Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA LINGKUNGAN

KEBUTUHAN OKSIGEN KIMIAWI


(COD DENGAN METODE REFLUKS)

KELOMPOK VI
HAFSHA ATHIRA RADAM 1706982601
VALDO LOHANDA SETIAWAN 1706042541
VIRA AZZAHRA RIZQI 1706042610

Asisten Praktikum : Pebriano Saka


Tanggal Praktikum : 24 April 2019
Nilai :
Paraf Asisten :

LABORATORIUM TEKNIK PENYEHATAN LINGKUNGAN


DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
I. TUJUAN
Mengetahui nilai COD pada sampel air Outlet Danau Ulin UI dengan
menggunakan metode refluks terbuka dengan rentang nilai COD antara 50 -
900 mg/L O2.

II. DASAR TEORI


2.1. Definisi COD
Kebutuhan Oksigen Kimiawi atau yang biasa disebut dengan Chemical
Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk
mengoksidasi senyawa kimia dalam satu liter air (Sawyer, McCarty dan
Parkin, Chemical Oxygen Demand 2004). Senyawa kimia Potasium
Dikromat (K2Cr2O7) merupakan bahan pengoksidasi senyawa kimia dalam
air sehingga sisa penggunaan K2Cr2O7 merupakan faktor penentu
konsentrasi oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi senyawa kimia
organik dalam air (Mulia dan Ricky 2005). Karena senyawa organik seperti
glukosa dan lignin teroksidasi sempurna, maka konsentrasi COD harus
lebih besar dari konsentrasi BOD (Biochemical Oxygen Demand atau
Kebutuhan Oksigen Biokimia), yang merupakan jumlah oksigen yang
digunakan untuk mengoksidasi senyawa kimia organik dalam 1 liter air
(Sawyer, McCarty dan Parkin, Chemical Oxygen Demand 2004). Sehingga,
dapat dikatakan bahwa COD merupakan konsentrasi oksigen untuk
mengoksidasi bahan kimia organik dalam satu liter air yang diukur dari
bahan pengoksdasi (K2Cr2O7) yang tersisa pada sampel air.

2.2. Metode Pengukuran COD


Metode refluks merupakan metode yang paling umum digunakan dalam
pengukuran besar konsentrasi COD dalam sampel air. Metode refluks
merupakan metode distilasi untuk mensintesis senyawa kimia organik
volatil yang melibatkan kondensasi uap pada sampel (Kister dan Z 1992).
Metode ini dilakukan dengan memanaskan sampel pada suhu 150oC selama
±2 jam atau hingga senyawa kimia volatil teroksidasi sempurna.
Konsentrasi COD ditentukan dari sisa senyawa pengoksdasi Potasium
Dikromat (K2Cr2O7) yang bereaksi dengan senyawa organik ion hidrogen
dalam air membentuk reaksi kimia:

𝐶𝑛 𝐻𝑎 𝑂𝑏 𝑁𝑐 + 𝑑𝐶𝑟2 𝑂72− + (8𝑑 + 𝑐)𝐻 + → 𝑛𝐶𝑂2
+𝑎+8𝑑−3𝑐
2
𝐻2 𝑂 + 𝑐𝑁𝐻4+ + 2𝑑𝐶𝑟 3+ (1.1)

