Anda di halaman 1dari 12

Definisi Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari

140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.
Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat
menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak
(menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai.

Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberigejalayang berlanjut
untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh
darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit initelahmenjadi masalah utama dalam kesehatan
masyarakat yang ada di indonesiamaupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin
meningkatnya populasi usialanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar
juga akan bertambah.diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di
negara berkembang, tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000 diperkirakan
menjadi 1.15 milyar kasus di tahun 2025.
Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensisaat ini dan pertambahan penduduk saat
ini. Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan
di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan.
Baik dari segi case finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat
terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak
berkisar antara 6 sampai dengan 15% tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat Ungaran,
Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6%
sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang, Sumatera Barat 17,8%.

Faktor Risiko Hipertensi


Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian hipertensi dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu
faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi.

Faktor Yang Tidak Dapat Dimodifikasi :


1. Umur
Semakin bertambahnya umur akan meningkatkan faktor risiko hipertensi karena anatomi
tubuh yang dimulai mengalami perubahan, dimana arteri akan kehilangan kelenturan
yang mengakibatkan pembuluh darah menjadi kaku dan sempit sehingga tekanan darah
akan meningkat (Kemenkes RI, 2012).

2. Jenis Kelamin
Pria memiliki prevalensi sedikit lebih tinggi menderita hipertensi bila dibandingkan
wanita ( WHO, 2014). Hal itu berlaku untuk umur dibawah 50 tahun, karena bila sudah
memasuki umur 50 tahun, wanita memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami
hipertensi daripada pria, yang disebabkan karena menurunnya hormone estrogenyang
berperan didalam memberikan perlindungan terhadap penyakit jantung dan pembuluh
darah termasuk tekanan darah tinggi.

3. Riwayat Keluarga
Adanya faktor genetikpada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga tersebut
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hipertensi dikaitkan pula dengan faktor riwayat
keluarga dimana bila ayah atau ibu mempunyai penyakit hipertensi besar kemungkinan
akan menurun kepada anak-anaknya dengan perkiraan sebesar 30% dan bila baik ayah
maupun ibu menderita hipertensi maka anak-anaknya berisiko terkena hipertensi sebesar
50%. Risiko menderita hipertensi essensial semakin tinggi bila baik ayah maupun ibu
mengidap penyakit sebelumnya (Widyningtyas,2009).

Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi


1. Obesitas
Timbulnya berbagai penyakit seperti obesitas biasanya diikuti oleh keadaan antara lain
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung seperti arterioklerosis, jantung koroner
(Pudiastuti,2011). Berat badan berlebihan merupakan suatu bahaya terhadap kesehatan.
Sebanyak 85% dari semua pengidap diabetes dan 60% dari semua orang yang mengidap
hipertensi adalah orang-orang yang kelebihan berat badan.

2. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang
disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan atau
resistensi insulin (Bustan,2007). Kadargula yang tinggi dan berkepanjangn dapat
berakibat naiknya tekanan darah. Kadang tanda pertama yang tampak pada penderita
Diabetes Melitus adalah Hipertensi. Konsentrasi gula yang tinggi dan konstan yang
terserap dalam aliran darah pada akhirnya tidak hanya menyebabkan Hipertensi yang
konstan, tetapi mungkin juga melemahkan kekuatan pangkreas dalam menghasilkan
insulin.

3. Alkohol
Alkohol adalah suatu zat yang dosis rendah mempunyai efek mengguntungkan misal
menurunkan kejadian infark miokard, strok, batu kantong empedu dan kemungkinan
penyakit Alzheimer, akan tetapi bila konsumsi lebih dari dua gelas standar sehari dapat
menyebabkan problem kesehatan pada beberapa sistem, pemakain 3 gelas atau lebih
dapat perhari akan menimbulkan kenaikan tekana darah tergantung dosis etanolnya.
Konsumsi dalam jumlah besar dan berulang-ulang seperti pada penyalahgunaan alkohol
dapat memperpendek harapan hidup baik laiki-laki maupunperempuan, pada semua
kelompok kultur dan tingkat social ekonomi (Budiman, 2009).

