Anda di halaman 1dari 26

Trakeitis

Epidemiologi
Bakterial trakeitis memiliki insidensi puncak antara usia tiga hingga
delapan tahun, meskipun telah lebih jarang ditemukan pada bayi dan
orang dewasa. Laki-laki memiliki sedikit dominasi atas perempuan
dengan rasio prevalensi 1,3: 1. Insiden tahunan jarang terjadi dengan
perkiraan insiden 0,1 kasus per 100.000 anak. Kejadian lebih sering
terjadi pada musim gugur dan musim dingin daripada di musim panas
atau musim semi. Ini bertepatan dengan epidemi virus musiman khas
influenza, parainfluenza, dan virus syncytial pernapasan (RSV).
Etiologi dan Faktor Resiko
• Bakterial trakeitis adalah infeksi bakteri pada trakea yang sering didahului oleh
infeksi saluran pernapasan atas virus. Virus yang paling umum terlibat termasuk
Influenza A dan B (dengan tipe A menjadi yang paling umum), virus pernapasan
syncytial (RSV), virus parainfluenza, virus campak, dan enterovirus. Virus-virus
ini menyebabkan kerusakan mukosa saluran napas melalui respons imun lokal
yang merupakan predisposisi trakea terhadap penyemaian infeksi bakteri. Anak-
anak yang terkena biasanya sehat. Namun, populasi berisiko termasuk individu
yang immunocompromised rentan terhadap gejala sisa yang parah.
• Tracheitis bakteri biasanya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.
Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan trakeitis bakteri, termasuk:
• Streptococcus pneumonia
• Influenza hemofilik
• Moraxella catarrhalis
Patofisiologi
• Pada trakeitis bakteri, bakteri oportunistik menyerang mukosa trakea
yang rusak dan merangsang respons inflamasi lokal dan sistemik.
Respons lokal menyebabkan edema, sekresi mukopurulen yang
kental, ulserasi, dan peluruhan mukosa, yang dapat mempengaruhi
penyempitan subglotis. Peradangan sistemik yang menyebabkan
sepsis jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada anak-anak yang sistem
kekebalannya terkompromikan. S. aureus telah menjadi patogen yang
paling sering terlibat, meskipun laporan menunjukkan Moraxella
catarrhalis menjadi lebih umum terutama pada anak-anak yang lebih
muda.
Manifestasi Klinik
• Gejala awalnya mungkin termasuk batuk, pilek, dan demam
ringan. Setelah dua hingga lima hari, anak mungkin mengalami lebih
banyak gejala infeksi dan obstruksi jalan napas. Tanda dan gejala tersebut
dapat mencakup:
• Demam tinggi
• Batuk berat
• Kesulitan bernafas
• Mengi
• Hidung melebar
• Sianosis, atau warna biru pucat pada kulit mereka
• Anak juga dapat mengalami stridor. Stridor adalah suara bernada tinggi
saat anak bernapas. Stridor sering merupakan tanda infeksi serius dan
obstruksi jalan nafas parsial. Kondisi ini juga bisa mengancam jiwa.
Diagnosis

• RiwayatPenyakit
• Perjalanan penyakit trakeitis bakterialis.
• Kemungkinan akan terjadi setelah seseorang mereka mengalami
ISPA, seperti flu biasa.
• Gejala awal dapat berupabatuk, pilek, dan demamr ingan.
Setelahduahinggalima hari, dapatberlanjutdengangejalayang lebih
berat disertai gejala obstruksi saluran napas.
• Gejala
• Demam.
Padaorang dewasa, jarang di atas38 C dalam kasus trakeitis, tidak
seperti anak-anak.
• Tanda Utama
• Batuk : Biasanya Ditandai batuk kering pada malam hari
Pemeriksaan Penunjang
• Biakan nasofaring, yang merupakan sampel sekresi yang diambil dari
bagian paling atas tenggorokan untuk menguji apakah terdapat
bakteri atau tidak.
• Kultur trakea, yang merupakan pengambilan sampel sekresi dari
trakea.
• Tes darah untuk mengukur kadar oksigen darah
• X-ray untuk melihat saluran pernapasan apakah terdapat
peradangan, pembengkakan, atau infeksi.
• Endoskopi, yang merupakan prosedur nonsurgical yang
memungkinkan dokter untuk melihat tenggorokan menggunakan
tabung tipis dengan kamera
Tatalaksana
• memberi obat antibiotik untuk membunuh bakteri penyebab infeksi
trakeitis bakteri
• Amoksisilin/ asamklavulanat, cefuroxime, danampisilin+ sulbaktam.
• Epinefrin atau kortikosteroid nukleat tidak meredakan obstruksi saluran napas
akut
• membersihkan jalan napas anak dengan intubasi. 
• Setelah tabung diposisikan, langsung menghubungkan tabung
tersebut dengan ventilator. Tindakan ini dapat membantu
meningkatkan fungsi paru-paru anak Anda saat mereka pulih dari
infeksi.
Komplikasi dan prognosis
• Kesembuhan tergantung pada tingkat keparahan kondisi
• Jika trakea menjadi benar-benar tersumbat, kondisi tersebut dapat
menyebabkan kesulitan bernapas dan bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Faringitis
Epidemiologi
• Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan period prevalence
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Indonesia sebesar 25,0%. Nusa
Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara
Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%) merupakan provinsi dengan
kasus ISPA tersering. ISPA paling sering diderita populasi usia 1-4
tahun.
Etiologi
• Etiologi faringitis dapat berupa infeksi maupun noninfeksi.
• Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun jamur.
• Penyebab noninfeksi dapat berupa faktor fisikokimia dan faktor
lingkungan
Bakteri Virus Jamur Bakteri atipikal

