Anda di halaman 1dari 41

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Prestasi belajar Matematika
a. Pengertian Belajar
Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna (Trianto, 2011:
37). Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada
konsep- konsep relevan yang terdapat dalam stuktur kognitif siswa. Faktor penting
yang mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Oleh sebab itu,
supaya proses belajar bermakna maka konsep atau pengetahuan baru harus
dikaitkan dengan konsep atau pengetahuan yang sudah ada dalam kognitif siswa.
Menurut Degeng (dalam Riyanto, 2009: 5), belajar merupakan pengaitan
pengetahuan baru pada struktur kognitif yang dimiliki oleh siswa. Hal ini
mempunyai arti bahwa dalam proses belajar, siswa akan menghubung-hubungkan
pengetahuan atau ilmu yang telah tersimpan dalam memorinya dan kemudian
menghubungkan dengan pengetahuan yang baru.
Menurut pandangan teori kontruktivisme, belajar adalah upaya untuk
membangun pemahaman atau persepsi atas dasar pengalaman yang dialami oleh
siswa. Oleh sebab itu, belajar menurut teori ini merupakan proses untuk
memberikan pengalaman nyata bagi siswa (Aqib, 2014: 66). Para ahli kontruktivis
mengatakan bahwa dari perspektif kontruktivis, belajar matematika bukanlah suatu
proses “pengepakan” pengetahuan secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir
aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas
(Cobb dalam Suherman dkk. 2001: 71). Selanjutnya Cobb mendefinisikan belajar
matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif mengkontruksikan
pengetahuan matematika. Para ahli kontruktivis setuju bahwa belajar matematika
melibatkan manipulasi aktif dan pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-
rumus saja.
Dari berbagai definisi belajar di atas, peneliti menyimpulkan bahwa belajar
adalah proses di mana siswa mengkontruksikan pengetahuan yang dimiliki dan
menghubungkannya dengan materi yang akan dipelajari sehingga siswa bisa
menemukan konsep baru sesuai dengan pengetahuan sebelumnya.

8
b. Prestasi Belajar Matematika
Dalam kamus Bahasa Indonesia prestasi adalah hasil yg telah dicapai.
Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan kegiatan
(Hamdani, 2011: 137). Dari definisi ini, maka prestasi adalah hasil yang dicapai
siswa setelah melakukan kegiatan tertentu. Budiyono (2015a: 7) mengatakan
bahwa prestasi belajar adalah suatu konstruks yang menyatakan pengetahuan atau
pemahaman seseorang pada suatu bidang yang telah diterimanya melalui
pembelajaran. Jadi, berdasarkan definisi ini siswa yang diberikan tes prestasi
belajar haruslah sudah menerima pembelajaran. Basuki dan Hariyanto (2014: 30)
mendefinisikan prestasi belajar sebagai suatu jenis tes baku yang dirancang untuk
mengukur tingkat pengetahuan seseorang dalam bidang studi tertentu. Dengan
demikian, tes prestasi belajar lebih mengacu pada kawasan kognitif siswa.
Menurut Azwar (2014: 9) tes prestasi belajar berupa tes yang disusun secara
terencana untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan-bahan atau
materi yang telah diajarkan. Berdasarkan berbagai definisi prestasi belajar di atas,
peneliti menyimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh siswa
setelah mengikuti proses pembelajaran sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa
jauh siswa menguasai materi pelajaran yang ada dalam Kompetensi Dasar (KD).
Istilah matematika berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya
diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti relating to learning.
Perkataan ini mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu
(knowledge, science). Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan
sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar
(berpikir) (Suherman dkk. 2001: 17). Jadi berdasarkan etimologis, perkataan
matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini
dimaksudkan bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan
tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio
(penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan hasil observasi atau
eksperimen di samping penalaran (Tinggih dalam Suherman dkk. 2001: 17).
Menurut (Soedjadi, 2000: 11) pengertian tentang matematika sangat beraneka
ragam. Dengan kata lain, tidak terdapat satu definisi yang tunggal dan disepakati
oleh semua tokoh atau pakar
matematika. Berikut ini, disajikan beberapa definisi tentang matematika,
yaitu: matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir
secara
sistematik; matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi;
matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika adalah hasil yang diperoleh siswa
setelah mengikuti proses pembelajaran sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa
jauh siswa menguasai materi pelajaran matematika yang ada dalam Kompetensi
Dasar (KD). Dalam penelitian ini, materi pelajaran matematika yang dimaksud
adalah materi bentuk aljabar.
2. Kemampuan Komunikasi Matematis
Menurut Dewi (2014: 1), komunikasi merupakan suatu aktivitas yang tidak
mungkin lepas dari kehidupan manusia. Dengan komunikasi, seseorang dapat
mengekspresikan ide dan pemikirannya, saling bersosialisasi, serta menerima dan
melakukan pembelajaran, dan masih banyak lagi aktivitas yang dapat dilakukan
melalui komunikasi. Sebaliknya banyak juga masalah yang dapat ditimbulkan karena
kesalahan komunikasi. Seringkali seseorang tidak menyadari pentingnya bahasa
sampai pada saat dia menemui jalan buntu ketika berkomunikasi dengan orang lain
yang tidak memahami bahasa yang digunakannya, sehingga membuatnya menjadi
frustrasi. Menurut Prayitno dkk. (2013: 385) komunikasi matematis adalah suatu cara
siswa untuk menyatakan dan menafsirkan gagasan-gagasan matematika secara lisan
maupun tertulis, baik dalam bentuk gambar, tabel, diagram, rumus, ataupun
demonstrasi. Pengertian yang lebih luas tentang komunikasi matematik dikemukakan
oleh Romberg dan Chair (dalam Izzati, 2010: 725), yaitu: menghubungkan benda
nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika; menjelaskan idea, situasi dan
relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan
aljabar; menyatakan peristiwa sehari hari dalam bahasa atau simbol matematika;
mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; membaca dengan
pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun
argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; menjelaskan dan membuat
pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Pugalee (Qohar, 2013: 60) menyarankan bahwa untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi siswa dalam belajar matematika siswa harus didorong untuk
menjawab pertanyaan disertai dengan alasan yang relevan, dan mengomentari
pernyataan matematika yang diungkapkan siswa, sehingga siswa menjadi memahami
konsep-konsep matematika dan argumen yang bermakna. Menurut Baroody
(dalam Izzati, 2010:1), ada dua alasan penting mengapa komunikasi menjadi salah
satu fokus
dalam pembelajaran matematika. Pertama, matematika pada dasarnya adalah sebuah
bahasa bagi matematika itu sendiri. Matematika tidak hanya merupakan alat berpikir
yang membantu kita untuk menemukan pola, memecahkan masalah dan menarik
kesimpulan, tetapi juga sebuah alat untuk mengomunikasikan pikiran kita tentang
berbagai ide dengan jelas, tepat dan ringkas. Bahkan, matematika dianggap sebagai
bahasa universal dengan simbol-simbol dan struktur yang unik. Semua orang di
dunia dapat menggunakannya untuk mengomunikasikan informasi matematika
meskipun bahasa asli mereka berbeda. Kedua, belajar dan mengajar matematika
merupakan aktivitas sosial yang melibatkan paling sedikit dua pihak, yaitu guru dan
murid. Dalam proses belajar dan mengajar, sangat penting mengemukakan pemikiran
dan gagasan itu kepada orang lain melalui bahasa. Pada dasarnya pertukaran
pengalaman dan ide ini merupakan proses mengajar dan belajar. Tentu saja,
berkomunikasi dengan teman sebaya sangat penting untuk pengembangan
keterampilan berkomunikasi sehingga dapat belajar berfikir seperti seorang
matematikawan dan berhasil menyelesaikan masalah yang benar-benar baru.
Dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) disebutkan
bahwa “communication is an essential part of mathematics and mathematics
education (NCTM, 2000: 60)” yang artinya adalah komunikasi sebagai salah satu
bagian penting dalam matematika dan pendidikan matematika. Melalui proses
komunikasi, siswa dapat saling bertukar pikiran dan sekaligus mengklarifikasi
pemahaman dan pengetahuan yang mereka peroleh dalam pembelajaran. Ketika
siswa ditantang untuk berpikir dan bernalar tentang matematika dan
mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada orang lain secara lisan atau
tulisan, mereka belajar agar menjadi jelas dan meyakinkan.
Jika siswa bisa mengkomunikasikan strategi atau metode penyelesaian
masalah, maka kemampuan mereka dalam memahami konsep akan berkembang.
Ketika siswa siswa mengkomunikasikan ide mereka secara verbal, demonstrasi
strategi, maupun penggunaan diagram atau simbol matematik maka akan secara
simultan mendukung pemahaman siswa tentang konsep matematika yang sedang
mereka pelajari. Pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa lain juga dapat
mendorong siswa untuk meneliti atau mengkaji ulasan gagasan dan penalaran
mereka.