4. Merokok
Rokok mengandung zat racun seperti tar, nikotin dan karbon monoksida. Zat beracun
tersebut akan menurunkan kadar oksigen ke jantung, meningkatkan tekanan darah dan
denyut nadi, penurunan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik), peningkatan gumpalan
darah dan kerusakan endotel pembuluh darah coroner.

5. Aktivitas Fisik
Berapa penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah
karena aktivitas fisik yang teratur dapat melebarkan pembuluh darah sehingga
tekanandarah menjadi normal. Semakin ringan aktivitas fisik semakin meningkat risiko
terjadinya hipertensi. Orang yang kurang berolahraga atau kurang aktif bergerak dan
yang kurang bugar, memiliki risiko menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi
meningkat 20-50% dibandingkan mereka yang aktif dan bugar.

6. Konsumsi Makanan Asin


Garam memiliki sifat mengikat cairan sehingga mengkonsumsi garam dalam jumlah yang
berlebihan secara terus-menerus dapat berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan
tekanan darah. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairanekstraseluler meningkat, untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik
keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat menyebabkan meningkatnya
volume darah kemudian berdampak timbulnya hipertens

7. Stres
Stres merupakansuatu keadaan ketegangan fisik dan mental/kondisi yang dapat dialami
oleh seseorang yag dapat mempengaruhi emosi, proses berfikir dan dapat menyebabkan
ketegangan.
Penyebab Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan :
1. Hipertensi Esensial
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun dikaitkan dengan
kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan.
Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi (Kemenkes.RI, 2014).

2. Hipertensi Sekunder
Prevalensi hipertensi sekunder sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi.
Penyebab hipertensi sekunder yaitu ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin dan
obat.

Klasifikasi Hipertensi menurut JNC - VII 2003

Kategori TDS (mmHg) TDD (mmHg)


Normal < 120 dan < 80
Pra-hipertensi 120 - 139 atau 80 - 89
Hipertensi
140 - 159 atau 90 - 99
tingkat 1
Hipertensi
> 160 atau > 100
tingkat 2
Hipertensi Sistolik Terisolasi      > 140   dan        <  90

Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation,and Treatment or High Pressure VII/JNC - VII, 200

Klasifikasi Hipertensi menurut WHO

Menurut WHO, hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan
atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.
Penegakan diagnosis hipertensi didasarkan oleh anamnesis serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk mencari penyebab sekunder hipertensi serta memastikan ada
tidaknya komplikasi.

Anamnesis

Anamnesis menyeluruh diperlukan untuk penegakan diagnosis, penilaian progresi penyakit serta
risiko komplikasi penyakit kardiovaskular dan pemilihan terapi antihipertensi. Anamnesis
sebaiknya meliputi hal berikut.

Gejala

Sebagian besar pasien tidak bergejala. Jika bergela, gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa
nyeri kepala. Gejala yang dialami terkait komplikasi seperti fatigue, sesak nafas saat beraktifitas,
kaki bengkak, kelemahan tubuh satu sisi, dan penglihatan buram.

Riwayat Kejadian Kardiovaskular

Tanyakan kepada pasien apakah sebelumnya sudah didiagnosis hipertensi. Selain itu tanyakan
riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya yakni sindrom koroner akut, gagal jantung,
penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, sleep apneu, stroke, transient ischemic attack,
demensia.

Faktor Risiko

Faktor risiko perlu ditanyakan untuk menilai risiko komplikasi penyakit kardiovaskular serta
perencanaan terapi. Hal yang perlu ditanya yakni komorbid terkait risiko penyakit kardiovaskular
seperti diabetes, hiperkolesterol, gaya hidup (inaktivitas fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi
alkohol)

Riwayat Konsumsi Obat

Hal ini perlu ditanyakan untuk penyesuaian jenis dan dosis antihipertensi pada pasien yang sudah
sering berobat untuk masalah hipertensi. Selain itu untuk penilaian ada tidaknya konsumsi obat
yang memiliki efek memicu kenaikan tekanan darah.[18]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik utama yakni pengukuran tekanan darah. Pemeriksaan fisik secara lengkap juga
perlu dilakukan untuk menilai ada tidaknya komorbid serta komplikasi.
Cara Pengukuran Tekanan Darah

Teknik pengukuran tekanan darah harus tepat agar didapatkan hasil pengukuran yang benar.
Cara pengukuran tekanan darah yang tepat harus memperhatikan berbagai aspek di antaranya
alat tensimeter yang digunakan, ukuran dan pemasangan cuff tensimeter, posisi pasien, waktu
pengukuran serta jumlah pengukuran tensi.

