Anda di halaman 1dari 7

Nyeri dada merupakan keluhan utama dari banyak pasien yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD).

Jike nyeri dada disebabkan masalah jantung, maka waktu intervensi menjadi peting, dan dapat dimulai
sebelum pengkajian tentang riwaat kesehatan dan pemeriksaan diagnostic lengkap, selesai dilakukan.
Karena sifatnya yang mengacam iwa maka penilaian airway, breating, dan circlatiion (ABC) selalu menadi
prioritas.

PENGKAJIAN NYERI DADA


 Mengkaji karakteristik nyeri dada dan dapat digunakan untuk mengumpulkan informai yang
komprehensif tentang rasa sakit.
 Pasien sering menyangkal merasakan “nyeri” keluhan sering kali disamping seperti rasa
terbakar, tertekan, atau sesak. Gambarkan nyeri yang pasien rasakan menggunakan kata-kata
pasien sendiri dalam dokumentasi
 Kaji keluhan yang menyerupai angina terutama pada wanita, penderita diabetes dan orang tua
(lansia).
 Pasien dengan keluhan menyerupai angina dapat melaporkan sesak napas, kelelahan,
palpatasi, hamper pingsan serta mual-muntah
 Geala ini mungkin dirasakan lebih menganggu bagi pasien dibandingkan dengan
ketidaknyamanan pada dada.
 Ketidaknyamanan cenderung lebih dirasakan terlokalisir di luar area dada.
 Angina muncul biasanya lebih banyak dicetuskan oleh stress mental dari pada aktifitas fisik.
 Minta pasien menentukan tingkat nyeri atau ketidaknyamanan menggunakan sakla 1-10
 Lakukan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) 12 lead dalam waktu 10 menit setelah
kedatangan pasien; kaji disritmia dan elevasi atau depresi pada ST segmen.
 Terdapat banyak kemungkinan penyebab untuk nyeri dada. Leh karena itu penting untuk
menapis penyebab paling serius atau mengancam iwa secepatnya.
 Catat obat-obatan yang dikonsumsi saat ini, termasuk resep, obat yang dijual bebas maupun
terapi herbal.
 Tentukan kepatuhan terhadap obat yang diresepkan
 Tanyakan kepada pasien tentang penggunan obat phosphodiesterase inhibitors untuk
difungsi ereksi dalam waktu dekat ini.
 Penggunaan kokain baru-baru ini adalah penyebab umum nyeri dad iskemik yang disebabkan
dari vasospasme koroner. Sehingga penting untuk mengkaji penggunaan narkoba kepada
pasien.
 Catat faktor risiko penyakit kardiovaskular baik yang bersifat positif ataupun negative, termasuk
penyakit jantung yang dialami sebelumnya seperti infark miokard (IM), intervensi koroner
seperti pemasangan stent, dan pemasangan pacemaker atau implantable cardioverter
defibrillator (ICD).

Kokain menstimulasi reseptor alfa dan beta-adrenergik. Penggunaan beta-bloker pada


