Anda di halaman 1dari 36

BUBU

Disusun Oleh:
KELOMPOK 10
PERIKANAN B

No Nama NPM Nilai


2301101900
1 Dita Nuriyah
56
Ayudia Kusuma 2301101900
2
Dewi 74
Zahrah Shafa 2301101900
3
Kamilah 76
Valenda 2301101900
4
Pringgandani 79

PROGRAM STUDI PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR

i
2020

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas segala rahmat Allah SWT., karena hanya dengan
rahmat dan nikmat-Nya kita diberikan kesehatan baik jasmani maupun rohani.
Tak lupa pula shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah curah kepada
junjungan Nabi Besar, Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan karunia-Nya,
penyusun telah dapat menyelesaikan makalah ilmiah yang berjudul “Bubu”
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Penyusunan makalah ini diperuntukkan demi
menyelesaikan tugas dari dosen pengampu mata kuliah Alat dan Kapal
Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran,
Ibu Kiki Haetami, S.Pt., MP.

Alat tangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda


lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Dengan pengertian sarana
adalah sarana apung atau kapal / perahu yang digunakan untuk mengoperasikan
alat penangkap ikan di suatu perairan. Dan pengertian dari kapal perikanan
adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yangdipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan,mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaanikan,
pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihanperikanan, dan
penelitian/eksplorasi perikanan (UU no.31Th. 2004).

Dalam penyusunan makalah ini penyusun menghadapi masalah, namun


berkat usaha, dukungan, dan izin dari Allah SWT, penyusun dapat menyelesaikan
makalah dalam bentuk yang baik walaupun sederhena. Penyusun menyadari
bahwa buku ini memiliki kelemahan dan kekurangan. Penyusun dengan senang
hati menerima kritik dan saran demi karya yang lebih baik pada kesempatan
selanjutnya. Akhir kata, penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang berkontribusi terhadap penyelesaian buku ini. Penyusun berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya bagi kita
bersama dalam dunia pendidikan.

i
Jatinangor, Maret 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Tujuan.........................................................................................................1
1.3 Manfaat......................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
2.1 Pengertian Perangkap (Traps).................................................................2
2.2 Pengertian Bubu (Fish Pots atau Fyke)..................................................2
2.3 Konstruksi Bubu dan Klasifikasi.............................................................3
2.3.1........................................................................................Kontruksi Bubu
3
2.3.2.......................................................................................Klasifikasi Bubu
5
2.4 Konstrusi Kapal dan Bagian Kapal.........................................................16
2.5 Alat Bantu Penangkapannya..................................................................17
2.6 Metode Pengoperasian Alat....................................................................18
BAB III...................................................................................................................20
3.1 Daerah Penangkapan Ikan......................................................................20
3.1.1 Pemilihan Daerah Penangkapan Ikan.............................................21
3.1.2 Klasifikasi Daerah Penangkapan Ikan.............................................22
3.2 Hasil Tangkapan.......................................................................................23
3.3 Pembagian Tugas Nelayan......................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................25

ii
iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Mulut Bubu dan Arah Masuk Ikan........................................................................................4


Gambar 2 Bagian Bubu Secara Keseluruhan.......................................................................................5
Gambar 3 Bubu Dasar..................................................................................................................................6
Gambar 4 Bubu Apung.................................................................................................................................6
Gambar 5 Bubu Hanyut...............................................................................................................................7
Gambar 6 Bubu Jermal...................................................................................................................................8
Gambar 7 Bubu Ambai...................................................................................................................................9
Gambar 8 Bubu Apolo..................................................................................................................................10
Gambar 9 Bubu Paralon..............................................................................................................................11
Gambar 10 Bubu Keong Macan dari Waring........................................................................................13
Gambar 11 Bubu Keong Macan dari Bambu........................................................................................14
Gambar 12 Bubu Wadong...........................................................................................................................16
Gambar 13 Gambar Kapal Penangkakap Ikan.......................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ragam jenis ikan dan kondisi perairan menyebabkan berkembangnya
ragam dan jenis alat penangkap ikan dan metode pengoperasiannya. Alat
penangkapan ikan berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan
teknologi yang ada dengan berbagai macam teknik pengoperasian dan sarana
apungnya. Perkembangan jumlah dan jenis alat penangkap ikan serta metode
pengoperasiannya berdampak pada tingkat pengeksplotasian sumberdaya
ikan yang kurang terkontrol. Perlu adanya pengaturan tentang keberadaan
beragam jenis dan jumlah alat penangkap ikan yang salah satunya dengan
pengklasifikasian atau penggolongan (Indah 2010).
Sistem penggolongan/klasifikasi alat penangkapan ikan bertujuan untuk
dapat menggolongkan atau mengelompokkan berbagai jenis alat
penangkapan ikan dengan melihat perbedaan prinsip dan bentuk teknis yang
khusus. Ada beberapa penggolongan yang digunakan sebagai acuan dalam
menggolongkan/mengelompokkan alat penangkap ikan, antara lain:
1. International Standard Statistical Classification of Fishing Gear –
FAO, 1980
2. Statistik Perikanan Tangkap Laut Indonesia, 2011
3. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan sesuai KEP.06/MEN/2010
Dari ketiga penggolongan tersebut, alat tangkap bubu tergolong alat
tangkap perangkap dimana dalam pengoperasiannya dengan prinsip
merangkap target.

1.2 Tujuan
Mengacu pada latar belakang makalah, adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah :
1) Mengetahui konstruksi alat tangkap bubu
2) Mengetahui daerah pengoperasian bubu
1
3) Mengetahui metode pengoperasian bubu
1.3 Manfaat
Menambah wawasan penulis mengenai pengertian, jenis dan cara
pengoperasian alat tangkap bubu, juga untuk memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Perangkap (Traps)


