Anda di halaman 1dari 34

TUGAS PBL

NYERI MENELAN

Disusun oleh : KELOMPOK 16

No Nama NPM
1. I Wayan Fajar Suastana 17700082
2. Putu Hade Wida Dewi 17700084
3. Prima Wibisono 17700086
4. Olifvia Indah Untari 17700088
5. Diti Nabilah Masnuna W. 17700090
6. Tyas Meidiana Zuhro 17700092
7. Sri Hastutik 17700094

PEMBIMBING TUTOR : dr. Maria Widijanti Sugeng, M. Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................2

BAB I SKENARIO...........................................................................................................3

BAB II KATA KUNCI......................................................................................................4

BAB III PROBLEM..........................................................................................................5

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................................6

4.1 BATASAN.................................................................................................6

4.2 CAVITAS ORIS........................................................................................9

1. ANATOMI / FISIOLOGI / HISTOLOGI........................................9

2. PATOFISIOLOGI..........................................................................14

3. PATOMEKANISME......................................................................15

4.3 JENIS-JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN..........................15

BAB V HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS).....................................23

BAB VI ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS..........................................24

BAB VII HIPOTESIS AKHIR........................................................................................25

BAB VIII MEKANISME DIAGNOSIS........................................................................26

BAB IX STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH...............................................27

BAB X PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI...................................................................31

10.1 PROGNOSIS...........................................................................................31

10.2 KOMPLIKASI.........................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................34

2
BAB I
SKENARIO

Nona Grace 20 tahun datang ke dokter dengan keluhan utama nyeri saat menelan.

3
BAB II
KATA KUNCI

1. Nyeri telan
2.

4
BAB III
PROBLEM

1. Apa yang terjadi dengan Nona Grace?


2. Bagaimana keadaan Nona Grace selanjutnya?
3. Bagaimana penanganan yang perlu dilakukan kepada Nona Grace?
4.

5
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 BATASAN
1. Anamnesa
Data Pasien :
 Nama : Nn. Grace
 Umur : 20 tahun
 Alamat : Dukuh Kupang, Surabaya
 Pekerjaan : Mahasiswa

Keluhan utama : Nyeri saat menelan


Riwayat Penyakit Sekarang :
 Nyeri saat menelan lima hari yang lalu
 Nyeri di kanan dan kiri leher bagian dalam
 Saat menelan makanan nyeri seperti ada yang mengganjal
 Demam satu hari yang lalu
 Bengkak di rahang bawah kanan dan kiri
 Batuk (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Tiga bulan yang lalu pernah sakit yang sama, sudah berobat dan sembuh
 Alergi (-)
 Operasi (-)
 Sakit TBC kelenjar (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Tidak ada
Riwayat Pengobatan :
 Tidak ada
Riwayat Penyakit Sosial :
 Suka makan pedas
 Rokok (-)
 Alkohol (-)

6
 Kurang minum
2. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran: Compos mentis
Vital Sign :
 Tensi : 110/70 mm/Hg
 Nadi : 82x / menit
 Suhu : 38℃
 RR : 18x / menit

Kepala :
 Anemia : (-)/(-)
 Ikterus : (-)/(-)
 Cyanosis : (-)/(-)
 Dipsnea : (-)/(-)
 THT : Status lokalis
- Telinga : Normal
- Hidung : Normal
- Tenggorokan : T2/T2  merah, nyeri sentuh, tidak ada bercak selaput
warna putih

Leher :
 Status lokalis : - Pembengkakan KGB submandibula kanan dan kiri
- Nyeri tekan (+)/(+)
Thorax :
 Cor : - S1,S2 Normal
- Murmur : (-)
 Pulmo : - Vesikuler (+)/(+)
- Wheezing (-)/(-)
- Ronki (-)/(-)
- Palpasi : Normal
- Auskultasi : Normal
Abdomen :
 Nyeri tekan (-)

7
 Supel
 Bising usus: DBN
 Hepar : DBN
 Ginjal: DBN
 Lien: DBN
Extremitas :
 Refleks normal
 Edema (-)
 Bekas luka (-)
 Perfusi akral hangat

