Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH DISCOVERY LEARNING

“Miastenia Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus


(HNP)”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas diskusi kelompok Ilmu Keperawatan
Keperawatan Medikal Bedah 3

Kelompok 3B:
Putri Dewi indahsari 11151040000081
Sherly Vidianti E 11151040000094
Novi Fitriani 11151040000096
Yuliana 11151040000100
Eneng Fitri Anggraeni 11151040000102
Aulia Noor Azizah 111510400000106
Ranti Puspita Dewi 111510400000067
Ana Rizwanah Harun 11151040000062
Miftahul Jannah 11151040000092
Rahmah Zahidah 11151040000114
Asrizal M 11151040000120

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................2
KATA PENGANTAR..........................................................................3
BAB I....................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................4
BAB II...................................................................................................6
ISI..........................................................................................................6
2.1.Miastenia Gravis..........................................................................6
2.2 Guillain Barre Syndrom (GBS).................................................25
2.3.Hernia Nucleus Pulposus (HNP)................................................30
BAB III................................................................................................39
PENUTUP...........................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................40
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan ilmiah dalam bentuk makalah tanpa suatu halangan yang
amat berarti hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan dukungannya dalam pembuatan makalah ini. Tak lupa
penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen penanggung jawab mata kuliah
Ilmu Keperawatan Medikal Bedah 3 yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, apabila terdapat kata di dalam
makalah ini yang kurang berkenan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekali
lagi penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dan mendukung penulis dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat, memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi yang membacanya. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami dimasa yang
akan datang dan kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Penyusun,
Kelompok 3B
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular
juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular
juction berkurang. Dasar ketidaknormalan pada Miastenia Gravis adanya
kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan
kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran post sinaps pada
sambungan neuromuskular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70%
sampai 90% reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular setiap individu.
Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap
langsung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak transmisi
neuromuskular. (Brunner dan Suddarth, 2008)
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch,GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. (Yayan dkk,
2009)
Hernia Nucleus Pulposus (HNP) adalah turunnya kandungan annulus
fibrosus dari diskus intervertebralis lumbal pada spinal canal atau rupture
annulus fibrosus dengan tekanan dari nucleus pulposus yang menyebabkan
kompresi pada element saraf. Pada umumnya HNP pada lumbal sering terjadi
pada L4-L5 dan L5-S1. Kompresi saraf pada level ini melibatkan root nerve L4,
L5, dan S1. Hal ini akan menyebabkan nyeri dari pantat dan menjalar ketungkai.
Kebas dan nyeri menjalar yang tajam merupakan hal yang sering dirasakan
penderita HNP. Weakness pada grup otot tertentu namun jarang terjadi pada
banyak grup otot (Lotke dkk, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan konsep Miastenia Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS),
Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Miastenia Gravis, Guillain Barre
Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
3. Sebutkan macam-macam Miastenia Gravis, Guillain Barre Syndrom
(GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
4. Jelaskan patofisiologi Miastenia Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS),
Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
5. Jelaskan penyebab dari Miastenia Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS),
Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
6. Bagaimana penatalaksanaan Miastenia Gravis, Guillain Barre Syndrom
(GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
7. Jelaskan pemeriksaan penunjang dari Miastenia Gravis, Guillain Barre
Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
8. Jelaskan komplikasi dari Miastenia Gravis, Guillain Barre Syndrom
(GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui konsep Miastenia Gravis, Guillain Barre
Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Miastenia
Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
3. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
4. Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
5. Mahasiswa dapat mengetahui penyebab dari Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
6. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
7. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang dari Miastenia
Gravis, Guillain Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
8. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari Miastenia Gravis, Guillain
Barre Syndrom (GBS), Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
BAB II

ISI

2.1.Miastenia Gravis
a.Definisi

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem


saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana
kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-
ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat
adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di
neuromuskular juction berkurang.

(Setiyohadi, 2009)

Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi


neuromuskular  pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang.
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang serius adalah salah satu penyakit
neuromuskular yang menggabungkan kelelahan cepat otot-otot valuntas dengan
penyembuhan yang sangat lama.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang parah, akibat menurunnya
jumlah dan efektivitas reseptor acethylcoline pada persambungan antar neuron.
Tand dan gejalanya bervariasi dari masing-masing individu. Gejala yang mungkin
timbul adalah gangguan pada mata, otot wajah, otot palatal, otot leher, otot-otot
pernapasan.
(Tarwoto et al, 2007)
b. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot.
Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang
merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada
ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat
memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan Ach Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat
otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian
terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler
pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia
gravis terdapat kekurangan AChR atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut
teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.