Selanjutnya, NCTM dalam Principles and Standard for School Mathematics,
merumuskan standar komunikasi untuk menjamin kegiatan pembelajaran matematika
yang mampu mengembangkan kemampuan siswa, yaitu:
a. Menyusun dan memadukan pemikiran matematika melalui komunikasi.
b. Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan sistematis kepada
sesama siswa, guru, maupun orang lain.
c. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran dan strategi matematik orang lain.
d. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide matematis secara
tepat.
Lacoe (dalam Mahmudi, 2009: 3) mengungkapkan bahwa bentuk komunikasi
matematis yaitu: (1) merefleksi dan mengklarifikasi pemikiran tentang ide-ide
matematika, (2) menghubungkan bahasa sehari-hari dengan bahasa matematika yang
menggunakan simbol-simbol, (3) menggunakan keterampilan membaca,
mendengarkan, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika, dan (4)
menggunakan ide-ide matematika untuk membuat dugaan (conjecture) dan membuat
argumen yang meyakinkan. Menurut Vermont Department of Education (dalam
Mahmudi, 2009: 3), komunikasi matematis melibatkan 3 aspek, yaitu: (1)
menggunakan bahasa matematika secara akurat dan menggunakannya untuk
mengkomunikasikan aspek-aspek penyelesaian masalah, (2) menggunakan
representasi matematika secara akurat untuk mengkomunikasikan penyelesaian
masalah, dan (3) mempresentasikan penyelesaian masalah yang terorganisasi dan
terstruktur dengan baik.
Kadir (2008: 343) menjelaskan bahwa untuk mengungkap kemampuan siswa
dalam berbagai spek komunikasi, dapat dilakukan dengan melihat kemampuan siswa
dalam mendiskusikan masalah dan membuat ekspresi matematika secara tertulis baik
gambar, model matematika, maupun simbol atau bahasa sendiri. Lebih lanjut Kadir
(2008: 343) mengungkapkan bahwa pengukuran kemampuan komunikasi matematis
siswa dilakukan dengan memberikan skor terhadap kemampuan siswa dalam
memberikan jawaban soal dengan menggambar (drawing), membuat ekspresi
matematik (mathematical expression), dan menuliskan jawaban dengan bahasa
sendiri (written texts). Pemberian skor jawaban siswa disusun berdasarkan tiga
kemampuan tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dalam penelitian ini, yang
dimaksud dengan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam
menyampaikan ide matematika, yaitu membuat ekspresi matematika baik dalam
bentuk model matematika maupun gambar dan kemampuan menuliskan jawaban
dengan bahasa sendiri. Indikator kemampuan komunikasi matematis dalam
penelitian ini adalah:
a. Menulis (written text), yaitu menjelaskan ide atau solusi dari suatu permasalahan
atau gambar dengan menggunakan bahasa sendiri.
b. Menggambar (drawing), yaitu menjelaskan ide atau solusi dari permasalahan
matematika dalam bentuk gambar.
c. Ekspresi matematika (matematical ekpression), yaitu menyatakan masalah atau
peristiwa sehari-hari dalam bahasa model matematika.
3. Pendekatan Pendidikan Matematika Realisitik (PMR)
Pembelajaran Matematika Realistik merupakan teori pembelajaran
matematika yang dikembangkan di Belanda. Penggunaan kata “Realistik”
sebenarnya berasal dari bahasa Belanda zich realiseren yang berarti untuk
dibayangkan. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata “Realistik”
tersebut tidak sekedar menunjukan adanya koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih
mengacu pada fokus pendidikan matematika realistik dalam menempatkan
penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan oleh siswa.
Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama pendidikan matematika
realistik. Menurut Freudhental proses belajar siswa hanya akan terjadi jika
pengetahuan yang dipelajari bermakna bagi siswa. Suatu pengetahuan akan menjadi
bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu
pembelajaran menggunakan permasalahan realistik (Wijaya, 2012: 20).
Menurut Suherman dkk. (2001: 128) terdapat lima prinsip utama dalam
kurikulum matematika realistik:
a. Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai
sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
b. Perhatian diberikan pada pengembangan maodel-model, situasi, skema, dan
simbol-simbol .
c. Sumbangan dari para siswa sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi
konstruktif dan produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkontruksi
sendiri (mungkin berupa algoritma, rule, atau aturan) sehingga dapat membimbing
para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal.
d. Interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika
e. Intertwining (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.
Kelima prinsip belajar menurut filsofi realisitik di atas inilah yang menjiwai
setiap aktivitas pembelajaran matematika. Tetapi, kadang-kadang dalam desain
pembelajaran kelima prinsip dasar realistik tersebut tidak semuanya muncul.
Menurut Gravemeijer (Somakim, 2007: 9) terdapat tiga prinsip utama dalam
PMR:

a. Guided reinvention and progressive mathematization (penemuan terbimbing dan


bermatematika secara progressif, artinya siswa diberi kesempatan untuk
menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal
kontekstual yang sudah dikenal siswa.
b. Didactical phenomenology (penomena pembelajaran) artinya adanya penomena
pembelajaran yang menekankan pentingnya soal kontekstual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa dengan
mempertimbangkan kecocokan aplikasi konteks dalam pembelajaran dan
kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model
matematika dari soal kontekstual tersebut.
c. Self-developed models (pengembangan model mandiri), artinya pengembangan
model mandiri berfungsi untuk menjembatani antara pengetahuan matematika
non formal dengan formal dari siswa.
Treffers (dalam Wijaya, 2012: 21) merumuskan lima karakteristik PMR, yaitu :
a. Penggunaan konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran
matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam
bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut
bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa. Melalui penggunaan
konteks, siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan eksplorasi permasalahan.
Hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir
dari permasalahan yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan
berbagai strategi penyelesaian masalah yang bisa digunakan. Manfaat lain
penggunaan konteks diawal pembelajaran adalah untuk meningkatkan motivasi
dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika. Pembelajaran yang langsung
diawali dengan penggunaan matematika formal cenderung akan menimbulkan
kecemasan matematika.
b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Dalam pendidikan matematika realistik, model digunakan dalam melakukan
matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan
dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan
matematika tingkat formal.
c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Dalam pendidikan matematika realistik siswa ditempatkan sebagai subjek
belajar. Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan
masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. Hasil kerja
dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan
konsep matematika. Karakteristik ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu
siswa memahami konsep matematika, melainkan juga mengembangkan aktivitas
siswa.
d. Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga
secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan
menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan
hasil kerja dan gagasan mereka. Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran
matematika bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif
siswa secara simultan.
e. Keterkaitan
Konsep-konsep matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep
matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep
matematika tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah satu sama lain.
Pendidikan matematika realistik menempatkan keterkaitan antar konsep
matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.
Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa
mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara
bersamaan.
Kelima karakteristik PMR di atas inilah yang menjiwai setiap aktivitas
pembelajaran matematika. Hadi (2005: 37) menyatakan bahwa dalam PMR, siswa
tidak dapat dipandang sebagai botol kosong yang harus diisi dengan air. Sebaliknya
siswa dipandang sebagai human being yang memiliki seperangkat pengetahuan dan
pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungannya. Selanjutnya,
siswa juga memiliki potensi untuk mengembangkan pengetahuan tersebut bagi
dirinya. Oleh karena itu peran guru dalam proses tersebut hanya sebagai pembimbing
dan fasilitator bagi siswa dalam rekonstruksi ide dan konsep matematika.
Adapun aspek-aspek pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR
menurut De Lange (dalam Hadi, 2005: 37) meliputi :
a. Guru memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil kepada
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa
segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
d. Pembelajaran berlangsung interaktif, dimana siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban
temannya, setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan,
mencari alternaltif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap
setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan realistik adalah
pembelajaran yang dimulai dengan pemberian masalah realistik kepada siswa,
sehingga melalui proses interaktif siswa menemukan konsep yang mau diajarkan.
4. Model Pembelajaran
Menurut Aunurrahman (2012: 146), model pembelajaran dapat diartikan
sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru untuk
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Joyce dan Weil (dalam Huda, 2013: 73) mendiskripsikan model pembelajaran
sebagai rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum,
mendesain materi-materi intruksional, dan memandu proses pembelajaran di ruang
kelas atau di setting yang berbeda. Lebih lanjut Joyce dan Weil mengungkapkan
bahwa implementasi dari model pembelajaran dideskripsikan dalam lima struktur
umum, yaitu: sintaks, sistem sosial, peran guru, sistem dukungan, dan pengaruh
model.
Suwarto (2014: 136) mengatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas,
sedangkan menurut Joyce (dalam Trianto, 2011: 22) model pembelajaran
mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik
sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Brady (dalam Aunurrahman,
2012: 146) mengemukakan bahwa model pembelajaran dapat diartikan sebagai blue
print yang dapat dipergunakan untuk membimbing guru didalam mempersiapkan dan
melaksanakan pembelajaran.