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin :
a. Hb = 12 gram/dl
b. HCT = 35% (normal)
c. Leukosit  11.500/mm3
d. Trombosit 211.000/mm3
e. LED  40

8
4.2 CAVITAS ORIS

1. ANATOMI / FISIOLOGI / HISTOLOGI


A. CAVITAS ORIS

Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah
bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum
keras), dasar dari mulut, trigonumretromolar, bibir, mukosa bukal, ‘alveolar
ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang
yangmembatasi rongga mulut (Yousemet al., 1998).
Dilihat dari ventral. Kedua deretan gigi dengan proc. Alveolares rahang atas
dan bawah membagi rongga mulut menjadi :
a. Vestibulum oris : serambi rongga mulut antara bibir atau pipi dan deretan gigi.
b. Cavitas oris propria : rongga mulut yang sebenarnya (di dalam deretan gigi,
batas belakang: Arus palatoglossus).
c. Fauces : tenggorokan (batas pharynx: arcus palatoglossus).
Tenggorokan beralih melewati penyempitan tenggorokan (isthmus faucium)
ke pharynx. Rongga mulut dilapisi oleh epitel pipih berlapis tidak bertanduk, yang
dijaga kelembapannya oleh kelenjar-kelenjar ludah yang berukuran kecil.
Potongan median sagital, dilihat dari kiri. Otot-otot dasar mulut bersama
lidah (yang menumpang diatasnya) membentuk batas kaudal cavitas oris propria.
Atapnya dibentuk di dua pertiga bagian depan oleh langit-langit keras (pallatum
durum), sedangkan di sepertiga bagian belakang oleh langit-langit lunak atau layar
langit-langit (pallatum molle = velum patinum), uvula palatina membentuk
penutupan terhadap pharynx. Epitel pipih berlapis bertanduk dari kulit beralih
menjadi epitel pipih berlapis tanpa lapisan berkreatin rongga mulut pada daerah

9
peralihan antara kulit bibir dan mukosa rongga mulut. Di atas rongga mulut
ditemukan rongga hidung, dibelakang rongga mulut terletak pharynx, dibagian
pertengahannya, di oropharynx, saluran napas dan saluran makanan saling
bersilangan.
Jalur pembuluh darah dan saraf palatum durum mencapai rongga mulut dari
kranial melalui foramen incisivum serta foramina palatina majus dan minus. Saraf-
saraf tersebut merupakan cabang-cabang terminal N. Maxillaris, sedangkan arteri-
arteri berasal dari daerah aliran A. Maxillaris. Inervasi sensoris dilakukan oleh
cabang-cabang N. Trigeminus yang berbeda-beda (N. Trigeminus dari N.
Mandibularis, cabang-cabang lainnya dari N. Maxillaris). Layar langit-langit
(velum palatinum) membentuk batas belakang rongga mulut terhadap oropharynx.
Di garis median, otot-otot menyebat menuju ke aponeurosis palatina, yang
merupakan kerangka jaringan ikat layar langit-langit. M. Tensor veli palatini, M.
Levator veli palatini, dan M. Uvulae dapat terlihat. M. Tensor veli patini
meregangkan layar langit-langit (velum palatinum) dan sekaligus membuka muara
tuba auditiva, sedangkan M. Levator veli palatini mengangkat velum palatinum
sampai rata. Degnan pengecualian M. Uvulae, kedua otot tersebut juga ikut ambil
bagian dalam membentuk dinding lateral pharynx.
Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi
dan otot-otot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar
makanan berada diantara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot
tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara. Palatum
merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut
dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Struktur
palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas
pada saat yang sama.