(Sylvia A, 2015)

c. Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang 6 tetap
pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit
pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses
auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat
memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses
autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian
diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar
75 % pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 %
berhubungan dengan timoma.
Dasar ketidaknormalan pada Miastenia Gravis adanya kerusakan pada
transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membran post sinaps pada sambungan neuromuskular.
Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% sampai 90% reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuskular setiap individu. Miastenia gravis
dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap langsung melawan
reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak transmisi neuromuskular.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Otot rangka dan otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang
berasal dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak. Nervus ini
mengirim keluar aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju
perifer. Nervus yang bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu
merangsang 2000 serat otot rangka. Kombinasi saraf motorik dan serabut otot
yang dipersarafinya disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik
mempersyarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersyarafi oleh
hanya satu neuron motorik.

(Price dan Wilson, 2008)

Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan


serabut otot disebut sinaps neuromuscular atau hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri
dari tiga komponen dasar : elemen pra sinaptik, elemen pasca sinaptik dan celah
sinaptik. Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang terdiri berisi vesikel
sinaptik dengan neurotransmiter asetilkolin. Asetilkolin disintesis dan
disimpan dalam akson terminal (Button). Membran plasma akson terminal
disebut membran prasinaps. Elemen pascasinaps terdiri dari membran pascasinaps
atau ujung lempeng motorik dari serat otot. Membran pascasinaps dibentuk oleh
invaginasi yang disebut saluran sinaps membran otot atau sarkolema kedalam
tonjolan akson terminal. Membran pascasinaps memiliki banyak lipatan yang
sangat meningkatkan luas permukaan.

(Price dan Wilson, 2008)

Membran pascasinaps juga mengandung reseptor asetilkolin dan


mampu membangkitkan lempeng akhir motorik yang sebaliknya dapat
menghasilkan potensial aksi otot. Asetilkolinesterase yaitu enzim yang
merusak asetilkolin juga terdapat dalam membran pascasinaps. Celah sinaptik
mengacu pada ruangan antara membran prasinaps dan menbran pascasinaps.
Apabila impuls saraf mencapai taut neuromoskular, membran akson
prasinaptik terminal terdepolarisasi, menyebabkan pelepasan asetilkolin ke dalam
celah sinaptik. Asetilkolin menyeberangi celah sinaptik secara difus dan menyatu
dengan bagian reseptor asetilkolin dalam membran pascasinaptik. Masuknya ion
Na secara mendadak dan keluarnya ion K menyebabkan depolarisasi
ujung lempeng, yang diketahui sebagai ujung lempeng potensial. Ketika ujung
lempeng potensial mencapai puncak, maka ujung tersebut akan menghasilkan
potensial potensial aksi dalam membran otot. Potensial aksi ini merangkai
serangkaian reaksi yang menyebabkan kontraksi serabut otot. Begitu
terjadi transmisi melewati penghubung neuromuskular, asetilkolin akan dirusak
oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan lebih dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial aksi.

(Price dan Wilson, 2008)

Pada Miastenia Gravis, konduksi neuromuskularnya terganggu. Jumlah


reseptor asetilkolin normal menjadi menurun yang terjadi akibat cedera
autoimun sehingga terjadi penurunan potensial aksi yang menyebabkan
kelemahan pada otot. Pada 90 % pasien gejala awal melibatkan otot okular yang
menyebabkan ptosis dan diplopia. Otot wajah, laring dan faring juga sering
terlibat dalam Miastenia Gravis yang dapat mengakibatkan regurgitasi melalui
hidung ketika berusaha menelan dan pasien dapat mengalami aspirasi, gangguan
suara (disfonia). Kelemahan otot pernapasan juga ditandai dengan batuk lemah
dan akhirnya serangan dispnea, dan ketidakmampuan membersihkan mukus
dari cabang trakeobronkial. Selain itu terjadi kelemahan otot ekstremitas yang
menyebabkan pasien kesulitan untuk berdiri, berjalan, atau bahkan menahan
lengan di atas kepala (Misalnya ketika sedang menyisir rambut).