Menurut Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No. 06/MEN/2010, disebutkan
bahwa traps ialah kelompok alat penangkapan ikan yang terbuat dari jaring,
dan/atau besi, bambu, kayu, yang memiliki bentuk silinder, trapesium, ataupun
bentuk lainnya.
Yang dimasud dalam "perangkap" (traps) di sini adalah semua alat
penangkap yang berupa jebakan. Alat penangkap ini bersifat pasif yang
dioperasikan pada dasar atau permukaan air, dibuat dari "anyaman bambu"
(bamboos netting), "anyaman kawat" (wire wire, chicken wire), "anyaman rotan"
(rottan netting), "kere bambu" (bamboos screen), misalnya bubu (fish pot atau
fyke), seri (guiding barrier, stake traps), dan lain-lainnya (Barus 1988).
2.2 Pengertian Bubu (Fish Pots atau Fyke)
Bubu merupakan alat penangkap ikan yang tergolong ke dalam kelompok
perangkap (traps). Alat ini bersifat pasif, yakni memerangkap ikan untuk masuk
ke dalamnya namun sulit untuk meloloskan diri. Adapun bubu yang digunakan
untuk menangkap rajungan termasuk ke dalam jenis bubu dasar. Banyak faktor
yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu
seperti; lama perendaman, tingkat kejenuhan perangkap (gear saturation),
habitat, desain bubu, dan umpan (Miller, 1990).
Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang
berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap “ traps “
dan penghadang “guiding barriers”. Alat ini berbentuk kurungan seperti ruangan
tertutup sehingga ikan tidak dapat keluar. Bubu merupakan alat tangkap pasif,
2
tradisional yang berupa perangkap ikan tersebut dari bubu, rotan, kawat, besi,
jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk
tidak dapat keluar. Prinsip dasar dari bubu adalah menjebak penglihatan ikan
sehingga ikan tersebut terperangkap di dalamnya, alat ini sering diberi nama
ftshing pots atau fishing basket (Brandt 1984).
Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat
tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat
persembunyian maupun tertarik oleh umpan yang dipasang pada bubu sebagai
atraktan, sehingga ikan akan terperangkap dalam bubu. Konstruksi bubu dibuat
sedemikian rupa, sehingga ikan yang telah masuk ke dalam bubu tidak dapat
melarikan diri (Gunarso 1985) Menurut von brandt (2005), perangkap adalah
salah satu alat tangkap menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan akan
dapat masuk dengan mudah tanpa ada pemaksaan tetapi sulit untuk

3
3

keluar atau meloloskan diri karena dihalangi dengan berbagai cara.


Pemasangan bubu disesuaikan dengan tingkah laku ikan. Seperti pada perairan
karang maka bubu dipasang setelah itu di atas bubu di beri karang untuk
menyamarkan bentuk bubu.
Cara ini merupakan cara yang tidak ramah lingkungan karena karang-
karang yang berada di sekitar pemasangan bubu digunakan untuk menutupi
karang sehingga merusak ekosistem terumbu karang. Banyak nelayan
menggunakan bubu karena alat tangkap yang satu ini sangat mudah dioperasikan
dan juga bahan yang diperlukan untuk membuat bubu, harga tidak terlalu mahal.
Selain murah dan mudah dioperasikan, hasil tangkapan bubu ketika diangkat
masih dalam keadaan segar bahkan hidup, sehingga ikan hasil tangkapan
memiliki nilai lebih. Selain dapat menangkap ikan-ikan hias yang ada di perairan
karang, bubu juga dapat menangkap ikan-ikan karang konsumsi yang memiliki
nilai ekonomis tinggi. Bahan bubu ada yang terbuat dari bambu, besi, jala sintetis
dan juga perpaduan antara ketiganya. Di dunia penangkapan ikan, teknologi
penangkapan ikan dengan menggunakan bubu hampir merata padaskala kecil,
skala sedang dan skala besar. Menurut Martasuganda (2003), penangkapan ikan
dengan bubu pada skala sedang dan besar dilakukan pada daerah lepas pantai
dengan kedalaman antara 20 hingga 700 m. pada umumnya penangkapan ikan
skala kecil dilakukan pada perairan pantai yang dangkal dan banyak terdapat
karang serta dapat juga dioperasikan pada daerah hutan bakau untuk menangkap
kepiting sebagai target utamanya.
Menurut Martasuganda (2003) ada beberapa alasan utama pemakaian bubu
di suatu daerah penangkapan, yaitu: 1) Adanya pelarangan pengoperasian alat
tangkap selain bubu; 2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung
alat tangkap lain untuk dioperasikan; 3) Kedalaman daerah penangkapan yang
tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan;4) Biaya pembuatan
alat tangkap bubu murah; 5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu
tergolong mudah; 6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup; 7) Kualitas hasil
tangkapan baik; dan 8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi.
4

2.3 Konstruksi Bubu dan Klasifikasi


2.3.1 Kontruksi Bubu
Bubu merupakan alat tangkap yang umum dikenal di kalangan nelayan
variasi bentuknya banyak sekali, hamper setiap daerah perikanan mempunyai
model bentuk sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti: sangkar (cages), silinder
(cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat
setengah lingkaran, dan lain-lainnya. Bahan bubu umumnya dari anyaman bambu
(bamboo’s splitting or-screen). Secara garis besar bubu terdiri dari bagian-bagian
badan (body), mulut (funnel) atau ijeb, dan pintu (Partosuwiryo, 2002).
Bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup
di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya
menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan
baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk
mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat
bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan
tertangkap hidup-hidup dan hanya ikanikan jenis tertentu saja yang tertangkap
(tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring) (IMAI, 2001).
Umumnya bubuyang digunakan terdiri dari tiga bagian, yaitu badan dan tubuh
bubu (Mallawa &sudirman, 2012)
1. Badan dan tubuh bubu umumnya terbuat darianyaman bambu yang
terbentukempat persegi panjang dengan panjang 125 cm, lebar 80 cm, dan
tinggi 40 cm.Bagian ini dilengkapi dengan pe,berat dari batu bata (bisa juga
pemberat lain) yang berfungsi utnuk menenggelamkan bubu kedasar
perairan yang terletak pada ke empat sudut bubu.
2. Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian
bawah bubu. Lubang ini berdiameter 35 cm, posisisnya tepat belakang
mulut bubu.Lubang ini dilengkapi dengan penutup.
3. Mulut bubu berfungsi untuk tempatmasuknya ikan yang terletak pada
bagiandepan badan bubu. Posisi mulut bubuk menjorok kedalam badan
atau tubuh bubu berbentuk silinder. Semakin kedalam diameter lubangnya
semakinmengecil. Pada bagian mulut bagian dalam melengkung ke bawah
5

sepanjang15 cm. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk sulit
untuk meloloskandiri keluar.

Gambar 1 Mulut Bubu dan Arah Masuk Ikan

(Sumber : FAO 2007)

Gambar 2 Bagian Bubu Secara Keseluruhan

(Sumber : FAO 2007)

2.3.2 Klasifikasi Bubu


Menurut Barus (1988), dilihat dari hasil cara operasional penangkapannya,
bubu dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Bubu Dasar (Stationary Fish Pots)
Ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut
kebutuhan untuk bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 50-75 cm
dan tinggi antara 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran 3,5 m
panjang 2 m lebar dan 75-10 cm tinggi.
6

Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu ukuran


besar), bisa ganda (umumnya untuk bubu ukuran kecil atau sedang) yang dalam
pengopreasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu
diikatkan bubu tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di
perairan karang atau di antara karang-karang atau bebatuan. Untuk memudahkan
mengetahui tempat-tempat dimana bubu dipasang, maka dilengkapi dengan
pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut.
Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang, kadang
bahkan bebrapa hari setelah dipasang.
Hasil tangkapan dengan bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang
kualitas baik, seperti Kwe (Caranx spp), Bronang (Siganus spp), Krapu
(Epinephelus spp), Kakap (Lutjanus sp), Kakatua (Scarus sp), Ekor kuning (Caesio
sp), Ikan Kaji (Diagramma sp), Lencam (Lethrinus sp), udang penaeid, udang
barong, dan lain-lain. Menurut Statistik Perikanan 1886 (DitjenKan) jumlah bubu
tercatat 7.062 unit (jumlah seluruh alat penangkap 452.845 unit) dengan produksi
16.871 ton (1986).