10
B. TONSIL

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring
yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil
tubal (Ruiz JW, 2009).
 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk
oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh :
 Lateral – muskulus konstriktor faring superior
 Anterior – muskulus palatoglosus
 Posterior – muskulus palatofaringeus
 Superior – palatum mole
 Inferior – tonsil lingual (Wanri A, 2007)
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli
merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di

11
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu
dan umumnya memperlihatkan pusat germinal (Anggraini D, 2001).
 Fosa Tonsil :
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral
atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y,
2008). Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding
faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
 Vaskularisasi :
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu :
a) Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden;
b) Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden;
c) Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal;
d) Arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi
oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri
palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di
sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).
 Aliran getah bening :

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening
eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri A, 2007).
 Persarafan :

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX


(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

12
 Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah cerukdengan
celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang
lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak
mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid
akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi (Hermani B, 2004).
 Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen utama yaitu
jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan
interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid):
1) Jaringan ikat yaitu trabekula atau retinakulum, bertindak sebagai rangka
penunjang tonsil. Trabekula mengandung pembuluh darah,saraf dan
kelenjar limfe.
2) Folikel germinavitum merupak pusat, tempat sel induk dari kelompok
leukosit mengalami kariokinesis dan membentuk sel-sel limfoid muda.
3) Jaringan interfolikular terdiri dari sel-sel limfoid dalam berbagai stadium
perkembangan. Sel-sel ini berbeda ukuran dan bentuknya tergantung dari
lokasinya. Sekitar folikel jumlahnya lebih besar dalam struktur anatomi.
Tonsil selalu digambarkan mempunyai sebuah “kapsul”, tetapi adanya kapsul
yang pastindisangkal oleh beberapa ahli anatomi. Untuk keperluan klinik,
kapsul adalah sebuah selubung fibrosa yang berwarna putih yang disebut fasia
faringeal yang menutupi 4/5 bagian tonsil. Kapsul tonsil mempunyai

13
trabekula yang berjalan ke dalam parenkin. Trabekula ini mengandung
pembuluh darah, sarafsaraf dan pembuluh limfe eferen.
Lokasi tonsil (terutama tonsil palatina) sangat memungkinkan terpapar
benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi
utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan
sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik . Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan
virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi
sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi .
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar.
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang di dalamnya terdapat sel
limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit
tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem
imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit
dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen
ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G.

2. PATOFISIOLOGI
Sakit saat menelan merupakan salah satu masalah yang umum terjadi pada
semua orang. Anda mungkin akan merasakan sakit dari leher sampai bawah di bagian
belakang tulang dada. Rasa sakitnya seperti tenggorokan terbakar dan terasa tertekan.
Anda juga biasanya akan merasa sakit di dada, merasa makanan masih menempel di
tenggorokan, merasa berat saat menelan, atau merasa leher tertekan saat menelan.
Sakit saat menelan biasanya merupakan suatu gejala dari masalah tenggorokan,
penyakit infeksi, atau reaksi alergi.

14
3. PATOMEKANISME
A. Tonsilitis Akut

4.3 JENIS-JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN


a. Tonsilitis Akut
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2007). Tonsilitis
akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus β
hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga
disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000). Menurut Soepardi (2007) macam-
macam tonsilitis yaitu :
1. Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Virus Epstein Barr adalah penyebab paling
sering. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga
15
mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan.
2. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus,
Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk
tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila
bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan
terjadi tonsilitis lakunaris.
3. Tonsilitis Membranosa
3.1 Tonsilitis difteri
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman
Coryne bacterium diphteriae. Penularannya melalui udara,
benda atau makanan yang terkontaminasi. Tonsilitis difteri sering
ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun frekuensi
tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.
3.2 Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus
hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi.
3.3 Angina plaut vincent ( stomatitis ulsero membranosa )
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau
triponema yang didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut
yang kurang dan defisiensi vitamin C.
3.4 Penyakit kelainan darah

Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis


dan infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup
membran semu. Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan
di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak
bercak kebiruan.

 Gejala Klinis

16
Tanda dan gejala tonsilitis akut yaitu seperti demam mendadak, nyeri
tenggorokan, ngorok, dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan
menurut Mansjoer (2000) adalah suhu tubuh naik sampai 40oC, rasa gatal atau
kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan),
anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga). Bila laring terkena suara akan menjadi
serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemisis, tonsil membengkak, dan
hiperemis.