(Price dan Wilson, 2008)

d.Manifestasi Klinik
Karakteristik penyakit berupa kelamahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang
setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini hanya mengalami kelelahan hanya
karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir rambut, mengunyah dan
berbicara, dan harus menghentikan segalanya untuk istirahat. Berbagai gejala
yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh. Otot-otot simetris terkena,
umunya itu di hubungkan dengan saraf kranial. Karena otot-otot okular terkena,
maka gejala awal yang muncul adalah diplopia (penglihatan ganda) dan ptosis
(jatuhnya kelopak mata). Ekspresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti
patung, hal ini disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Pengaruhnya terhadap
laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi suara
hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata. Kelemahan pada otot-otot
bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan serta adanya bahaya
tersedak dan aspirasi. Beberapa pasien sekitar 15% sampai 20% mengeluh lemah
pada tangan dan otot-otot lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.
 Kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal progresif menyebabkan gawat
napas, yang merupakan keadaan darurat akut.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Secara umum, gambaran klinis Miastenia yaitu :
1. Kelemahan otot yang progresif pada penderita
2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, denganistirahat
4. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
5. Otot mata sering terkena pertama (ptosis ,diplopia) , atau otot faringlainnya
(disfagia , suara sengau)
6. Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
7. Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
8. Tidak ada atrofi atau fasikulasi
(Mumenthaler M, 2007)