Joyce dan Weil (dalam Siswono, 2008: 58) mengungkapkan bahwa ada lima
unsur penting yang menggambarkan suatu model pembelajaran, yaitu:
a. Sintaks, yakni suatu urutan pembelajaran yang biasa juga disebut fase.
b. Sistem sosial, yaitu peran siswa dan guru serta norma yang diperlukan.
c. Prinsip reaksi, yaitu memberikan gambaran kepada guru tentang cara memandang
dan merespon apa yang dilakukan siswa.
d. Sistem pendukung, yaitu kondisi atau syarat yang diperlukan untuk terlaksananya
suatu model, seperti setting kelas, perangkat pembelajaran, fasilitas belajar, dan
media pembelajaran.
e. Dampak intruksional dan dampak pengiring. Dampak intruksional adalah hasil
belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan siswa pada tujuan yang
ingin dicapai, sedangkan dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang
dihasilkan oleh suatu proses belajar mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana
belajar yang dialami langsung oleh siswa tanpa arahan langsung dari guru.
Dari beberapa pengertian tersebut, maka dalam penelitian ini, yang dimaksud
model pembelajaran adalah suatu kerangka konseptual yang sistematis yang berisi
langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
5. Model pembelajaran PS dan Model pembelajaran PP
a. Pengertian Masalah

Barangkali secara umum orang memahami masalah (problem) sebagai


kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Namun dalam matematika, istilah
problem memiliki makna yang lebih khusus. Kata problem terkait erat dengan
suatu pembelajaran yaitu pembelajaran PS. Dalam hal ini tidak setiap soal dapat
disebut problem atau masalah. Cooney (Shadiq, 2004: 10) menjelaskan bahwa
ciri-ciri suatu soal disebut problem dalam perspektif ini paling tidak memuat 2
hal, yaitu:
1) Soal tersebut menantang pikiran (challenging test),
2) Soal tersebut tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya (nonroutine test).
Bell (1978: 309) mengungkapkan bahwa suatu persoalan dapat dipandang
sebagai masalah, merupakan hal yang sangat relatif. Suatu soal yang dianggap
masalah bagi seseorang, bagi orang lain mungkin merupakan hal yang rutin
belaka. Jadi soal atau pertanyaan yang bisa dijawab semua orang bukanlah
menjadi masalah, akan tetapi suatu soal atau pertanyaan menjadi masalah bagi
seseorang jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu pemikiran yang
mendalam untuk
memecahkannya. Posamentier (2009: 2) mengatakan ”a problem is a situation
that confronts the learner, that requires reto lution, and for which the path to the
answer
is not immediately known” artinya masalah adalah situasi yang dihadapi peserta
didik, yang membutuhkan pemecahan, dan solusinya tidak bisa langsung bisa
diketahui. Menurut Siswono (2008: 4) struktur masalah seperti konteks soal harus
sesuai dengan tingkat kemampuan, latar belakang, dan kemampuan awal siswa.
Masalah tidak harus berupa merupakan soal cerita atau kontekstual. Demikian
pula contoh masalah yang diungkpakan oleh Shadiq (2004: 10) bahwa bentuk dari
masalah tidak selalu berupa soal cerita. Dengan demikian, soal itu dikatakan
masalah atau tidak bukan karena soal itu berbentuk kontekstual atau tidak, tetapi
dilihat dari apakah soal itu menantang dan tidak secara otomatis diketahui
prosedur penyelesaiannya sesuai dengan jenjang pendidikan siswa.
Dari definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa soal/masalah dikatakan
masalah bagi siswa jika jawaban/strategi penyelesaian masalah tersebut tidak
langsung diketahui oleh siswa.
b. Model Pembelajaran Problem Solving
Problem Solving (PS) adalah melakukan operasi prosedural urutan tindakan,
tahap demi tahap secara sistematis, sebagai seorang pemula (novice) dalam
memecahkan masalah (Wena, 2012: 52). Jacobsen et al. (2009: 249) mengatakan
bahwa PS merupakan salah satu strategi pengajaran berbasis masalah di mana
guru membantu siswa untuk belajar memecahkan masalah. Menurut Hamdani
(2011: 84) PS adalah suatu cara menyajikan pelajaran dengan mendorong untuk
mencari dan dan memecahkan masalah atau persoalan dalam rangka pencapaian
tujuaan pembelajaran. PS adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon
atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban
belum tanpak jelas.
Berdasarkan teori, argumen, dan pendapat para ahli di atas, maka dalam
penelitian ini, PS mempunyai pengertian sebagai proses pembelajaran yang
menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, dimana masalah yang harus
diselesaikan tersebut bisa dibuat-buat sendiri oleh pendidik. Sesuai dengan
definisi masalah pada sub bab sebelumnya maka masalah yang dibuat guru dalam
PS tidak harus berupa masalah kontekstual.
Kelebihan model PS mendorong siswa untuk berpikir secara ilmiah, praktis,
intuitif dan bekerja atas dasar inisiatif sendiri, menumbuhkan sikap objektif, jujur
dan terbuka. Selain itu, model PS juga dapat melatih dan membiasakan para
peserta didik untuk menghadapi dan memecahkan masalah secara
terampil serta
mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik secara kreatif, sedangkan
kelemahannya memerlukan waktu yang cukup lama, tidak semua materi pelajaran
mengandung masalah memerlukan perencanaan yang teratur dan matang, dan tidak
efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif.
Langkah-langkah model pembelajaran PS adalah sebagai berikut:
1) Menyampaikan tujuan, materi prasyarat, memotivasi siswa.
2) Mengorientasikan siswa pada masalah melalui pemecahan masalah dan
mengorganisasikan siswa untuk belajar.
3) Membimbing penyelesaian secara individual maupun kelompok.
4) Menyajikan hasil penyelesaian pemecahan masalah.
5) Memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai
evalauasi (Siswono, 2008:74)
Polya (1973: 5) memberikan heuristik atau langkah-langkah umum PS, yaitu
(1) memahami soal atau masalah, (2) membuat suatu rencana, (3) melaksanakan

rencana itu, dan (4) menelaah kembali. Memahami masalah merujuk pada
pemahaman terhadap apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, atau apa yang
harus dibuktikan dalam suatu soal. Membuat rencana merujuk pada pembuatan
model matematika dari soal yang diberikan. Melaksanakan rencana merujuk pada
penyelesaian model matematika yang telah disusun, sedangkan menelaah kembali
berkaitan dengan penulisan hasil akhir sesuai permintaan soal. Menurut Stigler
dan Hiebert (dalam Vaur dan Yeap, 2009:93) bahwa langkah-langkah PS
sebagaimana yang sudah diterapkan di Jepang adalah: mereview materi
sebelumnya, menghadirkan/memberikan masalah, siswa bekerja sama secara
individu maupun kelompok, berdiskusi untuk menemukan solusinya, dan
kemudian mengambil kesimpulan. Selanjutnya Dewey (Gulo: 2008) mengatakan
bahwa langkah- langkah PS adalah: merumuskan masalah, menelaah masalah,
merumuskan hipotesis, mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan
pembuktian hipotesis, pembuktian hipotesis, dan menentukan pilihan
penyelesaian.
Dari berbagai langkah-langkah yang diungkapkan oleh para pakar di atas
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah PS yang ditulis oleh
Polya, hanya langkah-langkah yang mereka ungkapkan sedikit dimodifikasi dari
langkah- langkah yang ditulis oleh Polya, sehingga model pembelajaran PS dalam
penelitian ini menggunakan langkah-langkah yang diungkapakan oleh Polya,
sehingga secara umum langkah-langkah model pembelajaran PS adalah:
1) Guru memberikan masalah kepada siswa
2) Guru meminta siswa memahami permasalahan agar mereka bisa merencanakan
penyelesaian.
3) Guru membimbing siswa agar mereka bisa menyelesaikan permasalahan sesuai
rencana.
4) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil pengerjaannya
dipapan tulis.
5) Guru memberi kesempatan kepada siswa lain untuk memberikan tanggapan
baik berupa pertanyaan atau saran.
6) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa, sekaligus
meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
c. Model Pembelajaran Problem Posing
Problem Posing (PP) merupakan istilah dalam Bahasa Inggris, sebagai
padanan kata dari; problem artinya “masalah atau soal” dan posing yang berarti
“pengajuan”, sehingga PP diartikan sebagai pengajuan soal. Menurut Lin (dalam
Mahmudi, 2011: 21) PP dapat diartikan sebagai pembentukan soal berdasarkn
konteks, cerita, informasi, atau gambar yang diketahui. Suryobroto (2009: 203)
mengatakan bahwa PP pengajuan masalah-masalah yang dituangkan dalam
bentuk pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian diupayakan untuk
dicari jawabannya baik secara individu maupun bersama dengan pihak lain. Cai
dan Hwang (dalam Kar & Isik, 2014: 136) mengatakan “PP is defined as the
generation of new problem and reformulating an axisting problem” artinya PP
didefinisikan sebagai pengajuan masalah baru dan merumuskan kembali dari
masalah yang ada. Dengan demikian, PP adalah model pembelajaran yang
mengharuskan siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih
sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut.
