LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Prestasi belajar Matematika
a. Pengertian Belajar
Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna (Trianto, 2011:
37). Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada
konsep- konsep relevan yang terdapat dalam stuktur kognitif siswa. Faktor penting
yang mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Oleh sebab itu,
supaya proses belajar bermakna maka konsep atau pengetahuan baru harus
dikaitkan dengan konsep atau pengetahuan yang sudah ada dalam kognitif siswa.
Menurut Degeng (dalam Riyanto, 2009: 5), belajar merupakan pengaitan
pengetahuan baru pada struktur kognitif yang dimiliki oleh siswa. Hal ini
mempunyai arti bahwa dalam proses belajar, siswa akan menghubung-hubungkan
pengetahuan atau ilmu yang telah tersimpan dalam memorinya dan kemudian
menghubungkan dengan pengetahuan yang baru.
Menurut pandangan teori kontruktivisme, belajar adalah upaya untuk
membangun pemahaman atau persepsi atas dasar pengalaman yang dialami oleh
siswa. Oleh sebab itu, belajar menurut teori ini merupakan proses untuk
memberikan pengalaman nyata bagi siswa (Aqib, 2014: 66). Para ahli kontruktivis
mengatakan bahwa dari perspektif kontruktivis, belajar matematika bukanlah suatu
proses “pengepakan” pengetahuan secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir
aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas
(Cobb dalam Suherman dkk. 2001: 71). Selanjutnya Cobb mendefinisikan belajar
matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif mengkontruksikan
pengetahuan matematika. Para ahli kontruktivis setuju bahwa belajar matematika
melibatkan manipulasi aktif dan pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-
rumus saja.
Dari berbagai definisi belajar di atas, peneliti menyimpulkan bahwa belajar
adalah proses di mana siswa mengkontruksikan pengetahuan yang dimiliki dan
menghubungkannya dengan materi yang akan dipelajari sehingga siswa bisa
menemukan konsep baru sesuai dengan pengetahuan sebelumnya.
8
b. Prestasi Belajar Matematika
Dalam kamus Bahasa Indonesia prestasi adalah hasil yg telah dicapai.
Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan kegiatan
(Hamdani, 2011: 137). Dari definisi ini, maka prestasi adalah hasil yang dicapai
siswa setelah melakukan kegiatan tertentu. Budiyono (2015a: 7) mengatakan
bahwa prestasi belajar adalah suatu konstruks yang menyatakan pengetahuan atau
pemahaman seseorang pada suatu bidang yang telah diterimanya melalui
pembelajaran. Jadi, berdasarkan definisi ini siswa yang diberikan tes prestasi
belajar haruslah sudah menerima pembelajaran. Basuki dan Hariyanto (2014: 30)
mendefinisikan prestasi belajar sebagai suatu jenis tes baku yang dirancang untuk
mengukur tingkat pengetahuan seseorang dalam bidang studi tertentu. Dengan
demikian, tes prestasi belajar lebih mengacu pada kawasan kognitif siswa.
Menurut Azwar (2014: 9) tes prestasi belajar berupa tes yang disusun secara
terencana untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan-bahan atau
materi yang telah diajarkan. Berdasarkan berbagai definisi prestasi belajar di atas,
peneliti menyimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh siswa
setelah mengikuti proses pembelajaran sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa
jauh siswa menguasai materi pelajaran yang ada dalam Kompetensi Dasar (KD).
Istilah matematika berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya
diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti relating to learning.
Perkataan ini mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu
(knowledge, science). Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan
sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar
(berpikir) (Suherman dkk. 2001: 17). Jadi berdasarkan etimologis, perkataan
matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini
dimaksudkan bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan
tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio
(penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan hasil observasi atau
eksperimen di samping penalaran (Tinggih dalam Suherman dkk. 2001: 17).
Menurut (Soedjadi, 2000: 11) pengertian tentang matematika sangat beraneka
ragam. Dengan kata lain, tidak terdapat satu definisi yang tunggal dan disepakati
oleh semua tokoh atau pakar
matematika. Berikut ini, disajikan beberapa definisi tentang matematika,
yaitu: matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir
secara
sistematik; matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi;
matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika adalah hasil yang diperoleh siswa
setelah mengikuti proses pembelajaran sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa
jauh siswa menguasai materi pelajaran matematika yang ada dalam Kompetensi
Dasar (KD). Dalam penelitian ini, materi pelajaran matematika yang dimaksud
adalah materi bentuk aljabar.
