Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MANAJEMEN RESIKO

DISUSUN OLEH :

MEGA AUDINA

S1 KEPERAWATAN / Tk.2

STIKes WIJAYA HUSADA BOGOR

Jl.Letjend Ibrahim Adjie No. 180 Sindang

Barang, Bogor Barat


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur saya panjatkan kehadirat allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yg alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul “ Manajemen resiko terhadap kasus-kasus yang ada
dirumah sakit diindonesia “

Besar harapan,semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca sehingga
dapat di implementasikan dan bermanfaat bagi masyarakat.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersift membangun selalu saya harpkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Bogor, 10 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................... i

Daftar isi.....................................................................................................................
ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Makalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan.......................................................................................... 2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi............................................................................................................ 3
B. Proses Manajemen Resiko.............................................................................. 3
C. Penerapan Manajemen Resiko Dalam Tatanan Klinis.................................... 7

BAB III

A. Kasus............................................................................................................... 10
B. Cara Pencegahan............................................................................................. 12
C. Cara Mengatasi............................................................................................... 12

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 14
ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit yang menerapkan prinsip keselamatan pasien berkewajiban untuk
mengidentifikasi dan mengendalikan seluruh risiko strategis dan operasional yang
penting. Hal ini mencakup seluruh area baik manajerial maupun fungsional, termasuk
area pelayanan, tempat pelayanan, juga area klinis. Rumah sakit perlu menjamin
berjalannya sistim untuk mengendalikan dan mengurangi risiko. Manajemen risiko
berhubungan erat dengan pelaksanaan keselamatan pasien rumah sakit dan berdampak
kepada pencapaian sasaran mutu rumah sakit. Ketiganya berkaitan erat dalam suatu
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (Kemenkes RI, 2011).
Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai
dan menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau
meminimalkan dampaknya. Manajemen risiko rumah sakit adalah kegiatan berupa
identifikasi dan evaluasi untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien,
karyawan rumah sakit, pengunjung dan organisasinya sendiri (The Joint Commission
on Accreditation of Healthcare Organizations/JCAHO). Manajemen Risiko
Terintegrasi adalah proses identifikasi, penilaian, analisis dan pengelolaan semua
risiko yang potensial dan kejadian keselamatan pasien. Manajemen risiko terintegrasi
diterapkan terhadap semua jenispelayanan dirumah sakit pada setiap level Jika risiko
sudah dinilai dengan tepat, maka proses ini akan membantu rumah sakit, pemilik dan
para praktisi untuk menentukan prioritas dan perbaikan dalam pengambilan keputusan
untuk mencapai keseimbangan optimal antara risiko, keuntungan dan biaya.
1

B. Rumusan Masalah
A. Apa definisi dari Manajemen Resiko dalam keperawatan?
B. Bagaimana proses manajemen resiko ?
C. Bagaimana Penerapan manajemen resiko ?
D. Kasus apa yang sering muncul yang berhubungan dengan manajemen resiko?
E. Bagaimana cara penjegahan kasus tersebut?
F. Bagaimana cara mengatasi kasus tersebut?
G.
C. Tujuan Penulisan
- Untuk memberikan informasi mengenai manajemen resiko bagi petugas kesehatan
- Untuk mempermudah semua orang untuk menerapkan manajemen resiko
- Sebagai pembelajaran agar bisa lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan

D. Manfaat Penulisan
Manfaatnya sebagai sumber informasi atau sumber pengetahuan bagi kita
semua terutama bagi saya yang membuat makalah ini, manfaatnya bukan hanya
mengenai dunia medis saja tetapi untuk profesi atau pekerjaan lainnya. Agar
mengutamakan kepentingan manajemen resiko bagi dirinya sendiri. Karena
kecelakaan bisa terjadi kapan saja, dan dalam bentuk apa saja. Maka dari itu maklah
ini sangat bermanfaat bagi anda yang belum mengenal menejemen resiko.
2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Menurut Smith, 1990 Manajemen Resiko didefinisikan sebagai proses


identifikasi, pengukuran, dan kontrol keuangan dari sebuah resiko yang mengancam
aset dan penghasilan dari sebuah perusahaan atau proyek yang dapat menimbulkan
kerusakan atau kerugian pada perusahaan tersebut.
Menurut Clough and Sears, 1994, Manajemen risiko didefinisikan sebagai
suatu pendekatan yang komprehensif untuk menangani semua kejadian yang
menimbulkan kerugian.
Menurut William, et.al.,1995,p.27 Manajemen risiko juga merupakan suatu
aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur,
dan menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi.
Menurut Dorfman, 1998, p. 9 Manajemen risiko dikatakan sebagai suatu
proses logis dalam usahanya untuk memahami eksposur terhadap suatu kerugian.
B. Proses Manajemen Resiko
Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk terlibat
secara efektif dalam menghadapi uncertainty dengan risiko dan peluang yang
berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai
tambah. Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8
komponen (tahap)

