Kelompok B1.1
Anggota:
Ahmad Alan Suhaimi (171610101077)
Afifah Firda Amalia (171610101078)
Yuriza Adelita Yolanda (171610101079)
Nabela Dhea Ulhaq (171610101080)
Usykuri Naila Iflachiana (171610101081)
Farah Rachmah Aulia Wardani (171610101082)
Rahmat Agung (171610101083)
Riris Aria Dewanti (171610101084)
Zhafirah Alifia Putri (171610101085)
Johan Al Falah (171610101086)
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Komunikasi Interprofesional 2
2.2 Tujuan Komunikasi Interprofesional 2
2.3 Contoh Komunikasi Interprofesional 2
2.4 Jenis dan Bentuk Komunikasi Interprofesional 5
2.5 Prinsip-prinsik Komunikasi Interprofesional 6
2.6 Faktor Pendukung dan Penghambat Komunikasi Interprofesional 6
2.7 Masalah dalam Komunikasi Interprofesional 8
2.8 Penyelesaian Masalah dalam Komunikasi Interprofesional 8
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan 9
3.2 Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
iii
3. Untuk mengetahui faktor yang mendukung, menghambat, dan masalah yang
sering terjadi pada komunikasi interprofesional pada ranah tenaga
kesehatan, serta cara mengatasinya.
iv
BAB II
PEMBAHASAN
v
Sejarah komunikasi dokter-pasien berawal pada tahun 1971 dimana terdapat 3
jenis hubungan dokter-perawat yang dijelaskan dalam literatur. Hubungan yang awal
disebutkan adalah hubungan manipulatif yang disebut “doctor-nurse game”. Pada
pola hubungan ini, para perawat diperbolehkan secara tidak lanjut mengubah atau
memodifikasi rencana perawatan atau pengobatan pasien dengan kondisi rencana
pengobatan sudah diizinkan oleh dokter yang bersangkutan dan perawat tetap di
bawah posisi dokter (Reeves, dkk., 2008). Melihat adanya hubungan tersebut maka
pada tahun 1971 dibentuklah organisasi National Joint Practice Commission yang
berfokus pada hubungan kolaborasi yang didukung oleh American Nurses
Association dan American Medical Association (The Joint Commission, 2015).
Terdapat 5 jenis hubungan dokter dan perawat berdasarkan the Essential of
Magnetism (Schmalenberg & Kramer, 2009):
a. Hubungan kolegial (Collegial Relationships)
Hubungan ini dikarakteristikkan dengan kedua belah pihak (dokter dan
perawat) memiliki kekuatan yang setara serta saling percaya dan
menghormati.
b. Hubungan kolaboratif (Collaborative Relationships)
Hubungan ini ditandai dengan kekuatan, rasa percaya, dan hormat yang
saling berkesinambungan dan kooperatif. Kerjasama yang terjadi disini
berlandaskan kesinambungan (mutually) bukan kesetaraan (equally).
Perawat bebas berpendapat serta dokter dan perawat saling mendengarkan
satu sama lain lalu mereka bersama-sama membuat rencana asuhan medis.
Tetapi pada dasarnya dokter masih tetap superior dibandingkan perawat pada
hubungan ini.
2.3.2 Hubungan murid dan guru (Student-Teacher Relationships)
Pada hubungan ini baik dokter maupun perawat dapat menjadi guru/pengajar.
Contoh implikasinya adalah pada dokter residen dan pada waktu dokter tamu harus
menghadapi penyakit komorbid yang tidak sesuai dengan keahliannya, maka disini
perawat dapat berperan sebagai pengajar atau pemberi arahan. Dokter yang berperan
vi
sebagai guru biasanya dokter yang memiliki banyak ilmu pengetahuan dan ingin
selalu menjelaskan atau mengajari.
2.3.3 Hubungan orang asing yang ramah (Friendly Stranger Relationships)
Hubungan ini dikarakteristikkan sebagai pertukaran informasi antara dokter-
perawat terjadi secara formal dan nada perasaan yang agak netral. Contohnya seperti
komunikasi yang rutin dilakukan dokter saat visite pasien, yaitu dokter datang,
melihat pasien, menuliskan perintah/rencana terapi lalu pergi.
2.3.4 Hubungan Perseteruan/Permusuhan (Hostile/Adversarial Relationships)
Hubungan ini ditandai oleh kemarahan, pelecehan verbal, ancaman nyata atau
tersirat, atau kepasrahan perawat. Hubungan ini adalah hubungan yang paling tidak
disukai oleh perawat dimana dokter selalu terlihat menggerutu/mengomel tidak hanya
pada saat lelah tetapi setiap saat. Pada penelitian berskala global, 96% dari 716
perawat ternyata pernah menyaksikan atau mengalami perilaku pelecehan oleh
dokter. 31% perawat mengatakan bahwa hubungan ini memang ada dan sangat umum
ditemukan di rumah sakit (Rosenstein, Russell, & Lauve, 2002; Sweet & Norman,
1995).