pasien yang baru saja mengkonsumsi kokain menyisakan aktivitas alfa yang tidak
dapat dihambat, hal ini menyebabkan vasokontriksi tambahan pada koroner dan
hipertensi sistemik.
PROSEDUR DIAGNOSTIK
 EKG 12-lead
 Rekam aktivitas listrik jantung dari 12 view yang berbeda.
 Tentukan frekuensi, ritme dan adanya disritmia.
 Kaji lead yang berdekatan dengan ST segmen elevasi atau ST segmen depresi.
 Monitoring ST segmen secara kontinyu dengan bedside monitor.
 Elektrolit serum, hitung darah lengkap, waktu pembekuan darah dan biomarker jantung
 Rontgen dada
 Kakaterisasi jantung dengan angiografi denyut jtung lebih dari 50 kali per menit. Jika neri pasien
tidak berkurang, perawat emergensi dapat mengulang kembali pemberian nitrogliserin setiap
menit sebanyak 3 dosis.
 American Heart Association tidak merekomendasikan penggunaan nitrogliserin secara rutin paa
pasien STEMI. Jika penggunaan rutin dilakukan monitor pasien secara ketat terhadap hipotensi
akibat obat tersebuut, karena hal ini dapat menurunkan perfusi koroner dan memperburuk
iskemia miokard.
 Jika pasien mengunakan phosphodiesterase inhibitor dalam 24 jam sebelumnya, pemberian
nitrogliserin dapat mengakibatkan hipotensi hebat yang tidak membaik alapun diberikan
vasopressor.
 Nitrogliserin harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan infrak miokard inferior dan
kemungkinan melibatkan ventrikel kanan. Pasien-pasien ini kemungkinan sangat tergantung
terhadap tekanan pengisia ventrikel kanan; venoilatasi dan penurunan preload dapat
menyebabkan penurunan cardiac output yang hebat dan irreversible.
 Penggunaan morfin diindikasikan untuk STEMI yang tidak responsive terhadap pemberian nitrat.
Pemberian morffin harus hati-hati pada unstable angina dan non-STEMI karena berhubungan
dengan peningkatan angka mortalitas.
 Obat-obatan untuk mengurangi agregasi platelet merupakan terapi modalitas yang penting.
 Aspirin
 Clopidogrel atau prasugrel
 Pada STEMI, reperfusi sedini mungkin miokardium, dengan obat atau cara mekanis, telah terbukti
mengurangi angka kematian.
 Membuka sumbatan arteri area infark memperbaiki perfusi miokard sehingga ukuran area
infark tidak meluas dan menurunkan komplikasi (termasuk kematian) akibat AMI (akut
miokard infark).
 Sasaran untuk “waktu iskemia total” (dari onset gejala sampai dilakukannya intervensi)
kurang dari 90 menit.
 Percutaneous coronary intervention (PCI) merupakan metode yang paling direkomendasikan
untuk metode reperfusi.
 Bivalirudin, merupakan direct thrombin inhibitor dapat digunakan sebagai antikoagulan
bagi pasien ang menalani primery PCI
 Glycoprotein IIb/IIIa inhibitors merupakan obat antiplatelet yang dipertimbangkan untuk
diberikan pada saat PCI.
 Abciximab
 Eptifibatide
 Tirofiban.
 Jika pasien tidak mampu menalani primary PCI dalam 90-120 menit pada saat kontak medis
pertama, terapi fibrinolysis harus segera diberikan.
 Pasien yang mendapat terapi fibrinolysis sebagai terapi reperfusi primer harus segera
ditransfer ke rumah sakit yang mampu dan memiliki fasilitas PCI.
 Pemberian setengah dosis fibrinolysis di tatanan perhospital, diikutii dengan urgent
PCI,diimplementasikan pada bebeapa daeah di US
 Manajemen medis
 Beta bloker – pemberian beta bloker secara oral direkomendasikan untuk semua tipe SKA
kecuali ika ada kontraindikasi yaitu terhadap tanda gagal jantung atau penurunan cardiac
output.
 Beta bloker meurunkan konsumsi oksigen miokardial melalui penurunan frekuensi
denuyt Antung, kontraktilitas dan tekanan darah.
 Pemberian segera sebaiknya dilakukan pada pasien dengan STEMI yang mengalami
hipertensi.
 Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors (capotopril, enalapril, lisinopril) biasanya
mulai diberikan setelah terapi reperfusi selesai dilakukan.
 Penggunaan ACE inhibitor elah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pada
pasien dengan miokard infark.
 ACE inhibitor mengurangi luas inffark dan meningkatkan perbaikan ventrikel
 Pertimbangan untuk transfer pasien dengan STEMI disebabkan mikard infark anterior
yang luas, adanya tanda-tanda gagal Antung, atau edema paru ke fasilitas yang mampu
melakukan intervensi (PCI, coronary bypass grafting). Tujuannya agar waktu door-to
transfer kurang dari 30 menit.

GAGAL JANTUNG DEKOMPENSASI AKUT


Gagal jantung merupakan akibat dari ketidakadekuatan cardiac output dan pengiriman oksigen
ke aringan. Hal ini dapat disebabkan karena ketidakmampuan Antung untuk memompa secara efektif
(kegagalan sistolik) atau tidak adekuatnya pengisian jantung (kegagalan diastolik). Lebih lanut lagi gagal
jantung terutama dapat mempengaruhi ventrikel kiri, dan menyebabkan terjadinya kongesti vena
pulmonalis dan gangguan pernapasan, atau gangguan ventrikel kanan dan mengakibatkan kongesti
sirkulasi.
Gagal jantung dekompensasi akut biasanya terjadi pada kondisi kegagalan kronis; tanda dan
gejala memburuk, membutuhkan intervensi emergensi tambahan.