2. Kemampuan Komunikasi Matematis
Menurut Dewi (2014: 1), komunikasi merupakan suatu aktivitas yang tidak
mungkin lepas dari kehidupan manusia. Dengan komunikasi, seseorang dapat
mengekspresikan ide dan pemikirannya, saling bersosialisasi, serta menerima dan
melakukan pembelajaran, dan masih banyak lagi aktivitas yang dapat dilakukan
melalui komunikasi. Sebaliknya banyak juga masalah yang dapat ditimbulkan karena
kesalahan komunikasi. Seringkali seseorang tidak menyadari pentingnya bahasa
sampai pada saat dia menemui jalan buntu ketika berkomunikasi dengan orang lain
yang tidak memahami bahasa yang digunakannya, sehingga membuatnya menjadi
frustrasi. Menurut Prayitno dkk. (2013: 385) komunikasi matematis adalah suatu cara
siswa untuk menyatakan dan menafsirkan gagasan-gagasan matematika secara lisan
maupun tertulis, baik dalam bentuk gambar, tabel, diagram, rumus, ataupun
demonstrasi. Pengertian yang lebih luas tentang komunikasi matematik dikemukakan
oleh Romberg dan Chair (dalam Izzati, 2010: 725), yaitu: menghubungkan benda
nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika; menjelaskan idea, situasi dan
relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan
aljabar; menyatakan peristiwa sehari hari dalam bahasa atau simbol matematika;
mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; membaca dengan
pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun
argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; menjelaskan dan membuat
pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Pugalee (Qohar, 2013: 60) menyarankan bahwa untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi siswa dalam belajar matematika siswa harus didorong untuk
menjawab pertanyaan disertai dengan alasan yang relevan, dan mengomentari
pernyataan matematika yang diungkapkan siswa, sehingga siswa menjadi memahami
konsep-konsep matematika dan argumen yang bermakna. Menurut Baroody
(dalam Izzati, 2010:1), ada dua alasan penting mengapa komunikasi menjadi salah
satu fokus
dalam pembelajaran matematika. Pertama, matematika pada dasarnya adalah sebuah
bahasa bagi matematika itu sendiri. Matematika tidak hanya merupakan alat berpikir
yang membantu kita untuk menemukan pola, memecahkan masalah dan menarik
kesimpulan, tetapi juga sebuah alat untuk mengomunikasikan pikiran kita tentang
berbagai ide dengan jelas, tepat dan ringkas. Bahkan, matematika dianggap sebagai
bahasa universal dengan simbol-simbol dan struktur yang unik. Semua orang di
dunia dapat menggunakannya untuk mengomunikasikan informasi matematika
meskipun bahasa asli mereka berbeda. Kedua, belajar dan mengajar matematika
merupakan aktivitas sosial yang melibatkan paling sedikit dua pihak, yaitu guru dan
murid. Dalam proses belajar dan mengajar, sangat penting mengemukakan pemikiran
dan gagasan itu kepada orang lain melalui bahasa. Pada dasarnya pertukaran
pengalaman dan ide ini merupakan proses mengajar dan belajar. Tentu saja,
berkomunikasi dengan teman sebaya sangat penting untuk pengembangan
keterampilan berkomunikasi sehingga dapat belajar berfikir seperti seorang
matematikawan dan berhasil menyelesaikan masalah yang benar-benar baru.
Dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) disebutkan
bahwa “communication is an essential part of mathematics and mathematics
education (NCTM, 2000: 60)” yang artinya adalah komunikasi sebagai salah satu
bagian penting dalam matematika dan pendidikan matematika. Melalui proses
komunikasi, siswa dapat saling bertukar pikiran dan sekaligus mengklarifikasi
pemahaman dan pengetahuan yang mereka peroleh dalam pembelajaran. Ketika
siswa ditantang untuk berpikir dan bernalar tentang matematika dan
mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada orang lain secara lisan atau
tulisan, mereka belajar agar menjadi jelas dan meyakinkan.
Jika siswa bisa mengkomunikasikan strategi atau metode penyelesaian
masalah, maka kemampuan mereka dalam memahami konsep akan berkembang.
Ketika siswa siswa mengkomunikasikan ide mereka secara verbal, demonstrasi
strategi, maupun penggunaan diagram atau simbol matematik maka akan secara
simultan mendukung pemahaman siswa tentang konsep matematika yang sedang
mereka pelajari. Pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa lain juga dapat
mendorong siswa untuk meneliti atau mengkaji ulasan gagasan dan penalaran
mereka.