Gambar 3 Bubu Dasar

(Sumber : Feryusli.photograhy)

2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)


Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bubu apung dilengkapi
dengan pelampung dari bambu atau rakit bambu yang penggunaannya diatur
demikian rupa yaitu ada yang diletakkan tepat di bagian atasnya atau kurang
lebih demikian. Sementara itu kadang-kadang digantungkan pada rakit bambu.
Rakit bambu tersebut dilabuh melalui tali panjang yang dihubungkan dengan
jangkar. Panjang tali untuk melabuh tersebut yaitu dihubungkan dengan tali
disesuaikan dengan kedalaman air, tetapi biasanya tali ini lebih panjang dari
7

kedalaman air dimana ia dipergunakan (dipasang), umumnya 1,5 kali dari


kedalaman air. Berbeda dengan bubu dasar hasil tangkapan bubu apung ini
adalah jenis-jenis ikan pelagik, seperti tembang, japuh, julung-julung, torani,
malalugis, kembung, selar, dan lain-lainnya.
Bentuk bubu apung ini bisa silindris, bisa juga menyerupai kurung-kurung atau
kamar yang menurut istilah setempat (Air tembaga) disebut "sero gantung".

Gambar 4 Bubu Apung

(Sumber : Researchgate.net)

3. Bubu hanyut (Drifting Fish Pots)


Disebut bubu hanyut karena dalam operasional pennagkapannya
dihanyutkan. Bubu hanyut yang terkenal disebut "pakaja", "luka" atau "patorani".
Pakaja atau luka artinya sama yaitu "bubu", sedangjan "patorani" karena ia
dipergunakan menangkap ikan "torani", "tuing-tuing" atau ukan terbang (flying
fish). Pakaja termasuk bubu ukuran kecil, berbentuk silindris (panjang0,75 m,
ø0,4-0,5 m). Walaupun ukurannya kecil, namun pada waktu penangkapan diatur
dalam kelompok-kelompok yang kemudian dirangkaikan dengan kelompok-
kelompok berikutnya. Sehingga jumlahnya menjadi banyak sekali, tetapi
umumnya antara 20-40 buah, tergantung besar-kecilnya perahu/kapal yang
digunakan untuk penagkapan.
Operasiolan penangkapannya dilakukan sebagai berikut:
1. Pada sekeliling mulut pakaja diikatkan rumput laut atau "gusung/gosek"
(bahasa Sulsel)
2. Pakaja disusun dalam 3 kelompok yang satu dengan yang lainnya
berhubungan melaui tali penonda(drifting line)
3. Penyusunan kelompok (contoh: misalnya ada ±20 buah bubu)
8

10 buah diikatkan pada ujung tali penonda terakhir, kelompok berikutnya


terdiri 8 buah dan selanjutnya 4 buah lalu disambung dengan tali penonda yang
langsung dihubungkan (diikat) dengan perahu penangkap dan diulur sampai -+
antara 60-150 m.

Gambar 5 Bubu Hanyut

(Sumber : Anonim 1975)

Banyak macam perangkap pasang surut, beberapa diantaranya ada yang


merupakan jenis bubu misalnya bubu jermal (Jaring Kantong Jermal), Bubu Ambai
dan Bubu Apolo (Barus 1988).
1. Bubu Jermal (Jaring Kantong Jermal)
Bubu jermal termasuk jermal besar, mempunyai ukuran panjang jaring 10 m
diameter mulut 6 m, besar mata pada bagian badan 3 cm dan kantong 2 cm.
Operasi penangkapan dilakukan dengan menekan galah yang terdapat pada
kanan/kiri mulut jaring kebawah sampai dasar sehingga mulut jaring kantong
terbuka secara sempurna. Kemudian ditunggu antara 20-30 menit sementara
menunggu diangkat. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dengan menutup
mulut jaring dengan cara mengangkat bibir bawah ke atas hingga menyatu
dengan bibit atas, kemudian diikuti mengangkat bagian-bagian tengah kantong
melalui katrol-katrol. Pengambilan hasil dilakukan denga membuka ikatan tali
pada ujung belakang kantong.
9

Gambar 6 Bubu Jermal

(Sumber :docplayer.info)

Distribusi, terutama: Panipahan, Bagansi Api-Api, Pulau Merbau, Indragiri


Hilir di Riau, Tanjung Tiram, Sumatera Utara, (Tanjung Ledong, Sei Brombang,
Labuhan Bilib, Bagan Asahan, Tanjung Tiram, Pangkalan Dedek, Pangkalan Susu,
Pangkalan Brandan, Bandar Kalifah, Tanjung Biringin, Sialang dan Belawang.
2. Bubu Ambai
Juga disebut "ambai benar", "bubu tiang". Bubu ambai termasuk perangkap
pasang surut berukuran kecil, panjang seliruhnya antara 7-7,5 m. Bahan jaring
terbuat dari nilon polyfilament. Mulut jaring ada yang berbentuk bulat ada juga
yang berbentuk persegi berukuran 2,6×4,7 m. Pada kanan kiri mulut terdapat
gelang terbuat dari rotan maupun besi yang jumlahnya 2-4 buah. Gelang tersebut
dimasukkan kedalam tiang-tiang pancang yang disusun berderetan. Jumlah tiang
pancang (patok-patok) tadi disesuaikan dengan banyaknya jaring ambai dan
dipasang melintang memotong jurusan anus. Biasanya satu deretan ambai terdiri
dari 10-22 buah yang merupakan satu unit, bahkan untuk daerah Sumatera Itara
kadang mencapau 60-100 buah/unit.
Pada prinsipnya jaring ambai terdiri dati 4 bagian menurut besar kecilnya
mata jaring, yaitu bagian muka, tengah, belakang dan kantong. Namun demi
kemudahan sebut saja bagian kantong dan badan.
Sifat pennagkapan bubu ambai ini adalah semi temporer, sebab dengan
hanya menggunakan tiang-tiang (patok-patok) sebagai pengikat (pengikat) jaring
ia dapat mudah fipindah ke tempat lain bila dirasa perlu.
10

