Anda di halaman 1dari 6

1.

Biografi Abu Ishaq al-Syatibi

Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-
Gharnati al-Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui
latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama al-Syatibi
dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletah dikawasan
Spanyol bagian timur1. Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota
kerajaan Nashr, Granada yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa
mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang
merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah
dengan berdirinya Universitas Granada.

Suasana ilmiah yang berkembag dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi
al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya dikemudian hari. Dalam meniti
perkembangan intelektualitasnya, tokok yang bermazhar Maliki ini mendalami berbagai ilmu,
baik yang berbentuk ‘’ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqasid (esensi dan hakikat). Al-
Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu
Abdillah Muhammad ibn Fakhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syatibi, dan Abu
Ja’far Ahmad al-Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalmai hadits dari Abu Qasim ibn
Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawo,
ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi,
serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantif dan debat. Disamping bertemu langsung,
ia juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya,
seperti megirim surat kepada seorang sudi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Rundi.

Meskipun mempelajari dan memdalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih berminat utuk
mempelajari bahasa Arab dan ushul fiqh. Keterkarikannya terhadap ilmu ushul fiqih karena,

1
Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam al-Syatibi tidak dilahirkan disana. Menurut catatan sejarah,
kota Syatibah telah jatuh ke tangan Kristen yang mengakibatkan terusirnya penduduk Muslim dari kota itu sejak
tahun 645 H (1247 M), sekitar satu abad sebelum kelahiran Imam al-Syatibi dan sebagian besar diantaranya
berhijrah ke Granada. Liha, Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Eksiklopedi Islam, (Jakarta PT. Ichtiar van Hoeve, 1996),
187
menurutnya metodologi dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan
kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial. 2

Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, al-Syatibi mengembangkan


potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya
ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Disamping itu, ia juga mewarisi
karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil’ala al-Khulashah fi al-Nahwa dan Ushul al-Nahw dalam
bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’thisam dalam bidang ushul
fiqih. Al-Syatibi wafat pada 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

2. Konsep Maqasid Syariah


Sebagai sumber utama agama Islam, al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama
membagi kandungan al-Quran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak dan syariah.
Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan
syari’ah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan
af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hukum islam, dibagi
dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas). 3
Al-Quran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan
muamalah, ia hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip berbagai masalah
hukum dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, Nabi Muhammad SAW
menjelaskan melalui berbagai haditsnya. Kedua sumber inilah (al-Quran dan hadits) yang
kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di
bidang muamalah. Dalam kerangka ini, al-Syatibi mengemukakan konsep maqasid
syari’ah.
Secara bahasa, Maqasid al-Syatibi terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan al-
syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah
sumber pokok kehidupan.4 Menurut istilah, al-Syatibi menyatakan, ‘’Sesungguhnya
syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didunia dan di akhirat’’.
Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syari’ah menurut al-
Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak
2
Muhammad Khalid Masud, Filasafat Hukum Islam : Studi tetang hidup Pemikira al-Syatibi (Banung: Penerbit
Pustaka, 1996), 111
3
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh (Kairo : Dar al Khuwaitiyah, 1986), 32
4
Fazlurrahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), 140
satupun hukum yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikan
sebagai segala sesuatu yang menyangku rezeki manusia, pemenuhan penghidupan
manusia dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualitasnya, dalam pengertian yang mutlak.
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut
perlindungan maqasid syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan
manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syari’ah berurusan dengan perlindungan
mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan
mashalih, maupu dengan cara preventif, seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan
untk melenyapkan unsur apapun yang secara actual potensial merusak maslahih.

a. Pembagian Maqasid al-Syari’ah


Menurut al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur
pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi, maqasid
syari’ah menjadi tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.

1) Dhururiyat
Jenis maqasid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan
kesejahteraan manusia didunia dn di akhirat yang encakup pemeliharaan lima unsur
pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Pengabdian kepada lima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan dimuka
bumi serta kerugian yang akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian
yang nyata diakhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam
kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang merusak. Sebagai contoh,
penunaian rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri
masing-maing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta
perlindungan terhadap eksistensi harta.
2) Hajiyat
Jenis maqasid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan
kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok
kehidupan manusia. Contoh jenis maqasid ini antara lain mencakup kebolehan untuk
melaksanakan akad mudharabah, masaqat, muzara’ah dan ba’I salam serta berbagai
aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau
menghilangkan kesulitan manusia di duna.

3) Tahsiniyat

Tujuan jenis maqasid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang
terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia
tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi
hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh
jenis maqasid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta
pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.

b. Korelasi Antara Dhururiyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat


Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, al-Syatibi menyimpulkan
korelasi antara pembagian ketiga maqasid syari’ah diatas yakni :
1) Maqasid dhururiyat, merupakan dsar bagi maqasid hajiyat dan maqasid
tahsiniyat.
2) Kerusakan pada maqasid dhururiyat akan membawa kerusakan pula pada
maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat.
3) Sebaliknya, kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat tidak
dapat merusak maqasid dhururiyat.
4) Kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat yang bersifat
absolute terkadang dapat merusak maqasid dhururiyat.
5) Pemeliharaan maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat diperlukan demi
pemeliharaan maqasid dhururiyat secara tepat.

Dengan demikian, apabila analisis lebih jauh dalam usaha mencapai


pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqasid tersebut
tidak dapat dipisahkan. Tampaknya bagi al-Syatibi, ingkat hajiyat merupakan
penyempurnaan tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan
tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.

Pengklasifikasian yang dilakukan al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa


pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia.
Disamping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan
dinamika pemahaman hukum yang diciptakan Allah SWT dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan manusia.

Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa


tidak terwujudnya aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan
akhirat secara keseluruhan. Pengabdian terhadap aspek hajiyat tidak sampai
merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi
manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabdian terhadap
aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak
sempurna.5 Lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atas sesuatu yang
bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqasid yang
lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat).

3. Beberapa Pandangan al-Syatibi Di Bidang Ekonomi


a. Objek kepemilikan
Pada dasarnya, al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak
kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat
hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia
membedkan dua macam air, yaitu : air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek
kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai
objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang
tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan
yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.6

5
Mustafa Anas Zarqa, Islamic Economics: an Approach to Human Welfare, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar,
Reading in The Concept and Methodology of Islamic Economics (Selangor Darul Ensan: Pelanduk Publication, 1989),
35-36
6
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Pemikiran al-Syatibi, 136.
b. Pajak
Dalam pandangan al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang
mashlahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat, para

Anda mungkin juga menyukai