-Group A beta- - Adenovirus Candida sp -Mycoplasma


hemolytic streptococci - Rhinovirus pneumoniae
- Group C streptococci - Coxsackievirus - Chlamydophila
- Neisseria - Herpes simplex virus pneumoniae
gonorrhoeae - Coronavirus - Chlamydophila psittaci
- Corynebacterium - Influenza A dan B
diphtheriae - Parainfluenza
- Fusobacterium - Respiratory syncytial
necrophorum virus
- Francisella tularensis - Epstein-Barr virus
- Yersinia pestis - Cytomegalovirus
- Treponema pallidum - HIV
- Mixed anaerobes
• Penyebab faringitis noninfeksi dapat dibagi menjadi faktor fisikokimia
dan lingkungan :
• Faktor Fisikokimia : Faktor fisikokimia yang dapat menimbulkan
faringitis yakni merokok, prosedur intubasi trakea maupun
pemasangan laryngeal mask airway, berteriak atau penggunaan pita
suara berlebihan, penyakit komorbid (laryngopharyngeal reflux), serta
penggunaan obat-obatan tertentu (ACE inhibitor dan obat
kemoterapi)
• Faktor Lingkungan : Faktor lingkungan yang dapat menimbulkan
faringitis yakni polusi udara, kelembapan rendah, serta zat iritan pada
lingkungan (misalnya partikulat, fumes, zat kimia, dan asap)
Patofisiologi
• Patofisiologi faringitis tergantung pada organisme penyebab. Umumnya penularan
terjadi melalui kontak dengan sekret nasal maupun droplet yang mengandung
patogen.
• Adenovirus : Adenovirus menginfeksi mukosa secara langsung, mengakibatkan
faringitis, demam, dan konjungtivitis.  
• Rhinovirus : Rhinovirus melakukan penetrasi ke sel epitel mukosa hidung bersilia,
selanjutnya menimbulkan peradangan pada mukosa nasofaring dan saluran
pernapasan bagian atas.  
• Epstein-Barr virus : Infeksi Epstein-Barr virus (EBV) ditandai dengan faringitis, demam,
limfadenopati coli, serta ditemukan limfosit perifer besar atipikal. EBV menular lewat
sekret oral dan transfusi darah. Dalam masa inkubasi infeksi primer, replikasi terjadi
dalam kavum oral. Virus tersebut menginfeksi sel B dan sel epithelial tonsil,
menyebabkan viremia. Timbul respon imun terutama melibatkan sel T CD8 dan sel NK
(Natural Killer).
• Virus Influenza : Penularan virus influenza terjadi melalui droplet. Virus
melakukan penetrasi ke epitel saluran napas pada epitel bersilia maupun tanpa
silia. Timbul peradangan yang ditandai dengan ditemukannya sel proinflamasi
pada lamina propria hingga nekrosis epitel saluran pernapasan pada sediaan
histopatologi.  
• Group A Streptococcus β-haemolyticus : Group A Streptococcus (GAS) cenderung
berkolonisasi pada kulit atau mukosa nasofaring. Perlekatan GAS pada mukosa
nasofaring selanjutnya diikuti peradangan pada faring.  GAS mengalami
perlekatan dengan sel melalui asam lipoteichoic.
• Sekuele berupa demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik dapat
timbul pasca faringitis melalui reaksi silang antibodi dan sel T terhadap protein di
tubuh host yang memiliki struktur serupa.
Diagnosis
Anamnesis
• Pasien faringitis umumnya mengeluhkan nyeri tenggorokan. Keluhan demam,
batuk kering ataupun berdahak serta pilek juga bisa ditemukan.
• Faringitis yang diakibatkan oleh Group A Streptococcus β-haemolyticus (GAS)
seringkali dialami anak usia 4- 7 tahun dengan onset mendadak. Pasien
cenderung tidak mengeluhkan gejala batuk atau rhinorrhea yang biasanya
didapati pada kasus faringitis akibat infeksi virus. Selain itu adanya riwayat
kontak dengan penderita GAS atau demam reumatik, walaupun bukan berarti
jika tidak ada kontak dengan penderita menghilangkan kemungkinan diagnosis
faringitis akibat GAS. Riwayat demam reumatik sangat penting untuk ditanyakan
karena dapat berulang.
• Faringitis harus dibedakan dengan infeksi difteri dimana nyeri tenggorokan
disertai keluhan sesak dan pembengkakan leher.
Diagnosis
• Pemeriksaan Fisik
• Pada pemeriksaan fisik rongga mulut akan didapatkan faring
hiperemis, palatum petechiae, atau lesi vesikular. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan tonsil untuk menilai ada tidaknya eksudat dan
pembesaran tonsil.
• Pada kasus faringitis akibat infeksi virus seringkali juga ditemukan
rhinorrhea, konjungtivitis, stomatitis, dan suara serak. Oleh karena
itu, pemeriksaan telinga, hidung, dan mata juga perlu dilakukan.
Limfadenopati juga dapat ditemukan.
Diagnosis
• Sistem Skoring :
• Pada kasus faringitis akibat GAS terdapat kriteria yang dapat
digunakan untuk membantu penegakan diagnosis, yakni kriteria
Centor dan skoring McIsaac. Kriteria Centor terdiri atas 4 poin yaitu:
• Demam
• Limfadenopati cervical anterior
• Eksudat tonsillar
• Tidak ada gejala batuk.
• Masing-masing komponen bernilai satu poin. Skor 4 mengindikasikan
kemungkinan GAS faringitis, sedangkan skor 0-1 mengindikasikan
kemungkinan penyebab lain selain infeksi GAS.
Diagnosis