Penangkapan dengan bubu ambai bisa dilakukan baik pada waktu air
pasang maupun surut. Arah dari mulut jaring dapat dibolak-balik dihadapkan
darimana datangnya arus. Setelah 15-20 menit dari pemasangan, dapat dilakukab
pengambilan hasil, yaitu dengan mengangkat bagian bawah mulut ke permukaan
air dengan mempertemukan bibir atas dan bawahnya. Demikian seterusnya
dilakukan sehingga deretan ambau selesai dikerjakan dan baru kemudian
dilakukan pembukaan tali-tali pengikat pada ujung belakang kantong.
Hasil tangkapan bervariasi menurut besar kecilnya mata jaring yang
digunakan, karena itu ada ambai yang diseut "ambai udang" dan "ambai rebon".
Tersebut pertama ukuran mata untuk bagian badan rata-rata 2 cm, bagian
kantongnya 1 cm, sedang tersebut kedua ukuran mata bagian badan -+ 2 cm dan
untuk kantongnya berukuran lebih kecil dari bubu anbai udang.
Lokasi penangkapan dilakukan antara 1-2 mil dari pantai. Biasanya
ditangani 2-3 orang untuk tiap kali penangkapan, tergantung banyak sedikitnya
unit atau jaring yang dipakai.

Gambar 7 Bubu Ambai

(Sumber :docplayer.info)

Distribusi : sepanjang pantai timur Sumatera Utara (sekitar Pulau Halang,


Sungai Negamuk, Benfkalis), Sumatera Timur (Kuala Mandah, Concong Luar,
Kuala Tunggkal, Tembilahan, Perigi Raja, Kuala Enoh. Bagan si Api-Api) dan lain
sebagainya.

3. Bubu Apolo
11

Alat penagkapan ini sama dengan bubu ambai, bedanya ia mempunyai dua
kantong dan dikhususkan menangkap udang rebon. Bahan jaring dibuat dari
bennag nilon halus yang terdiri dari bagian-bagian : mulut, badan, kaki dan
kantong. Panjang jaring seluruhnya mencapai 11 meter. Mulut jaring berbentuk
empat persegi atau kurang lebih demikian dengan lekukan pada bagian kiri dan
kanan. Panjang badan 3,75 m, kaki 7,25 m dan lebar 0,60 m. Pada ujung kaki ini
terdapat mestak yang selanjutnyabdiikuti oleh adanya dua kantong yang
oanjangnya 1,60 m dan lebar 0,60.
Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan baik pada siang atau malam hari
pada waktu air pasang maupun surut. Pengoperasian bubu apolo ini diperlukan 2-
3 orang. Tempat dimana dilakukan pengoperasian, yaitu antara 1-2 mil dari
pantai di sekitar Pulau Halang. Penggunaab perahu hanya sebagai alat transpor,
biasanya berkekuatan 7-22 PK. 2-7 GT.

Gambar 8 Bubu Apolo

(Sumber :Zanapedia.com)

Selain pengklasifikasian diatas, ada pengklasifikasian lain menurut


Martasuganda (2004) beberapa contoh bubu yang sering digunakan oleh nelayan
di Indonesia, sebagai berikut:
4. Bubu Paralon
Penangkapan belut laut (sea eel) atau jenis conger eel yang banyak hidup di
perairan pantai atau ikan lindung yang hidup di sungai, muara atau di danau,
dapat juga dilakukan dengan menggunakan bubu yang bahannya terbuat dari
paralon. Jenis penangkapan dengan menggunakan bubu paralon dapat dilakukan
12

sebagai mata pencaharian sambilan atau sebagai mata pencaharian utama.


Sebagai gambaran, di bawah ini dijelaskan mengenai konstruksi, metode operasi,
umpan yang dapat dipakai, musim penangkapan dan daerah penangkapan dari
bubu paralon yang dapat dijadikan sebagai acuan sebelum melakukan usaha
penangkapan.

Gambar 9 Bubu Paralon

(Sumber : Researchgate.net )

Bahan untuk bubu paralon adalah paralon yang biasa dipakai untuk
keperluan saluran air dengan berdiameter antara 10 – 15 cm, panjang antara 60-
80 cm atau tergantung keinginan masing-masing yang akan mengoperasikannya,
pintu masuk dapat dibuat dari plastik atau anyamman bamboo sedangkan
pengikat pintu masuk dapat dibuat dari ban dalam bekas dengan lebar 1-2 cm.
Pemasangan bubu di perairan, dapat dipasang satu demi satu kemudian
diuntai atau dipasang dua atau tiga bubu dalam satu ikatan kemudian dipasang
dengan cara diuntai dengan jarak satu dan lainnya antara 5-6 m. Metode
pengoperasiannya adalah dengan cara memasang bubu di perairan yang di
perkirakan banyak di huni oleh jenis ikan yang akan dijadikan target tangkapan,
baik secara tunggal maupun dipasang secara beruntai. Pemasangan bubu di
perairan dapat dilakukan menjelang mata hari terbenam dan diangkat keesokan
harinya dipagi hari. Jumlah bubu yang akan dipasang sebaikanya disesuaikan
13

dengan besar kecilnya perahu dan kemampuan orang yang akan


mengoperasikannya.
Alat bantu penangkapan dari bubu ini dapat memakai garden yang dapat
dibuat dari bambu kayu atau besi. Jenis hasil tangkapannya berupa ikan hindung
jenis Fluta alba, anago anago, astroconger myriaster, congriscus megastomus dan
jenis ikan lindung lainnya. Pengoperasian bubu dapat dilalukan dengan tanpa
perahu, dengan perahu tanpa motor atau dengan perahu motor temple.
Nelayan yang mengoperasikan bubu paralon adalah nelayan yang
mengoperasikan bubu sebagai pekerjaan utama atau nelayan yang
mengoperasikan alat tangkap selain sebagai pekerjaan utama dan bubu dijadikan
sebagai alat alternative sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan
utamanya.Umpan yang dipakai dapat berupa umpan hidup seperti cacing, irisan
daging ikan atau ikan rucah.
Penangkapan dilaksanaan setelah disesuaikan dengan musim ikan atau
biota air lainnya yang akan dijadikan target tangkapan di daerah masing-masing.
Daerah penangkapan dari bubu paralon ialah perairan yang dasarnya
perairannya berlumpur, berlumpur bercampur pasir atau perairan yang banyak
dihuni oleh ikan yang akan dijadikan target tangkapan.
2. Bubu Keong Macan Dari Waring
Keong macan yang banyak hidup di perairan pantai dapat juga ditangkap
dengan menggunakan alat tangkap yang disebut dengan bubu keong macan.
Sebagai gambaran, di bawah ini dijelaskan mengenai konstruksi, metode operasi,
umpan yang dapat dipakai, musim penangkapan dan daerah penangkapan bubu
keong macan waring yang dapat dijadiakan sebagai acuan sebelum melakukan
usaha penangkapan denganbubu keong macan.
Rangka bubu terbuat dari besi behel dengan diameter 4mm dan badan
bubu terbuat dari waring dengan mesh size 4 mm. ukuran bagian bawah 30x30
cm, atas 10x10 cm, tinggi antara 8-10cm dan diameter pintu masuk berukuran
antara 6-8 cm. ukuran dapat berbeda antara nelayan satu dan nelayan lainnya
meskipun masih dalam satu daerah.
Pemasangan bubu di daerah penangkapan dipasang satu demi satu
kemudian diuntai dengan jarak satu dan lainnya antara 3-4 m. Dalam satu set
14

