Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-
Gharnati al-Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui
latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama al-Syatibi
dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletah dikawasan
Spanyol bagian timur1. Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota
kerajaan Nashr, Granada yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa
mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang
merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah
dengan berdirinya Universitas Granada.
Suasana ilmiah yang berkembag dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi
al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya dikemudian hari. Dalam meniti
perkembangan intelektualitasnya, tokok yang bermazhar Maliki ini mendalami berbagai ilmu,
baik yang berbentuk ‘’ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqasid (esensi dan hakikat). Al-
Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu
Abdillah Muhammad ibn Fakhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syatibi, dan Abu
Ja’far Ahmad al-Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalmai hadits dari Abu Qasim ibn
Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawo,
ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi,
serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantif dan debat. Disamping bertemu langsung,
ia juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya,
seperti megirim surat kepada seorang sudi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Rundi.
Meskipun mempelajari dan memdalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih berminat utuk
mempelajari bahasa Arab dan ushul fiqh. Keterkarikannya terhadap ilmu ushul fiqih karena,
1
Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam al-Syatibi tidak dilahirkan disana. Menurut catatan sejarah,
kota Syatibah telah jatuh ke tangan Kristen yang mengakibatkan terusirnya penduduk Muslim dari kota itu sejak
tahun 645 H (1247 M), sekitar satu abad sebelum kelahiran Imam al-Syatibi dan sebagian besar diantaranya
berhijrah ke Granada. Liha, Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Eksiklopedi Islam, (Jakarta PT. Ichtiar van Hoeve, 1996),
187
menurutnya metodologi dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan
kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial. 2
1) Dhururiyat
Jenis maqasid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan
kesejahteraan manusia didunia dn di akhirat yang encakup pemeliharaan lima unsur
pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Pengabdian kepada lima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan dimuka
bumi serta kerugian yang akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian
yang nyata diakhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam
kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang merusak. Sebagai contoh,
penunaian rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri
masing-maing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta
perlindungan terhadap eksistensi harta.
2) Hajiyat
Jenis maqasid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan
kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok
kehidupan manusia. Contoh jenis maqasid ini antara lain mencakup kebolehan untuk
melaksanakan akad mudharabah, masaqat, muzara’ah dan ba’I salam serta berbagai
aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau
menghilangkan kesulitan manusia di duna.
3) Tahsiniyat
Tujuan jenis maqasid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang
terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia
tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi
hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh
jenis maqasid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta
pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
5
Mustafa Anas Zarqa, Islamic Economics: an Approach to Human Welfare, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar,
Reading in The Concept and Methodology of Islamic Economics (Selangor Darul Ensan: Pelanduk Publication, 1989),
35-36
6
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Pemikiran al-Syatibi, 136.
b. Pajak
Dalam pandangan al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang
mashlahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat, para