 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi
kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas. Didapatkan
detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.
Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan Ukuran tonsil
pada tonsillitis krobik dapat membesar ( hipertrofi) atau atrofi. Thane & Cody
membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4 :
- T1 = batas medial tonsil meleati pilar anterior sampai 1⁄4 jarak pilar
anterior uvula.
- T2 = batas medial tonsil melewati 1⁄4 jarak pilar anterior-uvula sampai
1⁄2 jarak pilar anterior-uvula.
- T3 = batas medial tonsil melewati 1⁄2 jarak pilar anterior-uvula samapi
3⁄4 jarak pilarr anterior-uvula.
- T4 = batas medial tonsil melewati 3⁄4 jarak pilar anterior-uvula atau
lebih.

17
 Pemeriksaan Penunjang

- Tes masase tonsil : salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang lebih 5
menit dengan kain kasa, jikalau 3 jam kemudian didapati kenaikan
leukosit lebih dari 10.000/mm atau kenaikan laju endap darah ( LED)
lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap
positif.

- Penyinaran dengan UKG : tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan 4


jam kemudian diperiksa jumlah leukosit dan LED. Jika terdapat kenaikan
jumlah leukosit lebih dari 2000/mm atau kenaikan LED lebih dari 10 mm
dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.

Tes hialuronidase : periksa terlebih dahulu jumlah leukosit, LED dan


temperature oral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam setelah,
kenaikan jumlah leukosit lebih dari 1000/mm serta kenaikan LED lebih dari
10 mm maka tes ini dianggap positif( Herawati S, 2004).

b. Faringitis Akut

Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring atau
dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari
infeksi akut orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau bagian dari influenza
(rinofaringitis) (Departemen Kesehatan, 2007). Faringitis akut adalah infeksi
pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya
nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran kelenjar
getah bening leher dan malaise (Vincent, 2004). Macam-macam faringitis akut;

1. Faringitis Viral

Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus


(EBV), Virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain.
Gejala dan tanda biasanya terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil
hiperemis. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
retroservikal dan hepatosplenomegali.
18
2. Faringitis Bakterial
Infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Faringitis
akibat infeksi bakteri Streptococcus ß hemolyticus group A dapat
diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
- Demam
- Anterior Cervical lymphadenopathy
- Eksudat tonsil
- Tidak adanya batuk

Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 0−1 maka
pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus ß hemolyticus
group A, bila skor 1−3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi
Streptococcus ß hemolyticus group A dan bila skor empat pasien memiliki
kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus ß hemolyticus group A
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

3. Faringitis Fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan
tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada
pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar sabouroud dextrosa.

4. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.

 Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan
tanda dan gejala umum seperti lemas, anoreci, demam, suara serak, kaku dan
sakit kepala pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:

1. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis


dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai
rinorea dan mual.
19
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.

3. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

 Pemeriksaan Fisik
- Faringitis Viral: Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
- Faringitis Bacterial: Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang
ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.

- Faringitis Fungal: Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan


pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.

 Pemeriksaan Penunjang
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur
apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90−95% dari
diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis
yang diandalkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri
Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS). Group A Beta-Hemolytic
Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test merupakan suatu metode
untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi
indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil
yang diperoleh positif maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat
namun apabila hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan
kemudian dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test tidak sensitif

20
terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya
(Kazzi et al., 2006).
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok
dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen
diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar
untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas
mencapai 90−99%. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih
dari sepuluh hari (Vincent, 2004).

c. Difteri
Difteri adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae, yang dapat menghasilkan eksotoksin bila diinsersi Corynephage
yang membawa gen diphtheria toxin (dtx). Corynebacterium ulcerans dan
Corynebacterium pseudotuberculosis juga dapat menghasilkan eksotoksin dan
menyebabkan penyakit yang mirip difteri (diphtheria - like diseases). Manifestasi
utama pada saluran nafas atas biasanya disertai gejala sakit tenggorok, disfagia,
limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Penyakit difteri
juga dapat membentuk membran adheren pada nasofaring yang pada akhirnya
bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat yang
ditimbulkan oleh eksotoksin dari difteri dapat menyebabkan miokarditis,
neuritis, dan kerusakan ginjal.