Saat dilakukan pengukuran tekanan darah posisi pasien sebaiknya duduk dengan posisi lengan
setinggi jantung, punggung bersandar serta tungkai tidak menyilang. Posisi yang tidak sesuai
terbukti memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Pasien tidak berbicara saat dilakukan
pengukuran. Pengukuran juga dilakukan minimal setelah 5 menit pasien duduk. Setelah posisi
tepat, lakukan pengukuran tekanan darah.

Pompa manset tensimeter hingga pulsasi arteri radialis menghilang. Lanjutkan pompa tensimeter
hingga 30 mmHg di atas sistolik (di atas batas nilai saat pulsasi menghilang). Letakan stetoskop
pada area arteri brachialis dengan penekanan ringan. Kempeskan manset tensi perlahan dengan
kecepatan 2 sampai 3 mmHg per denyut nadi. TDS ditandai dengan Korotkoff fase I (bunyi
pulsasi yang terdengar pertama kali). Bunyi pulsasi akan perlahan menghilang. Bunyi terakhir
yang terdengar atau dikenal dengan Korotkoff fase V merupakan TDD. [21]

Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan fisik lain yang sebaiknya dilakukan adalah :

 Pemeriksaan fisik lengkap

 Pemeriksaan Antropometri : Perhitungan indeks massa tubuh diperlukan untuk


pemantauan berat badan. Obesitas terbukti merupakan faktor risiko hipertensi. Data berat
badan diperlukan untuk evaluasi pencapaian berat badan ideal.
 Lingkar pinggang : Komponen sindroma metabolik salah satunya yakni lingkar pinggang
(pria >102 cm dan wanita >88 cm). Tak hanya sindroma metabolik tetapi juga menilai
kemungkinan DM tipe 2.
 Pemeriksaan fisik terkait komplikasi hipertensi :
o Pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan jika
secara klinis terdapat gejala stroke
o Pemeriksaan mata. Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan pada fundus okuli.
Selain itu cek ada tidaknya xanthoma sebagai tanda gangguan metabolisme lipid
o Tanda kongesti. Pada pasien gagal jantung dapat ditemukan tanda kongesti seperti
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus, hepatomegalli dan pitting
edema. Pembesaran ventrikel kiri dapat dicurigai jika apeks teraba bergeser ke
lateral saat palpasi
o Pulsasi. Penyakit arteri perifer dapat ditandai dengan melemah bahkan hilangnya
pulsasi perifer [18]

Diagnosis Banding
Hipertensi dapat didiagnosis secara lebih terperinci berdasarkan klasifikasinya hipertensi primer
atau sekunder, maupun berdasar hasil pengukuran tekanan darah.

 Hipertensi primer
 Hipertensi sekunder
 Hipertensi refrakter : Hipertensi dikategorikan refrakter jika TDS tetap > 140 mmHg atau
TDD >90 mmHg walaupun sudah mendapatkan terapi 3 (tiga) obat anti hipertensi.[22]
 Krisis hipertensi : Krisis hipertensi terbagi menjadi hipertensi urgensi dan emergensi.
Klasifikasi ini didasari hipertensi arterial dengan TDS ≥180 mmHg atau TDD ≥110
mmHg disertai dengan/atau tanpa kerusakan organ.  Jika ditemukan kerusakan organ
maka tergolong hipertensi emergensi.[22]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penderita hipertensi bertujuan untuk mengetahui
progresi penyakit ini. Pemeriksaan dasar yang sebaiknya dikerjakan pada hipertensi primer
yakni:

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan disesuaikan dengan faktor risiko dan klinis pasien :

