Kelompok 3B:
Putri Dewi indahsari 11151040000081
Sherly Vidianti E 11151040000094
Novi Fitriani 11151040000096
Yuliana 11151040000100
Eneng Fitri Anggraeni 11151040000102
Aulia Noor Azizah 111510400000106
Ranti Puspita Dewi 111510400000067
Ana Rizwanah Harun 11151040000062
Miftahul Jannah 11151040000092
Rahmah Zahidah 11151040000114
Asrizal M 11151040000120
DAFTAR ISI.........................................................................................2
KATA PENGANTAR..........................................................................3
BAB I....................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................4
BAB II...................................................................................................6
ISI..........................................................................................................6
2.1.Miastenia Gravis..........................................................................6
2.2 Guillain Barre Syndrom (GBS).................................................25
2.3.Hernia Nucleus Pulposus (HNP)................................................30
BAB III................................................................................................39
PENUTUP...........................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................40
KATA PENGANTAR
Penyusun,
Kelompok 3B
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui konsep Miastenia Gravis, Guillain Barre
Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Miastenia
Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
3. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
4. Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
5. Mahasiswa dapat mengetahui penyebab dari Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
6. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
7. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang dari Miastenia
Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
8. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
BAB II
ISI
2.1.Miastenia Gravis
a.Definisi
(Setiyohadi, 2009)
(Sylvia A, 2015)
c. Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang 6 tetap
pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit
pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses
auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat
memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses
autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian
diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar
75 % pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 %
berhubungan dengan timoma.
Dasar ketidaknormalan pada Miastenia Gravis adanya kerusakan pada
transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membran post sinaps pada sambungan neuromuskular.
Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% sampai 90% reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuskular setiap individu. Miastenia gravis
dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap langsung melawan
reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak transmisi neuromuskular.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Otot rangka dan otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang
berasal dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak. Nervus ini
mengirim keluar aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju
perifer. Nervus yang bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu
merangsang 2000 serat otot rangka. Kombinasi saraf motorik dan serabut otot
yang dipersarafinya disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik
mempersyarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersyarafi oleh
hanya satu neuron motorik.
d.Manifestasi Klinik
Karakteristik penyakit berupa kelamahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang
setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini hanya mengalami kelelahan hanya
karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir rambut, mengunyah dan
berbicara, dan harus menghentikan segalanya untuk istirahat. Berbagai gejala
yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh. Otot-otot simetris terkena,
umunya itu di hubungkan dengan saraf kranial. Karena otot-otot okular terkena,
maka gejala awal yang muncul adalah diplopia (penglihatan ganda) dan ptosis
(jatuhnya kelopak mata). Ekspresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti
patung, hal ini disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Pengaruhnya terhadap
laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi suara
hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata. Kelemahan pada otot-otot
bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan serta adanya bahaya
tersedak dan aspirasi. Beberapa pasien sekitar 15% sampai 20% mengeluh lemah
pada tangan dan otot-otot lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.
Kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal progresif menyebabkan gawat
napas, yang merupakan keadaan darurat akut.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Secara umum, gambaran klinis Miastenia yaitu :
1. Kelemahan otot yang progresif pada penderita
2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, denganistirahat
4. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
5. Otot mata sering terkena pertama (ptosis ,diplopia) , atau otot faringlainnya
(disfagia , suara sengau)
6. Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
7. Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
8. Tidak ada atrofi atau fasikulasi
(Mumenthaler M, 2007)
h.Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelmahan otot-otot volunter
3. Risiko terhadap aspirasi
Diagnosa keperawatan pasien miastenia gravis yang lain mencakup risiko
terjadi cedera, intoleransi aktivitas, bersihan jalan napas tidak efektif, cemas,
kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh serta gangguan cairan tubuh.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
C. Klasifikasi
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
(Yayan dkk, 2009)
D. Manifestasi
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataxia
2. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
3. Paralisis pada ocular, wajah dan otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah dan menelan.
4. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan
gejala vasomotor.
5. Kehilangan sensasi posisi tubuh. (Amin, 2016)
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi. (Yayan dkk, 2009)
F. Patofisiologi
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada GBS, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibody dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari system
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
G. Pemeriksaan Fisik
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5
g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961)
disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan
kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari
10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan
pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada
pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau
bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan
latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2,
akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan
menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS. (Yayan dkk,2009)
I. Penatalaksanaan
1. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot
2. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2
minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai
lima kali exchange.
3. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan
IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
4. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Tetapi, digunakan pada
SGB tipe CIDP. (Yayan dkk, 2009)
2.Etiologi
3.Patofisiologi
Pada tahap pertama sobeknya annulus fibrosus bersifat sirkum
ferensial. Karena adanya gaya traumatic yang berulang, sobekan tersebut menjadi
lebih besar dan timbul sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, maka risiko
HNP hanya menunggu waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu
dapat diasumsikan sebagai gaya traumatik ketika hendak menegakkan badan
waktu terpeleset, mengangkat benda berat dan sebagainya.
