A. Makna Agama
Sebagian orang berpandangan bahwa Tuhan dan spiritualitas itu tidak
membutuhkan agama. Agama yang menjadi manifestasi nilai ketuhanan dan
spiritualitas pada sebagiannya menunjukkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan
nilai ketuhanan dan spiritualitas. Bahkan agama oleh sebagian orang dinilai justru
telah menghancurkan nilai-nilai ketuhanan dan spiritualitas itu sendiri. Tidak sedikit
pemahaman tentang agama memunculkan konflik dan peperangan antar manusia
dengan dalih menyebarkan, mengamalkan dan membela ajaran agamanya. Klaim
kebenaran sebuah agama melahirkan pemahaman dalam diri seseorang bahwa orang
yang beragama lain adalah musuhnya dan oleh karena itu halal darahnya serta boleh
diperangi. Kalau agama membuat orang berperang, terus buat apa orang beragama?
Pertanyaannya, benarkah untuk bertuhan itu tidak memerlukan agama? Secara
potensial, memang manusia bisa mengenal Tuhan dengan sendirinya. Meskipun
seseorang tidak pernah membaca kitab suci, tidak pernah bertemu dan berinteraksi
dengan nabi dan rasul serta tidak pernah belajar agama, ia dengan sendirinya pasti
bisa mengetahui dan mengenal adanya Tuhan. Itulah yang disebut dengan fitrah
keagamaan. Fitrah keagamaan menjadikan manusia mampu untuk mengenal Tuhan
dengan dirinya sendiri. Dengan fitrah itu manusia sudah bisa mengenal Tuhan tanpa
harus mengikuti sebuah agama. Masalahnya adalah konsep ketuhanan yang manusia
bangun berdasarkan fitrah itu apakah sudah benar dan sampai kepada hakikat Tuhan
yang sebenarnya?
Di sisi lain, manusia adalah makhluk yang pendapat dan pemahamannya
bersifat relatif, bisa benar dan juga bisa salah serta bisa menimbulkan perbedaan
pendapat. Boleh jadi konsep ketuhanan yang dibangun oleh seseorang berbeda jauh
bahkan bertentangan dengan konsep ketuhanan yang diyakini oleh orang lain. Kalau
seperti ini tidakkah perbedaan konsep ketuhanan berpotensi menimbulkan konflik dan
peperangan antar manusia? Belum lagi soal perintah dan larangan dari Tuhan, apakah
bisa dipahami oleh manusia dengan sendirinya? Berikut penjelasan tentang hal
tersebut.
1. Pengertian Agama
Dalam Bahasa Indonesia kata agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang
secara historis erat hubungannya dengan agama Hindu dan Budha. Terdapat beragam
teori tentang kata agama ini. Salah satu di antaranya adalah mengatakan bahwa akar
kata agama adalah gam yang mendapatkan awalan a dan akhiran a sehingga menjadi
a-gam-a. Kata gam berarti pergi, tetapi setelah mendapatkan awalan dan akhiran a,
pengertiannya berubah menjadi jalan. Selain mendapatkan awalan a, kata gam
kadang-kadang juga diberi awalan i sehingga menjadi igama atau u sehingga menjadi
ugama.
Ketiga kata tersebut, yakni agama, igama dan ugama pada dasarnya
mempunyai arti yang sama, yaitu jalan. Tetapi di Bali ketiga kata itu dipahami secara
agak berbeda. Agama artinya peraturan, tata cara, dan upacara hubungan manusia
dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara dan upacara dalam berhubungan
dengan dewa-dewa; sedang ugama dalam berhubungan dengan sesama manusia.
Selain bermakna jalan, agama dalam konteks ini juga diartikan sebagai tradisi atau
kebiasaan. Yang dimaksud adalah tradisi dan kebiasaan dalam agama Hindu dan
Budha. Kedua agama tersebut menyebarkan kata agama di kepulauan Nusantara yang
kemudian terserap ke dalam bahasa Melayu dan dilanjutkan oleh bahasa Indonesia
(Ali, 2000:35-36).