dengan 𝑑 = 2𝑛
3
+ 𝑎6 − 𝑏3 − 2𝑐
Proses oksidasi ini dikatalis dengan menambakan larutan(1.2)
asam
sulfat - perak sulfat (H2SO4 – AgSO4) dan ditambahkan serbuk HgSO4
untuk menghilangkan kandungan ion klorida (Cl-) pada sampel yang
dapat mempengaruhi perhitungan konsentrasi COD (Cleseri,
Greenberg dan Eaton 1998).
2.2.1. Refluks Terbuka
Pada metode refluks terbuka, pengukuran konsentrasi COD dari
pengukuran sisa K2Cr2O7 dilakukan dengan metode refluks (distilasi
pada suhu tinggi) dilanjutkan dengan metode titrimetri. Sampel dan
blanko yang sudah di refluks dititrasi dengan larutan Ferro Ammonium
Sulfate untuk menentukan konsentrasi O2 yang digunakan untuk
mengoksidasi senyawa kimia volatil dalam sampel. Indikator warna
untuk titrasi menggunakan ferroin dengan perubahan warna sampel dari
kuning kehijauan menjadi kecoklatan setelah titrasi. Besar konsentrasi
COD ditentukan menggunakan persamaan berikut (PSTL UI):
𝑚𝑔 8000
𝐶𝑂𝐷 ( ⁄𝐿 𝑂2 ) = (𝐴 − 𝐵) × 𝑁 𝐹𝐴𝑆 ×
𝑚𝐿 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
(1.3)
Dengan:
A = Volume titrasi FAS pada blanko
B = Volume titrasi FAS pada sampel
N FAS = Normalitas Titran
2.2.2. Refluks Tertutup
Pada metode refluks terbuka, pengukuran konsentrasi COD dari
pengukuran sisa K2Cr2O7 dilakukan dengan metode refluks (distilasi
pada suhu tinggi) dilanjutkan dengan metode spektrofotometri. Sampel
dan blanko yang sudah direfluks diukur besar konsentrasi COD beserta
absorbansi Cr3+ pada alat spektrofotometer dengan panjang gelombang
600 nm ntuk sampel dengan konsentrasi COD 100-900 mg/L O2,
Pengukuran konsentrasi dan absorbansi Cr3+ pada konsentrasi COD
kurang dari 90 mg/L O2 dilakukan pada panjang gelombang 420 nm
(SNI 6989.73:2009).

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Nilai COD


2.3.1. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Dissolved Oxygen (DO) merupakan jumlah oksigen (O2) bebas yang
terlarut dalam air yang dibutuhkan makhluk hidup aerob untuk
bermetabolisme. DO dilihat dari kesetimbangan produksi O2 dari
fotosintesis dan penerapan kembali O2. Kelarutan oksigen dalam air
mengikuti kaidah Hukum Henry di mana konsentrasi laritan tersaturasi
proporsional dengan tekanan yang diberikan ke larutan tersebut.
Semakin tinggi tekanan yang diberikan, semakin tinggi konsentrasi DO
(Sawyer, McCarty dan Parkin, Dissolved Oxygen 2004). Suhu juga
mempengaruhi DO. Semakin tinggi suhu lingkungan, semakin rendah
konsentrasi DO (Cole 1983). Semakin tinggi konsentrasi DO, maka
konsentrasi O2 yang digunakan untuk mengoksidasi zat organik
meningkat, sehingga konsentrasi COD meningkat. Semakin rendah
konsentrasi DO, konsentrasi COD menurun.
2.3.2. Zat organik dan Sumber Pencemar Lainnya
Zat organik merupakan salah satu faktor yang menentukan konsentrasi
COD dalam air. Zat organik dioksidasi menggunakan K2Cr2O7 dalam
air sehingga sisa dari K2Cr2O7 merupakan besar kebutuhan oksigen
kimiawi untuk mengoksidasi zat organik (Sawyer, McCarty dan Parkin,
Chemical Oxygen Demand 2004). Zat-zat kimia buangan lainnya juga
mempengaruhi peningkatan kadar COD dalam air bila terdapat buangan
organik yang teroksidasi dan terdekomposisi dalam siklus biogeokimia.
Semakin banyak zat organik dalam air, oksigen semakin banyak
digunakan untuk proses oksidasi, sehingga konsentrasi COD akan
semakin tinggi.

2.4. Sumber Penyebab COD di dalam air


2.4.1. Sumber Aktivitas Manusia
Aktivitas manusia yang mempengaruhi peningkatan kadar COD
adalah pembuangan limbah domestik seperti limbah deterjen, sampah
dapur, sabun, serta limbah industri. Pembuangan bahan-bahan rumah
tangga dan industri yang tidak melalui proses pengolahan limbah lanjut
ke lingkungan menimbulkan tambahan zat kimia yang teroksidasi dan
terdekomposisi dalam siklus biogeokimia, seperti siklus nitrogen dan
karbon. Kedua siklus ini memerlukan oksigen untuk proses penguraian,
baik untuk mengoksidasi zat organik maupun proses dekomposisi
melalui proses aerob. Proses ini meningkatkan kebutuhan oksigen pada
air untuk mengoksidasi zat-zat tersebut, sehingga kadar oksigen terlarut
menurun dan kadar COD pada air meningkat (Cole 1983).
2.4.2. Sumber Alamiah
Fotosintesis dan proses dekomposisi dan ekstraksi sisa metabolisme
makhluk hidup mempengaruhi kadar oksigen terlarut dan kebutuhan
oksigen kimiawi di air. Proses fotosintesis menambah jumlah kadar
oksigen terlarut ke dalam air, sedangkan proses dekomposisi dan
ekstraksi sisa metabolisme makhluk hidup dalam air membutuhkan
oksigen dalam reaksi aerob. Sehingga, jika proses dekomposisi
metabolisme makhluk hidup dalam air meningkat, maka kadar COD
dalam air meningkat, sementara kadar oksigen terlarut dalam air
menurun (Mulia dan Ricky 2005).