FAKTOR PRESIPITASI UMUM :


 SKA, terutama yang menyebbkan iskemia atau nekrosis terhadap ventrikel
 Hipertensi yang tidak terkontrol
 Kardiomiopati
 Disfungsi katup jantung
 Infeksi pada jantung seperti mokarditis atau endokarditis
 Ketidakpatuhan pada pengobatan dan diet

TANDA DAN GEJALA


Pada Tabel 19-5 menggambarkan perbandingan Tanda dan gejala gagal jantung kanan dan kiri. Pasien
dapat saja memiliki tanda dan gejala keduanya gagal jantung kanan dan kiri.
TABEL 19-5 TANDA DA GEJALA DARI GAGAL JANTUNG
KANAN DAN GAGAL JANTUNG KIRI
GAGAL JANTUNG KANAN GAGAL JANTUNG KIRI
Edema perifer Sesak napas
Distensi vena ugular Dispnea
Ascites Suara jantung S3
Mual kaena kongesti vena Krakles
Viscera abdomen Edema pulmonal

PRODUK DIAGNOSTIK
 Rontgen dada untuk mengevaluasi perbesaran ruang jantung dan mengkaji kongesti pulmonal
 Echocardiogram untuk menentukan fraksi ejeksi dan mendeteksi ketidaknormalan struktur.
 EKG 12 lead
 B-type natriuretic peptide (BNP) lebih besar dari 100 pg/mL.
 Hitung darah lengkap dan panel metabolic
 Cardiac biomarkers untuk menapis AMI

INTERVENSI TERAPEUTIK
 Mengkaji dan mempertahankan kepatenan airway, breathing dan circulation sebagai prioritas
pertama.
 Berikan oksigen pertama untuk menjaga saturasi di atas 90 %
 Pasang akses IV; berikan cairan dan lakukan dengan hati-hati untuk mencegah klebihan cairan
 Noninvasive positive ventilation (BiPAP) dapat memperbaiki kongesti pulmonal dengan cara
memaksa cairan alveoral kembali ke kapiler paru.
 Berikan diuretik loop, furosemide menyebabkan pelebaran vena dengan cepat (penurunan
preload) diikuti oleh dieresis dalam waktu 10 menit dari pemberian IV. Namun, banyak pasien
dengan gagal jantung kronis mungkin sudah resisten terhadap diuretik loop.
 Morfin juga menyebabkan pelebaran vena dan penurunan preload. Dengan mengurangi
kecemasan pasien, morfin mengurangi stimulasi simpatis dan mengurangi beban kerja jantung.
 Nitroglisterin IV melebarkan kapastitas pembuluh darah vena sehingga dapat menurunkan
preload. Nitoglisterin merupakan kontraindikasi ika tekanan darah pasien kurang dari 90mmHg.
 Nitroprusside menyebabkan dilatasi pada arteri dan vena sehingga menurunkan preload dan
afterload serta menurunkan kebutuhan oksigen jantung. Nesiritide, a recombinant BNP,
merupakan vasodilator kuat yang diberikan secara kontinyu melalui infuse IV.
 Pemberian nitroprusside dan nesiritide membutuhkan monitoring yang kuat, terutama pada
tekanan darah pasien, karena respons terhadap kedua obat ini dapat sangat cepat dan tidak
dapat diprediksi. Monitoring tekanan darah sebaiknya menggunakan arterial line.
 Uji coba secara random dengan control tidak mendukung penggunaan obat inotropik positif
pada gagal jantung kecuali pasien mengalami syok kardiogenik. Dalam kondisi seperti ini, pasien
harus masuk unit perawatan intensif (ICU) untuk diberikan dobutamin, dopamine, atau
milrinone.
 ACE inhibitor patut dipertimbangkan untuk mencegah siklus rennin-angiotensin teradi dan
menimbulkan retensi cairan. Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat digunakan jika pasien
tidak dapat mentolerir ACE inhibitor.
 Monitor secara katat repons pasien terhadap pengobatan/treatment, terutama kaji :
 Suara napas, frekuensi pernapasan (work of breathing)
 Tekanan darah arteri dan heart reat (HR)
 Tingkat kesadaran.
 Distensi vena jugular
 Urine output-kateter urine sebaiknya dipasang.

