Anda di halaman 1dari 11

KEMUNGKINAN MENINGITIS BAKTERIAL PADA KEJANG

DEMAM SIMPLEKS ATAU KOMPLEKS PERTAMA PADA


ANAK BERUSIA 6-24 BULAN : EVALUASI TERHADAP 564
PASIEN

Abstrak :

Tujuan : Tujuan dari penelitian ini untuk menilai kemungkinan adanya


meningitis bakterial pada kejang demam simpleks atau kompleks pertama tanpa
adanya gejala meningitis yang mencolok.
Metode : Ini merupakan penelitian record based cross-sectional pada 564 pasien
dengan usia 6-24 bulan dan yang di evaluasi pada bagian gawat darurat pediatri
antara tahun 2007 dan 2013 untuk kasus kejang demam pertama pasien.
Hasil : Pada kelompok studi, sebanyak 452 (80%) di diagnosa dengan kejang
demam simpleks dan 112 (20%) didiagnosa dengan kejang demam kompleks.
Pada kedua kelompok tak ada yang didiagnosa dengan bakterial meningitis.
Jumlah anak yang menjalani pungsi lumbal lebih tinggi pada kelompok kejang
demam kompleks (p<0.001).
Kesimpulan : Rasio meningitis bakterial tidak meningkat pada pasien dengan
kejang demam kompleks baik dengan temuan klinis yang baik maupun temuan
klinis yang kurang seperti pada pasien dengan kejang demam simpleks.

Pendahuluan
Kejang demam secara umum didefenisikan sebagai kejang yang
bersamaan dengan demam dan tanpa adanya infeksi sistem saraf pusat, yang
terjadi pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Berdasarkan parameter
American Academy of Pediatrics (AAP) pada tahun 1996, pungsi lumbar (LP)
sangat disarankan pada anak hingga berusia 1 tahun karena gejala lain dari
meningitis bakterial dapat tidak ditemukan pada masa ini. Anak dengan usia 12-
18 bulan juga harus dievaluasi untuk menemui tanda dari pungsi lumbal karena
gejala klinis dari meningitis dapat bersifat samar pada kelompok usia ini.1

Dengan meningkatkan vaksinasi terhadap agen yang sering menyebabkan


meningitis, insidensi meningitis telah berkurang seiring waktu berjalan. Beberapa
pengamatan telah dilakukan dan melaporkan adanya kebutuhan untuk dilakukan
LP pada kasus kejang demam. Karena insidensi meningitis yang rendah pada
pengamatan ini, angka LP pada kejang demam telah berkurang sehingga
dibutuhkan evaluasi ulang mengenai rekomendasi AAP sebelumnya.2 Pada 2011,
AAP mengevaluasi hasil dari penelitian yang mengitervensi dan melaporkan
rekomendasi berbasis bukti baru untuk kejang demam simpleks (SFS).3 Namun,
sepengetahuan kami tidak ada konsensus mengenai kebutuhan lumbal pungsi pada
kasus kejang demam kompleks (CFS). Pada penelitian ini, tujuan kami adalah
untuk mengetahui rasio meningitis dan kebutuhan lumbal pungsi pada SFS dan
CFS pada pasien berusia 6-24 tahun tanpa gejala yang menonjol dari meningitis.

Bahan dan Metode


Penelitian record based cross-sectional ini dilakukan untuk mengevaluasi
pasien berusia 6-24 bulan yang berobat ke rumah sakit pendidikan dibagian gawat
darurat pediatri selama maret 2007 hingga april 2013 mengalami kejang demam
pertama dalam waktu 12 jam. Jumlah kasus yang ditemukan di bagian gawat
darurat diper sekitar 150,000 pertahun dan 6 dokter anak bekerja dalam
pembagian shift.