2.5. Dampak COD terhadap lingkungan


Konsentrasi COD yang tinggi menurunkan konsentrasi oksigen
terlarut dalam air. Hal ini menyebabkan makhluk hidup lain dalam air
kurang mendapatkan suplai oksigen untuk respirasi dan
bermetabolisme. Akibatnya, pertumbuhan makhluk hidup dalam air
terganggu. Selain itu, tingginya konsentrasi COD menandakan
tingginya zat organik dan mikroorganisme di dalam air. Jika air dengan
konsentrasi COD melebihi baku mutu masuk ke dalam tubuh manusia,
metabolisme manusia akan terganggu (Cole 1983).

2.6. Baku Mutu Standar COD


2.6.1. Limbah Domestik
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI No. P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 Tentang Baku
Mutu Limbah Air Domestik, kadar maksimum COD dalam limbah air
domestik adalah 100 mg/L O2.
2.6.2. Limbah Industri
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 5
Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah, kadar maksimum COD
dalam limbah air industri adalah sebagai berikut:
Tabel 2.6.2. Baku Mutu COD Limbah Industri
Jenis Industri Kadar COD Maksimum (mg/L O2)
Penyamakan Kulit 110-180
Minyak Sawit 350
Karet 200-250
Tapioka 300
MSG dan IMP 150
Jenis Industri Kadar COD Maksimum (mg/L O2)
Kayu Lapis 125
Pengolahan Susu 100
Sabun, Deterjen, Minyak
180
Nabati
Bir 100
Aki 75
Buah dan Sayur 150, 200 (Nanas)
150 (Kaleng), 200 (Beku), 300
Perikanan
(Tepung Ikan)
Rumput Laut 250
Kelapa 150
Daging 250
Produk Kedelai 300
Obat Tradisional 150
Peternakan Sapi dan Babi 200
Minyak 150
Gula 100 - 250
Rokok 120 - 200
Elektronika 110
Kopi 200
Gula Rafinasi 150
Petrokimia Hulu 200
Rayon 150
Asam Tereftalat (PTA) 300
Polythelene Tereftalat (PET) 150
Oleokimia Dasar 160 (Fatty Acid), 250 (Alkil Ester)
Pulp dan Kertas 120-350 (Pulp), 100-200 (Kertas)
Etanol 300
Jenis Industri Kadar COD Maksimum (mg/L O2)
Baterai 0 (Alkali), 15 (Karbon)
Farmasi 300
Pestisida 100, 50 (Pengemasan)
Pupuk* 3 kg/ton, 0,3 kg/ton (amoniak)
Tekstil 150
Lain-lain 100 (Gol. I), 300 (Gol. II)
Sumber: Permen LH RI No. 5 Tahun 2014
2.6.3. Pengairan
Berdasarkan PP No. 32 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air, baku mutu air untuk 4 kelas
pengairan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.6.3 Syarat COD di Pengairan
Kadar Maksimum
PARAMETER SATUAN
I II III IV
COD mg/L 10 25 50 100
Sumber: PP No. 82 Tahun 2001

2.7. Pemanfaatan Data COD di Teknik Lingkungan


Pengujian COD digunakan dalam analisis limbah industri dalam
rangka desain pengolahan limbah dan pengontrolan kandungan
pencemaran dalam sistem perlimbahan secara cepat karena hasilnya
dapat diketahui setelah 3 jam pengujian. Pengujian COD sangat berguna
untuk menandakan kondisi beracun dan keberadaan substansi organik
dan mikroorganisme (Sawyer, McCarty dan Parkin, Chemical Oxygen
Demand 2004).