Bersamaan dengan masuknya agama Islam ke wilayah Nusantara, maka
dikenallah istilah din. Kata din dalam Bahasa Arab mempunyai banyak arti pokok,
yaitu keberhutangan, kepatuhan, kekuasaan bijaksana, dan kecenderungan alami atau
tendensi. Tiga arti pokok yang pertama menjelaskan bahwa kata din
mengimplikasikan adanya hubungan antara dua belah pihak, di mana pihak yang satu
lebih tinggi kedudukannya daripada pihak yang lain. Pihak yang lebih rendah
kedudukannya menundukkan dirinya dalam arti menyerah dan patuh kepada hukum
dan peraturan yang dibuat oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya. Hal itu terjadi
dalam proses keberhutangan, kepatuhan dan kekuasaan yang merupakan arti dari kata
din. Agama adalah aturan yang mengatur hubungan antara Tuhan dan manusia, di
mana posisi Tuhan lebih tinggi kedudukannya dibanding manusia. Sedangkan arti
kecenderungan alami atau tendensi mengandung pengertian bahwa agama merupakan
kecenderungan manusia yang timbul dan tumbuh secara alami tanpa ada unsur
paksaan. Di mana dan kapan pun manusia hidup, ia akan senantiasa cenderung untuk
mengakui adanya Zat yang Mahakuasa yang menciptakan, mengawasi dan
menggerakkan manusia dan alam semesta. Kecenderungan itu akan terus ada, dan
manusia tidak akan dapat menghilangkan kecenderungan alami tersebut. Oleh karena
itu manusia yang tidak mengakui adanya Tuhan, berarti ia telah mengingkari
kecenderungan alami yang ada dalam dirinya itu.
Istilah agama dalam Bahasa Inggris adalah religion. Istilah tersebut mulai
dikenal bersamaan dengan kedatangan agama Kristen ke Nusantara yang dibawa oleh
kaum penjajah Belanda, Portugis dan Inggris. Kata religion berasal dari Bahasa Latin
relegere yang berarti berpegang kepada norma-norma. Sedangkan secara istilah kata
religion menurut Oxford Student Dictionary (1978) berarti “the biliefe in the
existence of supranatural ruling power, the creator and the controller of the
universe” yakni suatu kepercayaan akan keberadaan suatu kekuatan pengatur yang
bersifat supranatural yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta.
Religion dalam pengertiannya yang paling umum diartikan sebagai sistem
orientasi dan obyek pengabdian. Dalam pengertian ini semua orang adalah makhluk
religius, karena tidak seorang pun dapat hidup tanpa suatu sistem yang mengaturnya
dan tetap dalam kondisi sehat. Kebudayaan yang berkembang di tengah manusia
adalah produk dari tingkah laku keberagamaan manusia.
3. Jenis Agama
Dari segi sumbernya agama dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni:
a. Agama wahyu (samawi atau langit)
Agama wahyu adalah agama yang diterima oleh manusia dari Allah Sang
Pencipta melalui Malaikat Jibril dan disampaikan serta disebarkan oleh Rasul-
Nya kepada umat manusia. Wahyu-wahyu tersebut dilestarikan melalui al-
Kitab, suhuf (lembaran-lembaran bertulis) atau ajaran lisan. Sementara ini
agama-agama dunia yang disepakati sebagai agama wahyu, terlepas dari
adanya dugaan perubahan dalam doktrin dan ajaran agama tertentu, adalah
Yahudi, Nasrani dan Islam, yang sering disebut sebagai abrahamic religion.