• Skoring McIsaac hampir mirip dengan kriteria Centor. Skoring terdiri


atas 4 kriteria berikut.
• Tidak ada gejala batuk (+1)
• Limfadenopati koli anterior (+1)
• Suhu > 38 derajat Celsius (+1)
• Usia
• 3-14 tahun   (+1)
• 15-44 tahun (0)
• ≥45 tahun (-1)
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Darah Rutin
• Pemeriksaan darah rutin tidak dapat membedakan etiologi viral atau
bakteri pada faringitis. Tetapi pemeriksaan ini dapat membantu
menyingkirkan diagnosis banding lain, misalnya pada pasien yang dicurigai
demam dengue.
• Rapid Antigen Detection Test (RADT)
• Rapid Antigen Detection Test (RADT) merupakan tes diagnostik untuk
membantu penegakan faringitis GAS. Pemeriksaan ini menilai ada tidaknya
karbohidrat Streptococcus group A pada swab tenggorok. Pemeriksaan
hanya membutuhkan waktu sebentar dengan nilai spesifisitas yang tingggi.
Nilai spesifisitas tes ini mencapai 98% dan sensitivitas 70%.
• Apus Tenggorok
• Apus tenggorok memiliki sensitivitas yang tinggi 90-99% untuk mendiagnosis
faringitis GAS. Pemeriksaan ini memerlukan 18-24 jam inkubasi pada suhu 37
C sebelum hasil bisa didapatkan.
• Rontgen Leher Lateral
• Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gambaran anatomi jalan napas untuk
menilai gangguan jalan napas maupun epiglotitis.
• CT Scan Jaringan Lunak Leher
• Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus abses atau infeksi leher.
Tatalaksana
• Antibiotik
• Pemberian antibiotik hanya diberikan pada kasus faringitis yang terbukti
akibat infeksi bakteri, misalnya pada infeksi Group A Streptococcus β-
haemolyticus (GAS). Pemberian antibiotik bertujuan untuk mengeradikasi
bakteri untuk mencegah komplikasi berupa demam reumatik maupun
penyakit jantung rematik. Pilihan antibiotik yang direkomendasikan:
• Amoxicillin 50 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 2-3 dosis selama 10 hari
• Penicillin V
• Anak : 250 mg 2-3 kali sehari selama 10 hari
• Remaja dan Dewasa : 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari selama 10 hari
• Benzathine penicillin 600.000 IU (anak BB <27 kg) atau 1.200.000 IU
(anak BB ≥27 kg) intramuskular.
• Antipiretik dan Analgesik
• Pemberian paracetamol atau nonsteroid antiinflammatory drugs
(NSAID) dapat dipertimbangkan untuk penanganan demam pada
kasus faringitis. Dosis dewasa 325-650 mg setiap 4-6 jam, maksimal
4000 mg sehari. Dosis anak 10-15 mg/kg/kali maksimal 4 kali
pemberian dalam sehari.
Komplikasi dan Prognosis
• Komplikasi faringitis akibat infeksi virus sangat jarang terjadi. Faringitis
akibat infeksi Epstein-Barr virus (EBV) dapat menyebabkan obstruksi
saluran napas, koinfeksi dengan streptokokus, meningoensefalitis,
anemia hemolitik, dan trombositopenia. Ada juga laporan kasus
komplikasi berupa ruptur limpa dengan insidensi <1%. Infeksi Group A
Streptococcus β-haemolyticus (GAS) dapat menimbulkan komplikasi
berupa glomerulonefritis, demam reumatik, dan penyakit jantung
reumatik.
Prognosis
• Faringitis akibat virus umumnya bersifat self limited dan jarang
menimbulkan komplikasi. Durasi penyakit umumnya berkisar satu
minggu. Pada anak-anak bisa lebih lama, hingga 2 minggu.

Anda mungkin juga menyukai