada adanya gejala mayor, kadangkala disertai dengan gejala
minor.4,5,11
Kami melaporkan kasus pasien dengan riwayat SAR 10 tahun yang mengalami lesi
LAPORAN KASUS
Seorang pria berusia 38 tahun dirujuk dari Departemen Penyakit Dalam untuk biopsi
52
oral untuk mengidentifikasi vaskuliti untuk potensi diagnosis PB. Ia menderita SAR 10 tahun
(tanpa demam) dan lalu timbul lesi kulit dan okular. Ulkus ini nyeri dan sembuh sendiri
dalam 3-4 minggu. Interval bebas ulkus bertahan sekitar 2 minggu. Sesuai resep dokter gigi,
pasien mendapat triamcinolon acetonide dan nystatin suspensi oral. Dalam 2 tahun
sebelumnya, pasien mengalami vesikel purulen dan nyeri pada kedua paha. Tidak ada ulkus
Keluhan terkini yaitu mata merah dan visus kabur didiagnosis sebagai uveitis. Sebagai
diagnosis banding, dokter penyakit dalam meminta skrining human immunodeficiency virus
leukosit, basofil, limfosit, dan neutrofil yang rendah dengan laju endap darah yang tinggi.
Skrining HIV, VDRL, dan TPHA non reaktif. Pemeriksaan TORCH menunjukkan IgG anti-
toxoplasma, IgG anti-sitomegalovirs, dan IgG anti-HSV II yang reaktif. Pemeriksaan ANA
positif, dengan pola speckled dan titer 1/100. Pemeriksaan pathergy negatif, dan pemeriksaan
supragingiva, dan ulkus berdiameter 2-5 mm, dikelilingi oleh halo eritema dan dasar putih-
kekuningan, terletak di batas antara gingiva dan lantai mulut pada regio 32 dan di lidah lateral
pada regio 47, 37, dan 34 (Gambar 1). Anamnesis dan pemeriksaan klinis memberikan
diagnosis kerja manifestasi oral dari PB dan gingivitis kronik. Biopsi ulkus pada lidah lateral
kiri dilakukan. Ulkus oral ditangani dengan cuci mulut yang mengandung klorheksidini 0.2%
2 kali/hari.
53
Gambar 1. Ulkus regular pada lateral kiri lidah daerah 34 dan 37 (a), pada lateral kanan lidah
daerah 47(b), pada tepi lingual gingiva dan lantai mulut daerah 32 (c).
Biopsi menunjukkan ulkus kronik, tanpa bukti keganasan dan vaskulits, sehingga
tidak mengkonfirmasi diagnosis PB. Pemeriksaan oral menunjukkan ulkus yang menyembuh,
dengan laserasi traumatik pada palatum kiri pada regio 28 diikuti dengan terapi oral selama
biopsi (Gambar 2). Obat-obatan meliputi prednisolone, azathioprine, omeprazole, asam folat,
dan predniolosone tetes mata (selama 1 minggu). Diagnosis oral didasari pada manifestasi
oral dari PB, ulkus traumatik, dan gingivitis kronik. Ulkus oral ditangani menggunakan
kompres moistened gauze dengan klorheksidin 0.2% 3 kali/hari dan multivitamin suportif
yang mengandung vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin E, asam folat, dan zinc sekali
sehari.
54
Gambar 2. Visit kedua 2 minggu kemudia, penyembuhan ulkus pada lateral kanan lidah (a),
DISKUSI
berkisar dari gejala mukokutan dan okular hingga keterlibatan sistemik dengan komplikasi
serius. Kriteria untuk diagnosis PB dijabarkan oleh International Study Group pada tahun
55
oleh ahli oftalmologi.
Lesi kulit Eritema nodosum yang diamati oleh dokter atau pasien, lesi
pseudofolikulitis atau papulopustular, atau nodul akneiform
yang diamati oleh dokter pada pasien paska remaja yang
tidak mendapat kortikosteroid.
Uji pathergy positif Diinterpretasi oleh dokter pada 24-48 jam.