 Penilaian risiko kardiovaskular : Gula darah puasa, profil lipid, asam urat
 Penilaian penyebab hipertensi : TSH (Thyroid-stimulating hormone)
 Penilaian komplikasi hipertensi :
o Serum kreatinin untuk perhitungan Egfr
o Serum sodium, potassium dan kalsium
o Urinalisa

Pemeriksaan Penunjang Lainnya

Terdapat berbagai pilihan pemeriksaan untuk menilai ada tidaknya komplikasi:

 Elektrokardiografi : digunakan untuk menilai apakah terjadi komplikasi seperti infark


miokard akut atau gagal jantung
 Foto polos thoraks : digunakan untuk menilai apakah terjadi pembesaran ventrikel atau
edema paru
 Ekokardiografi : digunakan untuk melihat fungsi katup dan bilik jantung
 Doppler perifer : digunakan untuk melihat struktur pembuluh darah, misalnya pada
thrombosis vena dalam dan penyakit arteri perifer
 USG ginjal : digunakan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal, misalnya batu ginjal
atau kista ginjal
 Skrining hipertensi endokrin
 CT scan kepala [1]
Pengobatan Hipertensi
Tujuan utama pengobatan penderita hipertensi adalah tercapainya penurunan maksimum risiko
total morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
Strategi Manajemen Penatalaksaan Hipertensi
1. Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan
darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yangmenderita hipertensi derajat 1,
tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 –6 bulan. Bila
setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang
diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi(Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015).

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :
 Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan
sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selainpenurunan tekanan
darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.
 Mengurangi asupan garam. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari
 Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 –60 menit/ hari, minimal
3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.
 Mengurangi konsumsi alkohol. konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria
atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah.
 Berhenti merokok.

2. Terapi farmakologi

Secara umum, terapifarmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1
yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan
pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu
diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,yaitu :
 Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
 Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
 Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55 –80
tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid.
 Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan
angiotensin II receptor blockers (ARBs)
 Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
 Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
Venous Thromboembolism (VTE)
Venous thromboembolism (VTE) merupakan penyakit kardiovaskular ke tiga tersering setelah
jantung koroner dan stroke. Walaupun insidensi pada populasi umum tuh cuma sekitar 0,2%, tapi
insidensi ini akan meningkat 10 kali lipat pada penderita rawat inap di rumah sakit, dan merupakan
penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap. (kurang tahu data tahun berapa :( )

                Sebelum mbahas labih lanjut tentang VTE, ada baiknya kita kenalan dulu ama pembuluh darah
yang namanya pembuluh vena.  Nah seperti yang telah kita pahami bersama, pembuluh darah ini
mengatur jalannya darah dari organ perifer menuju jantung.  Nah, doi tuh punya banyak klep yang
berfungsi mencegah berbaliknya arus aliran darah.  Selain itu, dinding vena sangat tipis, hanya sekitar 1/
3 dari tebal dinding arteri.. Oleh karena itu, doi gak mampu menahan stasis aliran darah,, jadinya klo ada
stasis di proximal, maka di distalnya akan terjadi oedema. Makanya bapaknya bilang klo suatu penyakit
mengenai vena, maka prosesnya akut tapi komplikasinya kronik. Dan klo arteri, prosesnya kronik (karena
dindingnya tebal) dan komplikasi akut..

                Dulu dianggap klo VTE init uh pernyakitnya orang bule.. coz orang Asia kyak qt2 ini dianggap
terproteksi dari VTE karena diet dan gaya hidup, tidak adanya beberapa predisposisi genetic (misal
faktor V leiden dah mutasi G20210A), dan proses hemostasis yang baik.  Nah,, nyatanya, menurut AIDA
study, insidensi VTE di Asia adalah 41%, gak beda jauh aman Negara maju yang proteksinya 43-44%, trus
Negara no.1 di Asia dengan jumlah insidensi VTE terbanyak.