Pengertian PP tidak terbatas pada pembentukan soal yang betul-betul baru,
tetapi dapat berarti mereformulasi soal-soal yang diberikan. Menurut Silver et al.
(dalam Siswono, 2008: 41), PP meliputi beberapa pengertian, yaitu (1) perumusan
soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan
agar lebih sederhana dan dapat dikuasai, (2) perumusan soal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian
alternatif penyelesaian atau alternatif soal yang relevan, dan (3) perumusan soal
atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum,
ketika
atau setelah pemecahan suatu soal/masalah, Silver dan Cai (dalam Mahmudi, 2011:
21) mengklasifikasikan tiga aktivitas koginitif dalam pembuatan soal sebagai
berikut:
1) Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi
yang diberikan.
2) Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang
diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan
dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal
demikian akan mendukung penyelesaian soal semula.
3) Post-Solution Posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi “find a more
challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi
soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih
menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not
…?” atau ”what happen if …”. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut:
a) Mengubah informasi atau data pada soal semula
b) Menambah informasi atau data pada soal semula
c) Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi
atau situasi soal semula.
d) Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data
atau informasi yang ada pada soal semula.
Menurut El Sayed (2000) mengklasifikasikan PP menjadi 3 tipe, yaitu free
PP (PP bebas), semi-structured PP (PP semi-terstruktur), dan structured PP (PP
terstruktur). Pemilihan tipe-tipe itu dapat didasarkan pada materi matematika,
kemampuan siswa, prestasi belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut
diuraikan masing-masing tipe tersebut.
1) Free PP (PP bebas). Menurut tipe ini siswa diminta untuk membuat soal secara
bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari.
2) Semi-structured PP (PP semi-terstruktur). Dalam hal ini siswa diberikan suatu
situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk mengeksplorasinya dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau konsep yang telah mereka
miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal terbuka (open-ended
problem) yang melibatkan aktivitas investigasi matematika, membuat soal
berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal dengan konteks yang sama
dengan soal yang
diberikan, membuat soal yang terkait dengan teorema tertentu, atau membuat
soal berdasarkan gambar yang diberikan.
3) Structured PP (PP terstruktur). Dalam hal ini siswa diminta untuk membuat
soal berdasarkan soal yang diketahui dengan mengubah data atau informasi
yang diketahui.
Pada prinsipnya, model pembelajaran PP adalah suatu model pembelajaran
yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal
(berlatih soal) secara mandiri. Secara garis besar, menurut Menon (dalam
Siswono, 2000: 9) model pembelajaran PP dapat dilakukan dengan tiga cara
sebagai berikut:
1) Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi
yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah
membuat pertanyaan berdasar informasi tadi.
2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok.
Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya.
Nanti soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain.
Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan
kesiapannya. Soal- soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama
pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut
didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi
nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal
tersebut ambigu atau tidak cukup kelebihan informasi. Soal yang dibuat siswa
tergantung interes siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat
menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu.
3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang
berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari
daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan
pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan
mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan
membantu siswa memahami masalah.
Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang digunakan adalah Problem
Posing tipe Post-Solution Posing karena tipe Problem Posing tipe Post-Solution
Posing lebih mudah untuk dilaksanakan pada jenjang SMP. Secara umum
langkah- langkah model pembelajaran Problem Posing pada kegiatan inti sebagai
berikut:
1) Guru menyajikan materi pembelajaran dengan strategi yang sesuai dan
berusaha selalu melibatkan peserta didik dalam kegiatan.
2) Siswa diminta untuk membuat soal/masalah baru yang sama dengan masalah
sebelumnya.
3) Kemudian guru mengecek/mengedit soal yang dibuat siswa agar soal tersebut
sesuai dengan tujuan pembelajaran.
4) Guru memberikan soal tersebut kepada siswa lain untuk dikerjakan.
5) Siswa diminta untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya untuk menjawab
soal yang dibuat oleh kelompok lain.
6) Guru memimpin diskusi kelas sekaligus membimbing siswa dalam
memecahkan masalah.
7) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil pengerjaannya
dipapan tulis.
8) Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan
tanggapan baik berupa pertanyaan atau saran.
9) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa, sekaligus
meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
d. Model Pembelajaran PS dan Model Pembelajaran PP dengan
Pendekatan PMR
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada model pembelajaran PS
masalah yang diberikan kepada siswa adalah masalah yang sifatnya umum yang
penting soal tersebut tidak langsung ditemukan prosedur penyelesaiannya,
sehingga untuk mempermudah dalam proses pembelajaran peneliti menggunakan
pendekatan PMR yaitu memberikan masalah realistik (karakteristik PMR),
masalah yang bisa dibayangkan oleh siswa agar proses belajar bermakna bagi
siswa. Selain itu, salah satu karakteristik dari PMR adalah interaktivitas yang
multiarah, artinya interaktif antar siswa ke guru, guru ke siswa, dan siswa ke
siswa, tetapi pada model PS karakteristik seperti itu tidak ada dalam langkah-
langkah yang diungkapkan oleh Polya walaupun banyak peneliti yang
memodifikasi model pembelajaran PS dengan proses pembelajaran diskusi.
Langkah-langkah model pembelajaran PS yang sering dilakukan oleh para
peneliti sebelumnya yaitu setelah mereka memberikan masalah, mereka
memberikan materi secara langsung kepada siswa, sehingga konsep hanya
disampaikan oleh guru dan selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan
masalah yang diberikan sebelumnya. Tetapi, pada model pembelajaran PS yang
dimodifikasi
dengan pendekatan PMR, materi tidak disampaikan langsung oleh guru,
namun siswa diberikan pada suatu masalah sehingga dari masalah tersebut
siswa dapat
menemukan konsep yang mau diajarkan.
Dari definisi PS serta memperhatikan kegiatan pembelajaran dari model
pembelajaran PS dan berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
maka langkah-langkah model pembelajaran PS yang dimodifikasi dengan
pendekatan PMR adalah sebagai berikut:
1) Pendahuluan
a) Guru mengemukakan tujuan pembelajaran
b) Memberikan motivasi
c) Apersepsi
2) Kegiatan Inti
a) Eksplorasi
(1) Guru memberikan LKS kepada setiap siswa yang berisi permasalahan-
permasalahan realistik dan jika dimungkinkan pembelajaran tidak hanya
dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas (karakteristik PMR
penggunaan konteks).
(2) Guru meminta siswa untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
permasalahan yang tersedia pada LKS (karakteristik PMR interaktivitas).
(3) Guru membimbing siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
ada pada LKS dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
b) Elaborasi
(1) Guru meminta siswa tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan
yang diberikan melainkan juga dapat menemukan konsep (karakteristik
PMR penggunaan model untuk matematisasi progresif).
(2) Guru memberikan masalah baru ke pada siswa untuk didiskusikan dan
diselesaikan dan didiskusikan dengan teman kelompoknya.
(3) Guru memimpin diskusi kelas sekaligus membimbing siswa agar bisa
membuat perencanaan penyelesaian dan menyelesaikan masalah sesuai
rencana.
(4) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil
pengerjaannya dipapan tulis.
(5) Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan
tanggapan baik berupa pertanyaan atau saran.
(6) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa,
sekaligus meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
(7) Guru memberikan kuis/soal
c) Konfirmasi
(1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan terhadap keberhasilan
siswa.
(2) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan.
(3) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum
berpartisipasi aktif.
3) Penutup
a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran.
b) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Pada model pembelajaran PP, sebelum siswa mengajukan masalah baru,
guru atau peneliti menyampaikan secara langsung konsep yang mau diajarkan,
tetapi pada model pembelajaran PP yang dimodifikasi dengan pendekatan PMR,
materi tidak disampaikan langsung oleh guru, namun siswa diberikan pada suatu
masalah realistic, sehingga dari masalah tersebut siswa dapat menemukan konsep
yang mau diajarkan. Setelah itu, siswa diminta untuk mengajukan soal yang mirip
dengan soal yang diajukan guru. Dari definisi PP tipe Post-Solution Posing serta
memperhatikan kegiatan pembelajaran di atas dan berdasarkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka langkah-langkah model pembelajaran
PP dengan pendekatan PMR adalah sebagai berikut:
1) Pendahuluan
a) Guru mengemukakan tujuan pembelajaran
b) Memberikan motivasi
c) Apersepsi
2) Kegiatan Inti
a) Eksplorasi
(1) Guru memberikan LKS kepada setiap siswa yang berisi permasalahan-
permasalahan realistik dan jika dimungkinkan pembelajaran tidak hanya
dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas (karakteristik PMR
penggunaan konteks).
(2) Guru meminta siswa untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
permasalahan yang tersedia pada LKS (karakteristik PMR interaktivitas).