Namun, penggunaan kriteria ini dalam praktik sehari-hari sangat sulit. Selain itu,
karena organ tidak terlibat, kriteria ini kurang sensitif. Selain itu, beberapa penelitian telah
melaporkan bahwa penggunaan uji pathergy positif telah berkurang sejak pertengahan 1980-
an. International Team for the Revision of the International Criteria for Behcet’s Disease
mukokutan, dan okular, dimana uji pathergy juga dimasukkan, namun bukan dalam kriteria
penilaian primer. Sebuah revisi 2014 juga memasukkan gejala minor (seperti manifestasi
neurologis dan vaskular) sedangkan uji pathergy dan HLA-B51 dianggap sebagai
Tanda/gejala Poin
Lesi okular 2
Aphthosis genital 2
Apthosis oral 2
Lesi kulit 1
Manifestasi neurologis 1
Manifestasi vaskular 1
Uji pathergy positif 1
Kriteria Internasional untuk Penyakit Behcet: skoring ≥4 mengindikasi penyakit
Behcet
kadar sitokin pro-inflamasi IL-8, IL-17, dan TNF-α. Faktor-faktor ini menstimulasi adhesi
molekul pada sel endotel vaskular seperti CD54 (intercellular adhesion molecule-1 [ICAM-
1]), vascular adhesion molecule 1 (VCAM-1), dan E-selectin oleh sel endotel mikrovaskular
56
dermis manusia. Infiltrasi neutrofil pada perivaskular menyebabkan vaskulitis. 9,14 Infeksi
HSV diajukan sebagai potensi faktor etiologi atau pemicu pada PB. Dalam suatu penelitian
oleh Lee dkk., HSV tipe 1 terdeteksi menggunakan PCR dalam saliva, ulkus intestinal, dan
ulkus genital dari pasien PB (tidak ditemukan pada kontrol sehat), dan HSV memicu produksi
Suatu penelitian Jepang pada 412 pasien menunjukkan bahwa aphthae oral adalah
gejala awal yang paling sering, yang timbul dengan rerata 7.2 ± 10.2 tahun sebelum
diagnosis PB. Ulkus genital dan lesi kulit dan okular timbul sebagai gejala awal pada sekitar
Aphthosa oral sebagai gejala awal PB ditemukan pada 96.4% pasien di Iran, 98.2% di
Jepang, 100% di Turki, 97.5% di Korea, 100% di Maraoko, dan 100% di Inggris. Ulkus oral
biasanya terletak pada lidah (79.6%), bibir (79.1%), rongga bukal (73.7%), gingiva (59.5%),
dan kadangkala tonsil (29.5%), palatum (27.5%), faring (25.3%), laring, dan esofagus.
Interval antara rekurensi bervariasi dari beberapa hari hingga beberpaa bulan.14,16
Ulkus oral rekuren pada PB penting untuk diagnosis; namun membedakannya dari
SAR sulit. Roy S. Rogers mengklasifikasikan aphthosa oral menjadi apthosis simpleks dan
kompleks (Tabel 4). Pasien PB biasanya memiliki apthosis kompleks. Aphthosis simpleks
paling umum dengan lesi episodik dan singkat, umumnya terjadi pada individu usia muda
sistemik kronik.17 Ulkus mayor (diameter >10 mm) berhubungan dengan risiko PB paling
tinggi, sedangkan ulkus minor (diameter <10 mm) memiliki risiko paling rendah.
Dibandingkan dengan pasien SAR, pasien PB mengalami ulkus oral pada ≥2 lokasi. Pasien
karena kemungkinan timbulnya PB. Tingkat mortalitas dan morbiditas pada PB didasari pada
keterlibatan saluran gastrointestinal dan vaskular atau sistem saraf pusat. Kondisi ini dapat
57
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa seperti perforasi usus, oklusi arteri, dan
pecahnya aneurisma.3,4
Dalam laporan ini, ulkus oral dicirikan dengan gejala yang serupa. Mereka berupa
aphthosa minor, dengan dasar putih kekuningan dan dikelilingi oleh halo eritema dan batas
tegas dan ulkus bundar. Ulkus ini sembuh sendiri dan menyebar ke lokasi lain dari rongga
oral. Tursen menemukan bahwa pemeriksaan histopatologi dari ulkus oral pada PB
pada ulserasi berat.18 Dalam penelitian ini, diagnosis PB tidak dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologis karena proses penyembuhan ulkus. Namun, lesi pasien (lesi oral,
Hingga saat ini, tidak ada uji laboratorium atau temuan histopatologis diagnostik
untuk PB. Diagnosis definitif bergantung pada gejala klinis yang memerlukan beberapa
tahun. Pasien dengan ulkus oral rekuren mungkin tidak mencapai diagnosis definitif PB;
karena itu, pasien memerlukan pemeriksaan mendalam dan follow-up akurat, khususnya di
58
KESIMPULAN
Perang dokter gigi penting dalam penegakan diagnosis PB; mereka dapat menjadi
yang pertama kali mendeteksi kondisi ini. Ulkus oral rekuren merupakan gejala awal umum
dari PB, disertai dengan lesi kulit dan okular. Pendekatan multidisiplin diperlukan untuk
59
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Recurrent aphthous stomatitis (RAS) adalah lesi mukosa rongga mulut yang paling sering
terjadi, ditandai dengan ulser yang timbul berulang di mukosa mulutpasien
dengan tanpa adanya gejala dari penyakit lain. Secara klinis kondisi RASdibagi
menjadi 3 tipe yaitu minor, major dan herpetiform.
2. Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada
SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang
memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari
pasta gigi dan obat kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik,
gangguan immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal,
merokok, infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan.
3. Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser.
Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada
mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang
oval. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi,
dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.
4. Untuk menghindari terjadinya RAS, diantaranya dengan menjaga kebersihan
rongga mulut serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama pada
makananyang mengandung vitamin B12 dan zat besi.
4.2. Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
61