bubu biasanya dipasang antara 200-600 buah bubu atau tergantung dari
kapasitas perahu, modal dan kemampuan nelayang yang mengoperasikannya.
Waktu operasi di mulai dari jam 18:00-06:00 dengan lama perendaman antara 2-4
jam.
Alat bantu penangkapan yang digunakan dapat memakai gardan yang
dapat dibuat dari bambu, kayu atau besi.
Jenis hasil tangkapan dari bubu keong macan dari waring ini adalah Keong macan
– Babylonia spirata.
Perahu yang dapat digunakan dalam pengoperasiannya adalah perahu
motor temple atau perahu motor dengan ukuran L x B x D = 8.5 x 2.3 x 1.0 m.
Alat bantu penarik tali utama bias memakai gardan.

Gambar 10 Bubu Keong Macan dari Waring

(Sumber : Docplayer.info)

Nelayan yang mengoperasikan bubu keong macan dari waring adalah


nelayan yang mengoperasikan bubu keong macan sebagai pekerjaan utama,
jumlah nelayan berjumlah antara 2 sampai 4 orang.
Musim penangkapan disesuaikan dengan musim keong macan di daerah
penangkapan masing-masing. Informasi dari musim keong macan bias diperoleh
dari Cabang Dinas Perikanan dan Kelautan di daerah masing-masing.
Daerah penangkapan yang baik adalah daerah penangkapan yang dasar
perairannya berlumpur atau berlumpur bercampur pasir. Kedalaman perairan
15

tergantung keberadaan keong macan di daerah penangkapan, nelayan keong


macan di pelabuhan ratu pada umumnya mengoperasikannya di kedalaman mulai
5 meter sampai dengan 30 meter.
3. Bubu Keong Macan dari Bambu
Keong macan yang banyak hidup di perairan pantai dapat juga ditangkap
dengan menggunakan alat tangkap yang disebut dengan bubu keong macan.
Sebagai gambaran, di bawah ini dijelaskan mengenai konstruksi, metode operasi,
umpan yang dapat dipakai, musim penangkapan dan daerah penangkapan dari
bubu keong macan yang dapat dijadikan sebagai acuan sebelum melakukan
penangkapan dengan bubu keong macan dari bambu.
Ukuran bubu keong macan dari anyaman bambu yang banyak dipakai
adalah bagian bawah diameternya 20-30 cm, bagian atas diameternya 10-15 cm,
tinggmya antara 10-15 cm, diameter pintu masuk berkisar antara 8-10 cm
dengan berat pemberat di setiap setiap sudut bubu seberat kurang lebih 200
gram. Penusuk umpan memakai kawat dengan diameter kurang lebih 2 mm.
Ukuran bubu dapat berbeda tergantung daerah penangkapan dari nelayan yang
membuatnya.

Gambar 11 Bubu Keong Macan dari Bambu

(Sumber : docplayer.info )
16

Pemasangan bubu di daerah penangkapan dipasang dengan cara diuntai


satu demi satu (sistim rawai). Jarak satu dengan lainnya antara 1.5-2.0 m. Dalam
satu set bubu biasanya dipasang sebanyak 200-300 buah bubu atau dari
kapasitas perahu, modal dan kemampuan nelayan yang mengoperasikannya.
Waktu operasi dimulai dari jam 18:00 — 06:00 dengan lama perendaman antara
4-5 jam.
Pengoperasian bubu keong macan dari bambu umumnya tidak
menggunakan alat bantu. Untuk memudahkan pengoperasian pada waktu
mengangkat bubu dapat memakai gardan yang dapat dibuat dari bambu, kayu
atau besi.
Jenis hasil tangkapan yang diprioritaskan adalah keong macan (Babylonia
spirata), sedangkan hasil tangkapan yang tidak bisa dimanfaatkan dilepaskan
kembali ke perairan dalam keadaan hidup.
Pengoperasian bubu dapat dilakukan dengan menggunakan perahu motor
tempel atau perahu motor dengan rata-rata nelayan sebanyak 2 orang. Umpan
yang biasa dipakai berupa ikan pepetek yang sudah diasinkan atau ikan rucah.
Musim penangkapan disesuaikan dengan musim keong macan di daerah
penangkapan masing-masing informasi dari musim keong macan bisa diperoleh
dari Cabang Dinas Perikanan dan Kelautan di daerah masing-masing.
Daerah penangkapan ialah perairan pantai yang dasar perairannya
berlumpur, berlumpur bercampur pasir atau perairan yang banyak dihuni oleh
keong macan pada kedalaman antara 5 -20 m tergantung keberadaan keong
macan di daerah penangkapan.
4. Bubu Wadong
Salah satu jenis alat tangkap yang dipakai untuk menangkap kepiting di
sekitar hutan bakau adalah alat tangkap yang disebut dengan bubu wadorng. Alat
tangkap ini sifatnya pasif, dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan
dilewati oleh kepiting dan supaya kepiting mau memasuki wadong di dalamnya
diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus atau
terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat tangkap ini terbuat dari bahan
bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk umpan.
17

Jenis penangkapan dengan menggunakan bubu wadong dapat dilakukan


sebagai mata pencaharian sambilan atau sebagai mata pencaharian utama.
Sebagai gambaran, di bawahi ini dijelaskan mengenai konstruksi, metode operasi,
umpan yang dapat dipakai, musim penangkapan dan daerah penangkapan dari
bubu wadong yang dapat dijadikan sebagai acuan sebelum melakukan
penangkapan dengan bubu wadong.
Keseluruhan bagian dari alat tangkap ini terbuat dari bahan bambu
termasuk alat pemancang dan alat penusuk umpan. Ukurannya bervariasi dengan
antara 50-60 cm, diameter bagian tengah antara 40 — 50 cm. Pintu terletak di
kedua ujungnya dengan diameter antara 15 20 cm. Di bagian tengah badan bubu
terdapat pintu untuk mengambil hasil tangkapan. Umpan diletakan ditengah-
tengah bubu dengan cara ditusuk dengan bambu.nPemasangan bubu wadong di
perairan menggunakan bambu penyangga wadong selalu menetap dan stabil di
tempatnya.
Pemasangan Wadong di daerah penangkapan biasanya dipasang secara
satu persatu terpisah dengan yang lainnya. Dalam satu kali operasi dapat
dipasang sebanyak 10 - 20 buah wadong. Pemasangan wadong biasanya
dilakukan di sore hari pada waktu air surut dan diangkat pada pagi hari selagi air
surut. Semua kegiatan dilakukan secara manual baik dengan sampan maupun
tanpa sampan.