Menjebolnya (herniasi) nucleus pulposus dapat mencapai ke korpus
tulang belakang diatas atau di bawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis
vertebralis. Menjebolnya sebagian nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra
dapat dilihat pada foto rontgen polos dan dikenal sebagai nodus schmorl. Sobekan
sirkum ferensial dan radial pada annulus fibrosus diskus intervertebralis berikut
dengan terbentuknya nodus schmorl merupakan kelainan yang mendasari low
back pain subkronis atau kronis yang kemudian disusul oleh nyeri sepanjang
tungkai yang dikenal sebagai ischialgia atau siatika. Menjebolnya nucleus
pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nucleus pulposus menekan radiks
yang bersama- sama dengan arteria radikularis yang berada dalam lapisan dura.
Hal itu terjadi jika penjebolan berada disisi lateral. Setelah terjadi HNP, sisa
discus intervertebralis mengalami lisis, sehingga dua korpus vertebra bertumpang
tindih tanpa ganjalan (Muttaqin, 2008).
4.Tanda dan Gejala
2) Arcus
Arcus vertebra terdiri dari:
1) M. Erector Spinae
Origo: berasal melalui tendo yang lebar dari bagian dorsal
crista iliaca, permukaan dorsal sacrum dan processus
spinosus vertebrae lumbalis kaudal, dan ligament
supraspinale.
Insertion: M. iliocostalis: lumborum, thoracis, dan cervicis;
serabut melintas kranial ke angulus costae kaudal dan proc.
transversus vertebrae cervicalis.
M. longissimus: thoracis, cervicis dan capitis; serabut
melintas kranial ke costae antara tuberculum costae dan
angulus costae, ke
proc. Spinosus di daerah thorakal dan cervical, dan
proc. Mastoideus ossis temporalis.
M. spinalis: thoracis, cervicis dan capitis: serabut melintas
kranial ke proc. Spinosus di daerah torakal kranial dan
cranium.
Fungsi utama: bekerja bilateral: ekstensi columna
vertebralis dan kepala sewaktu punggung
membungkuk, otot-otot ini mangatur gerakan dengan
memperpanjang serabutnya secara bertahap; bekerja
unilateral: laterofleksi columna vertebralis.
2) M. Psoas Major
Origo: Proc. Tansversus vertebrae lumbalis; sisi corpus
vertebrae T12-L5 dan discus intervertebralis.
Insertio: melalui tendon yang kuat pada trochanter minor
femur. Fungsi: Kontraksi bagian kranial bersama m. illiacus
mengadakan fleksi paha; kontraksi bagian kaudal megadakan
laterofleksi columna vertebralis; berguna untuk mengatur
keseimbangan batang tubuh seaktu duduk; kontraksi bagian
kaudal bersama m. illiacus mengadakan fleksi batang tubuh.
3) M. Rectus Abdominis
Origo: Symphysis pubica dan crista pubica
6. PENATALAKSANAAN
1.Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
Palpasi :
7. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan saraf pada duktus intervertebralis.
2. Cemas berhubungan dengan proses penyakit.
3. Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparesis atau
hemipalgia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang. Tanda gejala yang muncul berupa
kelamahan otot ekstrem dan mudah mengalami kelelahan, yang umumnya
memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Sedangkan
Guillain Barre Syndrom (GBS) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu
atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia. Progresifitas: gejala
kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50%
mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4
minggu. Lain dengan Hernia Nucleus Pulposus (HNP) memiliki gejala rasa
nyeri di punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP
terbagi atas HNP sentral dan lateral. HNP sentral akan menimbulkan
paraparesis flasid, parestesia dan retensi urine. Sedangkan HNP lateral
bermanifestasi pada rasa nyeri dan nyeri tekan yang terletak pada punggung
bawah, di tengah-tengah area bokong dan betis, belakang tumit dan telapak
kaki.
DAFTAR PUSTAKA
Barohn RJ. 2013. The quantitative myasthenia gravis (QMG) test. Dallas: Myasthenia
Gravis Foundation of America.
Brunner& Suddarth. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Engel, A. G. MD. 2004. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Dalam
Annals of Neurology. Volume 16.
Goldenberg W. 2013. Emergent management of myasthenia gravis. Philadelphia:
McGraw-Hill.
Israr Akhyar, Yayan , dkk. 2009. Sindroma Guillain Barre. Pekan Baru : Fakultas
Kedokteran Universitas Riau
James F.H. 2008. Epidemilogy and Pathophysiology. Dalam Jr.M.D,penyunting.
Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi ke1
.Amerika.
Nurarif Huda, Amin & Rahil Hamdani, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis.
Jogjakarta : Mediaction Jogja
https://www.researchgate.net/publication/326439020_KEGAWATAN_PA
DA_NEUROMUSKULAR_EMERGENCY_ON_NEUROMUSCULAR