Anda di halaman 1dari 5

5.

8 Angsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak


Wajib pajak yang dalam melakukan aktivitas bisnis (usahanya) kadang kala mengalami
kesulitan likuiditas perusahaan yang dapat mengganggu lancarnya usaha yang dilakukan sehari-
hari. Sehingga dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya juga menjadi tidak lancar.
Menghadapi kondisi yang demikian, kepada Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas
atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya tersebut diberikan kelonggaran untuk mengajukan
permohonan mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya sebagaimana diatur dalam pasal 9
ayat (4) UU KUP.
Angsuran dan penundaan pembayaran pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak
adalah angsuran atau penundaan dari ketetapan pajak yang menyebabkan jumlah pajak yang
terutang bertambah, yaitu ketetapan yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding.
Apabila Wajib Pajak menerima salah satu atau lebih dari surat ketetapan pajak seperti
dimaksud di atas, yang harus dilunasi sesuai dengan jatuh temponya, namun Wajib Pajak
merasakan kesulitan untuk melunasi karena alasan kesulitan likuiditas atau keadaan diluar
kekuasaannya, maka Wajib Pajak dapat membuat surat permohonan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran utang pajaknya kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat
Wajib Pajak terdaftar.
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-53/PJ/1996 Tanggal 23 Juni 1995,
tata cara pelaksanaan pemberian angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur sebagai
berikut.
Syarat-syarat permohonan adalah sebagai berikut:
1. Permohonan harus diajukan sebelum jatuh tempo pembayaran dengan disertai alasan dan
jumlah pembayaran yang akan diangsur/ditunda. Permohonan dapat diajukan setelah
jatuh tempo berakhir apabila Wajib Pajak surat ketetapan diterima setelah tanggal jatuh
tempo, dan sebagainya.
2. Menggunakan formulir yang telah ditentukan yaitu formulir Surat Permohonan
Angsuran/Penundaan Pembayaran (KP. Rikpa.4.1) dengan bukti tanda terima.
3. Wajib Pajak harus bersedia memberikan jaminan, misalnya berupa bank garansi,
perhiasan, kendaraan bermotor (Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor), sertifikat tanah,
gadai dari barang bergerak lainnya, penyerahan hak milik secara kepercayaan (fiduciare
eigendoms overdracht-FEO), hipotek, atau penanggungan utang oleh pihak ketiga
(borgstelling). Namun, apabila kepala KPP menganggap tidak perlu ada jaminan,
permohonan tetap dapat diproses.
Permasalahan pemberian angsuran atau penundaan pembayaran pajak sering kali pula
dikaitkan dengan adanya keharusan jaminanyang akan diberikan oleh Wajib Pajak. Bentuk
jaminan yang bisa diberikan dapat berupa bank garansi, perhiasan, kendaraan bermotor, gadai,
hipotek, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah atau sertifikat deposito. Dalam
pelaksanaannya, jaminan untuk pemberian angsuran atau penundaan pajak sebenarnya
tergantung pada pertimbangan kepala kantor pajak. Artinya, kepala kantor pajak bisa saja
menganggap tidak perlu ada jaminan apabila Wajib Pajak jelas diketahui keberadaannya dan
bersifat kooperatif apabila kantor pajak memanggil dan memerlukan informasi lebih lanjut untuk
masalah pelunasan utang pajaknya.
Setelah kepala KPP mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan dalam permohonan,
maka ada tiga kemungkinan keputusan yang akan dikeluarkan, yaitu:
1. Menerima seluruhnya;
2. Menerima sebagian;
3. Menolak permohonan Wajib Pajak.
Karena masa angsuran atau penundaan hanya diberikan paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat keputusan diterbitkan, maka terhadap permohonan Wajib Pajak yang diterima
seluruhnya atau sebagian, akan diterbitkan Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak dengan
masa angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan tersebut dengan
jumlah angsuran yang sama besarnya., paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Demikian pula terhadap penundaan akan dikeluarkannya Surat Keputusan dengan masa
penundaan paling lama 12 (dua belas) bulan. Atas keputusan angsuran maupun penundaan
tersebut akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
Perlu diketahui oleh Wajib Pajak bahwa Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak
atau Surat Keputusan Penundaan Pembayaran Pajak akan dinyatakan tidak berlaku lagi apabila
Wajib Pajak menunjukan permohonan pembetulan, keberatan, gugatan atau banding, atau
pengurangan/pengahapusan sanksi atau pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak, yang
berkaitan dengan utang pajak yang diizinkan untuk diangsur atau ditunda. Dengan kata lain,
Wajib pajak tidak dibolehkan mengajukan dua upaya hukum atas satu ketetapan pajak.
Apabila atas suatu ketetapan pajak telah diajukan upaya hukum keberatan, maka atas
ketetapan pajak tersebut tidak dibolehkan lagi diajukan upaya pemberian angsuran atau
penundaan pembayaran pajak. Ini dapat dipahami, dengan alasan apabila Wajib Pajak
mengajukan keberatan atau banding berarti Wajib Pajak tidak setuju atas ketetapan pajak yang
terbit sedangkan bila Wajib Pajak mengajikan upaya angsuran atau penundaan pembayaran
pajak, berarti Wajib Pajak setuju atas ketetapan pajak, hanya saja Wajib Pajak tidak mempunyai
uang untuk sekaligus melunasi utang pajaknya.