Ketiga agama tersebut ajarannya bersumber dari wahyu Allah swt.
b. Agama non-wahyu (ardhi atau bumi)
Agama bukan wahyu bersandar semata-mata kepada ajaran seorang manusia
yang dianggap memiliki pengetahuan tentang kehidupan dalam berbagai
aspeknya secara mendalam. Contohnya agama Budha yang berpangkal pada
ajaran Sidharta Gautama dan Confusianisme yang berpangkal pada ajaran
Kong Hu Cu. Meskipun pada umumnya tidak diakui secara formal,
sesungguhnya banyak isme-isme atau kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh
dan dianut oleh manusia termasuk dalam kategori agama bukan wahyu ini.
Perbedaan antara agama wahyu dan agama bukan wahyu dapat dilihat dalam
skema berikut:
No Agama Wahyu Agama Bukan Wahyu
1. Bersumber pada firman Tuhan Bersumber pada pemikiran seseorang
2 Bersifat monoteis Bersifat polities
3 Penamaan agama tersebut berasal Penamaan agama tersebut dikaitkan
dari wahyu dengan pendiri atau tempat asal agama
tersebut
4 Berlaku universal untuk seluruh Berlaku lokal hanya untuk suatu
umat manusia masyarakat tertentu
Dari segi penyebarannya agama juga dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Agama misionari, yakni agama yang menuntut pemeluknya untuk
menyebarkan ajaran-ajarannya kepada manusia lainnya.
b. Agama bukan misionari, yakni agama tidak menuntut pemeluknya untuk
mnyebarkan ajaran-ajarannya kepada orang lain. Jadi cukup disebarkan
kepada lingkungan tertentu yang menjadi misi utamanya. (Suryana, 1997: 36-
37).
ُ ّٰ م ۗ َوالل
ه ْ ُ ف ْر لَك
ْ ُ م ذ ُن ُ وْبَك ُ ّٰ م الل
ِ ْه َويَغ ُ ُ حبِبْك َ ّٰ ن الل
ْ ِ ه َف اتَّبِعُوْن
ْ ُي ي َ ْحبُّو ْ ُ ن كُنْت
ِ ُم ت ْ ِل اْ ُق
مٌ ْ حيِ غَفُوْ ٌر َّر
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
ٍ ستَقِيْم
ْ م
ُّ ط ِ ن يَّشَ ۤاءُ اِلٰى
ٍ ص َرا َ ْسلٰم ِ ۚ وَيَهْدِي
ْ م َّ ه يَدْعُوْٓ اِلٰى دَارِ ال
ُ ّٰ وَالل
Artinya: “Dan Allah menyeru (manusia) ke Darus-salam (surga), dan
memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang
lurus (Islam).”
1. Fungsi Agama
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia sehingga diakui atau
tidak, sesungguhnya manusia sangatlah membutuhkan agama. Kebutuhan terhadap
agama yang begitu besar itu tidak saja di masa primitive dulu sebelum ilmu
pengetahuan berkembang, tetapi juga masyarakat di masa modern sekarang sewaktu
ilmu pengetahuan dan teknologi telah sedemikian maju.
Secara garis besar fungsi agama bagi kehidupan manusia dapat dilihat dari
aspek personal dan social. Dari aspek personal agama berfungsi memenuhi kebutuhan
yang bersifat individual, misalnya kebutuhan akan keselamatan, kebermaknaan hidup,
pembebasan dari rasa bersalah, dan kekhawatiran menghadapi maut dan kehidupan
sesudahnya. Sementara dari aspek social, agama berfungsi memberi penyadaran
tentang peran social manusiadalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat.
a. Fungsi Agama dari Aspek Personal
1) Fungsi Edukasi
Tak dapat disangkal bahwa agama memberikan edukasi kepada manusia
melalui risalah yang dibawa oleh para nabi dan rasul kemudian secara
terus menerus dari generasi ke generasi disampaikan oleh para pemuka
agama yang dianggap sebagai pewaris nabi. Edukasi yang dilakukan
agama itu berkaitan dengan edukasi moral, petunjuk kebenaran dan
informasi tentang alam ghaib/metafisika.