Komunikasi dokter-perawat yang efektif ditandai oleh faktor berikut ini: (1)
akurat (pesan yang dikirim benar dan sesuai fakta, interpretasi, atau penilaian); (2)
dapat dipahami (bahasa yang digunakan atau tingkat pembacaan yang sesuai); (3)
tepat waktu dan tersedia (pertukaran informasi disediakan atau tersedia ketika
dibutuhkan); (4) reliabel (sumber informasi dapat dipercaya dan up to date); (5)
konsisten (konten informasi tetap sama dengan informasi dari sumber lain); (6)
seimbang (konten menyajikan manfaat dan risiko terkait tindakan yang potensial atau
mengenali perbedaan dan persamaan perspektif dari suatu masalah; (7) berulang-
ulang (pengiriman/akses ke konten dapat dilanjutkan, diulang, atau diperkuat hingga
penerima menerimanya), (8) masalah budaya (pertukaran informasi bisa menjadi
masalah khusus di beberapa populasi, misalnya, etnis, ras, dan linguistik), dan (9)
keterbukaan (Cypress, 2011).
2.3.5 Keselamatan Pasien (Patient Safety)
vii
Pemahaman patient safety telah banyak berkembang dari sebelumnya hal yang
abstrak dengan berbagai pendekatan hingga menjadi hal yang nyata sekarang. Patient
safety adalah suatu sistem yang mengatur aspek keamanan pelayanan pasien di rumah
sakit. Sistem ini meliputi: penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Penekanan pada pelayanan kesehatan terkait patient safety adalah: pencegahan
terjadinya kesalahan, belajar dari kesalahan yang ada, dan membangun budaya
patient safety yang melibatkan profesi kesehatan, organisasi kesehatan dan pasien.
Berbagai penelitian di dunia membuktikan bahwa kesalahan medis terjadi karena
kesalahan dalam kedisiplinan, kesalahan teknis, dan kesalahan komunikasi (Mitchell,
2008). Kegagalan (errors) dibagi menjadi 2 yaitu kegagalan aktif dan kegagalan laten.
Kegagalan aktif disebabkan karena penggunanya, sedangkan kegagalan laten
disebabkan karena kegagalan sistem. Kegagalan laten ini dapat timbul hanya jika
terdapat hal yang dapat memicunya, antara lain karena komunikasi yang buruk
(Varpio, Hall, Lingard, & Schryer, 2008). Penyebab yang lain adalah faktor tantangan
pada lingkungan kerja kesehatan yang unik seperti: anggota tim yang berubah-ubah,
struktur kekuasaan hirarki yang terpusat, dan diskriminasi gender (Manojlovich,
2010; Robinson et al., 2010).
Dalam penerapan patient safety di rumah sakit, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien (Patient
Safety) di Rumah Sakit tahun 2015 yang terdiri atas 7 standar, yang salah satunya
adalah komunikasi efektif. Komunikasi efektif disini adalah komunikasi efektif yang
tidak hanya melibatkan dokter dan pasien saja tetapi juga komunikasi efektif antar
tenaga kesehatan. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
viii
2.4 Jenis dan Bentuk Komunikasi Interprofesional
Komunikasi interprofesional dapat terjadi dalam berbagai jenis komunikasi
dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan. Jenis komunikasi tersebut dapat berupa;
1) Komunikasi antara manajer fasilitas kesehatan dengan petugas kesehatan, 2)
Komunikasi antara dokter dengan perawat/bidan, 3) Komunikasi antara dokter
dengan dokter, misalnya komunikasi antara dokter spesialis dengan dokter ruangan
atau antar dokter spesialis yang merawat pasien, 4) Komunikasi antara
dokter/bidan/perawat dengan petugas apotek, 5) Komunikasi antara
dokter/bidan/perawat dengan petugas administrasi/keuangan, 6) Komunikasi antara
dokter/bidan/perawat dengan petugas pemeriksaan penunjang (radiologi,
laboratorium, dsb).
Selain jenis komunikasi diatas, komunikasi interprofesional memiliki bentuk
komunikasi yang terjadi ketika komunikasi berlangsung. Bentuk komunikasi
interpersonal dapat berupa komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Contoh
komunikasi non-verbal dalam komunikasi interpersonal dapat berupa rekam medik
pasien, resep untuk pasien, dll. Rekam medik pasien menjadi sumber informasi untuk
tenaga medis yang akan menjadi petugas pelayanan perawatan di kemudian hari.
