Wajib pajak yang dalam melakukan aktivitas bisnis (usahanya) kadang kala mengalami kesulitan likuiditas perusahaan yang dapat mengganggu lancarnya usaha yang dilakukan sehari- hari. Sehingga dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya juga menjadi tidak lancar. Menghadapi kondisi yang demikian, kepada Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya tersebut diberikan kelonggaran untuk mengajukan permohonan mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (4) UU KUP. Angsuran dan penundaan pembayaran pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah angsuran atau penundaan dari ketetapan pajak yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah, yaitu ketetapan yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding. Apabila Wajib Pajak menerima salah satu atau lebih dari surat ketetapan pajak seperti dimaksud di atas, yang harus dilunasi sesuai dengan jatuh temponya, namun Wajib Pajak merasakan kesulitan untuk melunasi karena alasan kesulitan likuiditas atau keadaan diluar kekuasaannya, maka Wajib Pajak dapat membuat surat permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajaknya kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-53/PJ/1996 Tanggal 23 Juni 1995, tata cara pelaksanaan pemberian angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur sebagai berikut. Syarat-syarat permohonan adalah sebagai berikut: 1. Permohonan harus diajukan sebelum jatuh tempo pembayaran dengan disertai alasan dan jumlah pembayaran yang akan diangsur/ditunda. Permohonan dapat diajukan setelah jatuh tempo berakhir apabila Wajib Pajak surat ketetapan diterima setelah tanggal jatuh tempo, dan sebagainya. 2. Menggunakan formulir yang telah ditentukan yaitu formulir Surat Permohonan Angsuran/Penundaan Pembayaran (KP. Rikpa.4.1) dengan bukti tanda terima. 3. Wajib Pajak harus bersedia memberikan jaminan, misalnya berupa bank garansi, perhiasan, kendaraan bermotor (Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor), sertifikat tanah, gadai dari barang bergerak lainnya, penyerahan hak milik secara kepercayaan (fiduciare eigendoms overdracht-FEO), hipotek, atau penanggungan utang oleh pihak ketiga (borgstelling). Namun, apabila kepala KPP menganggap tidak perlu ada jaminan, permohonan tetap dapat diproses. Permasalahan pemberian angsuran atau penundaan pembayaran pajak sering kali pula dikaitkan dengan adanya keharusan jaminanyang akan diberikan oleh Wajib Pajak. Bentuk jaminan yang bisa diberikan dapat berupa bank garansi, perhiasan, kendaraan bermotor, gadai, hipotek, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah atau sertifikat deposito. Dalam pelaksanaannya, jaminan untuk pemberian angsuran atau penundaan pajak sebenarnya tergantung pada pertimbangan kepala kantor pajak. Artinya, kepala kantor pajak bisa saja menganggap tidak perlu ada jaminan apabila Wajib Pajak jelas diketahui keberadaannya dan bersifat kooperatif apabila kantor pajak memanggil dan memerlukan informasi lebih lanjut untuk masalah pelunasan utang pajaknya. Setelah kepala KPP mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan dalam permohonan, maka ada tiga kemungkinan keputusan yang akan dikeluarkan, yaitu: 1. Menerima seluruhnya; 2. Menerima sebagian; 3. Menolak permohonan Wajib Pajak. Karena masa angsuran atau penundaan hanya diberikan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keputusan diterbitkan, maka terhadap permohonan Wajib Pajak yang diterima seluruhnya atau sebagian, akan diterbitkan Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak dengan masa angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan tersebut dengan jumlah angsuran yang sama besarnya., paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Demikian pula terhadap penundaan akan dikeluarkannya Surat Keputusan dengan masa penundaan paling lama 12 (dua belas) bulan. Atas keputusan angsuran maupun penundaan tersebut akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. Perlu diketahui oleh Wajib Pajak bahwa Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Penundaan Pembayaran Pajak akan dinyatakan tidak berlaku lagi apabila Wajib Pajak menunjukan permohonan pembetulan, keberatan, gugatan atau banding, atau pengurangan/pengahapusan sanksi atau pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak, yang berkaitan dengan utang pajak yang diizinkan untuk diangsur atau ditunda. Dengan kata lain, Wajib pajak tidak dibolehkan mengajukan dua upaya hukum atas satu ketetapan pajak. Apabila atas suatu ketetapan pajak telah diajukan upaya hukum keberatan, maka atas ketetapan pajak tersebut tidak dibolehkan lagi diajukan upaya pemberian angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Ini dapat dipahami, dengan alasan apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding berarti Wajib Pajak tidak setuju atas ketetapan pajak yang terbit sedangkan bila Wajib Pajak mengajikan upaya angsuran atau penundaan pembayaran pajak, berarti Wajib Pajak setuju atas ketetapan pajak, hanya saja Wajib Pajak tidak mempunyai uang untuk sekaligus melunasi utang pajaknya.