(3) Guru membimbing siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
ada pada LKS dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
b) Elaborasi
(1) Guru meminta siswa tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan
yang diberikan melainkan juga dapat menemukan konsep (karakteristik
PMR penggunaan model untuk matematisasi progresif).
(2) Guru meminta siswa untuk membuat soal/masalah baru yang mirip
dengan masalah sebelumnya.
(3) Kemudian guru mengecek/mengedit soal yang dibuat siswa agar soal
tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.
(4) Guru memberikan soal tersebut kepada kelompok lain untuk dikerjakan.
(5) Siswa diminta untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya untuk
menjawab soal yang dibuat oleh kelompok lain.
(6) Guru memimpin diskusi kelas sekaligus membimbing siswa dalam
memecahkan masalah.
(7) Guru meminta salah seorang siswa untuk menuliskan hasil
pengerjaannya di papan tulis.
(8) Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan
tanggapan baik berupa pertanyaan atau saran .
(9) Guru memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi siswa, sekaligus
meluruskan hasil presentasi siswa yang dinilai kurang tepat.
(10) Guru memberikan kuis/soal
c) Konfirmasi
(1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan terhadap keberhasilan
siswa.
(2) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan.
(3) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum
berpartisipasi aktif.
3) Penutup
(1) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran.
(2) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
6. Model Pembelajaran Langsung

Pembelajaran langsung adalah suatu cara pembelajaran yang bersifat teacher


centered (Suprihatingrum, 2013: 229). Menurut Arends (dalam Trianto, 2011: 41),
model pembelajaran langsung adalah salah satu model pembelajaran yang dirancang
khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat
diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.
Pengetahuan deklaratif merupakan pengetahuan tentang sesuatu, contohnya siswa
dapat menjelaskan konsep variabel. Pengetahuan deklaratif bersifat sebagai
pengetahuan yang mendasari pengembangan pengetahuan sehingga agar siswa dapat
memiliki pengetahuan prosedural, siswa lebih dahulu harus memiliki prasayarat
berupa pengetahuan deklaratif (Suprihatingrum, 2013: 230). Menurut Eggen dan
Kauchak (2012, 363) model pembelajaran langsung adalah suatu model yang
menggunakan peragaan dan penjelasan guru digabungkan dengan latihan dan umpan
balik siswa untuk membantu mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
nyata yang dibutuhkan untuk pembelajaran yang lebih jauh.
Menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2011: 41), ciri-ciri pembelajaran
langsung adalah sebagai berikut:
1) Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur
penilaian belajar.
2) Adanya sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
3) Adanya sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar
kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil.
4) Ada alat yang akan didemonstrasikan dan harus mengikuti tingkah laku
mengajar (sintaks).
Pembelajaran langsung menurut Kardi (dalam Trianto, 2011: 43), dapat
berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktik, dan kerja kelompok.
Pembelajaran langsung digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang
ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. Penyusunan waktu yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran harus seefisien mungkin, sehingga
guru dapat merancang dengan tepat waktu yang digunakan.
Menurut Trianto (2011: 43), langkah-langkah pembelajaran menggunakan
model pembelajaran langsung pada dasarnya mengikuti pola-pola pembelajaran
secara umum. Langkah-langkah model pembelajaran langsung meliputi tahapan
sebagai berikut:
1) Menyiapkan siswa dan menyampaikan tujuan pembelajaran.
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, informasi yang menjadi latar belakang
pelajaran, pentingnya pelajaran. Selain itu, guru juga harus berusaha menarik dan
memusatkan perhatian siswa, serta memotivasi mereka untuk beperan serta dalam
pembelajaran itu.
2) Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan presentasi dan demonstrasi
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi
tahap demi tahap.
3) Membimbing pelatihan
Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal.
4) Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mengecek apakah siswa telah melaksanakan tugas dengan baik.
5) Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian
khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari.
Langkah-langkah model pembelajaran langsung yang diungkapkan oleh
Trianto di atas sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran langsung yang
dinyatakan oleh Arends (dalam Suprihatingrum, 2013: 232) bahwa alur atau sintaks
model pembelajara langsung memiliki lima tahap, yaitu clarify goal and establish
(menjelaskan dan menetapkan tujuan), demonstrate knowledge or skill
(mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan), provide guide practice
(memberikan latihan dan memberikan bimbingan), check for understanding and
provide feedback (memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik), and
provide extended practice and transfer (memberikan latihan lanjutan).
Eggen dan Kauchak (2012, 363) menyusun sintaks dalam model pembelajaran
langsung hanya dalam empat tahap yaitu:
1) Perkenalan dan review
Guru memperkenalkan pelajaran dan mereview pemahaman awal.
2) Presentasi
Pada tahapan ini, pengetahuan/keterampilan baru disajikan, dijelaskan, dan
digambarkan dengan contoh.
3) Latihan terbimbing
Siswa melatih keterampilan dibawah bimbingan guru.
4) Latihan mandiri
Siswa melatih sendiri keterampilan
Dari berbagai definisi dan sintaks model pembelajaran langsung di atas, maka
sintaks model pemebelajaran langsung yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Pendahuluan
Guru menyiapkan pembelajaran, guru menyampaikan apersepsi, dan menjelaskan
tujuan pembelajaran.
2) Kegiatan inti
Pada tahap ini, guru menyajikan materi dengan mendemonstrasikan keterampilan
dan pengetahuan, menyajikan materi tahap demi tahap, memberikan latihan dan
dilanjutkan dengan mengecek pemahaman siswa.
3) Penutup
Guru bersama siswa membuat kesimpulan dari hasil pembelajaran yang telah
dilaksanakan dan memberikan PR.
7. Kreativitas Siswa
a. Pengertian Kreativitas
Kata kreativitas berasal dari “create” yang berarti pandai mencipta. Dalam
kamus Oxford, kreativitas diartikan “involving the use of skill and the imagination
to produce something new or a work of art”, artinya kreativitas adalah melibatkan
penggunaan keterampilan dan imajinasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru
atau sebuah karya seni. Dalam pengertian yang lebih luas, Rhodes (dalam
Munandar, 2012: 20) membedakan pengertian kreativitas dalam empat dimensi
(the Four P’s of Creativity) yaitu : (1) person, (2) process, (3) product, dan (4)
press.
Dari aspek kepribadian, Sternberg (Munandar, 2012: 20) mendefinisikan
bahwa kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut
psikologis: intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi. Intelegensi
meliputi terutama kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan,
perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, dan keterampilan
pengambilan keputusan. Gaya kognitif atau intelektual dari pribadi yang kreatif
menunjukkan kelonggaran dari keterikatan pada konvensi, menciptakan aturan
sendiri, melakukan hal-hal dengan caranya sendiri, dan menyukai masalah yang
tidak terlalu terstruktur.

Definisi yang menekanakan pada proses misalnya Weisch (dalam Siswono,


2008: 8) mengatakan “creativity is the proses of generating products by
transformation of existing products. These products, tangible and intangible, must
be unique only to the creator and must meet the criteria of purpose and value
established by creator” artinya kreativitas adalah proses pembuatan produk-
produk dengan mentransformasikan produk-produk yang sudah ada. Produk-
produk tersebut secara nyata maupun tidak kasat mata harus unik (baru) hanya
bagi penciptnya.
Definisi yang menekankan faktor pendorong atau dorongan secara internal
dikemukakan oleh Sudarma (2013: 18) bahwa kreativitas itu sebuah kekuatan atau
energi (power) yang ada dalam diri individu. Energi ini menjadi daya dorong bagi
seseorag untuk melakukan sesuatu dengan cara atau untuk mendapatkan hasil
yang terbaik. Lebih lanjut Sudarma (2013:21) menyimpulkan definisi dari
kreativitas adalah kecerdasan yang berkembang pada diri individu, dalam bentuk
sikap, kebiasaan, dan tindakan dalam melahirkan sesuatu yang baru dan orsinil
untuk memecahkan suatu masalah. Kreativitas adalah suatu proses yang tercermin
dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas), dan orginalitas dalam berpikir
(Munandar dalam Sudarma, 2013: 19).
Munandar (2012: 25) mengungkapkan bahwa kreativitas sebagai
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk
memberi gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau
sebagai kemampuan untuk melihat hubungan baru antara unsur yang sudah ada
sebelumnya. Kreativitas seseorang dapat dilihat dari tingkah laku atau
kegiatannya yang kreatif. Menurut Supriadi (2013: 136) kreativitas merupakan
kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan
maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Selain definisi kreativitas yang sudah dikemukakan oleh para ahli di atas,
Hurlock (2011: 3) menjelaskan bahwa kreativitas adalah spercik kejeniusan yang
diwariskan pada seseorang dan tidak ada kaitannya dengan belajar atau
lingkungan. Satiadarma (2003: 107) juga mengatakan bahwa ada orang yang
meyakini bahwa kreativitas adalah suatu faktor bawaan individual, sehingga
kreativitas diasumsiakan sebagai sesuatu yang yang dimiliki atau tidak dimiliki,
dan tidak banyak yang dilakukan melalui pendidikan untuk mempengaruhinya
Berdasarkan pengertian dan pendapat yang telah dikemukakan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kecerdasan yang berkembang
dari diri
individu dalam bentuk sikap, imajinasi, kemampuan, dan tindakan seseorang untuk
menghasilkan gagasan baru dalam mencari pemecahan masalah dalam proses
belajar.
b. Ciri-ciri Kreativitas Siswa
Berikut merupakan ciri-ciri orang kreatif menurut Piers (dalam Supriadi
(2013: 153). Mengungkapkan bahwa ciri-ciri orang-orang kreatif cenderung
memiliki rasa ingin tahu yang besar, tidak puas pada apa yang telah ada, percaya
diri, otonom, bebas dalam pertimbangan, menerima diri, senang humor, intuitif
dalam bepikir, tertarik dalam hal-hal yang kompleks, sensitif terhadap
rangsangan, toleran terhadap situasi yang tidak pasti.