2.8. Upaya Mengendalikan Nilai COD


Konsentrasi COD sangati dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen
terlarut dalam air dan konsentrasi partikel organik dan mikroorganisme
yang terkandung di dalam air. Semakin besar konsentrasi oksigen
terlarut, maka semakin banyak mikroorganisme yang bermetabolisme
serta semakin banyak partikel organik yang teroksidasi memafaatkan
oksigen di dalam air, sehingga kebutuhan oksigen kimiawi dalam air
meningkat. Untuk mengendalikan konsentrasi COD dalam air,
konsentrasi partikel organik yang terbuang atau dibuang ke dalam air
harus dikendalikan. Limbah seperti limbah domestik dan industri harus
diolah terlebih dahulu sebelum aman dibuang ke lingkungan untuk
menghilangkan kandungan zat kimia organik dan mikroorganisme agar
tidak terjadi dekomposisi di dalam air yang mengurangi kadar oksigen
terlarut di dalam air (Cleseri, Greenberg dan Eaton 1998).

2.9. Teknologi untuk Menurunkan Nilai COD


2.9.1. Pengurangan COD menggunakan Proses Presipitasi (Koagulasi dan
Flokulasi)
Koagulasi merupakan proses pengikatan partikel volatil dalam air
yang tidak bisa tersedimentasi dengan sendirinya. Prinsipnya adalah
untuk mengikat lumpur satu sama lain sehingga gumpalan lumpur yang
lebih besar dan kemudian disimpan di tangki sedimentasi (Sawyer,
McCarty dan Parkin, Chemical Oxygen Demand 2004). Beberapa
bahan kimia yang biasa digunakan adalah PAC, FeCl3 (Ferric Chloride)
dan Alum. Kemudian partikel di flokulasi (diendapkan) bersama dengan
bahan kimia pengikat tersebut. Proses pengendapan sangat
mempengaruhi nilai COD yang cukup tinggi, terutama pada air dengan
kandungan TSS (Total Suspended Solid) tinggi (1 mg/L TSS
menghasilkan 10 mg/L COD). Untuk menghasilkan reduksi COD yang
sempurna, mekanisme pencampuran dan sedimentasi harus
diperhatikan dengan seksama.
2.9.2. Proses Mikrobiologi untuk Pengurangan COD
Proses reduksi COD dengan metode menggunakan bakteri atau
mikroorganisme dilakukan untuk mereduksi COD yang berasal dari
bahan organik yang tinggi. Proses ini dilakukan dengan dua cara utama,
yaitu aerasi dan anaerob (Cole 1983).
Dalam proses aerasi, COD dikurangi dengan membuat bakteri dapat
memecah senyawa organik dalam air. Bakteri heterotrofik digunakan
untuk memecah senyawa organik karena bakteri ini bersifat aerob.
Proses ini biasanya digunakan dalam air limbah dengan COD kurang
dari 3000 mg/L.
Dalam proses redusksi anaerob, bakteri bekerja dalam bilik dengan
kandungan O2 minimal. Proses ini disebut fermentasi, di mana bakteri
memecah autotrof yang bekerja dengan senyawa organik dari air limbah
dengan mengambil oksigen dari senyawa organik. Proses anaerob cocok
untuk air limbah dengan kadar BOD lebih dari 2000 mg/L.
2.9.3. Reduksi COD dengan Oksidator
COD dapat direduksi dengan cara mengoksidasi kandungan bahan
organik dalam air. Proses oksidasi membutuhkan bahan kimia oksidator
seperti Klorin, Hidrogen peroksida, dan Ozon sehingga nilai COD
otomatis akan turun setelah bahan organik dalam air teroksidasi.
Namun, pencampuran bahan kimia pengoksidasi tidak boleh melebihi
baku mutu air, terutama untuk keperluan minum karena akan
menimbulkan bau dan rasa (klorin). Teknik reduksi COD dengan
oksidator sangat cocok untuk limbah yang memiliki nilai COD yang
berasal dari limbah yang tidak dapat terurai secara alamiah seperti fenol,
surfaktan, dan bahan kimia organik lainnya (Sawyer, McCarty dan
Parkin, Residual Chlorine and Chlorine 2004).
2.9.4. Proses Pengurangan COD oleh Reaksi Fenton dan Oksidasi Lanjut
(Advance Oxidation Process / AOP)
Reaksi fenton adalah reaksi reduksi COD dengan cara pembentukan
radikal bebas yang tercipta dari reaksi antara pereaksi Fenton (Besi (II)
Sulfat / FeSO4) dengan Hidrogen peroksida dibantu dengan energi
cahaya. Reaksi ini digunakan untuk menguraikan zat-zat pencemar pada
air limbah dengan Fe2+ sebagai pengkatalis reaksi. Reaksi ini juga biasa
disebut dengan foto-fenton juga menjadi cikal bakal terbentuknya
sistem oksidasi lanjut (AOP) (Metcalf dan Eddy 2013).
AOP (Advance Oxidation Process) adalah teknologi terbaru yang
mampu mengurangi nilai COD air limbah hingga bernilai > 100.000
mg/L. AOP dibuat dari penyempurnaan dari reaksi Fenton ditambahkan
dengan injeksi ozon sehingga menambahkan mereproduksi hidroksil
bebas akhirnya mampu mengoksidasi bahan kimia dalam air. Kelebihan
proses AOP adalah kecepatan reaksi yang sangat cepat yang dapat
berlangsung selama beberapa jam bahkan menit. Kelebihan lainnya juga
terletak pada area yang digunakan untuk sistem ini sangat kecil
dibandingkan dengan sistem lainnya. Selain itu, proses ini tidak
membutuhkan banyak bahan kimia untuk ditambahkan ke dalam air
limbah. Namun, metode ini juga memiliki kekurangan yakni
menimbulkan endapan sludge besi, biaya yang tinggi, pengozonan
limbah berpotensi menimbulkan racun, serta memunculkan bromida
pada limbah. (Brienza dan Katsoyiannis 2017)
2.9.5. Proses Filtrasi dan Adsorpsi dengan Karbon Aktif
Metode ini banyak digunakan dalam proses akhir pengolahan
limbah setelah proses pengolahan primer. Metode ini memanfaatkan
karbon aktif yang menyerap zat organik, ozon atau zat klorin yang
tersisa pada hasil pengolahan (Metcalf dan Eddy 2013). Filtrasi
menggunakan karbon aktif juga biasa digunakan dalam proses
pengolahan air untuk menghilangkan bau, dan mengurangi bahan kimia
di dalam air. Proses ini membuat air limbah yang telah diolah aman
untuk dibuang ke lingkungan.