(1) Internal environment (Lingkungan internal)


Komponen ini berkaitan dengan lingkungan dimana instansi Pemerintah
berada dan beroperasi. Cakupannya adalah risk-management philosophy (kultur
manajemen tentang risiko), integrity (integritas), risk-perspective (perspektif
terhadap risiko), risk-appetite (selera atau penerimaan terhadap risiko), ethical
values (nilai moral), struktur organisasi, dan pendelegasian wewenang.
3

(2) Objective setting (Penentuan tujuan)


Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi agar
dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengelola risiko. Objective dapat
diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective. Strategic
objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan pencapaian dan
peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan panjang, dan
merupakan implementasi dari visi dan misi instansi tersebut. Sementara itu,
activity objective dapat dipilah menjadi 3 kategori, yaitu (1) operations
objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance objectives. Risk
tolerance dapat diartikan sebagai variation dalam pencapaian objective yang
dapat diterima oleh manajemen. Dalam penerapan pelayanan pajak modern
seperti pengiriman SPT WP secara elektronik, diperkirakan 80% Wajib Pajak
(WP) Besar akan mengimplementasikannya. Bila ditentukan risk tolerance
sebesar 10%, dalam hal 72% WP Besar telah melaksanakannya, berarti tujuan
penyediaan fasilitas tersebut telah terpenuhi. Disamping itu, terdapat pula
aktivitas suatu organisasi seperti peluncuran roket berawak dengan risk
tolerance adalah 0%.

(3) Event identification (Identifikasi risiko)


Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang terjadi
di lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi strategi atau
pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian tersebut bisa berdampak positif
(opportunities), namun dapat pula sebaliknya atau negative (risks). Terdapat 4 model
dalam identifikasi risiko, yaitu (1) Exposure analysis; (2) Environmental analysis; (3)
Threat scenario; (4) Brainstorming questions. Salah satu model, yaitu exposure
analysis, mencoba mengidentifikasi risiko dari sumber daya organisasi yang meliputi
financial assetsphysical assets seperti tanah dan bangunan, human assets yang
mencakup pengetahuan dan keahlian, dan intangible assets seperti reputasi dan
penguasaan informasi. Atas setiap sumber daya yang dimiliki organisasi dilakukan
penilaian risiko kehilangan dan risiko penurunan. seperti kas dan simpanan di bank,
4

(4) Risk assessment (Penilaian risiko)


Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari events (kejadian atau
keadaan) dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya dampak dapat
diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat dianalisis dalam dua perspektif,
yaitu: likelihood (kecenderungan atau peluang) dan impact/consequence (besaran dari
terealisirnya risiko). Dengan demikian, besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi
merupakan perkalian antara likelihood dan consequence. Penilaian risiko dapat
menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative techniques; dan (2) quantitative
techniques. Qualitative techniques menggunakan beberapa tools seperti self-
assessment (low, medium, high), questionnaires, dan internal audit reviews.
Sementara itu, quantitative techniques data berbentuk angka yang diperoleh dari tools
seperti probability based, non-probabilistic models (optimalkan hanya asumsi
consequence), dan benchmarking. Yang perlu dicermati adalah events relationships
atau hubungan antar kejadian/keadaan. Events yang terpisah mungkin memiliki risiko
kecil. Namun, bila digabungkan bisa menjadi signifikan. Demikian pula, risiko yang
mempengaruhi banyak business units perlu dikelompokkan dalam common event
categories, dan dinilai secara aggregate.

(5) Risk response (Sikap atas risiko)


Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk response
dari organisasi dapat berupa: (1) avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau
pelayanan yang menyebabkan risiko; (2) reduction, yaitu mengambil langkah-langkah
mengurangi likelihood atau impact dari risiko; (3) sharing, yaitu mengalihkan atau
menanggung bersama risiko atau sebagian dari risiko dengan pihak lain; (4)
acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko yang kecil), dan tidak
ada upaya khusus yang dilakukan. Dalam memilih sikap (response), perlu
dipertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh tiap response terhadap risk likelihood
dan impact, response yang optimal sehingga bersinergi dengan pemenuhan risk
appetite and tolerances, analis cost versus benefits, dan kemungkinan peluang
(opportunities) yang dapat timbul dari setiap risk response.
5

(6) Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian)


Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan (policies)
dan prosedur-prosedur untuk menjamin risk response terlaksana dengan efektif.
Aktifitas pengendalian memerlukan lingkungan pengendalian yang meliputi: (1)
integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan dan praktik-praktik SDM; (4)
budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya kepemimpinan manajemen; (6) struktur
organisasi; dan (7) wewenang dan tanggung jawab. Dari pemahaman atas lingkungan
pengendalian, dapat ditentukan jenis dan aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa
jenis pengendalian, diantaranya adalah preventive, detective, corrective, dan directive.
Sementara aktifitas pengendalian berupa:
(1) pembuatan kebijakan dan prosedur; (2) pengamanan kekayaan organisasi;
(3) delegasi wewenang dan pemisahan fungsi; dan (4) supervisi atasan. Aktifitas
pengendalian hendaknya terintegrasi dengan manajemen risiko sehingga
pengalokasian sumber daya yang dimiliki organisasi dapat menjadi optimal.

(7) Information and communication (Informasi dan komunikasi)


Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan
kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan komunikasi adalah kualitas
informasi, arah komunikasi, dan alat komunikasi. Informasi yang disajikan tergantung
dari kualitas informasi yang ingin disampaikan, dan kualitas informasi dapat dipilah
menjadi: (1) appropriate; (2) timely; (3) current; (4) accurate; dan (5) accessible. Arah
komunikasi dapat bersifat internal dan eksternal. Sedangkan alat komunikasi berupa
diantaranya manual, memo, buletin, dan pesan-pesan melalui media elektronis.
6

(8) Monitoring
Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (ongoing) maupun
terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing tercermin pada aktivitas
supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya. Monitoring terpisah biasanya
dilakukan untuk penugasan tertentu (kasuistis). Pada monitoring ini ditentukan scope
tugas, frekuensi, proses evaluasi metodologi, dokumentasi, dan action plan. Pada
proses monitoring, perlu dicermati adanya kendala seperti reporting deficiencies,
yaitu pelaporan yang tidak lengkap atau bahkan berlebihan (tidak relevan). Kendala
ini timbul dari berbagai faktor seperti sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang
disampaikan laporan, dan arahan bagi pelapor.

C. Penerapan Manajemen Resiko Dalam Tatanan Normal

Dalam tatanan klinis, ada 8 langkah yang bisa diaplikasikan sebagai upaya
penerapan manajemen resiko, yaitu :

a. Langkah 1 : Menetapkan konteks

Konteks merupakan dasar/pijakan bagi proses manajemen risiko selanjutnya.Indikator


yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara lain :

1. Adanya konteks manajemen risiko pada area kritis.

Contoh : Dengan data banyaknya kejadian VAP di area kritis, maka perlu dibuat protab
untuk menekan angka kejadian VAP bagi pasien yang terpasang ventilator.

2. Adanya risk criteria pada area kritis.

Contoh : dengan membuat peta 10 besar penyakit yang sering dirawat di area
keperawatan kritis.

3. Adanya peta risiko korporat di area kepereawatan kritis (gunakan pendekatan masukan,
proses, keluaran).
Contoh : ada laporan tentang kondisi pasien mulai dari masuk ruangan, proses perawatan,
sampai akhir proses perawatan dan pasien meninggalkan ruangan tersebut.

b. Langkah 2 : Identifikasi bahaya

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :

1. Adanya risiko K3 pada area keperawatan kritis.

Contoh : jika suatu rumah sakit belum memiliki oksigen sentral, maka perlu diantisipasi

adanya tabung oksigen yang jatuh dan bisa menimpa pasien.

2. Adanya registrasi risiko yang ada pada area keperawatan kritis

Risk register mencatat semua sumber bahaya, lokasi, tingkat risiko dan
rencana pengendaliannya. Contoh : pada kasus VAP, sumber bahaya bisa dari
pemakaian ventilator dalam jangka waktu lama, petugas kesehatan yang tidak
melakukan prosedur cuci tangan saat dan setelah melakukan intervensi ke pasien,
serta aktivitas lain yang bisa menjadi faktor risiko VAP, serta rencana
pengendaliannya harus dicatat dan perlu dijadikan suatu protab yang harus dipatuhi
oleh seluruh tenaga kesehatan yang ada pada area keperawatan kritis.

c. Langkah 3 : Penilaian risiko

Penilaian risiko merupakan proses menganalisa tingkat resiko, pertimbangan tingkat


bahaya, dan mengevaluasi apakah sumber bahaya dapat dikendalikan atau tidak, dengan
memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi. Indikator yang bisa dijadikan dasar
penilaian di area keperawatan kritis antara lain :

d. Langkah 4 : Analisa risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara lain
adanya analisa secara kualitatif atau kuantitatif terhadap setiap risiko di area keperawatan
kritis
8

e. Langkah 5 : Pengendalian risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara lain :