Munandar (2012: 71) mengungkapkan beberapa ciri kreativitas, yaitu: rasa
ingin tahu yang luas dan mendalam, sering mengajukan pertanyaan yang baik,
memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah, bebas dalam
menyatakan pendapat, mempunyai rasa keindahan yang dalam, menonjol dalam
salah satu bidang seni, mampu melihat suatu masalah dari berbagai segi/sudut
pandang, mempunyai rasa humor yang luas, mempunyai daya imajinasi, dan
orsinal dalam ungkapan gagasan dan dalam pemecahana masalah. Menurut Sund
(dalam Riyanto, 2009: 226) menyatakan bahwa individu dengan potensi kreatif
dapat dikenai melalui pengamatan ciri-ciri sebagai berikut: hasrat keingintahuan
yang besar, bersikap terbuka terhadap pengalaman baru panjang akal, keinginan
untuk menemukan dan meneliti, cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan
sulit, cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan, memiliki dedikasi
bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas, berpikir fleksibel, menanggapi
pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban lebih banyak,
kemampuan membuat analisis dan sintesis, memiliki semangat bertanya dan
meneliti, memiliki daya abstraksi yang cukup baik, memiliki latar belakang
membaca yang cukup luas.
Supriadi (dalam Supriadi, 2013: 154) mengidentifikasi bahwa 24 ciri
kepribadian kreatif yang ditemukan dalam berbagai studi, yaitu: terbuka terhadap
pengalaman baru, fleksibel dalam berpikir dan merespon, bebas dalam
menyatakan pendapat dan perasaan, menghargai fantasi, tertarik pada kegiatan-
kegiatan kreatif, mempunyai pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh
oleh pendapat orang
lain, mempunyai rasa ingin tahu yang besar, toleran terhadap perbedaan pendapat
dan situasi yang tidak pasti, mengambil resiko yang diperhitungkan, percaya diri
dan mandiri, memiliki tanggung jawab dan komitmen terhadap tugas, tekun dan
tidak mudah bosan, tidak kehabisan akal dalam memecahkan permasalahan, kaya
akan inisiatif, peka terhadap situasi lingkungan, lebih berorientasi pada masa kini
dan masa depan, memiliki citra diri yang positif dan stabilitas emosi, tertarik pada
hal-hal yang bersifat abstrak, kompleks, holistik, dan mengandung teka-teki,
memiliki gagasan orisinal, memiliki minat yang luas, menggunakan waktu luang
untuk kegiatan yang bermanfaat dan konstruktif bagi pengembangan diri, kritis
terhadap pendapat orang lain, senang mengajukan pertanyaan yang baik, dan
memiliki kesadaran etik-moral dan estetika yang tinggi.
Dari definisi kreativitas dan berdasarkan ciri-ciri pribadi kreatif yang
diungkapkan oleh para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri
kreativitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:
1) Rasa ingin tahu yang luas dan mendalam.
2) Mempunyai daya imajinasi.
3) Mempunyai inisiatif.
4) Keterbukaan terhadap pengalaman baru.
5) Kemampuan mengajukan pertanyaan yang baik.
6) Memiliki gagasan orsinil.
7) Kemampuan dalam melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
8) Kelenturan dalam berfikir.
9) Kebebasan dalam menyatakan pendapat.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Xia et al. (2008) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa pembelajaran yang melibatkan aktivitas PS dan PP dapat
menimbulkan ketertarikan siswa terhadap matematika, meningkatkan kemampuan
mereka dalam mengajukan masalah dan meningkatkan kemampuan belajar matematika
mereka dengan baik. Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian peneliti adalah
sama-sama menggunakan PS dan PP dalam pembelajaran. Perbedaan dengan penelitian
ini, Xia et al. (2008) memadukan pembelajaran antara PS dan PP, sedangkan dalan
penelitian ini model pembelajaran PS dan PP tidak dalam satu pembelajaran dan dalam
penelitian ini model pembelajaran PS dan PP dimodifikasi dengan menggunakan
pendekatan PMR.
Cankoy et al. (2010) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa siswa yang
diberikan pmbelajaran PP based PS lebih baik dari pada siswa yang diberikan
pembelajaran dengan PS dalam menyelesaikan tes pemahaman masalah. Kesamaan
penelitian tersebut dengan penelitian peneliti adalah sama-sama menggunakan PS dan
PP dalam pembelajaran. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian peneliti
adalah
model pembelajaran PS dan PP tidak dalam satu pembelajaran dan dalam penelitian ini,
model pembelajaran PS dan PP dimodifikasi dengan menggunakan pendekatan PMR.
Rosli et al. (2014) menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan PP memberikan
keuntungan yaitu peningkatan prestasi belajar siswa dan kemampuan dalam
memecahkan masalah, Guvercin dan Verbovskiy (2014) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran PP lebih
baik dari pada prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvesional,
serta hasil penelitian Beal dan Cohen (2012) menyimpulkan bahwa respon siswa positif
setelah diajarkan dengan pembelajaran PP. Clark et al. (2005) dalam penelitainnya
menyatakan bahwa salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis adalah strategi PP. Kesamaan
penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama
menggunakan PP. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti adalah model pembelajaran PP dimodifikasi dengan menggunakan pendekatan
PMR.
Lee (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah meningkat setelah diberikan pembelajaran PS, Ifamuyiwa and
and Ajilogba (2012) dalam penelitiannya memperoleh bahwa strategi PS lebih efektif
dari pada pembelajaran konvensional, Ali el al (2010) dan Perveen (2010) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan metode
PS lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan metode
konvesional, serta Mwelese dan Wanjala (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran PS lebih baik dari
pada prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
sama-sama menggunakan PS. Perbedaannya dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran PS dimodifikasi dengan menggunakan pendekatan PMR.
Asmida (2012) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa siswa yang diajarkan
dengan pendekatan PMR mengalami peningkatan kemampuan komunikasi matematis
yang lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
diajarkan dengan pembelajaran biasa dan begitu juga hasil penelitian Izzati (2012)
bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan
pendekatan
PMR lebih tinggi secara signifika dibandingkan dengan kemampuan komunikasi
matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran biasa. Kesamaan kedua penelitian
ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama menggunakan
pendekatan PMR dalam pembelajarannya. Perbedaan penelitian tersebut dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah implementasi pendekatan PMR akan
dimodifikasi yaitu model pembelajaran PP dan model pembelajaran PS dengan
pendekatan PMR.
C. Kerangka Berpikir
1. Kaitan antara model pembelajaran dengan prestasi belajar siswa dan kemampuan
komunikasi matematis
Penggunaan model pembelajaran cukup besar pengaruhnya terhadap prestasi
belajar siswa dan kemampuan komunikasi matematis. Cukup banyak model
pembelajaran yang inovatif yang membuat siswa lebih berperan aktif dalam proses
pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus pandai mendisain dan memilih model
pembelajaran serta menggunakannya dalam pembelajaran yang sesuai dengan materi
yang diajarkan. Diantara model pembelajaran yang menggunakan filsafat
konstruktivisme adalah model pembelajaran PS dan model pembelajaran PP, dua
diantara sekian banyak model pembelajaran yang inovatif. Pada kedua model
pembelajaran ini, siswa dituntut untuk berperan aktif dalam pembelajaran, sehingga
pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru tetapi berpusat pada siswa. Kedua model
pembelajaran ini sama-sama menitikberatkan pada pemecahan masalah, siswa diajak
untuk aktif sehingga informasi tidak hanya diperoleh dari guru, tetapi siswa juga
dituntut untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan baru mereka dengan informasi
atau pengetahuan mereka sebelumnya. Hanya saja, perbedaan di antara keduanya
adalah, pada model pembelajaran PS, masalah yang diajukan berasal dari guru,
sedangkan pada model pembelajaran PP, masalah yang diajukan berasal dari siswa
sendiri. Masing-masing dari kedua model akan menggunakan pendekatan PMR.