5.9 Penghapusan Piutang Pajak
Piutang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan dari administrasi kantor pajak karena tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan. Ketentuan yang mengaturnya didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan No. 565/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 539/KMK.03/2002 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan. Piutang yang dapat dihapus adalah piutang pajak, baik orang pribadi maupun badan, jenis pajak PPh maupun jenis pajak PPN. Ada beberapa alasan mengapa piutang pajak bisa dihapus dari data administrasi kantor pajak. Alasan-alasan tentunya didasarkan pada kondisi tertentu, baik atas piutang pajak Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan. Piutang pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu: 1. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris tidak dapat ditemukan; 2. WP dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi; 3. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan SP kepada Penanggung Pajak melalui pemerintah daerah setempat; 4. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah kadaluwarsa; atau 5. Sebab lain sesuai hasil penelitian. Sekalipun kedua Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana disebutkan diatas telah dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012, secara prinsip tidak banyak mengalami peruahan. Untuk jelasnya dikutip hal penting terkait penghapusan piutang pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012 tersebut. Dalam pasal 1-nya diatur bahwa piutang pajak yang dapat dihapuskan untuk Wajib Pajak orang pribadi adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena: a. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan; b. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak tidak dapat ditemukan; c. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; d. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dibidang perpajakan; atau e. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh menteri keuangan. Sedangkan piutang yang dapat dihapuskan untuk Wajib Pajak badan adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena: a. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan penanggung pajak tidak dapat ditemukan; b. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; c. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dibidang perpajakan; atau d. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Sementara itu, untuk piutang pajak Wajib Pajak badan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu: 1. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan; 2. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi; 3. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan SP kepadan pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, atau pemerintah daerah setempat, secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media masa; 4. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah kedaluwarsa; atau 5. Sebab lain sesuai hasil penelitian. Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak bahwa piutangnya tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, tentunya harus dilakukan melalui suatu penelitian yang disebut penelitian setempat atau penelitian administrasi yang menggambarkan keadaan Wajib Pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapuskan dari administrasi kantor ajak. Penelitian setempat dilakukan dengan mendatangi alamat dan kondisi nyata dari Wajib Pajak. Sementara itu, penelitian administrasi dilakukan berdasarkan data yang ada di kantor pajak saja, tanpa perlu melihat keberadaan alamat dan kondisi nyata Wajib Pajak. Proses penelitian setempat akan dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan. Hal ini dapat dibuktikan dengan surat keterangan kematian dan surat keterangan dari penjabat yang berwenang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang meninggal dunia tersebut tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris. Apabila Wajib Pajak yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan dan mempunyai ahli waris, maka tindakan penagihannya dapat ditungjukkan kepaadan ahli warisnya atau kepada pelaksana surat wasiat. Namun, apabila yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan, tetapi tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan akan dikelola oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), dengan demikian penagihannya dapat ditunjukkan kepada Balai Harta Peninggalan. Kemungkinan lain, apabila Wajib Pajak yang meninggal dunia tidak meninggalkan harta warisan, tetapi mempunyai ahli waris, tindakan penagihannya tetap dapat dilakukan kepada ahli warisnya. 2. Wajib Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi yang dapat membuktikan dengan surat keterangan dari pejabat berwenang yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memang benar- benar sudah tidak mempunyai harta kekayaan lagi. 3. Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak ditemukan dokumen yang tidak lengkap, atau tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti bencana alam, kebakaran rusak karena dimakan rayap, dan sebagainya. Sementara itu, terhadap proses penelitian administrasi akan dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Wajib Pajak yang hak penagihnya telah kedaluwarsa, sebaimana dimaksudkan pada Pasal 22 UU KUP. 2. Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan, dokumen yang tidak lengkap, atau tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti bencana alam, kebakaran, kerusakan karena dimakan rayap, dan sebagainya. Khusus terhadap penelitian setempat maupun penelitian administrasi yang dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan sebab lain, pelaksanaannya haruslah berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya. Selanjutnya Laporan Hasil Penelitian Setempat maupun Penelitian Administrasi yang dilakukan oleh jurusita haruslah menggambarkan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak Wajib Pajak yang bersangkutan, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi. Mengenai Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak itu sendiri, telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-625/PJ/2001. Hal pokok yang diatur adalah sebagai berikut: 1. Bahwa setiap bulan wajib dilakukan inventarisasi piutang pajak-piutang pajak yang diperkirakan tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi. Atas piutang pajak dimaksud dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi yang hasilnya dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian Setempat atau Laporan Hasil Penelitian Administrasi. Penelitian setempat dilakukan atas Wajib Pajak yang telah meninggal dunia, yang sudah tidak mempunyai harta kekayaan lagi atau tidak dapat ditelusuri lagi karena adanya bencana alam, kebakaran, dan lain sebagainya. Sementara itu, penelitian administrasi dilakukan terhadap Wajib Pajak yang penagihnya telah kedaluwarsa. 2. Selanjutnya setiap akhir tahun takwin kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 10 Januari tahun takwin berikutnya. 3. Setelah Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak diterima, Direktur Jenderal Pajak membuat dan menyampaikan Konsep Keputusan Menteri Keuangan dan Lampirannya kepadan menteri keuangan. 4. Setelah menteri keuangan menandatangi kepusan yang dimaksud, maka kepala Kantor Pelayanan Pajak membuat petikan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penghapusan Piutang Pajak dari Salinan Keputusan Menteri Keuangan yang diterimanya.