Rekam medis pun bentuk komunikasi antar tenaga medis dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Sehingga mereka dapat melihat rekam medik terlebih dahulu
dan saling memberikan informasi. Selain itu, resep pun menjadi bentuk komunikasi
yang diberikan dokter untuk pasien mengambil obat di apotek.
ix
2. Pesan yang diberikan, dalam bentuk lisan maupun tulisan, harus dinyatakan
dengan menggunakan bahasa serta ungkapan yang jelas dan mudah
dimengerti oleh semua individu dalam tim tersebut.
3. Setiap individu dalam tim menghindari perselisihan dan pertentangan
sesama individu dalam tim agar komunikasi atau hubungan yang terjalin
lebih baik.
x
Masalah yang terjadi dalam komunikasi interprofesional dapat terjadi antar
profesi atau sesama profesi. Contohnya, perawat A telah menyelesaikan tugas
shiftnya dan akan segera pulang, sehingga ia terburu-buru memberikan rekam medik
pasien C ke perawat B tanpa adanya informasi lebih lanjut. Sehingga perawat B
merasa bingung untuk melanjutkan shiftnya karena kurangnya informasi yang jelas
mengenai pasien C. Contoh lain, ketika dokter memberikan resep untuk pasien
kepada apoteker, namun karena apoteker tidak terlalu jelas membaca tulisan dokter ia
pun mengganti obat tersebut yang hampir sama dengan yang tertulis di resep. Hal
tersebut dapat merugikan pasien jika obat tersebut tidak cocok dengan pasien
tersebut.
xi
2.8 Penyelesaian Masalah dalam Komunikasi Interprofesional
Masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pengaturan komunikasi yang
sebaik-baiknya antar tenaga kesehatan. Maka dalam organisasi kesehatan agar
komunikasi berjalan dengan baik dan tanpa ada masalah perlu memperhatikan hal-hal
berikut: 1) memperjelas uraian hak, tugas dan koordinasi masing-masing petugas
dalam suatu fasilitas kesehatan. Peran, hak dan tugas petugas lain juga harus
diketahui oleh masing-masing petugas, 2) memberikan otonomi kepada petugas untuk
mengambil keputusan sesuai dengan kewajiban dan kemampuannya, dan 3)
mereposisi kembali hubungan antar petugas kesehatan sebagai hubungan yang saling
melengkapi.
xii
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan informasi antar
individu. Komunikasi antara 2 atau lebih individu yang melibatkan banyak profesi
dan disiplin ilmu yang berbeda disebut komunikasi interprofesional. Kolaborasi antar
profesional dalam pendidikan dan praktik merupakan strategi inovatif yang akan
memainkan peran penting dalam mengurangi krisis tenaga kerja kesehatan global. Di
dunia kesehatan salah satunya terjadi antara dokter dan perawat.
Adanya komunikasi interprofesional adalah bertujuan untuk, 1) mewujudkan
kesehatan pasien yang lebih baik, 2) bertukar informasi dan alat medis agar lebih
efektif untuk memajukan praktek medis, 3) serta mengadvokasi untuk penerapan
standar baru pelayanan perawatan kesehatan; sehingga, diharapkan semua tenaga
medis dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya tanpa adanya
kesalahan komunikasi antar tenaga medis.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi interprofesional
antar petugas kesehatan, baik factor yang mendukung maupun menghambat.
Beberapa masalah pun dapat terjadi, sepertti role stress, lack of interprofessional
understanding, dan autonomy struggles, yang seringkali menimbulkan kesalah
pahaman dan berakibat buruk dalam komunikasi interprofesional, sehingga setiap
bagian dalam komunikasi interprofesional perlu untuk saling memahami peran
masing-masing demi mewujudkan promosi kesehatan dan peningkatan kesehatan
yang lebih baik.
3.2 Saran
Tim penulis makalah menyarankan kepada pembaca maupun seluruh profesi
dan petugas kesehatan untuk:
1. Saling memahami peran masing-masing dan menghormati kewajiban dan
ha kantar profesi,
xiii
2. Saling bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik demi mewujudkan
promosi kesehatan dan peningkatan kesehatan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, R & Rodman, G. 2006. Understanding Human Communication 9 ed. New th
Gilbert HV, Yan J, Hoffman SJ. 2010. A WHO Report: Framework for Action on
Interprofessional Education Collaborative Practice. Journal of Allied Health.
Haddad, A. M. (1991). The nurse/physician relationship and ethical decision making.
AORN Journal, 53(1), 151–156. https://doi.org/10.1016/S0001- 2092(07)66123-
7
Maheux, B., & Lajeunesse, J. (2014). Collaboration between family physicians and
nurse clinicians, 7.
Maulana, Heri D. J. 2007. Promosi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.
Warelow, P. J. (1996). Nurse-doctor relationships in multidisciplinary teams: ideal
or real?. International Journal of Nursing Practice, 2(1), 33–39.
xiv