Peneliti menggunakan pendekatan PMR dalam eksperimen ini agar siswa
mudah dalam mehamami dan menemukan konsep yang akan dipelajari, karena
mengingat bahwa pada tingkat sekolah menengah, siswa baru saja memasuki tahap
berpikir abstrak, maka dalam proses pembelajaran dibutuhkan situasi yang membawa
siswa ke dalam dunia mereka, artinya masalah kontekstual yang bisa dibayangkan
oleh siswa. Melalui pendekatan PMR siswa akan diberikan masalah kontekstual
sehingga dari masalah tersebut siswa akan menemukan konsep yang akan dipelajari.
Setelah siswa menemukan konsep yang diajarkan, siswa yang diajarkan dengan
model pembelajaran
PS akan diberikan masalah baru untuk didiskusikan dengan teman sebangkunya dan
siswa diajarkan dengan model pembelajaran PP diminta untuk membuat masalah
baru yang mirip dengan masalah yang sudah diberikan oleh guru. Dengan demikian,
siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran PP dituntut untuk berpikir lebih
ekstra
karena selain mereka harus membuat soal, mereka juga harus menyelesaikan soal
yang diberikan temannya.
Selain itu, model pembelajaran PP dapat membatu siswa dalam
mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide
matematika siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan
dapat meningkatkan performannya dalam pemecahan masalah siswa (Siswono, 2000:
8). Model pembelajaran PP juga sebagai sarana komunikasi matematika siswa karena
melalui pengajuan soal siswa akan berkomunikasi baik dengan temannya maupun
dengan gurunya.
Pada pembelajaran langsung, peran guru lebih dominan dari pada siswa. Guru
menjelaskan materi kepada siswa kemudian memberikan beberapa contoh, setelah itu
memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan. Siswa cenderung pasif, hanya
sekedar mendengarkan dan mencatat penjelasan guru. Tidak ada waktu untuk siswa
merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan
pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata,
sehingga pada akhirnya konsep yang disampaikan oleh guru pada siswa tidak
tertanam dengan baik. Selain itu siswa cenderung cepat lupa karena kegiatan belajar
hanya sekedar menghafal tanpa mengaplikasikannya dalam situasi nyata.
Dari uraian di atas, dimungkinkan bahwa prestasi belajar dan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang dikenakan model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR lebih baik dari pada prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis siswa yang dikenakan model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR
dan model pembelajaran langsung. Dan prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis siswa yang dikenakan model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR
lebih baik dari pada prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis siswa
yang dikenakan model pembelajaran langsung.
2. Kaitan antara kreativitas siswa dengan prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis
Faktor lain yang bisa mempengaruhi prestasi belajar dan kemampuan
komunikasi matematis siswa adalah kreativitas siswa. Prestasi belajar siswa akan
tergantung pada kreativitas siswa dalam mengerjakan soal, artinya siswa yang kreatif
akan memiliki banyak cara dalam menyelesaikan soal. Demikian pula dengan
kemampuan komunikasi matematis siswa yang meliputi indikator-indikator secara
teoritik dapat dikaitkan dengan kreativitas siswa. Siswa yang kreatif akan cenderung
memiliki banyak cara dan solusi, bahkan mereka bisa menemukan solusi yang tidak
pada umumnya ditemukan oleh siswa lain. Hal ini dapat mendukung kemampuan
untuk melakukan komunikasi, yaitu kemampuan menyatakan suatu ide matematika
melalui tulisan, bahasa, dan berbagai bentuk visual seperti gambar dan grafik.
Komunikasi yang fluency, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika dengan
memberikan contoh-contoh yang banyak, seperti: memberikan contoh komunikasi
yang banyak dalam bentuk tulisan, memberikan contoh komunikasi yang banyak
dalam bentuk visual seperti gambar dan grafik. Komunikasi yang flexibility, yaitu
dapat menyatakan suatu ide matematika dengan berbagai cara yang meliputi:
memberikan komunikasi dalam bentuk tulisan dengan berbagai cara, memberikan
komunikasi dalam bentuk visual seperti gambar dan grafik dengan berbagai cara.
Komunikasi yang originality, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika dengan
caranya sendiri yang meliputi: memberikan komunikasi dalam bentuk tulisan dengan
caranya sendiri, memberikan komunikasi dalam bentuk visual seperti gambar dan
grafik dengan caranya sendiri.
Ketika siswa diberikan suatu masalah atau diminta mengajukan suatu masalah,
maka disini unsur kreativitas berperan dalam proses pembelajaran, karena kreativitas
merupakan kemampuan berfikir untuk membuat kombinasi baru dalam menghasilkan
gagasan, jawaban, atau pernyataan berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur
yang ada dalam menyelesaikan masalah. Kreativitas merupakan kemampuan
menginterprestasi pengalaman dan memecahkan masalah dengan cara baru. Menurut
kaum konstruktivis, belajar merupakan proses menghubungkan pengalaman atau
pengetahuan yang ada dengan pengetahuan yang akan dipelajarinya sehingga mereka
menemukan konsep yang akan dipelajarinya.
Dalam menghubungkan pengalaman/pengetahuan yang ada dengan
pengetahuan yang akan dipelajarinya tersebut, siswa membutuhkan kreativitas tinggi
sehingga dapat dengan mudah menemukan konsep baru. Siswa dengan tingkat
kteativitas tinggi, cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu merasa
tertantang untuk menyelesaikan persoalan yang sulit. Jika ada hal yang belum
diketahui, maka siswa tidak akan segan untuk bertanya ataupun mencari jawabannya
pada sumber lain. Dengan adanya kreativitas siswa yang tinggi, maka siswa akan
lebih mudah memecahkan masalah dalam proses pembelajaran matematika, sehingga
tujuan
pembelajaran akan tercapai dan prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis siswa juga meningkat.
Berbeda halnya dengan siswa yang memiliki tingkat kreativitas sedang dan
rendah. Rasa ingin tahu mereka lebih kecil, sehingga kurang tertarik untuk
menemukan dan menerima hal-hal baru. Selain itu, mereka juga cenderung sulit
untuk mencari sendiri hal-hal yang belum mereka pahami, informasi yang diperoleh
hanyalah dari guru dan jika ada yang tidak diketahui, mereka lebih memilih untuk
tidak menanyakannya. Jika hal ini terjadi, maka tentu saja tujuan pembelajaran akan
sulit tercapai dan prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis siswa juga
tidak akan meningkat.
Dari urain di atas, maka siswa yang mempunyai kreativitas tinggi kemungkinan
besar akan memperoleh prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis yang
lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mempunyai kreativitas sedang dan
rendah. Demikian pula siswa yang mempunyai kreativitas sedang akan memperoleh
prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang mempunyai kreativitas rendah.
3. Kaitan antara kretivitas siswa dan model pembelajaran terhadap prestasi belajar dan
kemampuan komunikasi matematis siswa
Penggunaan model pembelajaran tidak selalu efektif di setiap situasi karena
adanya kreativitas siswa yang berbeda-beda pada tiap siswa. Jika siswa mempunyai
kreativitas yang tinggi tetapi dalam proses pembelajaran tidak didukung dengan
model pembelajaran yang tepat, maka hasilnya juga tidak akan lebih baik.
Pada dasarnya, model pembelajaran PS dan model pembelajaran PP keduanya
menuntut adanya kreativitas pada siswa untuk membuat soal ataupun menjawab
permasalahan yang diberikan oleh guru. Hanya saja, pada model pembelajaran PP,
siswa diwajibkan untuk membuat soal sendiri dan juga harus mampu menjawab soal
tersebut, sedangkan pada pembelajaran PS, masalah yang diberikan adalah dari guru
sendiri dan siswa hanya diminta untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa model pembelajaran PP menuntut adanya
kreativitas yang tinggi karena mereka dituntuk untuk membuat soal dan juga mampu
menjawab soal yang diberikan temannya, berbeda dengan model pembelajaran PS
dimana masalah diberikan oleh guru. Berbeda juga halnya dengan model
pembelajaran langsung, siswa hanya cukup mendengarkan penjelasan guru dan
mencoba menjawab soal yang diberikan sesuai dengan contoh yang diberikan guru.
Dengan demikian, siswa dengan kreativitas tinggi yang diberikan model
pembelajaran PP akan lebih baik
dalam mengkomunikasikan gagasan maupun dalam menjawab soal dari pada siswa
dengan kreativitas tinggi yang diberikan model pembelajaran PS maupun model
pembelajaran langsung. Demikian pula, untuk siswa dengan kreativitas sedang.
Tetapi siswa yang memiliki kreativitas rendah kurang dalam merespon
pembelajaran jika
diberikan model pembelajaran PP maupun PS dengan pendekatan PMR karena
kemungkinan besar mereka akan cenderung pasif dan menunggu teman yang lain
untuk mengajukan atau menyelesaikan soal. Sebaliknya, jika siswa dengan
kreativitas rendah akan lebih senang diajarkan dengan model pembelajaran langsung,
sehingga prestasi belajar mereka juga akan lebih baik jika diberikan model
pembelajaran langsung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ruseffendi (dalam
Susanto, 2015:
107) bahwa siswa yang memiliki kreativitas rendah, mereka cenderung menerima
begitu saja pendapat seseorang. Jadi, mereka akan langsung menerima apapun yang
disampaikan oleh guru. Tetapi, jika diberikan masalah untuk diselesaikan mereka
tidak ada motivasi untuk bertanya dan menyelesaikan masalah tersebut.