2) Agama sebagai sumber moral
Manusia sangat membutuhkan akhlak atau moral, karena moral begitu
penting dalam kehidupan manusia. Moral memberikan informasi tentang
perilaku yang seharusnya dilakukan oleh manusia dan juga perilaku yang
seharusnya dijauhi oleh manusia. Manusia tanpa moral pada hakikatnya
adalah sama dengan binatang. Tanpa moral, kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan akan kacau balau,
karena manusia tidak lagi peduli tentang perilaku baik dan buruk, yang
halal dan yang haram. Ketika hal itu diabaikan, maka potensi benturan dan
tabrakan antar kepentingan orang per orang akan terjadi yang akan
melahirkan konflik horizontal yang berujung pada kehidupan yang kacau
balau.
Informasi tentang nilai moral itu bisa didapatkan manusia dari agama.
Agama membrikan informasi tentang perilaku yang baik dan buruk.
Agama juga memberikan informasi tentang kewajiban manusia untuk
melakukan yang baik dan menjauhi perilaku yang buruk. Agama
memberikan informasi akan adanya ganjaran atau pahala bagi manusia
yang melakukan perbuatan yang baik dan ancaman siksa bagi yang
melakukan perbuatan buruk.
3) Agama sebagai petunjuk kebenaran
Manusia adalah makhuk yang senantiasa mempunyai rasa ingin tahu yang
besar. Salah satu obyek rasa ingin tahu itu adalah apa yang disebut dengan
kebenaran. Manusia dengan akalnya terus berupaya untuk mencari tahu
tentang kebenaran. Tapi sayang, sebegitu jauh usaha akal manusia untuk
mencapai kebenaran itu tidak membawa hasil seperti yang diharapkan.
Kemampuan akal hanya sampai kepada kebenaran nisbi (relative) dan
bukan kebenaran yang sesungguhnya.
Pada akhirnya agama lah yang mampu memberikan kebenaran hakiki
yang sebelumnya gagal ditemukan oleh akal manusia. Agama adalah
petunjuk kebenaran hakiki, bahkan agama itu sendiri adalah kebenaran,
kebenaran yang mutlak dan universal.
4) Agama sebagai sumber informasi metafisika
Akal manusia mungkin bisa menangkap dan memahami hal-hal konkrit
yang bersifat kasat mata. Tetapi, untuk memahami hal-hal yang bersifat
metafisik yang tidak terjangkau oleh panca indera, manusia tidak sanggup
melakukannya. Masalah metafisika (ghaib) seperti tentang Tuhan, hidup
sesudah mati, surga dan neraka tidak sanggup dipahami oleh akal manusia.
Manusia hanya bisa mengkhayal atau paling tinggi menduga-duga dan
tidak pernah mampu mengetahui perkara-perkara yang ghaib tersebut.
Ketika akal menyerah untuk mengetahui keberadaan alam metafisik
(ghaib), agama hadir sebagai sumber informasi tentang hal ghaib tersebut.
Dengan agama, manusia bisa mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan
alam arwah, alam barzah, alam akhirat, surge dan neraka, dan tentang
Tuhan dan segala sifat-Nya (Tim Penulis, 2007:9-14).
5) Fungsi Bimbingan Rohani
Agama mempunyai otoritas untuk melakukan pembimbingan dalam
berbagi hal untuk meraih kebahagiaan dan menjauhkan dari segala
malapetaka kehidupan. Agama mengajarkan tentang segala sesuatu yang
diperlukan dalam mencapai tujuan hidup manusia. Agama bukan hanya
memberi nustrisi jasmani manusia, namun juga memberi nutrisi rohani
manusia untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup.
Pemenuhan nustrisi jasmani dan ruhani merupakan kebutuhan hidup
manusia yang tidak bisa terpisahkan, karena memang manusia itu makhluk
yang terdiri dari dua dimensi yang terkait satu dengan lainnya, yakni
dimensi jasmani dan rohani.