 Gejala Klinis
Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak
bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari. Gejala-gejala
dari penyakit ini meliputi:

 Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan


dan tonsil.
 Demam dan menggigil.
 Sakit tenggorokan dan suara serak.
 Sulit bernapas atau napas yang cepat.
 Pembengkakan kelenjar limfe pada leher.
 Lemas dan lelah.

21
 Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang
bercampur darah.
Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka
seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi
biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.

 Pemeriksaan Fisik
- Breathing (Respiratory System) : RR tak efektif (sesak napas), edema
laring, obstruksi laring, pemnumpukan sekret di hidung.
- Blood (Cardiovaskular System) : Tachicardi, kelemahan otot jantung, dan
sianosis.
- Brain (Nervous System): normal
- Bladder ( Genitourinary System) : Normal
- Bowel ( Gastrointestinal System) : Anorexia, nyeri menelan, kekurangan
nutirsi

- Bone ( Bone-Muscle-Integument): lemah pada lengan, turgor kulit.

 Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan bakteriologis: Pewarnaan gram menunjukkan
gambaran kuman gram positif, berbentuk basil seperti
tongkat, tidak berkapsul, dan nonmotil dalam kelompok-
kelompok.
- Kultur: Sampel dapat diambil dengan menggunakan apusan
dari hidung, pseudomembran, kripta tonsil, ulkus, atau
diskolorasi. Kuman difteri yang terisolasi harus diperiksa
lebih lanjut untuk menilai produksi toksin. Apus
tenggorokan dan faring juga perlu dilakukan pada orang
yang sering kontak dengan pasien.
- Toksigenisitas: Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menentukan apakah terdapat produksi toksin. Pemeriksaan
Elek menilai terbentuknya immunoprecipitin band pada
kertas saring yang sudah diberikan antitoksin dan
diletakkan di agar yang terdapat hasil kultur kuman yang
ingin dinilai. Selain itu dapat dilakukan Polymerase Chain

22
Reaction (PCR) untuk mendeteksi sekuens DNA yang
mengkode subunit A toksin. Pemeriksaan ini bersifat cepat
dan sensitif sehingga sangat bermanfaat untuk skrining
dan untuk konfirmasi bakteriologis terutama pada saat
terjadi wabah.
- Pemeriksaan laboratorium lainnya: Pemeriksaan darah rutin
dapat menunjukkan leukositosis sedang. Urinalisis dapat
menunjukkan proteinuria transien. Selain itu, juga dapat
dilakukan pemeriksaan antibodi serum terhadap toksin
difteri sebelum pemberian antitoksin. Pada kecurigaan
terjadi miokarditis, dapat dilakukan pemeriksaan troponin I.
- Pemeriksaan radiologi: Pemeriksaan foto polos toraks dan
radiografi/Computed Tomography/ultrasonografi jaringan
lunak leher dapat menunjukkan pembengkakan jaringan
lunak, epiglotis yang membesar, serta penyempitan area
subglotis. Ekokardiografi dapat menunjukkan vegetasi
katup, tetapi manifestasi sistemik ini jarang terjadi.

BAB V
HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)

1. Tonsilitis Akut
2. Faringitis Akut
3. Difteri

23
BAB VI
ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

GEJALA Tonsilitis Akut Faringitis Akut Difteri


Nyeri saat menelan apapun seperti
+ + +
ada yang mengganjal.
Nyeri tekan pada kanan dan kiri
+ - -
leher bagian dalam.
Demam + + +
Ada benjolan dibawah rahang
+ - -
kanan dan kiri
Pada pemeriksaan fisik ditemukan
+ - -
tonsil T2/T2
Pembesaran KGB submandibula
+ + +
dextra et sinistra
Tidak ada bercak putih Tidak ada Tidak ada ada
Batuk dan pilek Tidak ada ada ada

24
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR
Dari hasil pemeriksaan-pemeriksaan di atas beserta diskusi kelompok kami bahwa
pasien mengalami Tonsilitis akut. Yaitu radang akut yang disebabkan oleh kuman
streptococcus β hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga
disebabkan oleh virus.