Dengan demikian, dapat diduga bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas
tinggi, prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis yang dikenakan model
pembelajaran PP dengan pendekatan PMR lebih baik dari pada prestasi belajar dan
kemampuan komunikasi matematis yang dikenakan model pembelajaran PS dengan
pendekatan PMR maupun model pembelajaran langsung serta prestasi belajar dan
kemampuan komunikasi matematis yang dikenakan model pembelajaran PS
pendekatan PMR lebih baik dari pada prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis yang dikenakan model pembelajaran langsung. Pada siswa dengan tingkat
kreativitas sedang, prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis yang
dikenakan model pembelajaran PP pendekatan PMR lebih baik dari pada prestasi
belajar dan kemampuan komunikasi matematis yang dikenakan model pembelajaran
PS pendekatan PMR maupun model pembelajaran langsung serta prestasi belajar dan
kemampuan komunikasi matematis yang dikenakan model pembelajaran PS
pendekatan PMR lebih baik dari pada prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis yang dikenakan model pembelajaran langsung. Pada tingkat kreativitas
rendah, tidak ada perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa di antara
ketiga model pembelajaran tersebut, serta tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa
yang diberikan model pembelajaran PP dan PS dengan pendekatan PMR, tetapi
prestasi belajar siswa yang diberikan model pembelajaran langsung lebih baik dari
pada prestasi belajar siswa yang diberikan model pembelajaran PP dan PS dengan
pendekatan PMR.
4. Kaitan antara masing-masing model pembelajaran dan kreativitas siswa terhadap
prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis siswa
Model pembelajaran dan kreativitas siswa adalah faktor yang berpengaruh
terhadap prestasi belajar dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Jika pada
suatu model pembelajaran tidak didukung oleh kreativitas dalam menyelesaikan
sebuah masalah atau soal, maka prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis siswa juga akan kurang optimal. Dalam penelitian ini, baik itu model
pembelajaran PS dengan pendekatan PMR, model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR, maupun model pembelajaran langsung ketiganya mempunyai
karakteristik yaitu adanya masalah atau soal yang harus diselesaikan oleh siswa di
akhir proses belajar mengajar.
Menurut Fardah (2012: 7) siswa dengan kreativitas tinggi bisa menghasilkan
produk yang bervariasi dan respon yang berbeda dengan siswa yang memiliki
kretivitas sedang maupun rendah, sedangkan siswa yang memiliki kretivitas sedang
maupun rendah kurang bervariasi dalam merespon dan bahkan tidak bervariasi.
Kemampuan untuk mendeskripsikan suatu ide atau gagasan matematika cenderung
dimiliki oleh siswa yang memiliki kreativitas tinggi. Dengan memiliki kreativitas
tinggi, siswa akan lebih mudah untuk mendeskripsikan ide dan gagasannya kepada
orang lain dalam menyelesaikan suatu permasalahan dan selalu merasa tertantang
dalam menyelesaikan soal-soal atau permasalahan yang sulit. Selain itu, mereka juga
memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar dibandingkan siswa dengan kereativitas
sedang dan rendah. Berbeda halnya dengan siswa yang memiliki kreativitas sedang
ataupun rendah. Siswa dengan memiliki kreativitas rendah akan terlihat lebih pasif
dalam mengikuti proses pembelajaran. Semakin tinggi kreativitas siswa, semakin
tinggi pula semangat siswa untuk dapat memberikan solusi, mengkomunikasi
pengetahuan dan pemahamannya tentang suatu konsep pada sesama teman maupun
kepada guru. Dengan demikian, pada masing-masing model pembelajaran, siswa
dengan kreativitas tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis yang lebih
baik dari pada siswa dengan kreativitas sedang maupun rendah dan siswa dengan
kreativitas sedang memiliki kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dari
pada siswa dengan kreativitas rendah.
Oleh karena itu, dimungkinkan pada masing-masing model pembelajaran,
siswa dengan kreativitas tinggi memiliki prestasi belajar dan kemampuan komunikasi
matematis yang lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas sedang maupun rendah
dan siswa dengan kreativitas sedang memiliki prestasi belajar dan kemampuan
komunikasi matematis yang lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas rendah.
D. Hipotesis Penelitian
1. a. Model pembelajaran PP dengan pendekatan PMR menghasilkan prestasi belajar
lebih baik dari pada model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR maupun
model pembelajaran langsung. Model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR
menghasilkan prestasi belajar siswa lebih baik dari pada model pembelajaran
langsung.
b. Model pembelajaran PP dengan pendekatan PMR menghasilkan kemampuan
komunikasi matematis lebih baik dari pada model pembelajaran PS dengan
pendekatan PMR maupun model pembelajaran langsung. Model pembelajaran PS
dengan pendekatan PMR menghasilkan kemampuan komunikasi matematis siswa
lebih baik dari pada model pembelajaran langsung.
2. a. Siswa dengan kreativitas tinggi mempunyai prestasi belajar lebih baik dari pada
siswa yang memiliki kreativitas sedang maupun kreativitas rendah. Siswa dengan
kreativitas sedang mempunyai prestasi belajar lebih baik dari pada siswa yang
memiliki kreativitas rendah.
b. Siswa dengan kreativitas tinggi mempunyai kemampuan komunikasi matematis
lebih baik dari pada siswa yang memiliki kraetivitas sedang maupun kraetivitas
rendah. Siswa dengan kreativitas sedang mempunyai kemampuan komunikasi
matematis lebih baik dari pada siswa yang memiliki kreativitas rendah.
3. a. Pada siswa dengan tingkat kretivitas tinggi, model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR memberikan prestasi belajar lebih baik dari pada model
pembelajaran PS dengan pendekatan PMR dan model pembelajaran langsung.
Model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR memberikan prestasi belajar
lebih baik dari pada model pembelajaran langsung.
b. Pada siswa dengan tingkat kretivitas tinggi, model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR memberikan kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari
pada model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR dan model pembelajaran
langsung. Model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR memberikan
kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari pada model pembelajaran
langsung.
c. Pada siswa dengan tingkat kretivitas sedang, model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR memberikan prestasi belajar lebih baik dari pada model
pembelajaran PS dengan pendekatan PMR dan model pembelajaran langsung.
Model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR memberikan prestasi belajar
lebih baik dari pada model pembelajaran langsung.
d. Pada siswa dengan tingkat kretivitas sedang, model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR memberikan kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari
pada model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR dan model pembelajaran
langsung. Model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR memberikan
kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari pada model pembelajaran
langsung.
e. Pada siswa dengan tingkat kretivitas rendah, model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR memberikan prestasi belajar yang sama dengan model
pembelajaran PS dengan pendekatan PMR. Model pembelajaran langsung
memberikan prestasi belajar lebih baik dari pada model pembelajaran PP dan PS
dengan pendekatan PMR
f. Pada siswa dengan tingkat kretivitas rendah, model pembelajaran PP dengan
pendekatan PMR memberikan kemampuan komunikasi matematis yang sama
dengan model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR dan model
pembelajaran langsung. Model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR
memberikan kemampuan komunikasi matematis yang sama dengan model
pembelajaran
langsung
4. a. Pada model pembelajaran PP dengan pendekatan PMR, siswa dengan kreativitas
tinggi memiliki prestasi belajar lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas
sedang dan rendah. Siswa dengan kreativitas sedang memiliki prestasi belajar
lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas rendah.
b. Pada model pembelajaran PP dengan pendekatan PMR, siswa dengan kreativitas
tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari pada siswa
dengan kreativitas sedang dan rendah. Siswa dengan kreativitas sedang memiliki
kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas
rendah.
c. Pada model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR, siswa dengan kreativitas
tinggi memiliki prestasi belajar lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas
sedang dan rendah. Siswa dengan kreativitas sedang memiliki prestasi belajar
lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas rendah.
d. Pada model pembelajaran PS dengan pendekatan PMR, siswa dengan kreativitas
tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari pada siswa
dengan kreativitas sedang dan rendah. Siswa dengan kreativitas sedang memiliki
kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas
rendah.
e. Pada model pembelajaran langsung, siswa dengan kreativitas tinggi memiliki
prestasi belajar lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas sedang dan rendah.
Siswa dengan kreativitas sedang memiliki prestasi belajar lebih baik dari pada
siswa dengan kreativitas rendah.
f. Pada model pembelajaran langsung, siswa dengan kreativitas tinggi memiliki
kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas
sedang dan rendah. Siswa dengan kreativitas sedang memiliki kemampuan
komunikasi matematis lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas rendah.

Anda mungkin juga menyukai