AKUT DISEKSI AORTA


Akut diseksi aorta merupakan suatu keadaan yang mengacam jiwa, terjadi ketika tedapat robekan pada
lapisan intima (atau lapisan paling dalam) aorta sehingga memungkinkan darah untuk masuk ke media
aorta, didorong oleh aliran yang terjadi akibat denyutan aorta dan tekana tinggi dalam aorta,
terbentuklah ruang bagi darah disebut “saluran palsu” karena aliran darahnya hanya maju dan mundur
saa. Tekanan di dalam saluran palsu ini dapat menekan lumen aorta dan menurunkan aliran darah yang
melalui pembuluh darah aorta. Akibatnya adalah yang melalui pembuluh darah aorta. Akibatnya adalah
iskemia jaringan pada bagian distal dan organ. Diseksi aorta diklasifikasi berdasarkan lokasi terajadinya
robekan dan potensi komplikasi dapat diantisipasi berdasarkan lokasi tersebut.
Hal yang paling penting dalam mandiagnosa akut diseksi aorta adalah kecurigaan yang
tinggian terhadap kejadian ini; pertimbangkan kemungkinan diseksi aorta pada semua
pasien yang mengalami nyeri dad.

FAKTOR RISIKO UNTUK DISEKSI AORTA


 Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling sering
 Aterosklerosis
 Umur 60 tahun atau lebih
 Operasi jantung sebelumnya
 Katup airta bicuspid.
 Sindrom Marfan-sindrom genetik dengan karakteristik sebagai berikut :
 Cystic medial necrosis yang dapat menyebabkan kelemahan intima.
 Lengan yang sangat panjang (rentang tangan dapat melebihi badan); jari-jari yang panjang
“seperti laba-laba” (arachnodactyly) dan jari-jari kaki pun demikian.
 “dada burung” atau pectus exacavtum
 Dislokasi lensa optik
 Latrogenik atau intima robek akibat trauma
 Penggunaan kokain
 Sifilis

TANDA DAN GEJALA


 Robekan parah, nyeri robek di dada
 Nyeri bisa menyebar ke punggung, lambung atau bahu
 Onset akut
 Nyeri dan sulit reda
 Perbedaan tekanan darah antar lengan 20 mmHg
 Jika arkus aorta yang terkena
 Penurunan leve kesadaran
 Tanda dan gejala stroke
 Tamponade jantung
 Suara jantung menjauh
 Distensi vena jugular
 Hipotensi
 Akut miokard infark
 Insufisiensi katup aorta akut
 Dyspnea
 Gagal jantung kiri secara tiba-tiba
 Sitolik murmur yang baru
 Ika aorta descending yang terkena
 Anuria dan gagal ginjjal
 Paraplegia
 Hilangnya denyut nadi distal

Prosedur diagnosis
 Rontgen dada-sering normal namun dapat menunukkan pelebaran mediastrinum atau efusi
pleura.
 Ekg 112 lead mungkin sama dengan akut miokard infark (AMI) jika diseksi akorta mempengaruhi
aliran darah koroner.
 Transthoracic echocardiogram (TTE) atau transesophageal echocardiogram (TTE) dilakukan
untuk memvisualisasikan diseksi
 Chest computed tomography (CT), magnetic resonance imaging atau angiography, atau spiral CT
angiograp
 Aortogram tidak lagi dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostic utama tetapi dapat digunakan
untuk menentukan letak anatomis diseksi yang tepat.

INTERVENSI TERAPEUTIK
 Berikan oksigen tambahan; pasang IV acces dengan dua alur dan abocath dengan lumen yang
besar.
 Kaji tekanan darah di kedua lengan
 Kai tanda vital, status norologik, denyut nadi perifer, pergerakan dn sensasi, serta urine output
secara kontinyu.
 Manaemen medis yang lakuan antara lain menjaga tekanan darah sistolik antara 100 dan 120
mmHg san dan menurunkan kontraksi miokard.
 Nitroprusside atau nitroglycerin
 Kedua obat ini menyebabkan vasodiatasi dan menurunkan tekanan darah serta resistensi
terhadap ejeksi ventrikel kiri (afterload).

Anda mungkin juga menyukai