Gambar 12 Bubu Wadong

(Sumber : ejournal.undip)
18

Jenis hasil tangkapan yang didapat dengan alat tangkap ini berupa Kepiting
bakau (Scylle seratta) Pengoperasian bubu wadong biasanya tidak
mempergunakan perahu, tetapi nelayan memasangnya dengan cara turun
langsung ke perairan. Nelayan bubu wadong pada umumnya adalah orang-orang
yang tinggal dekat dengan hutan bakau di mana mereka melakukan aktifitas di
daratan sebagai petani, peternak atau sebagai buruh, sedangkan pengoperasian
bubu wadong hanya merupakan pekerjaan sambilan.
Umpan yang dipakai tidak menentu, biasanya memakai ikan apa saja yang
tersedia saat wadong akan dioperasikan. Musim penangkapan umumnya
dilakukan sepanjang tahun. Daerah penangkapan yang umum dijadikan tempat
untuk meletakan wadong adalah di sekitar akar-akar pohon mangrove atau di
tempat yang diperkirakan akan dilalui kepiting. Kedalaman perairan antara 40 -
50 cm pada waktu surut.
2.4 Konstrusi Kapal dan Bagian Kapal
Penggunaan bubu pada dasarnya dipilih berdasarkan kemampuan finansial
pembuatan bubu dan keadaan lokasi penangkan ikan. Salah satu konstruksi
dasar yang banyak dipilih dari pembuatan dan permodelan bubu adalah
penggunaan bambu, jaring, kawat atau besi. Berikut ini adalah hasil dari sebuah
aplikasi bubu dari bambu dan jaring untuk kegiatan penangkapan ikan.
1. Bubu Jaring dan Bubu Bambu Dengan Kapal/Perahu

(Sumber : Zulkarnaen, 2007)


Pada gambar kiri adalah bubu jaring dan gambar kanan adalah bubu
bambu sebelum dioperasikan. Penempatan bubu sebelum dioperasikan diletakkan
di atas kapal/perahu, kemudia dibawa ke fishing ground atau daerah
penangkapan ikan. Sebelum membawa ke daerah penangkapan maka bubu dicek
19

terlebih dahulu agar pada saat setting ikan dapat terperangkap dengan baik atau
tidak lolos melalui kerusakan bubu.

Gambar 13 Gambar Kapal Penangkakap Ikan

(Sumber : FAO, 2001)


Kapal penangkap ikan dengan bubu dibuat sedemikian rupa agar pada
saat proses setting sampai hauling dapat berjalan lancar. Penempatan ikan yang
masih hidup dan ikan beku seperti gambar diatas membutuhkan modal yang
cukup besar sehingga kebanyakan nelayan hanya menggunakan ikan segar yang
dimasukkan dalam ice box.
2.5 Alat Bantu Penangkapannya
Pengoperasian bubu tradisional umumnya tanpa menggunakan alat bantu,
namun dengan berkembangnya pengetahuan sehingga dapat menggunakan alat
bantu penangkapan. Alat bantu penangkapan dapat dipergunakan untuk
membantu leancaran operasi penangkapan serta meningkatkan jumlah
tangkapan ikan. Alat bantu yang digunakan pada bubu adalah menggunakan GPS
(Global Positioning System). GPS digunakan untuk menentukan dan mencari
posisi bubu pada saat setting dan hauling. Manfaat yang didapatkan dengan alat
tersebut adalah pada saat pengoperasian bubu akan memudahkan menghafal
daerah atau tempat pengoperasian bubu sampai pengangkatan bubu sehingga
tidak terjadi hilangnya bubu karena faktor human error (kelupaan).

Alat bantu lainnya selain GPS adalah penggunaan pakan ikan tenggelam
ataupun terapung yang ditebar disekitar bubu. Hal ini digunakan untuk menarik
20

ikan ke sekitar bubu dan kemudian ikan dapat tertarik masuk ke dalam bubu.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah penebaran pakan tersebut harus
secukupnya (tidak terlalu banyak). Cara yang satu ini menjadi cara yang cukup
efektif untuk memperoleh ikan dengan jumlah yang cukup banyak.

Selain itu, terdapat alat bantu penangkapan yang bertujuan untuk


mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Alat bantu penangkapan
tersebut antara lain :

1. Umpan: Umpan diletakkan di dalam bubu yang akan dioperasikan. Umpan


yang dibuat disesuaikan dengan jenis ikan ataupun udang yg menjadi
tujuan penangkapan.
2. Rumpon: Pemasangan rumpon berguna dalam pengumpulan ikan.
3. Pelampung: Penggunaan pelampung membantu dalam pemasangan bubu,
dengan tujuan agar memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu
dipasang.
4. Perahu: Perahu digunakan sebagai alat transportasi dari darat ke laut
(daerah tempat pemasangan bubu).
5. Katrol: Membantu dalam pengangkatan bubu. Biasanya penggunaan katrol
pada pengoperasian bubu jermal.

2.6 Metode Pengoperasian Alat


Sebelum setting  bubu, terlebih dahulu dikaitkan pada sebuah tali dan
penanda yang mengapung (pelampung). Cara setting bubu adalah dengan
dijatuhkan dari atas kapal dengan jarak tertentu disesuaikan dengan kedalaman
perairan. Hal ini dikarenakan bubu yang dijatuhkan dari atas kapal disesuaikan
dengan ikan yang akan ditangkap, misalnya kakap merah, kerapu, dll.

Setelah proses setting bubu jaring ataupun bambu, arit dijatuhkan


kemudian kapal bergerak perlahan disekitar lokasi peletakan bubu. Apabila arit
sudah tersangkut di bubu jaring ataupun bambu maka akan terjadi
proses hauling dan kapal dihentikan untuk sementara waktu.

lat bantu GPS (Global Positioning System) digunakan untuk melihat posisi
peletakan bubu. Peletakan lokasi bubu ditandai dengan menggunakan GPS
21

sehingga dapat terlacak keberadaan bubu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
apabila pelampung tanda pada bubu hilang. Setelah diketahui posisi bubu dengan
GPS, maka dapat dilakukan proses Hauling.