Dampak perkembangan teknologi dan cepatnya arus informasi gelobal
sekarang ini membuat manusia mengalami dislokasi, yaitu banyak
manusia tidak tahu lagi posisinya dalam tatanan masyarakat. Dalam situasi
yang demikian banyak manusia yang mengalami kebimbangan,
kebingunan hidup dalam dataran kemasyarakan, akhirnya mengambil jalan
pintas sebagai pelarian dalam persoalan diri, kuluarga dan masyarakat.
Jika Mereka tidak memiliki pegangan iman yang kuat dalam kebingungan
dan kebimbangan hidup niscaya lari dari kenyaataan dan beralih pada
kesenangan materi, seperti ke tempat-tempat hiburan, Naza (Narkotik,
alkohol dan zat aditif, semacam sabu-sabu dll).
Sesungguhnya pelarian ke tempat hiburan (diskotik dan Naza) bagi
masyarakat yang sedang bingun tidak akan menjanjikan kedamaian,
bahkan hiburan dan semacamnya tersebut merupakan kesenangan yang
bersifat mengoda dan sementara (fatamorgana).
Kondisi seperti itu akan membawa manusia mengalami gangguan
kesehatan mental yang menurut Daradjat (1990:16) kesehatan mental yang
terganggu itu pada akhirnya dapat mempengaruhi keseluruhan hidup
seseorang. Mental yang kurang sehat akan mempengaruhi aspek perasaan,
pikiran/kecerdasan, kelakuan, dan kesehatan badan.
Bahkan beliau selanjutnya mengatakan bahwa kesehatan mental yang
terganggu mendorong seseorang untuk berbuat hal-hal yang tidak baik,
seperti suka mengganggu ketenangan dan hak orang lain, mencuri,
menyakiti atau menyiksa orang lain, menfitnah dan lain sebaginya.
Bila ditelusuri secara substantif dengan menggunakan analisis agama,
mental yang tidak sehat tersebut diakibatkan oleh hati yang sakit,
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah "Sesungguhnya dalam
tubuh manusia ada mudhghah, apabila ia baik akan baiklah tubuh
seluruhnya dan apabila ia rusak, rusaklah tubuh seluruhnya, ketahuilah
dia itu adalah hati (H.R. Bukhari dan Muslim.
Banyak orang mencari obat kegelisahan hati, namun dia tidak
menemukannya karena mereka meninggalkan agama bahkan kitab
sucinya, diganti dengan sesuatu yang bersifat materi. Mereka senantiasa
berkonsultasi kepada dokter dan psickiater bahkan mungkin dia lari
ketempat yang dilarang oleh agama untuk mengobati penyakitnya, dia
tidak menemukan apa-apa, bahkan semakin para.
6) Fungsi Penyelamatan
Kehidupan manusia penuh dengan masalah yang tidak selalu dapat
diselesaikan dengan mudah atau belum sepenuhnya mampu dipecahkan
oleh indra dan akal pikirannya. Ada banyak materi yang muncul dalam
kehidupandan belum mampu disingkap mengapa hal itu terjadi. Oeristiwa
kematian, bencana alam, dan berbagai problem yang tak mampu diatasi
menunjukkan keterbatasan dan kelemahan esensial pada diri manusia.
Namun dari dalam hati kecilnya yang paling dalam, muncul keinginan
agar harapan-harapannya senantiasa terpenuhi, terhindar dari berbagai
krisis, bahkan ingin selamat di dunia dan akhirat. Untuk itu, berbagai
upaya dilakukan agar Tuhan mau hadir dalam kemelut dan menyelesaikan
berbagai persoalan yang dihadapi, misalnya melalui doa, dzikir dan
amalan-amalan lainnya yang diajarkan oleh agama.
Agama memberi jalan untuk memperoleh jalan untuk keselamatan,
mengatasi berbagai krisis, dan mampu memenangkan pertarungan
melawan kemungkaran, kezaliman, dan segala bentuk ketidakadilan.