25
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSIS

Anamnesa
 Nyeri saat menelan lima hari yang lalu
 Nyeri di kanan dan kiri leher bagian dalam
 Saat menelan makanan nyeri seperti ada
yang mengganjal
 Demam satu hari yang lalu Diagnosis Diferential
 Bengkak di rahang bawah kanan dan kiri 1. Tonsilitis Akut
 Batuk (-) 2. Faringitis Akut
3. Difteri
Px Fisik
Tenggorokan : T2/T2  merah, dan nyeri
sentuh, tidak ada bercak selaput warna putih.
Leher : pembengkakan kelenjar getah bening
submandibula kanan dan kiri, nyeri tekan
(+)/(+).

Hipotesis Akhir
Dari hasil pemeriksaan-
pemeriksaan di atas beserta
diskusi kelompok kami
Px Penunjang
bahwa pasien mengalami
Pemeriksaan darah rutin :
Tonsilits Akut.
a. Hb = 12 gram/dl
b. HCT 35% (normal)
c. Leukosit  11.500/mm3
d. Trombosit 211.000/mm3
e. LED  40

26
BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

A. Medikamentosa
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang
baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan
hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan
selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin
atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin atau
klindamisin (Soepardi et al., 2007). Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada
pasien tonsilitis kronis dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf, 2014).
Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana dengan memasang nasal airway device, diberi
kortikosteroid secara intravena dan diadministrasi humidified oxygen. Pasien harus
diobservasi sehingga terbebas dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al.,2014).

B. Operatif
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007). Pada penelitian Vivit
Sapitri mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasi tonsilektomi di
RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan Mei-Juli 2013 didapatkan data bahawa dari 30
orang, ditemukan penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi terbanyak
pada rentang usia antara 5-14 tahun yaitu 15 orang (50%), jenis kelamin terbanyak
adalah perempuan yaitu 17 orang (56,7%), semua keluhan utamanya adalah nyeri pada
tenggorok/ sakit menelan sebanyak 30 orang (100%), indikasi tonsilektomi terbanyak
adalah indikasi relatif sebanyak 22 orang (73,3%) yaitu terjadi 3 episode atau lebih
infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat (Sapitri, 2013). Tonsilektomi
juga merupakan tatalaksana yang diaplikasikan untuk Sleep-Disordered Breathing
(SDB) serta untuk tonsilitis rekuren yang lebih sering terjadi pada anak –anak
(Shishegar dan Ashraf, 2014).

C. Farmako
Pengobatan tonsilitis dengan menggunakan antibiotika terbagi dalam beberapa
golongan, seperti golongan penisilin, sefalosporin, klindamisin, dan golongan kuinolon.

27
Sedangkan pengobatan lain berupa penggunaan kortikosteroid, analgetik, antirpiretik,
antihistamin, antiinflamasi, dan multivitamin, tranexamic acid, mukolitik, NSAID,
simpatomiretik. Penanganan dengan penggunaan antibiotika golongan penisilin masih
menjadi pilihan utama untuk pengobatan. Walaupun saat ini pada kebanyakan kasus
antibiotika golongan sefalosporin menjadi pilihan alternatif. Meskipun terkadang ada
juga yang menggunakan antibiotika yang lain seperti golongan klindamisin dan
golongan kuinolon. Untuk penanganan tonsilitis dengan komplikasi penggunaan
antibiotika golongan sefalosporin memiliki presentase yang sama dengan antibiotika
lain sebesar 20%. Antibiotik yang bias digunakan juga dbiasanya dari golongan
penisilin. Pada pasien alergi terhadap penisilin dapat diberikan terhadap bakteri
eritromisin atau golongan sefalosporin.

D. Non Farmako
- Isitirahat cukup
- Makan makanan yang lunak
- Menjaga kebersihan gigi dan mulut
- Pemberian air hangat untuk berkumur
- Mengurangi atau menghindari makanan atau minuman yang bersifat iritatif terhadap
saluran makan atau nafas atas. Secara empiris makanan yang berminyak, tinggi
bumbu rasa penyedap atau pengawet, terlalu manis, dinginkan, iritasi.
- Banyak minum air putih jika mengkonsumsi makanan seperti minuman di atas.