Proses Hauling pada bubu dilakukan dengan mengetahui posisi bubu


terlebih dahulu dengan GPS. Langkah selanjutnya adalah menurunkan arit yang
dilengkapi tali yang lebih dari kedalaman perairan. Setelah arit tersangkut pada
bubu maka dilakukan proses penarikan tali hingga bubu naik ke atas kapal. Tali
yang ditarik ke atas kapal dibantu orang lain untuk penggulungan tali agar tidak
kusut dan tersangkut. Proses hauling dilakukan sampai bubu yang dijatuhkan
pada saat setting dapat terangkat ke atas kapal semua. Apabila bubu sudah
berada pada kapal, ikan hasil tangkapan selanjutnya dimasukkan ke dalam es
(cool box). Hasil tangkapan ikan tiap bubu terkadang belum memuaskan,
sehingga dilakukan setting ulang hingga proses hauling sampai ikan hasil
tangkapan cukup memuaskan.

Pemasangan bubu di daerah penangkapan dipasang satu demi satu


kemudian diuntai dengan jarak satu dan lainnya antara 1,5–2,0 m. dalam satu set
bubu biasanya dipasang sebanyak 200–300 buah bubu atau tergantung dari
kapasitas perahu, modal dan kemampuan nelayan yang mengoperasikannya.
Waktu operasi dimulai dari jam 18.00–16.00 dengan lama perendaman antara 2–4
jam (Martasuganda, 2003).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Daerah Penangkapan Ikan

Daerah Penangkapan Ikan adalah suatu daerah perairan dimana ikan yang
menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat
tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis.

Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan


ikan” apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target
penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk
menangkap ikan. Hal ini dapat diterangkan bahwa walaupun pada suatu areal
perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat
tangkap tidak dapat dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti
antara lain keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya.

Sebab-Sebab Utama Jenis ikan berkumpul disuatu daerah perairan. a. Ikan-


Ikan tersebut memiliki perairan yang cocok untuk hidupnya. b. Mencari makanan.
c. Mencari tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan
larvanya.

Karakteristik Daerah Penangkapan Ikan

Kondisi-kondisi yang perlu dijadikan acuan dalam menentukan daerah


penangkapan ikan adalah sebagai berikut :

a). Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudahnya
datang bersama-sama dalam kelompoknya, dan tempat yang baik untuk dijadikan
habitat ikan tersebut. Kepadatan dari distribusi ikan tersebut berubah menurut
musim, khususnya pada ikan pelagis. Daerah yang sesuai untuk habitat ikan, oleh
karena itu, secara alamiah diketahui sebagai daerah penangkapan ikan. Kondisi
yang diperlukan sebagai daerah penangkapan ikan harus dimungkinkan dengan
20
21

lingkungan yang sesuai untuk kehidupan dan habitat ikan, dan juga melimpahnya
makanan untuk ikan. Tetapi ikan dapat dengan bebas memilih tempat tinggal
dengan kehendak mereka sendiri menurut keadaan dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat. Oleh karena itu, jika mereka tinggal untuk waktu yang agak
lebih panjang pada suatu tempat tertentu, tempat tersebut akan menjadi daerah
penangkapan ikan.

b). Daerah tersebut harus merupakan tempat dimana mudah menggunakan


peralatan penangkapan ikan bagi nelayan. Umumnya perairan pantai yang bisa
menjadi daerah penagkapan ikan memiliki kaitan dengan kelimpahan makanan
untuk ikan. Tetapi terkadang pada perairan tersebut susah untuk dilakukan
pengoperasian alat tangkap, khususnya peralatan jaring karena keberadaan
kerumunan bebatuan dan karang koral walaupun itu sangat berpotensi menjadi
pelabuhan. Terkadang tempat tersebut memiliki arus yang menghanyutkan dan
perbedaan pasang surut yang besar. Pada tempat tersebut para nelayan
sedemikian perlu memperhatikan untuk menghiraukan mengoperasikan alat
tangkap. Terkadang mereka menggunakan trap nets, gill nets dan peralatan
memancing ikan sebagai ganti peralatan jaring seperti jaring trawl dan purse
seine. Sebaliknya, daerah penangkapan lepas pantai tidak mempunyai kondisi
seperti itu, tapi keadaan menyedihkan datang dari cuaca yang buruk dan ombak
yang tinggi. Para nelayan juga harus mengatasi kondisi buruk ini dengan efektif
menggunakan peralatan menangkap ikan.

c). Daerah tersebut harus bertempat di lokasi yang bernilai ekonomis. Ini
sangat alamiah di mana manajemen akan berdiri atau jatuh pada keseimbangan
antara jumlah investasi dan pemasukan. Anggaran dasar yang mencakup pada
investasi sebagian besar dibagi menjadi dua komponen, yakni modal tetap seperti
peralatan penangkapan ikan dan kapal perikanan, dan modal tidak tetap seperti
gaji pegawai, konsumsi bahan bakar dan biaya perbekalan. Para manajer
perikanan harus membuat keuntungan pada setiap operasi. Jika daerah
penagkapan tersebut terlalu jauh dari pelabuhan, itu akan memerlukan bahan
bakar yang banyak. Jika usaha perikanan tersebut benar-benar memiliki harapan
yang besar, usaha yang dijalankan mungkin boleh pergi ke tempat yang lebih
22

jauh. Nelayan yang dalam kasus demikian dapat memperoleh keuntungan dengan
manajemen usaha perikanan. Jika kita dapat membuat alat untuk meningkatkan
efisiensi usaha perikanan seperti menggunakan mesin perikanan yang lebih
efisien, kemudian kita dapat juga memperbesar kapasitas kita untuk menangkap
ikan ke tempat yang lebih jauh.