Tuhan memberikan jalan keselamatan apabila manusia menjalankan ajaran
agama dengan baik dan konsisten.
7) Fungsi Tabsyir dan indzar
Sudah menjadi ciri dalam kehidupan selalu ada pasangan berlawanan. Ada
laki-laki dan perempuan, ada siang dan malam, ada ganjaran dan
hukuman. Begitu pula dalam fungsi agama, ada tabsyir (kabar gembira)
dan indzar (peringatan). Agama memberi kabar gembira kepada semua
orang yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik untuk
mendapatkan pahala. Hal ini dimaksudkan sebagai penguatanuntuk
senantiasa tetap dalam posisi itu bahkan kalau bisa lebih baik lagi.
Sementara peringatan ditujukan kepada orang yang tidak mau peduli
terhadap ajaran agama dan membiarkan dirinya dalam kesesatan.
Terdapat dua jalan yang membentang, jalan kebenaran dan jalan
kesesatan. Agama dating mengajak manusia kepada jalan kebenaran dan
menghindar dari jalan kesesatan. Dengan demikian, tidak ada pelampiasan
tanggung jawab ketika manusia berhadapan dengan pengadilan di hari
penegakan hokum di akhirat. Para pembawa risalah agama telah dengan
tegas menyampaikan kabar gembira (tabsyir) dan peringatan (indzar) ini
kepada seluruh umatnya.
Rasulullah SAW sendiri telah memberi contoh kepada kita semua. Pada masa
hidupnya, toleransi antar umat beragama beliau gambarkan dalam hubungan jual beli
dan saling memberi dengan non muslim. Selain itu Rasulullah SAW juga tidak
enggan untuk menerima hadiah apapun dari umat lain.
Dalam menyikapi perbedaan pemahaman keagamaan semua kalangan harus
mau untuk mengedepankan rasa keikhlasan, kejujuran, dan kelapangan dada, dan
saling memahami kapasitas serta posisi masing-masing. Dengan cara ini, diharapkan
kehidupan yang harmonis dapat tercipta dan tetap terjaga dengan baik.
Perbedaan pemahaman keagamaan yang masih berada dalam wilayah ijtihadi
atau khilafiyah (majal al-ikhtilaf) harus bisa diterima dengan penuh toleransi
(tasamuh) dan tidak perlu dipertentangkan serta merasa dirinya paling benar. ''Karena
sesungguhnya, hakekat dari perbedaan pendapat itu adalah rahmat
Rasulullah saw pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke
perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, Rasulullah saw berpesan,
“Kalian jangan shalat asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”. Tidak ada
satupun sahabat yang bertanya mengenai maksud dari pernyataan Rasulullah ini.
Semuanya tampak sudah memahami apa yang dikehendaki Rasulullah saw. Saat
mereka berada di pertengahan jalan, waktu asar sudah masuk. Salah seorang sahabat
mengusulkan agar shalat terlebih dahulu. Ia khawatir kalau perjalanan dilanjutkan
waktu salat habis. Sementara sahabat yang lain menolak usulan itu. Alasannya, Rasul
memerintahkan salat di perkampungan Bani Quraizhah. Meskipun waktu salat asar
habis.
Kedua belah pihak dari rombongan sahabat ini bersikukuh dengan
keyakinannnya masing-masing dan tidak ada yang mengalah. Sahabat yang ingin
mengerjakan salat asar di jalan memahami pesan Nabi secara substansial atau
kontekstual. Sementara sahabat yang lain memahaminya secara literal dan tekstual.
Karena tidak ada titik temu, kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasulullah
saw. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasulullah saw membenarkan keduanya
dan tidak menyalahkan salah satunya (Ferdiansyah, 2018).