Berdasarkan kriteria deskriptif, pasien dibagi menjadi kelompok kejang


demam simpleks dan kompleks. Kejang demam kompleks didefenisikan dengan
durasi kejang lebih dari 15 menit, dengan kekambuhan dalam 24 jam dan bersifat
kejang fokal.3 Kasus dibagi menjadi dua kelompok, dengan kelompok pertama
terdiri dari pasien berusia 6-12 bulan dan kelompok kedua terdiri dari pasien
berusia 12-24 bulan. Usia, kelamin, status vaksinasi, tipe kejang, temuan
pemeriksaan fisik, dan temuan hasil lab dari semua pasien dianalisa. Kriteria
eksklusi pada penelitian ini adalah adanya riwayat kejang sebelumnya, kurangnya
vaksinasi Haemophilus influenzae tipe b dan pneumococcal, adanya penyakit
neurologis penyerta, adanya VP-shunt, adanya riwayat trauma dan atau intervensi
bedah saraf, adanya temuan klinis meningitis (contoh: fontanelle bulging,
tampilan toksik dan lethargy), riwayat penggunaan antibiotik sebelum pemberian,
dan riwayat medis yang kurang.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan meningitis
melalui analisa retrospektif dari bagan SFS/CFS. Analisa dari bagan gawat darurat
selama 72 bulan (Maret 2007 hingga April 2013) dilakukan untuk
mengidentifikasi subjek potensial. Data didapatkan melalui pengambilan data
kembali dari rekam medis elektronik. Pasien berusia dari 6 bulan hingga 2 tahun
serta pasien yang berhubungan dengan “kejang demam” dan “meningitis
bakterial”, berdasarkan kode ICD-10, diikut sertakan dalam penelitian ini.

Pada seluruh tipe kejang demam, pasien dengan meningeal sign, kondisi
umum buruk dan kurangnya vaksin serta pemberian antibiotik sebelum disarankan
dijadikan sebagai indikator. Pada kasus tanpa adanya gejala klinis yang jelas dari
meningitis pada kasus SFS digunakan guideline AAP sebagai pertimbangan
sebelum dilakukan LP. Dalam prakteknya, pada kasus CFS tanpa gejala atau tanda
ini, pilihan untuk dilakukan LP adalah berdasarkan kondisi umum masing masing
individu anak.

Penyebab demam sebagai faktor etiologis untuk kejang demam dan rasio
LP untuk tipe kejang demam apapun pada saat itu di catat.

Pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit serum, dan C-reactive


Protein (CRP) dilakukan dan dicatat dengan nilai CRP diatas 5mg/L dan sel darah
putih (WBC) diatas 17,000 μL didefenisikan sebagai “tinggi”. Pleocytosis
didefenisikan sebagai sel darah putih cairan serebrospinal lebih dari 10/μL. 4
Diagnosis meningitis bakterial dibuat dengan temuan CSF, dimana tampilan CSF
tampak berawan (cloudy), tergantung pada keberadaan konsentrasi signifikan dari
WBC, bakteri, dan atau protein. Peralatan diagnostik yang digunakan berupa
peningkatan konsentrasi protein, rasio CSF dengan glukosa serum <0.4,
predominansi neutrofil pada CSF, peningkatan jumlah WBC, biasanya dengan
rentang 1000-5000 sel/μL, walaupun rentang tersebut dapat menjadi cukup luas
(<100 hingga >110,000 sel/μL), adanya bakteri dengan pewarnaan gram, dan
kultur CSF yang positif.5 Grafik kesehatan pasien di monitoring pada pasien yang
dipulangkan tanpa dilakukan LP.

Data dievaluasi menggunakan software SPSS (versi 16.0 untuk windows;


SPSS, Inc., Chicago, IL, USA). Data terdistribusi normal ditampilkan dalam
bentuk mean ± standar deviasi, selain itu data yang condong (skewed data)
ditampilkan sebagai median (rentang interquartil). Odds ratio (OR) dan tingkat
kepercayaan 95% (CI) digunakan untuk menganalisa kekuatan dari asosiasi untuk
outuput model regresi. Untuk menilai rasionalitas data digunkan uji ✗2. Perbedaan

antara kedua kelompok dihitung menggunakan sampel indepetenden dari


Student’s t-test untuk data yang terdistribusi normal dan Mann-Whitney U-test
untuk data yang tidak terdistribusi normal. Nilai P <0.05 dinilai sebagai signifikan
secara statistik.