Adanya langkah pengendalian sampai risiko mencapai batas yang dapat diterima.
Langkah pengendalian risiko merupakan eliminasi bahaya dengan desain dan metode
penilaian resiko yang sesuai. Semua resiko harus dikurangi ke arah tingkat As Low As
Reasonable Practical (ALARP). Langkah pengendalian risiko yang bisa diterapkan dalam
area keperawatan kritis diantaranya :

1. Pencegahan pada sumbernya


Misalnya : pada kasus VAP, angka kejadian VAP bisa ditekan dengan
melakukan tindakan pencegahan terhadap semua faktor risiko yang bisa menyebabkan
VAP, diantaranya : membuat protab cuci tangan yang benar, teknik suctioning yang
tepat, dll.

1. Proteksi akibat dari bahaya

2. Tanggap darurat

3. Belajar dari kasus sebelumnya

f. Langkah 6 : Komunikasi risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :

1. Adanya pola komunikasi semua risiko kepada pihak terkait.

2. Adanya media untuk menyebarkan hasil ke seluruh pihak terkait dengan kegiatan

g. Langkah 7 : Dokumentasi manajemen risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara lain :
1. Adanya dokumen semua program manajemen risiko. Misalnya : adanya pelaporan
untuk setiap angka kejadian VAP.

2. Adanya dokumen hasil identifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian yang


dilakukan

h. Langkah 8 : Implementasi manajemen risiko

Contoh program yang bisa dilakukan di area keperawatan kritis antara lain :

1. Implementasikan semua hasil pengendalian risiko dalam setiap tahapan aktivitas.

2. Adanya program pengendalian risiko dalam rencana kerja


9

BAB III

PEMBAHASAN

A Kasus

RSUD Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang adalah rumah sakit tipe D dengan
kapasitas 57 tempat tidur, melayani pasien umum, jamsoskes dan BPJS. Pelayanan
pasien Jamsoskes yang merupakan kebijakan Gubernur Sumatera Selatan yang mana
semua penduduk yang domisili Sumatera Selatan mendapatkan pelayanan pengobatan
gratis pada fasilitas kesehatan pemerintah. Pelayanan pasien BPJS merupakan
kelanjutan dari sistem pelayanan pasien ASKES yang sudah dilaksanakan d RSUD Tebing
tinggi sejak bulan November 2012. Mulai tanggal 1 Januari 2014 sudah mengikuti
kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan bagi pasien BPJS, yang
merupakan implementasi dari program pemerintah dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), yang tertuang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPJS sendiri
merupakan peralihan dari Askes sebagai penyelenggara untuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat. Banyak aturan-aturan dari Askes yang diambil sebagai aturan dari BPJS,
sehingga di awal penyelenggaraan, karena sudah terbiasa melayani pasien Askes, maka
melayani pasien BPJS pun tidak menemui kendala yang berarti.
Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah, tentu sistem pengelolaan dan
manajemen didasarkan pada standar pelayanan minimal dan prosedur tata ognasisai
daerah. Demikian halnya pada sistem pengelolaan di instalasi farmasi. Instalasi farmasi
merupakan instalasi Pelayanan Penunjang Medis, yang mana dalam peraturan tersebut
tugas instalasi farmasi adalah melaksanakankegiatan peracikan, penyiapan dan
penyaluranobat- obatan, gas, medis, bahan kimia serta peralatan medis. Jadi kaitannya
dengan pelayanan pasien, bahwa sediaan farmasi dalam hal ini obat-obatan adalah hal
yang krusial dan harus disediakan. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian,
mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug
oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan

10
filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care). Namun seiring berjalannya kegiatan
pelayanan di RSUD Tebing Tinggi tidak lepas dari berbagai permasalahan baik pelayanan
pada konsumen maupun manajemen internal rumah sakit. Instalasi farmasi yang merupakan
titik akhir dan titik tolak dari persediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit tidak luput dari
permasalahan tersebut.
Kasus yang pernah terjadi di instalasi farmasi RSUD tebing tinggi kabupaten Empat
Lawang adalah terjadinya kesalahan pemberian obat di apotek rawat jalan dikarenakan
penulisan resep yang terbalik nama pasiennya. Pasien berasal dari poliklinik penyakit dalam
yang merupakan pasien “langganan” atau sudah sering berobat ke RS. Pasien bernama
saibani dan rafani. Pasien saibani membawa resep dengan nama rafani sedangkan pasien
rafani membawa resep dengan nama saibani. Namun pasien tidak mengecek nama yang
tercantum dalam resep dan langsung menuju apotek rawat jalan. Pada saat pasien
menyerahkan resep pada petugas penerima resep, kemudian di cek sediaan, kekuatan dan
jenis sediaan, dikerjakan etiket dan pengemasan sesuai dengan yang diperintahkan dalam
resep.
Setelah obat siap diserahkan kepada pasien, petugas penyerahan resep memanggil
pasien yang bernama saibani. Petugas memberikan konseling mengenai sediaan yang
diterima pasien. Namun kemudian pasien sedikit curiga dengan penjelasan yang diberikan
petugas kepada beliau.
Menurut pasien bahwa obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi penyakit yang
diderita pasien. Petugas kemudian segera meriscek resep pasien saibani kemudian
berkonsultasi dengan bagian poli rawat jalan penyakit dalam. Dari hasil cek dan riscek
ternyata dokter salah menuliskan resep pada pasien saibani. Jenis obat yang diresepkan untuk
pasien saibani tertukar dengan jenis obat yang tertulis pada pasien rafani. Jadi pasien saibani
sesungguhnya membawa resep obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya namun dalam
resep yang dibawanya tertulis nama rafani, sedangkan rafani memang benar membawa resep
obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya namun dalam resep yang dibawanya bertuliskan
saibani. Jadi pada saat di panngil nama saibani saat penyerahan obat tentu saja pasien saibani
yang datang namun tidak sesuai obatnya dengan kondisi penyakitnya.
Kesimpulannya, terjadi kesalahan pada penulisan nama pasien pada resep yang
dibawa pasien. Hal ini dimungkinkan dokter penulis resep kurang berkonsentrasi pada

11

saat pelayanan pasien atau nama pasien yang berdekatan pada saat pemeriksaan
sehingga rekam medisnya terbalik pengamatannya.

B. Cara Pencegahan

Cara pencegahan dapat dilakukan dengan cara memeriksa kembali indentitas si


pasien, atau pun jenis obat yang akan diberikan pada pasien karena ini akan berdampak
sangat fatal jika terjadi kesalahan dalam pemberian obat.

C. Cara Mengatasi

Dalam kasus ini, penanganan resiko dengan cara cross-chek agar masalah segera
teratasi dan tidak menggannggu pelayanan pasien yang lain. Pengendalian bersama dengan
petugas medis lain dengan poli rawat jalan, zaal rawat inap dan UGD yang terintegrasi agar
kasus ini akan ditekan kejadianya atau bahkan tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang.
Salah satu pengendaliannya dengan menganalisa beban kerja petugas dengan pelayanan yang
diberikan agar walaupun pada saat peak hour tetap dapat berkonsntrasi dan maksimal dalam
melakukan pelayanan.
12

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Manajemen resiko dalam pelayan kesehatan perlu dilakukan guna meminimalisir
kejadian tak diharapkan ( KTD ) dalam rumah sakit yang kejadiannya dapat
menjadikan beban berat jika tidak segera ditangani. Resiko tersebut perlu dianalisis
dan perlu dilakukan pengatasan guna pelayanan yang lebih bermutu. Dalam
pencegahan menempatan resiko KTD secara profesional beberapa pendekatan dapat
dilakukan pada sumber penyebab itu sendiri, baik pada 20 sistem manusianya ( pasien
dan tenaga kesehatannya ), maupun dari sisi organisasinya. Dri sisi organisasi, konsep
intervensi organisasi pendekatan pada 20sistem (sarana) pelayanan kesehatan
memerlukan penanganan khusus namun akan jauh lebih antisipatif dalam mengelola
resiko kemungkinan terjadinya KTD. Sistem analisis resiko dapat dilakukan dari sisi
man, metode, pendanaan, sarana dan prasarana, kebijakan, dan standar operasional.
Perlunya komunikasi, kolaborasi, monitoring dan konsolidasi dalam mencegah
terjadinya resiko kembali juga perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi apakah standar
sudah berjalan dangan baik. Namun di banyak hal, peran manusia perlu di perhatikan
lebih utama karena sagala bentuk pelayan faktor manusia memiliki peran penting.
13

DAFTAR PUSTAKA

(PDF) MANAJEMEN RISIKO DI RUMAH SAKIT. Available from:


https://www.researchgate.net/publication/298649240_MANAJEMEN_RISIKO_DI_RUMAH
_SAKIT [accessed Nov 07 2018].

https://www.researchgate.net/publication/298670855_contoh_kasus_manajemen_resiko_RS
14

Anda mungkin juga menyukai