Patogenesis VTE pada dasarnya cuma ada 3, yang disebut dengan triad Virchow, yaitu:

a.       Stasis
b.      Hypercoagulabilitas
c.       Trauma endothel

Sedangkan spectrum  VTE tuh bervariasi:

a.       Deep Vein Thrombosis (DVT)

DVT ini biasanya terjadi pada ekstremitas bawah, yang lokasinya ada di system illeofemoral dan vena
betis. Biasanya unilateral dan ditandai dengan ektremitas yang nyeri, bengkak dan kemerahan.  
Seseorang dikatakan suspek diagnosis DVT apabila ia mengalami pembesaran kaki yang difus dan
menyakitkan, tanpa sebab yang jelas.

b.      Pumonary Embolism(PE)

PE tuh merupakan komplikasi DVT yang serius, yang disebabkan karena adanya embolus dari VTE yang
menyebar, dan bisa ajah nyampe paru-paru..Bahanya, lebih dari sepertiga pasien bakal langsung
meninggal sesaat setelah terjadinya PE, padahal gejalanya ga jelas. Sekedar data-data aja nih, 50%
pasien dengan DVT pada kaki memiliki PE asimptomatik, dan 80% pasien PE ditemukan menderita DVT
juga, jadi jelas kan klo kduanya berhubungan.

c.       Post thrombotic Syndrome


Karakteristik sindrom ini ditandai dengan adanya edema, sklerosis dan ulserasi, yang muncul pada 40-
80% pasien DVT, dan munculnya dalam waktu 5-10 tahun setelah DVT.

Nah, sekarang kita mau ngebahas mengenai VTE pada populasi spesifik,yaitu:

a.       VTE dan kanker


Kanker dapat meningkatkan resiko VTE sebanyak 4.1 kali lipat, trus klo cancer yang diobati dengan
chemotherapy dapat meningkatkan resiko VTE lebih parah lagi, 6.5 kali lipat.

Tumor tumor tersering yang tersering diasosiasikan  dengan VTE adalah kanker pancreas, kanker
lambung, kanker paru, dan adenokarsinoma darin tempat primer yang belum diketahui. 

Kenapa kanker bisa menyebabkan VTE ??

penjelasan Virchow:

Stasis (venous stasis, yang disebabkan karena penakanan vascular oleh tumor yang besar, sehingga
akhirnya terjadi imobilisasi aliran darah dech..), hiperkoagulabilitas (platelet activities (tumor-induced
trombin, tumor ADP productions) ; direct procoagulant  production (tissue-factor like production cancer
procoagulant) ; supresion of fibrinolytic activities) ,dan endothel injury (perusakan endothel secara
langsung. Baik oleh si kankernya sendiri, maupun karena invasi ekstrinsik,misalnya bedah dan
chemotherapy..)

b.      Traveller thrombosis

Ceritanya dulu ada seorang wanita cantik yang tiba-tiba meninggal karena naik pesawat ekonomi, coz 
tiba-tiba dya mengalami PE. Hal ini disebabkan karena immobilisasi, sehingga terjadi venous stasis.

VTE bisa dicegah dengan menerapkan:

a.       VTE ALERT

               Terdiri atas:

1)      Kenali faktor resiko


2)      Lakukan penilaian terhadap faktor resiko dengan tepat
3)      Lakukan therapy prophylactic

Kita tuhn kudu menerapkan asas praduga bersalah pada pasien yang memiliki faktor resiko VTE..
mdxdna kita anggep dy VTE, trus eksplore lebih jauh lagi untuk mengetahui apakah dia benar2
mengalami VTE

b.      Prevensi VTE pada Penderita Rawat Inap

Lakukan pemeriksaan resiko VTE pada pasien-pasien yang:

1)      Sick, terutama yang menderita penyakit kronik, sebab doi kan harus immobile,, rawan bwat terjadinya
venous stasis
2)      Old, sebab pada usia >60 tahun, resiko VTE naik 2-3 kali lipat

3)      Underwent Surgery, terutama pd pasien pasca operasi besar (>3 jam) atau yang mengalami operasi
pada gastrointestinal atau operasi orthopaedic (mengganggu endothel, memacu koagulasi lewat sitokin-
sitokin, mengganggu faktor-faktor anti koagula

Anda mungkin juga menyukai