Selanjutnya, NCTM dalam Principles and Standard for School Mathematics,
merumuskan standar komunikasi untuk menjamin kegiatan pembelajaran matematika
yang mampu mengembangkan kemampuan siswa, yaitu:
a. Menyusun dan memadukan pemikiran matematika melalui komunikasi.
b. Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan sistematis kepada
sesama siswa, guru, maupun orang lain.
c. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran dan strategi matematik orang lain.
d. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide matematis secara
tepat.
Lacoe (dalam Mahmudi, 2009: 3) mengungkapkan bahwa bentuk komunikasi
matematis yaitu: (1) merefleksi dan mengklarifikasi pemikiran tentang ide-ide
matematika, (2) menghubungkan bahasa sehari-hari dengan bahasa matematika yang
menggunakan simbol-simbol, (3) menggunakan keterampilan membaca,
mendengarkan, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika, dan (4)
menggunakan ide-ide matematika untuk membuat dugaan (conjecture) dan membuat
argumen yang meyakinkan. Menurut Vermont Department of Education (dalam
Mahmudi, 2009: 3), komunikasi matematis melibatkan 3 aspek, yaitu: (1)
menggunakan bahasa matematika secara akurat dan menggunakannya untuk
mengkomunikasikan aspek-aspek penyelesaian masalah, (2) menggunakan
representasi matematika secara akurat untuk mengkomunikasikan penyelesaian
masalah, dan (3) mempresentasikan penyelesaian masalah yang terorganisasi dan
terstruktur dengan baik.
Kadir (2008: 343) menjelaskan bahwa untuk mengungkap kemampuan siswa
dalam berbagai spek komunikasi, dapat dilakukan dengan melihat kemampuan siswa
dalam mendiskusikan masalah dan membuat ekspresi matematika secara tertulis baik
gambar, model matematika, maupun simbol atau bahasa sendiri. Lebih lanjut Kadir
(2008: 343) mengungkapkan bahwa pengukuran kemampuan komunikasi matematis
siswa dilakukan dengan memberikan skor terhadap kemampuan siswa dalam
memberikan jawaban soal dengan menggambar (drawing), membuat ekspresi
matematik (mathematical expression), dan menuliskan jawaban dengan bahasa
sendiri (written texts). Pemberian skor jawaban siswa disusun berdasarkan tiga
kemampuan tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dalam penelitian ini, yang
dimaksud dengan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam
menyampaikan ide matematika, yaitu membuat ekspresi matematika baik dalam
bentuk model matematika maupun gambar dan kemampuan menuliskan jawaban
dengan bahasa sendiri. Indikator kemampuan komunikasi matematis dalam
penelitian ini adalah:
a. Menulis (written text), yaitu menjelaskan ide atau solusi dari suatu permasalahan
atau gambar dengan menggunakan bahasa sendiri.
b. Menggambar (drawing), yaitu menjelaskan ide atau solusi dari permasalahan
matematika dalam bentuk gambar.
c. Ekspresi matematika (matematical ekpression), yaitu menyatakan masalah atau
peristiwa sehari-hari dalam bahasa model matematika.
3. Pendekatan Pendidikan Matematika Realisitik (PMR)
Pembelajaran Matematika Realistik merupakan teori pembelajaran
matematika yang dikembangkan di Belanda. Penggunaan kata “Realistik”
sebenarnya berasal dari bahasa Belanda zich realiseren yang berarti untuk
dibayangkan. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata “Realistik”
tersebut tidak sekedar menunjukan adanya koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih
mengacu pada fokus pendidikan matematika realistik dalam menempatkan
penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan oleh siswa.
Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama pendidikan matematika
realistik. Menurut Freudhental proses belajar siswa hanya akan terjadi jika
pengetahuan yang dipelajari bermakna bagi siswa. Suatu pengetahuan akan menjadi
bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu
pembelajaran menggunakan permasalahan realistik (Wijaya, 2012: 20).
Menurut Suherman dkk. (2001: 128) terdapat lima prinsip utama dalam
kurikulum matematika realistik:
a. Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai
sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
b. Perhatian diberikan pada pengembangan maodel-model, situasi, skema, dan
simbol-simbol .
c. Sumbangan dari para siswa sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi
konstruktif dan produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkontruksi
sendiri (mungkin berupa algoritma, rule, atau aturan) sehingga dapat membimbing
para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal.
d. Interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika
e. Intertwining (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.