2.9.6. Constructed Wetlands untuk Mereduksi COD


Constructed wetlands merupakan suatu perencanaan ekosistem
lingkungan yang berupa tanah jenuh air yang dapat ditumbuhi oleh
tanarnan air dan pada bagian permukaannya dapat dimanfaatkan oleh
aktivitas mikroorganisme atau komunitas hewan untuk
meminimalisasikan kandungan konsentrasi air limbah yang berpotensi
menyebabkan pencemaran air (Cowardin 1979). Mekanisme ini
memiliki daya tarik tersendiri karena kelebihan dan kesederhanaan
sistem dengan efisiensi pengolahan yang tinggi. Terdapat tiga fungsi
dasar dari wetlands yaitu:
• Secara fisik mampu menahan atau menangkap polutan yang
terdapat di di permukaan tanah serta menangkap kandungan organik
dalam limbah.
• Memanfaatkan berbagai macam aktifitas jenis mikroorganisme
untuk proses pengolahan.
• Memerlukan energi dan syarat pemeliharaan yang rendah dan
mudah untuk menghasilkan pengolahan yang baik.

2.10. Hubungan antar Parameter


2.10.1. COD dan DO
DO (Dissolved Oxygen) merupakan jumlah oksigen yang terserap di
dalam air. Jumlah DO dipengaruhi oleh proses fotosintesis di air dan
lingkungan sekitar perairan, proses aerasi, respirasi dan metabolisme
mikroorganisme, serta proses oksidasi zat kimia organik. Semakin
tinggi COD, maka zat organik yang teroksidasi semakin banyak,
kemudian proses respirasi dan metabolisme mikroorganisme
meningkat, mengakibatkan menurunnya kadar DO dalam air. (Sawyer,
McCarty dan Parkin, Dissolved Oxygen 2004)

2.10.2. COD dan BOD


BOD (Biochemical Oxygen Demand) merupakan jumlah oksigen
yang terlarut yang diperlukan untuk mendekomposisi bahan organik
pada kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988). Kadar BOD dan COD
sering dibandingkan dalam penentuan kualitas air karena COD
merupakan total kebutuhan oksigen untuk penguraian zat kimia total
organik (keseluruhan pengotor TSS, zat organik, mineral, dan juga zat
kimia yang teroksidasi) dan organik biologis (BOD). Sehingga dalam
pengukuran, nilai COD pasti lebih besar dari nilai BOD. Semakin besar
nilai BOD, nilai COD pasti semakin besar. (Sawyer, McCarty dan
Parkin, Biochemical Oxygen Demand 2004)