Kisah tersebut menggambarkan bahwa meskipun berdasarkan sumber
informasi yang sama, pemahaman terhadap maksud dari informasi tersebut bisa saja
menimbulkan perbedaan pendapat yang muncul karena perbedaan sudut pandang
dalam memahami informasi tersebut. Di sisi lain, Rasulullah saw menerima
perbedaan pemahaman tersebut tanpa menyalahkan salah satunya. Hal ini berarti
agama, yang diwakili oleh sosok Rasulullah saw, menerima kemungkinan terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan manusia saat memahami ajarannya. Tidak hanya itu,
dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berijtihad dan
ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Dan barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya
salah, ia mendapat satu pahala,”. Hasilnya benar atau salah, setiap orang yang
melakukan ijtihad tetap mendapat apresiasi pahala dari Allah swt.
Perbedaan pendapat sebagaimana dijelaskan di atas berkaitan dengan
pemahaman agama Islam itu bisa muncul karena sebab-sebab sebagai berikut:
a. Perbedaan qira’at (bacaan). Al-Qur’an diterima oleh para sahabat tidak dalam
satu tipe qira’at saja, melainkan dalam berbagai bentuk qira’at. Banyaknya
tipe qira’at ini turut serta dalam menciptakan perbedaan pendapat ulama
dalam hukum Islam.
b. Tidak mengetahui adanya hadis Nabi. Para sahabat berbeda intensitasnya
dalam berinteraksi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga
mereka berbeda dalam mengetahui hadis-hadisnya. Ada sahabat yang
mengetahui banyak hadis, sebaliknya ada sahabat yang hanya mengetahui
sedikit hadis.
c. Ragu-ragu akan kesahihan sebuah hadis. Para ulama tidak langsung
mengamalkan hadis yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu meneliti
kesahihannya. Perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadis menyebabkan
perbedaan dalam hukum fikih.
d. Perbedaan dalam memahami dan menafsiri teks. Sebagaimana diketahui, teks
Al-Qur’an dan Hadis tidak disajikan dalam bentuk satu tipe saja, melainkan
dalam banyak tipe. Ada teks yang qat’iyyud dalâlah, dan ada teks yang
dzanniyyud dalâlah. Teks qat’iyyud dalâlah yaitu teks yang ungkapan kata-
katanya menunjukkan makna dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas
sehingga tidak mungkin difahami makna lain, seperti macam-macam ukuran
dan takaran. Sedangkan teks dzanniyyud dalâlah adalah teks yang ungkapan
kata-katanya memiliki banyak makna dan mengandung multi penafsiran.
Akibatnya, ulama berbeda dalam menentukan makna yang paling tepat
menurut keyakinan masing-masing. Perbedaan dalam menentukan makna
yang tepat mengakibatkan perbedaan dalam hukum fikih.
e. Pertentangan antardalil. Dalam sebuah permasalahan, tidak jarang terdapat
banyak dalil yang kadang terlihat saling bertentangan, seperti dalam masalah
batalnya wudhu sebab menyentuh kemaluan (dzakar), di mana ada dua hadis
yang saling bertentangan. Hadis pertama adalah hadis riwayat Basrah binti
Shafwan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:“Barangsiapa menyentuh
kemaluannya maka dia tidak boleh melakukan shalat sampai dia berwudhu.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi).Sedangkan hadis kedua adalah hadis riwayat
Thalq bin Ali: “Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang
hukum laki-laki yang menyentuh kemaluannya saat sedang shalat, lalu beliau
menjawab: Bukankah ia hanya bagian dari tubuhmu.” (HR. Tirmidzi, Abu
Daud, dan Nasa’i). Ulama mazhab Syafi’i, Hambali, dan Maliki memilih
hadis pertama, sehingga mereka menyatakan bahwa menyentuh kemaluan
dapat membatalkan wudhu. Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya
berpegangan pada hadis kedua dan menegaskan ketidakbatalan wudhu karena
menyentuh kemaluan.
f. Perbedaan kaidah istinbat hukum. Para ulama mazhab memiliki kaidah
istinbat hukum masing-masing. Misalnya, mazhab Hanafi menggunakan
metode istihsan, sedangkan mazhab Syafi’i tidak menggunakannya.