Kelima prinsip belajar menurut filsofi realisitik di atas inilah yang menjiwai
setiap aktivitas pembelajaran matematika. Tetapi, kadang-kadang dalam desain
pembelajaran kelima prinsip dasar realistik tersebut tidak semuanya muncul.
Menurut Gravemeijer (Somakim, 2007: 9) terdapat tiga prinsip utama dalam
PMR:
rencana itu, dan (4) menelaah kembali. Memahami masalah merujuk pada
pemahaman terhadap apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, atau apa yang
harus dibuktikan dalam suatu soal. Membuat rencana merujuk pada pembuatan
model matematika dari soal yang diberikan. Melaksanakan rencana merujuk pada
penyelesaian model matematika yang telah disusun, sedangkan menelaah kembali
berkaitan dengan penulisan hasil akhir sesuai permintaan soal. Menurut Stigler
dan Hiebert (dalam Vaur dan Yeap, 2009:93) bahwa langkah-langkah PS
sebagaimana yang sudah diterapkan di Jepang adalah: mereview materi
sebelumnya, menghadirkan/memberikan masalah, siswa bekerja sama secara
individu maupun kelompok, berdiskusi untuk menemukan solusinya, dan
kemudian mengambil kesimpulan. Selanjutnya Dewey (Gulo: 2008) mengatakan
bahwa langkah- langkah PS adalah: merumuskan masalah, menelaah masalah,
merumuskan hipotesis, mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan
pembuktian hipotesis, pembuktian hipotesis, dan menentukan pilihan
penyelesaian.
Dari berbagai langkah-langkah yang diungkapkan oleh para pakar di atas
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah PS yang ditulis oleh
Polya, hanya langkah-langkah yang mereka ungkapkan sedikit dimodifikasi dari
langkah- langkah yang ditulis oleh Polya, sehingga model pembelajaran PS dalam
penelitian ini menggunakan langkah-langkah yang diungkapakan oleh Polya,
sehingga secara umum langkah-langkah model pembelajaran PS adalah:
1) Guru memberikan masalah kepada siswa
2) Guru meminta siswa memahami permasalahan agar mereka bisa merencanakan
penyelesaian.
3) Guru membimbing siswa agar mereka bisa menyelesaikan permasalahan sesuai
rencana.
4) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil pengerjaannya
dipapan tulis.
5) Guru memberi kesempatan kepada siswa lain untuk memberikan tanggapan
baik berupa pertanyaan atau saran.
6) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa, sekaligus
meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
c. Model Pembelajaran Problem Posing
Problem Posing (PP) merupakan istilah dalam Bahasa Inggris, sebagai
padanan kata dari; problem artinya “masalah atau soal” dan posing yang berarti
“pengajuan”, sehingga PP diartikan sebagai pengajuan soal. Menurut Lin (dalam
Mahmudi, 2011: 21) PP dapat diartikan sebagai pembentukan soal berdasarkn
konteks, cerita, informasi, atau gambar yang diketahui. Suryobroto (2009: 203)
mengatakan bahwa PP pengajuan masalah-masalah yang dituangkan dalam
bentuk pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian diupayakan untuk
dicari jawabannya baik secara individu maupun bersama dengan pihak lain. Cai
dan Hwang (dalam Kar & Isik, 2014: 136) mengatakan “PP is defined as the
generation of new problem and reformulating an axisting problem” artinya PP
didefinisikan sebagai pengajuan masalah baru dan merumuskan kembali dari
masalah yang ada. Dengan demikian, PP adalah model pembelajaran yang
mengharuskan siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih
sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut.
Pengertian PP tidak terbatas pada pembentukan soal yang betul-betul baru,
tetapi dapat berarti mereformulasi soal-soal yang diberikan. Menurut Silver et al.
(dalam Siswono, 2008: 41), PP meliputi beberapa pengertian, yaitu (1) perumusan
soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan
agar lebih sederhana dan dapat dikuasai, (2) perumusan soal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian
alternatif penyelesaian atau alternatif soal yang relevan, dan (3) perumusan soal
atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum,
ketika
atau setelah pemecahan suatu soal/masalah, Silver dan Cai (dalam Mahmudi, 2011:
21) mengklasifikasikan tiga aktivitas koginitif dalam pembuatan soal sebagai
berikut:
1) Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi
yang diberikan.
2) Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang
diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan
dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal
demikian akan mendukung penyelesaian soal semula.
3) Post-Solution Posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi “find a more
challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi
soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih
menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not
…?” atau ”what happen if …”. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut:
a) Mengubah informasi atau data pada soal semula
b) Menambah informasi atau data pada soal semula
c) Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi
atau situasi soal semula.
d) Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data
atau informasi yang ada pada soal semula.