III. ALAT & BAHAN


1. Alat
• Peralatan refluks: • Hot plate
o Labu Erlenmeyer • Buret 25 mL
o Pendingin leibig 30 cm • Pipet volume 10 mL dan 25 mL
• Timbangan analitik • Labu Erlenmeyer 250 mL
2. Bahan
• Larutan K2Cr2O7 0,25 N
• Larutan H2SO4 – AgSO4 (asam sulfat – perak sulfat)
• Indikator ferroin
• Larutan FAS 0.083 N
• Larutan H2SO4 20%
• Batu didih
IV. CARA KERJA

2.1. Membilas botol 2.2. Menambahkan 3. Menambahkan 1,5


refluks dengan 2,5 mL air suling mL larutan K2Cr2O7
H2SO4 20%. (blanko) dan air 0,1 N ke botol
sampel ke botol sampel dan blanko.
refluks.

4. Menambahkan 3,5 5. Merefluks larutan 6. Menuangkan


mL larutan H2SO4 selama 2 jam pada sampel dari blanko
– AgSO4. suhu 150oC. ke Erlenmeyer.
7. Menambahkan 7,5 8. Menambahkan 3 9. Menitrasi sampel
mL air suling ke tetes indikator dan blanko dengan
sampel dan blanko. ferroin hingga larutan FAS 0,083
sampel bewarna N hingga berwarna
kuning-kehijauan. kecoklatan.

10. Mencatat volume


titrasi dan
menghitung nilai
COD.

V. DATA PENGAMATAN
Tabel 5.1. Data Pengamatan COD
Volume
Sampel
Titrasi (mL)
Blanko 1,8
Sampel 1,7
Sumber: Pengamatan Praktikan 2019
VI. PENGOLAHAN DATA
𝑚𝑔 8000
𝐶𝑂𝐷 ( ⁄𝐿 𝑂2 ) = (𝐴 − 𝐵) × 𝑁 𝐹𝐴𝑆 ×
𝑚𝐿 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
8000 𝑚𝑔
= (1,8 − 1,7) × 0,083 × = 26,56 ⁄𝐿 𝑂2
2,5
A = Volume titrasi FAS pada blanko
B = Volume titrasi FAS pada sampel
N FAS = Normalitas Titran

VII. ANALISA
• Analisa Percobaan
Praktikum kimia lingkungan modul 5 berjudul “Kebutuhan Oksigen
Kimiawi (KOK/COD)” bertujuan untuk mengetahui nilai COD pada
sampel air dengan menggunakan metode refluks terbuka dengan rentang
nilai COD antara 50-900 mg/L O2. Metode refluks merupakan metode
distilasi bahan kimia untuk mengekstraksi kandungan organik volatil
sampel. Metode yang digunakan adalah refluks terbuka dengan menitrasi
sampel dengan larutan Ferro Ammonium Sulfate (FAS) untuk mencari sisa
K2Cr2O7. Pengujian dilakukan di Laboratorium Penyehatan Lingkungan,
Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada hari
Rabu, 24 April 2019 pukul 08.30 pagi. Sampel yang digunakan dalam
pengujian ini berasal dari outlet Danau Ulin UI.
Untuk menentukan nilai COD pada sampel, praktikan menggunakan
beberapa peralatan seperti peralatan refluks seperti labu Erlenmeyer dan
pendingin leibig, pipet volume 10 mL dan 25 mL, labu Erlenmeyer 250 mL,
buret 25 mL, hot plate, timbangan analitik, kertas titar, label, dan kertas
tisu. Selain itu, praktkan menggunakan bahan penguji seperti larutan
H2SO4-AgSO4 (asam sulfat - perak sulfat), larutan H2SO4 20%, Larutan
K2Cr2O7 0,25 N, larutan indikator ferroin, larutan titran Ferro Ammonium
Sulfate 0,083 N, dan air suling. Metode yang digunakan adalah metode
refluks terbuka, yakni ekstraksi zat kimia organik dalam air dengan
dipanaskan selama 2 jam pada suhu 150oC dan dititrasi dengan FAS untuk
mendapatkan sisa K2Cr2O7. Metode lain yang dapat digunakan adalah
metode refluks tertutup dengan menghitung nilai COD dan absorbansi
sampel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.
Langkah pertama yang dilakukan praktikan dalam pengujian ini adalah
membilas botol refluks dengan H2SO4 20% untuk mensterilkan botol
refluks dari zat organik volatil. Kemudian praktikan memasukkan 2,5 mL
air suling (blanko) dan air sampel ke dua botol refluks berbeda yang sudah
dibilas. Selanjutnya, praktikan menambahkan 1,5 mL larutan K2Cr2O7 0,1
N ke botol refluks sampel dan blanko. Sisa larutan K2Cr2O7 dari oksidasi
bahan organik pada sampel ini akan dicari untuk menentukan nilai COD.
Reaksi yang muncul dari reaksi K2Cr2O7 dengan air dan zat organik adalah:

𝐶𝑛 𝐻𝑎 𝑂𝑏 𝑁𝑐 + 𝑑𝐶𝑟2 𝑂72− + (8𝑑 + 𝑐)𝐻 + → 𝑛𝐶𝑂2
+𝑎+8𝑑−3𝑐
2
𝐻2 𝑂 + 𝑐𝑁𝐻4+ + 2𝑑𝐶𝑟 3+
(1.4)
Kemudian, praktikan menambahkan larutan H2SO4 - AgSO4 (asam
sulfat - perak sulfat) pada blanko dan sampel untuk mengkatalis oksidasi
bahan organik dalam sampel. Proses penambahan larutan ini dilakukan
secara hati-hati dengan memegang bagian mulut tabung karena reaksi kimia
antara sampel dengan K2Cr2O7 dan larutan H2SO4 - AgSO4 menimbulkan
panas yang tinggi sehingga berpotensi melukai tangan praktikan.
Kemudian, praktikan merefluks sampel dan blanko dengan
mendidihkannya pada suhu 150oC selama 2 jam untuk mensintesis
kandungan organik volatil. Setelah direfluks, praktikan menambahkan
sampel dan blanko dengan 7,5 mL air suling untuk pengenceran ke dua
dengan sudut penambahan 45o dan mendinginkan kedua sampel dengan
mengalirkan air kran pada botol refluks. Selanjutnya, praktikan meneteskan
3 tetes indikator ferroin sebagai indikator warna sampel dan blanko untuk
proses titrasi (sampel menjadi warna kuning-kehijauan ketika ditetesi
indikator ferroin). Selanjutnya, praktikan menitrasi sampel dan blanko
dengan larutan Ferro Ammonium Sulfate (FAS) 0,083 N dan mencatat
bacaan miniskus buret sebelum dan sesudah titrasi untuk mendapatkan
volume pemakaian titran (PP) ketika warna sampel dan blanko menjadi
kecoklatan. Reaksi yang terjadi pada proses titrasi adalah:

6𝐹𝑒 2+ + 𝐶𝑟2 𝑂72− + 14𝐻 + → 6𝐹𝑒 2+ + 7𝐻2 𝑂 + 2𝐶𝑟 3+
Titran larutan FAS digunakan untuk menentukan sisa penggunaan
K2Cr2O7 setelah oksidasi bahan organik pada sampel. Volume titran(1.5)
untuk
titrasi blanko harus lebih besar dari sampel karena kandungan bahan
organik pada blanko (air suling) lebih sedikit daripada sampel sehingga
proses oksidasi lebih sedikit dari sampel dan menyebabkan K2Cr2O7 yang
digunakan lebih sedikit dari sampel sehingga sisa K2Cr2O7 pada blanko
menjadi lebih banyak dari sampel. Volume titrasi sampel dan blanko
digunakan untuk perhitungan nilai COD pada sampel.
• Analisa Hasil
Berdasarkan pengolahan data hasil pengamatan, praktikan
mendapatkan nilai COD pada sampel. Volume titrasi untuk sampel adalah
1,7 mL dan blanko sebesar 1,8 mL, sehingga besar nilai COD pada sampel
air Outlet Danau Ulin UI adalah 26,56 mg/L O2. Berdasarkan baku mutu
alkalinitas air dalam PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sampel air Outlet Danau Ulin UI
(kelas 3) berada di bawah batas baku mutu yaitu maksimal sebesar 50 mg/L
O2. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik outlet Danau Ulin yang memiliki
tingkat kekeruhan rendah dan limbah organik yang terbuang ke Danau Ulin
UI sedikit sehingga proses oksidasi kandungan organik pada Danau Ulin UI
tidak banyak terjadi menyebabkan kebutuhan O2 untuk oksidasi rendah dan
nilai COD menjadi lebih rendah dari baku mutu.
• Analisa Kesalahan
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada praktikum yang
menyebabkan ketidakakuratan perhitungan adalah:
- Praktikan kurang teliti dalam mengambil sampel sehingga volume
sampel dan blanko tidak tepat 2,5 mL menyebabkan ketidakakuratan
dalam pengolahan data.
- Praktikan kurang teliti dalam menitrasi serta membaca volume titrasi
menyebabkan ketidakakuratan dalam pendataan.
- Praktikan kurang bersih saat membilas pipet sehingga terjadi reaksi
antara larutan sampel dengan sisa sampel di pipet dan menyebabkan
kesalahan dalam pengolahan data.
- Sudut pengenceran tidak tepat 45o mempengaruhi pembacaan
kandungan COD dalam sampel air.