E. PRINSIP TINDAKAN MEDIS


Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang
masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan
kekurangan.Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.Jenis pemilihan
iaitu jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan pre
operatif dan pasca operatif serta durasi operasi.Beberapa teknik tonsilektomi dan
peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil

28
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi.Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah
medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle
knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguankonduksi
saraf atau jantung.
4. Radio frekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung
kejaringan.Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas.Selama periode 4- 6 minggu,
daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis
jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan
membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma
tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma
dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil.
Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi
molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan
jaringan sekitar.

29
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Mikrodebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain
yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan
tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
TitanylPhosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
F.

30
BAB X
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
10.1 PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi,
antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala
yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran
nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia.
a) Pencegahan
Menurut Efiaty Arsyad Soepardi (2010), kemungkinan seseorang
menderita tonsilitis akut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keturunan,
lingkungan, dan pola makan individu tersebut. Dalam hal ini pola makan
memiliki peran yang sangat besar terhadap kesehatan seseorang, tidak terkecuali
dengan tonsilitis. Selain itu menjaga kebersihan makan dan minum, kebiasaan
berkumur atau menggosok gigi minimal 2 kali sehari dan mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan juga sangatlah penting untuk menghilangkan patogen dan
kuman-kuman yang menempel ditangan yang tidak kita sadari selama
beraktivitas sehari-hari. Orang–orang yang merupakan karier tonsilitis
semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi
pada orang lain. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak
dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang
bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya
diganti untuk mencegah infeksi berulang.
b) Penyampaian prognosis kepada pasien dan keluarga
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga perjalanan penyakit dan komplikasi
yang mungkin terjadi
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga terapi dan tindakan yang akan
diberikan beserta keuntungan dan kerugian

31
- Memberi penjelasan kepada pasien atau keluarga pasien masa pemulihan/
penyembuhan yang harus dijalani pasien.

c) Peran pasien dan keluarga dalam penyembuhan


Peran Pasien
- Minum obat dengan teratur
- Selalu chek up keadaan ke dokter.
- Mengikuti anjuran dokter.
- Memperbanyak istirahat.

Peran Keluarga
- Menemani pasien saat chek up ke dokter.
- Mengingatkan pasien agar meminum obat.
d) Tanda Merujuk Pasien
Jika seseorang mempunyai riwayat tonsillitis, dan sudah beberapa hari
tenggorokan terasa nyeri saat menelan dan disertai demam maka sebaiknya
segera dibawa kerumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh
dokter dan tindakan untuk pasien.

10.2 KOMPLIKASI
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-
otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada
penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang
bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan
melakukan aspirasi abses.
b) Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring
sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi
servikal.
c) Otitis media akut

32
Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius
(eustachi)
dan mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang
dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga (Soepardi et al., 2007).
d) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri
lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika
diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
e) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade
oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian
tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara
bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering
terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body
sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
f) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat
dengan mudah didrainasid) Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat
ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body
sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2012. “Bab II Tinjauan Pustaka”. Dalam


(http://digilib.unila.ac.id/6550/14/BAB%20II.pdf). Diunduh 17 Maret 2019, pukul
20.00 WIB.
Fitriana, Harli Novriani.2014.Penatalaksanaan Difteri.Jakarta: Puslitbang Sumber Daya dan
Pelayanan Kesehatan, Balitbangkes, Kemenkes RI, Jakarta, Indonesia
Palandenga, Andre Ch T, R. E. C. Tumbel, Julied Dehoop. 2012. Penderita Tonsilitis di
Poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado.
Sapitri, Vivit. 2013. Tonsilitis. RSUD Raden Mattaher. Jambi
Schünke, Micahel, Shulte Erik, Udo Schumacher, et al. 2016. Atlas Anatomi manusia
Prometheus : Kepala, Leher, & Neuroanatomi (Edisi terjemahan oleh Agus W. Budi
Santoso, Septelia Inawati Wanandi). Jakarta : EGC.
Sikhatunna. 2013. “Bab II Tinjauan Pustaka”. Dalam
(http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-sikhatunna-6707-2-
babii.pdf). Diunduh 17 Maret 2019, pukul 20.30 WIB.

34

Anda mungkin juga menyukai