5.9 Penghapusan Piutang Pajak


Piutang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan dari administrasi kantor pajak karena
tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan. Ketentuan yang
mengaturnya didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan No. 565/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 539/KMK.03/2002 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan. Piutang yang dapat
dihapus adalah piutang pajak, baik orang pribadi maupun badan, jenis pajak PPh maupun jenis
pajak PPN.
Ada beberapa alasan mengapa piutang pajak bisa dihapus dari data administrasi kantor
pajak. Alasan-alasan tentunya didasarkan pada kondisi tertentu, baik atas piutang pajak Wajib
Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan. Piutang pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi
yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:
1. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia
dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris tidak dapat
ditemukan;
2. WP dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
3. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan SP kepada
Penanggung Pajak melalui pemerintah daerah setempat;
4. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah kadaluwarsa; atau
5. Sebab lain sesuai hasil penelitian.
Sekalipun kedua Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana disebutkan diatas telah
dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012, secara prinsip tidak
banyak mengalami peruahan. Untuk jelasnya dikutip hal penting terkait penghapusan piutang
pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012 tersebut. Dalam
pasal 1-nya diatur bahwa piutang pajak yang dapat dihapuskan untuk Wajib Pajak orang pribadi
adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena:
a. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak meninggal dunia dan tidak mempunyai harta
warisan atau kekayaan;
b. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak tidak dapat ditemukan;
c. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
d. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dibidang
perpajakan; atau
e. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi
tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan
pertimbangan yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
Sedangkan piutang yang dapat dihapuskan untuk Wajib Pajak badan adalah piutang pajak
yang tidak dapat ditagih lagi karena:
a. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan penanggung pajak tidak dapat ditemukan;
b. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
c. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dibidang
perpajakan; atau
d. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi
tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan
pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
Sementara itu, untuk piutang pajak Wajib Pajak badan yang tidak dapat atau tidak
mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:
1. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang
saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau
likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan;
2. Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi;
3. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan SP kepadan
pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, atau
pemerintah daerah setempat, secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan
pengumuman atau media masa;
4. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah kedaluwarsa; atau
5. Sebab lain sesuai hasil penelitian.
Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak bahwa piutangnya tidak dapat atau tidak
mungkin ditagih lagi, tentunya harus dilakukan melalui suatu penelitian yang disebut penelitian
setempat atau penelitian administrasi yang menggambarkan keadaan Wajib Pajak yang
bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak tidak dapat ditagih lagi
dan diusulkan untuk dihapuskan dari administrasi kantor ajak. Penelitian setempat dilakukan
dengan mendatangi alamat dan kondisi nyata dari Wajib Pajak. Sementara itu, penelitian
administrasi dilakukan berdasarkan data yang ada di kantor pajak saja, tanpa perlu melihat
keberadaan alamat dan kondisi nyata Wajib Pajak.