Menurut El Sayed (2000) mengklasifikasikan PP menjadi 3 tipe, yaitu free
PP (PP bebas), semi-structured PP (PP semi-terstruktur), dan structured PP (PP
terstruktur). Pemilihan tipe-tipe itu dapat didasarkan pada materi matematika,
kemampuan siswa, prestasi belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut
diuraikan masing-masing tipe tersebut.
1) Free PP (PP bebas). Menurut tipe ini siswa diminta untuk membuat soal secara
bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari.
2) Semi-structured PP (PP semi-terstruktur). Dalam hal ini siswa diberikan suatu
situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk mengeksplorasinya dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau konsep yang telah mereka
miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal terbuka (open-ended
problem) yang melibatkan aktivitas investigasi matematika, membuat soal
berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal dengan konteks yang sama
dengan soal yang
diberikan, membuat soal yang terkait dengan teorema tertentu, atau membuat
soal berdasarkan gambar yang diberikan.
3) Structured PP (PP terstruktur). Dalam hal ini siswa diminta untuk membuat
soal berdasarkan soal yang diketahui dengan mengubah data atau informasi
yang diketahui.
Pada prinsipnya, model pembelajaran PP adalah suatu model pembelajaran
yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal
(berlatih soal) secara mandiri. Secara garis besar, menurut Menon (dalam
Siswono, 2000: 9) model pembelajaran PP dapat dilakukan dengan tiga cara
sebagai berikut:
1) Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi
yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah
membuat pertanyaan berdasar informasi tadi.
2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok.
Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya.
Nanti soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain.
Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan
kesiapannya. Soal- soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama
pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut
didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi
nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal
tersebut ambigu atau tidak cukup kelebihan informasi. Soal yang dibuat siswa
tergantung interes siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat
menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu.
3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang
berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari
daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan
pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan
mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan
membantu siswa memahami masalah.
Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang digunakan adalah Problem
Posing tipe Post-Solution Posing karena tipe Problem Posing tipe Post-Solution
Posing lebih mudah untuk dilaksanakan pada jenjang SMP. Secara umum
langkah- langkah model pembelajaran Problem Posing pada kegiatan inti sebagai
berikut:
1) Guru menyajikan materi pembelajaran dengan strategi yang sesuai dan
berusaha selalu melibatkan peserta didik dalam kegiatan.
2) Siswa diminta untuk membuat soal/masalah baru yang sama dengan masalah
sebelumnya.
3) Kemudian guru mengecek/mengedit soal yang dibuat siswa agar soal tersebut
sesuai dengan tujuan pembelajaran.
4) Guru memberikan soal tersebut kepada siswa lain untuk dikerjakan.
5) Siswa diminta untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya untuk menjawab
soal yang dibuat oleh kelompok lain.
6) Guru memimpin diskusi kelas sekaligus membimbing siswa dalam
memecahkan masalah.
7) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil pengerjaannya
dipapan tulis.
8) Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan
tanggapan baik berupa pertanyaan atau saran.
9) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa, sekaligus
meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
d. Model Pembelajaran PS dan Model Pembelajaran PP dengan
Pendekatan PMR
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada model pembelajaran PS
masalah yang diberikan kepada siswa adalah masalah yang sifatnya umum yang
penting soal tersebut tidak langsung ditemukan prosedur penyelesaiannya,
sehingga untuk mempermudah dalam proses pembelajaran peneliti menggunakan
pendekatan PMR yaitu memberikan masalah realistik (karakteristik PMR),
masalah yang bisa dibayangkan oleh siswa agar proses belajar bermakna bagi
siswa. Selain itu, salah satu karakteristik dari PMR adalah interaktivitas yang
multiarah, artinya interaktif antar siswa ke guru, guru ke siswa, dan siswa ke
siswa, tetapi pada model PS karakteristik seperti itu tidak ada dalam langkah-
langkah yang diungkapkan oleh Polya walaupun banyak peneliti yang
memodifikasi model pembelajaran PS dengan proses pembelajaran diskusi.
Langkah-langkah model pembelajaran PS yang sering dilakukan oleh para
peneliti sebelumnya yaitu setelah mereka memberikan masalah, mereka
memberikan materi secara langsung kepada siswa, sehingga konsep hanya
disampaikan oleh guru dan selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan
masalah yang diberikan sebelumnya. Tetapi, pada model pembelajaran PS yang
dimodifikasi
dengan pendekatan PMR, materi tidak disampaikan langsung oleh guru,
namun siswa diberikan pada suatu masalah sehingga dari masalah tersebut
siswa dapat
menemukan konsep yang mau diajarkan.