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan dan pengolahan data yang dilakukan, praktikan
mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sampel dari Outlet Danau Ulin UI mempunyai konsentrasi COD sebesar
26,56 mg/L O2.
2. Konsentrasi COD sampel berada di bawah baku mutu COD menurut PP No.
82 Tahun 2001, yakni berada di bawah batas maksimum 50 mg/L O2 untuk
sampel kelas 3 (danau untuk reservoir tampungan hujan dan budidaya
perikanan).
IX. DAFTAR PUSTAKA
Brienza, Monica, dan Ioannis A Katsoyiannis. 2017. “Sulfate Radical Technologies
as Tertiary Treatment for the Removal of Emerging Contaminants from
Wastewater.” Sustainability.

Cleseri, L. S., A. E. Greenberg, dan A. D. Eaton. 1998. Standard Methods for the
Examination of Water and Wastewater. Edisi ke-20. Washington DC:
American Public Health Association.

Cole, G.A. 1983. Textbook of Limnology. Edisi ke-3. St. Louis: Mosby Company.

Cowardin, et. al. 1979. “Wetlands Classification.” Environmental.

Kepala Laboratorium PSTL UI, Sub-Lab. Kimia Lingkungan. 2019. “Modul V,


Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD, Metode Refluks).” Dalam Panduan
Praktikum Kimia Lingkungan, oleh Sub-Lab. Kimia Lingkungan Kepala
Laboratorium PSTL UI. Depok: PSTL UI.

Kister, dan Henry Z. 1992. Distillation Design. Edisi ke-1. NY: McGraw Hill.

Metcalf, dan Eddy. 2013. Wastewater Engineering: Treatment and Resource


Recovery. Edisi ke-5. NY: McGraw Hill.

Mulia, dan M Ricky. 2005. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

RI, Kemennterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Peraturan Menteri


Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016
Tentang Baku Mutu Limbah Air Domestik. Jakarta: Sesneg.

RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2014. Peraturan Menteri


Lingkungan Hidup RI No. 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah.
Jakarta: Sesneg.

Sawyer, Clair N, Perry L McCarty, dan Gene F Parkin. 2004. “Biochemical Oxygen
Demand.” Dalam Chemistry for Environmental Engineering and Science, oleh
Clair N Sawyer, Perry L McCarty dan Gene F Parkin, 750. NY: McGraw Hill.
Sawyer, Clair N, Perry L McCarty, dan Gene F Parkin. 2004. “Dissolved Oxygen.”
Dalam Chemistry for Environmental Engineering and Science, oleh Clair N
Sawyer, Perry L McCarty dan Gene F Parkin, 750. NY: McGraw Hill.

Sawyer, Clair N, Perry L McCarty, dan Gene F Parkin. 2004. “Residual Chlorine
and Chlorine.” Dalam Chemistry for Environmental Engineering and Science,
oleh Clair N Sawyer, Perry L McCarty dan Gene F Parkin. NY: McGraw Hill.

Sawyer, Clair N, Pery L McCarty, dan Gene L Parkin. 2004. “Chemical Oxygen
Demand.” Dalam Chemistry for Environmental Engineering and Science, oleh
Clair N Sawyer, Pery L McCarty dan Gene L Parkin, 750. NY: McGraw Hill.

Sidabutar, N V, I Namara, D M Hartono, dan T Soesilo. 2017. “The Effect of


Anthropogenic Activities to The Decrease of Water Quality.”

Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 6989.73:2009.

Anda mungkin juga menyukai