Hasil
Populasi penelitian terdiri dari 564 pasien dimana 295 (52%) pasien adalah
laki-laki. Diantara populasi ini, 452 (80%) adalah kasus SFS dan 112 (20%)
adalah kasus CFS (Tabel 1). Rasio dari prosedur pungsi lubar, deteksi pleocytosis
dan hasil kultur CSF baik pada pasien SFS / CFS ditampilkan pada Gambar 1.
Seluruh pasien telah diimunisasi lengkap terhadap pneumococcus dan
Haemophilus influenzae tipe b. Tidak ditemukan adanya kelainan CSF yang

ditemukan baik pada pasien SFS / CFS. Terlebih lagi, tidak terdapat meningitis

bakterial yang terdeteksi. Tidak ditemukan adanya mikroorganisme pathogen dari


tiap kultur CSF pad a kedua kelompok; dalam 2 kasus kultur dinilai sebagai
terkontaminasi. Tampilan kasus dengan pleocytosis ditunjukkan pada tabel 2.
Pada periode follow-up seluruh pasien CSF dirawat inap. Pada kelompok SFS
tidak ada pasien yang dikembalikan kerumah sakit dengan diagnosa meningitis
bakterial yang tidak mengikuti LP.

Jumlah anak yang menjalani LP secara signifikan lebih tinggi pada


kelompok CFS. Rasio LP pada kelompok usia berbeda ditampilkan pada tabel 1.
Rasio yang lebih tinggi terdapat pada kelompok usia 6-12 bulan yang mengikuti
LP lebih tinggi secara signifikan pada kasus CFS (p<0.001). Ditemukan bahwa
LP pada SFS berkurang sejalan dengan waktu. Namun, jumlah LP tidak berubah
pada pasien CFS selama beberapa tahun dalam penelitian ini.

Infeksi saluran pernafasan atas ditemukan sebagai faktor etiologi paling


sering sebagai penyebab demam (n=400, 71%). Lainnya berupa penyebab demam
tidak diketahui (n=58, 10%), infeksi saluran pernafasan bawah (n=39, 7%),
gastroenteritis akut (n=35, 6%), infeksi saluran kemih (n=26, 5%), roseola
infantum (n=3, 0.5%), dan cacar (n=3, 0.5%). Namun, tidak terdapat perbedaan
signifikan yang ditemukan pada etiologi antara kejang demam simpleks dan
kompleks. Penyebab dilakukan LP tersering adalah adanya demam dengan
penyebab yang tidak diketahui dan berbeda secara signifikan dibandingkan
dengan etiologi lainnya (p<0.001). Berdasarkan kelompok usia, demam yang
tidak diketahui penyebabnya secara signifikan lebih tinggi pada kelompok usia 6-
12 bulan (p<0.001).

Pada seluruh kasus, rata-rata jumlah sel darah putih (WBC) adalah
13724±6265/μL (median, 12,700/ μL). Berdasarkan WBC, 74.3% dalam rentang
normal, 24.3% menunjukkan leukositosis, dan 1.4% ditemukan sebagai leukopeni.
Nilai rata-rata dari CRP adalah 12.91±20.29 mg/dL (median, 4 mg/dL);
ditemukan normal pada 58.7% dan tinggi pada 41.3%. Saat kami membandingkan
SFS dan CFS dalam parameter WBC dan CRP, tidak ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan (p=0.736 dan 0.950, secara respektif). Nilai WBC dan
CRP tidak berkorelasi dengan LP ([=0.830 dan 0.546, secara respektif; Tabel 1).

Diskusi
Pada anak dengan kejang demam, resiko terjadi nya meningitis bakterial
akut (ABM) masih menjadi kontroversi. Pada penelitian ini, tidak ditemukan
adanya meningitis bakterial diantara anak berusia 6-24 bulan dengan SFS serta
CFS yang tidak menerima antibiotik dan tetap dalam keadaan baik, tanpa adanya
gejala klinis meningitis.

Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah hanya bergantung pada


senter tunggal dan hanya mengandalkan analisa retrospektif dari data yang
didapat. Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah kurangnya pemeriksaan PCR
viral dari CSF sebagai diagnosis banding dari meningitis aseptik. Banyak
penelitian yang menghubungkan antara meningitis dan kejang demam yang
sedang dilakukan hingga saat ini. Memberikan hasil yang berbeda serta literatur,
pada 2011, guideline dari AAP mengenai SFS menyarankan LP hanya digunakan
jika adanya gejala klinis dari meningitis.3 Namun, saat ini masih belum ada
guideline untuk kasus Cfs. Karena tidak adanya kasus meningitis bakterial yang
ditemukan pada rangkaian pasien SFS tanpa gejala meningitis, pernyataan
“tindakan pungsi lumbal berkurang sepanjang tahun untuk kasus SFS, namun
tetap sama pada CFS” mungkin disebabkan oleh dokter tidak terlalu
mengkhawatirkan SFS namun tetap mengkhawatirkan CFS daripada bukti yang
ada. Pada 3 penelitian, dimana termasuk kasus CFS, tidak ditemukan adanya
meningitis bakterial.6-8 Pada penelitian yang lain, LP dilakukan pada 146 (37%)
dari 336 kasus CFS dan 6 kasus meningitis Streptococcus pneumoniae ditemukan,
dimana seluruhnya dilaporkan memiliki status mental yang abnormal (1 pusing, 1
penurunan status mental, 3 lethargik, 1 somnolen).9 Kimi et al,10 melakukan LP
pada 64% dari 526 kasus CFS pada kelompok usia 6-60 bulan dan menemukan 2
kasus meningitis bakterial pada pasien dengan gejala neurologis abnormal yang
jelas. Diantara kedua pasien ini, 1 bersifat non responsive daat ditemukan, dan
satunya lagi mengalami fontanel bulging dan apnea. Pada penelitian penelitian
retrospektif terbaru pada 193 pasien CFS, LP dilakukan pada 136 dan pleositosis
ditemukan pada 14 pasien dan hanya 1 pasien yang didiagnosa sebagai ABM
(kasus ini memiliki total 4 kejan, dimana salah satunya berlangsung selama 30
menit dan intubasi setelah menerima antikonvulsan).11 Pada sebuah penelitian
yang dilakukan di India pada 497 kasus, LP dilakukan pada 199 kasus, ABM
ditemukan sebanyak 0,5% pada SFS dan 2% pada CFS. Pada penelitian yang
sekarang, baik kasus SFS dan CFS dengan usia dibawah 2 tahun dievaluasi untuk
meningitis bakterial.12 Namun, tidak ada kasus meningitis bakterial ditemukan
pada kedua kelompok.

Diantara kasus kami, hanya 39% pasien antara usia 6 sampai 12 bulan
dengan SFS pertama menjalani LP, walaupun AAP pada 1996 sangat
menyarankan untuk dilakukan LP. Angka koresponden adalah 75% pada kasus
CFS di kelompok ini. Alasannya adalah adanya potensi resiko meningitis
bakterial lebih tinggi pada kasus CFS.

Penelitian ini adalah salah satu dari beberapa tahun ini yang menilai
persentasi meningitis bakterial baik pada SFS dan CFS. Berdasarkan hasil, tidak
ada peningkatan resiko meningitis bakterial pada CFS vs SFS. Terlebih lagi,
kelompok penelitian terdiri dari populasi pasien berusia dibawah 2 tahun yang
memiliki resiko lebih tinggi karena kurang jelasnya temuan klinis meningitis pada
anak seusia ini.

Untuk kasus SFS, tidak direkomendasikan untuk melakukan hitung darah


lengkap atau analisa elektrolit serum.3 Pada kasus CFS, tidak ada rekomendasi
untuk melakukan hitung darah lengkap dan elektrolit serum. Hal ini dikarenakan
bahwa baik dari penyebab demam maupun elektrolit serum tidak spesifik pada
pasien SFS atau CFS. Selain itu, dipastikan bahwa baik SFS dan CFS, tidak ada
kebutuhan untuk mendapatkan hitung darah lengkap atau elektrolit serum untuk
diagnosa banding.