Dari definisi PS serta memperhatikan kegiatan pembelajaran dari model
pembelajaran PS dan berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
maka langkah-langkah model pembelajaran PS yang dimodifikasi dengan
pendekatan PMR adalah sebagai berikut:
1) Pendahuluan
a) Guru mengemukakan tujuan pembelajaran
b) Memberikan motivasi
c) Apersepsi
2) Kegiatan Inti
a) Eksplorasi
(1) Guru memberikan LKS kepada setiap siswa yang berisi permasalahan-
permasalahan realistik dan jika dimungkinkan pembelajaran tidak hanya
dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas (karakteristik PMR
penggunaan konteks).
(2) Guru meminta siswa untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
permasalahan yang tersedia pada LKS (karakteristik PMR interaktivitas).
(3) Guru membimbing siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
ada pada LKS dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
b) Elaborasi
(1) Guru meminta siswa tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan
yang diberikan melainkan juga dapat menemukan konsep (karakteristik
PMR penggunaan model untuk matematisasi progresif).
(2) Guru memberikan masalah baru ke pada siswa untuk didiskusikan dan
diselesaikan dan didiskusikan dengan teman kelompoknya.
(3) Guru memimpin diskusi kelas sekaligus membimbing siswa agar bisa
membuat perencanaan penyelesaian dan menyelesaikan masalah sesuai
rencana.
(4) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil
pengerjaannya dipapan tulis.
(5) Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan
tanggapan baik berupa pertanyaan atau saran.
(6) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa,
sekaligus meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
(7) Guru memberikan kuis/soal
c) Konfirmasi
(1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan terhadap keberhasilan
siswa.
(2) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan.
(3) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum
berpartisipasi aktif.
3) Penutup
a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran.
b) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Pada model pembelajaran PP, sebelum siswa mengajukan masalah baru,
guru atau peneliti menyampaikan secara langsung konsep yang mau diajarkan,
tetapi pada model pembelajaran PP yang dimodifikasi dengan pendekatan PMR,
materi tidak disampaikan langsung oleh guru, namun siswa diberikan pada suatu
masalah realistic, sehingga dari masalah tersebut siswa dapat menemukan konsep
yang mau diajarkan. Setelah itu, siswa diminta untuk mengajukan soal yang mirip
dengan soal yang diajukan guru. Dari definisi PP tipe Post-Solution Posing serta
memperhatikan kegiatan pembelajaran di atas dan berdasarkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka langkah-langkah model pembelajaran
PP dengan pendekatan PMR adalah sebagai berikut:
1) Pendahuluan
a) Guru mengemukakan tujuan pembelajaran
b) Memberikan motivasi
c) Apersepsi
2) Kegiatan Inti
a) Eksplorasi
(1) Guru memberikan LKS kepada setiap siswa yang berisi permasalahan-
permasalahan realistik dan jika dimungkinkan pembelajaran tidak hanya
dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas (karakteristik PMR
penggunaan konteks).
(2) Guru meminta siswa untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
permasalahan yang tersedia pada LKS (karakteristik PMR interaktivitas).
(3) Guru membimbing siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
ada pada LKS dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
b) Elaborasi
(1) Guru meminta siswa tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan
yang diberikan melainkan juga dapat menemukan konsep (karakteristik
PMR penggunaan model untuk matematisasi progresif).
(2) Guru meminta siswa untuk membuat soal/masalah baru yang mirip
dengan masalah sebelumnya.
(3) Kemudian guru mengecek/mengedit soal yang dibuat siswa agar soal
tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.
(4) Guru memberikan soal tersebut kepada kelompok lain untuk dikerjakan.
(5) Siswa diminta untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya untuk
menjawab soal yang dibuat oleh kelompok lain.
(6) Guru memimpin diskusi kelas sekaligus membimbing siswa dalam
memecahkan masalah.
(7) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil
pengerjaannya di papan tulis.
(8) Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan
tanggapan baik berupa pertanyaan atau saran .
(9) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa, sekaligus
meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
(10) Guru memberikan kuis/soal
c) Konfirmasi
(1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan terhadap keberhasilan
siswa.
(2) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan.
(3) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum
berpartisipasi aktif.
3) Penutup
(1) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran.
(2) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
6. Model Pembelajaran Langsung