Proses penelitian setempat akan dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan
dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak
mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan surat keterangan kematian dan surat keterangan dari penjabat yang berwenang
menyatakan bahwa Wajib Pajak yang meninggal dunia tersebut tidak meninggalkan harta
warisan dan tidak mempunyai ahli waris.
Apabila Wajib Pajak yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan dan mempunyai
ahli waris, maka tindakan penagihannya dapat ditungjukkan kepaadan ahli warisnya atau
kepada pelaksana surat wasiat. Namun, apabila yang meninggal dunia meninggalkan
harta warisan, tetapi tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan akan dikelola oleh
Balai Harta Peninggalan (BHP), dengan demikian penagihannya dapat ditunjukkan
kepada Balai Harta Peninggalan. Kemungkinan lain, apabila Wajib Pajak yang meninggal
dunia tidak meninggalkan harta warisan, tetapi mempunyai ahli waris, tindakan
penagihannya tetap dapat dilakukan kepada ahli warisnya.
2. Wajib Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi yang dapat membuktikan dengan surat
keterangan dari pejabat berwenang yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memang benar-
benar sudah tidak mempunyai harta kekayaan lagi.
3. Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak ditemukan dokumen yang tidak lengkap, atau
tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti
bencana alam, kebakaran rusak karena dimakan rayap, dan sebagainya.
Sementara itu, terhadap proses penelitian administrasi akan dilakukan terhadap piutang
pajak yang dihapuskan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang hak penagihnya telah kedaluwarsa, sebaimana dimaksudkan pada Pasal
22 UU KUP.
2. Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan, dokumen yang tidak lengkap,
atau tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti
bencana alam, kebakaran, kerusakan karena dimakan rayap, dan sebagainya.
Khusus terhadap penelitian setempat maupun penelitian administrasi yang dilakukan
terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan sebab lain, pelaksanaannya haruslah
berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya.
Selanjutnya Laporan Hasil Penelitian Setempat maupun Penelitian Administrasi yang
dilakukan oleh jurusita haruslah menggambarkan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak Wajib
Pajak yang bersangkutan, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya
piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi.
Mengenai Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak itu sendiri, telah diatur dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. Kep-625/PJ/2001. Hal pokok yang diatur adalah sebagai berikut:
1. Bahwa setiap bulan wajib dilakukan inventarisasi piutang pajak-piutang pajak yang
diperkirakan tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi. Atas piutang pajak dimaksud
dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi yang hasilnya dituangkan
dalam Laporan Hasil Penelitian Setempat atau Laporan Hasil Penelitian Administrasi.
Penelitian setempat dilakukan atas Wajib Pajak yang telah meninggal dunia, yang sudah
tidak mempunyai harta kekayaan lagi atau tidak dapat ditelusuri lagi karena adanya
bencana alam, kebakaran, dan lain sebagainya. Sementara itu, penelitian administrasi
dilakukan terhadap Wajib Pajak yang penagihnya telah kedaluwarsa.
2. Selanjutnya setiap akhir tahun takwin kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan
Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 10 Januari tahun
takwin berikutnya.
3. Setelah Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak diterima, Direktur Jenderal Pajak
membuat dan menyampaikan Konsep Keputusan Menteri Keuangan dan Lampirannya
kepadan menteri keuangan.
4. Setelah menteri keuangan menandatangi kepusan yang dimaksud, maka kepala Kantor
Pelayanan Pajak membuat petikan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penghapusan
Piutang Pajak dari Salinan Keputusan Menteri Keuangan yang diterimanya.

Referensi RMK akuntansi keuangan:


http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:http://keuanganlsm.com/pembentukan-dana-kas-kecil-petty-cash/

Anda mungkin juga menyukai