Pleositosis ditemukan pada 10 (1,7%) kasus kami. Namun, tidak ada


abnormalitas bikomiawi dan mikrobiologi CSF yang mengarah pada diagnosa
meningitis bakterial. Pada kasus kejang, alasan adanya pleositosis masih belum
jelas, namun telah diajukan bahwa terdapat gangguan sementara pada blood-
brain-barier.13 Pada penelitian lain disebutkan bahwa kejang yang berhubungan
dengan abnormalitas CSF masih jarang pada anak, dengan pleositosis postiktal
dan peningkatan kadar protein yang terjadi hanya pada 5% dan 10% pasien, secara
respektif. Mereka juga menemukan bahwa konsep abnormalitas CSF postiktal
adalah nilai klinis yang terbatas.14

Kesimpulannya, pada penelitian ini diketahui bahwa pada kasus kejang


demam pertama pada pasien yang muncul dengan baik, resiko meningitis bakterial
tidak bertambah jika ada riwayat kurangnya vaksinasi atau riwayat penggunaan
antibiotik. Tipe kejang tidak memiliki perbedaan dalam hal kemungkinan
timbulnya meningitis bakterial. Pada kasus dengan tampilan yang baik tanpa
gejala meningitis bakterial, LP tidak dianggap sebagai keharusan baik pada tipe
kejang demam apapun.
Referensi
1. Provisional Committee on Quality Improvement, Subcommittee on Febrile
Seizures. Practice Parameter: the neurodiagnostic evaluation of the child with a
first simple febrile seizure. American Academy of Pediatrics. Pediatrics
1996;97:773-5.
2. Hampers LC, Thompson DA, Bajaj L, Tseng BS, Rudolph JR. Febrile seizure:
measuring adherence to AAP guidelines among community ED physicians.
Pediatr Emerg Care 2006;22:465-9.
3. Subcommittee on Febrile Seizures; American Academy of Pediatrics.
Neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics
2011;127:389-94.
4. Nigrovic LE, Kuppermann N, Macias CG, et al. Clinical prediction rule for
identifying children with cerebrospinal fluid pleocytosis at very low risk of
bacterial meningitis. Pediatric Emergency Medicine Collaborative Research
Committee of the American Academy of Pediatrics. JAMA 2007;297:52-60.
5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, et al. Practice guidelines for the
management of bacterial meningitis. Clin Infect Dis 2004;39: 1267-84.
6. Teach SJ, Geil PA. Incidence of bacteremia, urinary tract infections, and
unsuspected bacterial meningitis in children with febrile seizures. Pediatr Emerg
Care 1999;15:9-12.
7. Watemberg N, Sarouk I, Fainmesser P. Acute meningitis among infants and
toddlers with febrile seizures: time for a reappraisal of the value of a lumbar
puncture. Isr Med Assoc J 2012;14:547-9.
8. Boyle DA, Sturm JJ. Clinical factors associated with invasive testing and
imaging in patients with complex febrile seizures. Pediatr Emerg Care
2013;29:430-4.
9. Seltz LB, Cohen E, Weinstein M. Risk of bacterial or herpes simplex virus
meningitis/encephalitis in children with complex febrile seizures. Pediatr Emerg
Care 2009;25:494-7.
10. Kimia AA, Ben-Joseph E, Prabhu S, et al. Yield of lumbar puncture among
children who present with their first complex febrile seizure. Pediatrics
2010;126;62-9.
11. Fletcher EM, Sharieff G. Necessity of lumbar puncture in patients presenting
with new onset complex febrile seizures. West J Emerg Med 2013;14:206-11.
12. Batra P, Gupta S, Gomber S, Saha A. Predictors of meningitis in children
presenting with first febrile seizures. Pediatr Neurol 2011; 44:35-9.
13. Siemes H, Siegert M, Hanefeld F. Febrile convulsions and bloodcerebrospinal
fluid barrier. Epilepsia 1978;19:57-66.
14. Wong M, Schlaggar BL, Landt M. Postictal cerebrospinal fluid abnormalities
in children. J Pediatr 2001;138:373-7.

Anda mungkin juga menyukai