Daerah penangkapan ikan juga dikontrol oleh permintaan pasar untuk ikan.
Permintaan untuk produk ikan akan dipengaruhi oleh kapasitas ketersediaan dari
tempat tersebut, sebagai contoh, adalah baru saja dikembangkan sebagai daerah
penangkapan ikan. Jadi, daerah penangkapan ikan selalu memiliki nilai yang
relatif, berhubungan dengan keseimbangan ekonomi, daerah penangkapan ikan
lainnya, efisiensi usaha perikanan dan permintaan ikan di dalam pasar. Begitulah,
harus selalu berusaha menemukan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan
efektif dari metode penangkapan ikan yang dimodernisasi.
3.1.1 Pemilihan Daerah Penangkapan Ikan

Hal pertama yang harus kita ketahui tentang keberadaan daerah


penangkapan ikan menurut spesis ikan dan dari musim. Pemilihan daerah
penangkapan ikan akan dibahas dengan sesuai pemahaman dari efisiensi,
keuntungan dan ekonomi usaha perikanan. Metode pemilihan akan dibahas
sebagai berikut :

a). Asumsi awal tentang area lingkungan yang cukup sesuai dengan
tingkah laku ikan yang diarahkan dengan menggunakan data riset
oseanografi dan meteorologi.

b). Asumsi awal tentang musim dan daerah penangkapan ikan, dari
pengalaman menangkap ikan yang lampau yang dikumpulkan ke dalam
arsip kegiatan penangkapan ikan masa lampau.

c). Pemilihan daerah penangkapan ikan yang bernilai ekonomis dengan


mempertimbangkan dengan seksama jarak dari pangkalan, kepadatan
gerombolan ikan, kondisi meteorologi, dan lain sebagainya.
23

3.1.2 Klasifikasi Daerah Penangkapan Ikan

A). Berdasarkan Daerah Operasinya.

1. Littoral Zone Fishing Ground

2. Coastal Fishing Ground

3. High Sea Fishing Ground

4. Island Waters Fishing Ground

B). Berdasarkan Alat dan Metode Penangkapannya

1. Fixed Trap Net Fishing Ground

2. Lift Net Fishing Ground

3. Purse Seine Fishing Ground

4. Trawl Net Fishing Ground

5. Gill Net Fishing Ground

6. Angling Fishing Ground

C). Berdasarkan Jenis Ikan Target Penangkapan

1. Sardine Fishing Ground

2. Mackerel Fishing Ground

3. Bonito Fishing Ground

4. Tuna Fishing Ground

D). Berdasarkan Habitat Ikannya.

1. Demersal Fishing Ground

2. Pelagic Fishing Ground


24

3. Shallow Fishing Ground

E). Berdasarkan Kedalaman Perairannya.

1. Shallow Sea Fishing Ground

2. Deep Sea Fishing Ground

F). Berdasarkan Nama Perairannya.

1. Cina Selatan Sea Fishing Ground

2. Banda Sea Fishing Ground

3. Samudera Sea Fishing Ground

4. Arafura Sea Fishing Ground

G). Berdasarkan Letak Perairannya.

1. Laut Fishing Ground

2. Sungai Fishing Ground

3. Danau Fishing Ground

4. Rawa Fishing Ground

Daerah penagkapan adalah perairan pantai yang dasar perairannya


berlumpur, lumpur campur pasir, atau perairan yang banyak dihuni oleh keong
macan dengan kedalaman antara 5 – 20 m tergantung keberadaan keong macan
di daerah penagkapan. Bubu keong macan banyak dioperasikan di daerah
pelabuhan ratu, Sukabumi, Jawa barat (Martasuganda, 2003).
3.2 Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan terdiri dari berbagai jenis, antara lain Rajungan, Rajungan
Karang (Gerbong), Kerapu, Sotong, Kroyo, dan Keong Macan. (Jayanto 2018)
25

bubu lipat lebih efektif untuk menangkap jenis crustacea; Perbandingan Teknologi
Alat Tangkap Bubu Dasar Untuk Mengetahui Efektivitas Penangkapan Ikan
Demersal ekonomis Penting Di Klungkungan Bali (Mahulette, 2004).
3.3 Pembagian Tugas Nelayan

Rata-rata nelayan yang mengoperasikan alat tangkap bubu keong macan


sebanyak 2 orang (Martasuganda, 2003).

3.4 Sebaran Alat Tangkap Di Indonesia

Alat tangkap yang digunakan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia


salah satunya adalah perangkap (traps) atau yang biasa dikenal masyarakat
dengan nama bubu. Bubu merupakan alat tangkap yang berjenis perangkap yang
bersifat pasif dan bersifat tradisional yang pada umumnya berbahan dasar
bambu, rotan, kawat, besi, jaring dan kayu. Prinsip dasar dari bubu adalah
menjebak penglihatan ikan sehingga ikan tersebut terperangkap di dalamnya.
Alat ini sering diberi nama fishing pots atau fishing basket (Brandt, 1984). Bubu
adalah perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk dan dapat
diangkat ke beberapa daerah penangkapan dengan mudah, dengan atau tanpa
perahu (Rumajar, 2002). Teknologi penangkapan menggunakan bubu banyak
dilakukan di negara-negara yang menengah maupun maju (Martasuganda, 2005).
Bubu merupakan alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan dalam
penerapannya di dalam kegiatan usaha penangkapan ikan.Analisis sosial ekonomi
dan lingkungan perikanan bubu menjadi hal yang penting untuk diketahui karena
menjadi parameter yang menentukan tingkat keberhasilan usaha perikanan bubu
baik secara sosial maupun ekonomi dan lingkungan bagi pelakunya, dan
kontribusinya dalam sektor perikanan tangkap di Indonesia. Salah satu daerah di
Indonesia yang nelayannya menggunakan bubu adalah Indramayu.
DAFTAR PUSTAKA

Barus , H. R. & Waluyo, S., 1988 . Alat Penangkapan Ikan Dan Udang Laut Di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 50. Jakarta.

Brandt, V., 1984. Fish Catching Methods of The World. In: Fishing News Book.
London: Ltd, p. 418.

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu


Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. 69 hal

FAO, 2001. Fishing With Traps and Pots. In: Training series. Australia: FAO.

IMAI, 2001. Country Status Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Perdagangan
dalam Perikanan Karang di Indonesia. In: International Marinelife Alliance
Indonesia. Bogor: s.n.

Mahulette, R. M., 2004. Perbandingan Teknologi Alat Tangkap Bubu Dasar Untuk
Mengetahui Efektivitas Penangkapan Ikan Demersial Ekonomis Pentin Di
Klungkugan Bali. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII, Dukungan
Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan
Gizi Masyarakat, p. 7.

Martasuganda, S., 2003. Bubu (Traps). In: IPB, ed. Departemen PSP. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, p. Edisi Pertama.

Martasuganda, S., 2005. Serial Alat Tangkap Gillnet, Setnet, Traps. In: Bogor: s.n.,
p. Jilid 1.

Partosuwiryo, S., 2002. Dasar-dasar Penangkapan Ikan. In: Yogyakarta:


Universitas Gadjah Mada.

Rumajar, T. P., n.d. Pendekatan Sistem untuk Pengembangan Usaha Perikanan


Ikan Karang dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya
Kabupaten Donggala Sulawesi Tenggara.Thesis.Sekolah Pascasarjana. In: Bogor:
Institut Pertanian Bogor, p. 2002.

25
26

Anda mungkin juga menyukai