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman


membuat klasifikasi klinis sebagai berikut :
a. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai
ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
b. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada
mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan
tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-
otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan
aktivitas pasien terbatas. (25 %)
c. Kelompok III : Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya
otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6
bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon
terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi. (15%) 10
d. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis
buruk. (10 %)
(Mumenthaler M, 2007)
e.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi adanya ptosis baik unilateral maupun bilateral,
diplopia, gangguan fungsi menelan, hipotonia, kegagalan tumbuh kembang,
kelemahan otot ekstraokuler, kelemahan wajah, hipofonia atau disfonia, disartria,
kelemahan fleksi leher, rahang yang menggantung, kelemahan gelang bahu,
kelemahan panggul, distres napas dan kegagalan napas. Tidak terdapat gangguan
sensibilitas dan refleks tendon normal.
(Goldenberg, 2013)
Pemeriksaan bed side untuk memastikan diagnosis, yaitu persistent
upward gaze untuk menilai adanya ptosis. Selain itu, juga terdapat tes tensilon
(edrofonium klorida). Pemeriksaan ini membutuhkan monitoring kardiorespirasi
dan hati-hati apabila terdapat kecurigaan besar terhadap miastenia gravis
kongenital, karena pasien sering menunjukkan perburukan klinis akibat pemberian
penghambat asetilkolinesterase. Tes ini berguna membantu diagnosis miastenia
gravis atau membedakan antara krisis miastenik dan krisis kolinergik.
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu singkat dan durasi aksi obat yang cepat.
Sebelumnya harus di pastikan bahwa jalan napas pasien paten dan ventilasi
adekuat. Dosis inisial diberi kan dalam dosis kecil, yaitu 2 mg intravena. Bila
tidak timbul efek samping maka dosis selanjutnya diberikan 3 mg dan dinilai
adanya perbaikan kekuatan otot, ekspresi wajah, postur, dan fungsi respirasi
dalam 1 menit. Jika belum menunjukkan perbaikan, dosis tambahan 5 mg dapat
diberikan hingga dosis maksimal 10 mg total pemberian. Perbaikan ini dapat
bertahan selama 5 menit. Selama prosedur pemeriksaan ini pasien harus dipantau,
karena dapat timbul efek samping kolinergik, yaitu salivasi, lakrimasi,
berkeringat, fl ushing, fasikulasi perioral, bradikardi, blok konduksi jantung, fi
brilasi ventrikel, dan asistol. Bradiaritmi dan sinkop pernah dilaporkan pada
0,16%. Atropin harus selalu disediakan sebagai antidotum. Kekuatan otot dapat
membaik setelah tindakan ini atau kelemahan masih dapat tampak. Pemeriksa
harus berhati-hati terhadap efek kolinergik yang tidak diinginkan, seperti
hipersalivasi yang dapat menyebabkan eksaserbasi distres napas dan berisiko
aspirasi. Waktu paruh edrofonium adalah 10 menit. Apabila pasien tidak
menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberian dosis maksimal edrofonium,
berarti pasien mengalami krisis kolinergik atau ada penyebab kelemahan lain
selain miastenia gravis. Karena efeknya yang cepat, pengulangan dosis sering
diperlukan sebelum pasien mendapat antikolinesterase oral. Pasien dengan
eksaserbasi gejala tidak terlalu berat menunjukkan derajat perbaikan yang tidak
terlalu terlihat. Selain tes tensilon, juga terdapat tes lain untuk membantu
diagnosis miastenia gravis, yaitu tes prostigmin (neostigmin bromide), pada
nenonatus diberikan dengan dosis 0,05 – 0,5 mg sedangkan pada anak yang lebih
besar 0,5 – 1,5 mg secara intramuskuler atau subkutan. Tes ini akan memberikan
perbaikan klinis dalam 10 – 15 menit dan bertahan 1 hingga 3 jam. Atropin sulfat
0,065 mg pada neonatus atau 0,5 mg pada anak yang lebih besar kadang diberikan
secara subkutan untuk mencegah efek muskarinik dari neostigmin. Tes hitung
juga sering dikerjakan, pasien diminta menghitung dari angka 1 hingga 100 maka
suara akan mengecil. Selain itu, tes lengan atau tungkai yang diangkat lurus maka
akan muncul kelemahan setelah beberapa menit. Tes leher dengan angkat dan
tunduk akan menyebabkan kelemahan gerakan ini.
(Goldenberg, 2013)
Selain tes tensilon, pemeriksaan lain yang berguna untuk menegakkan
diagnosis miastenia gravis, yaitu tes keping es. Pendinginan dapat memperbaiki
transmisi neuromuskuler, sehingga pada pasien ptosis, penempatan es di kelopak
mata akan memperbaiki ptosis. Es dapat ditempatkan di dalam sarung tangan atau
dibungkus handuk dan diletakkan secara lembut di atas kelopak mata selama 2
menit atau 5 – 10 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat resolusi ptosis.
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 82% dan spesifi sitas 96%.
(Goldenberg, 2013)
Derajat keparahan miastenia gravis dapat dinilai dengan klasifi kasi Osserman:
1. Derajat 1 : kelemahan terbatas pada otot ekstraokuler (ocular myasthenia
gravis)
2. Derajat 2 : kelemahan generalisata yang ringan atau sedang tanpa keterlibatan
otot pernapasan, perjalanan penyakit lambat, krisis (-), respons terhadap obat
baik (mild generalized myasthenia gravis)
3. Derajat 3 : gejala skeletal dan bulbar berat, krisis (-), respons terhadap obat
kurang baik (moderate generalized myasthenia gravis)
4. Derajat 4 : perjalanan penyakit cepat, penyakit akut fulminan dengan
gangguan pernapasan awal, krisis (+), respons terhadap obat buruk, timoma
(insiden tinggi), kematian tinggi (acute fulminating myasthenia gravis) 5.
Derajat 5 : penyakit berat dengan keterlibatan gangguan pernapasan yang
mengancam jiwa, gejala sama dengan derajat 3 tetapi perjalanan dari derajat
2, krisis (+), angka kematian tinggi (late severe myasthenia gravis).
(Barohn, 2013)
Fungsi pasien dapat dinilai dengan OBFR (Oculobulbar Facial Respiratory
Score). Skor ini dapat membantu klinisi, terutama pada disfungsi bulbar miastenia
gravis muskarinik. Activity Daily Living pasien dapat dinilai dengan MG-ADL
(Myasthenia Gravis Activity Daily Living). Derajat klinis miastenia gravis dapat
juga dinilai dengan skor QMG (Quantitative Myasthenia Gravis). Skor ini
mempunyai 13 poin. Penilaian meliputi diplopia, ptosis, otot wajah, menelan,
berbicara, rentang pergerakan lengan kanan dan kiri, fungsi kapasitas vital, tes
menggenggam tangan kanan dan kiri, mengangkat kepala, rentang pergerakan
tungkai kanan dan kiri.
(Barohn, 2013)
f.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis miastenia
gravis meliputi : laboratorik, tes genetik, biopsi otot, neurofi siologi hingga
radiologi seperti CT-scan thoraks.
(Goldenberg, 2013)
Pemeriksaan laboratorik, yaitu tes antibodi terhadap reseptor asetilkolin
dalam serum; kadar melebihi 1,8 nmol/L dapat menunjang diagnosis. Selain itu,
juga diperlukan tes genetik. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin ditemukan pada
80% miastenia gravis dewasa, pada 92% miastenia gravis juvenile atau masa
pubertas dan post-pubertas, dan sebanyak 52% pada pre-pubertas. Ditemukan
persentase tinggi seronegatif pada miastenia gravis anak, terutama pada pasien
prepubertas atau dengan miastenia gravis juvenile terisolasi. Pada anak yang
antibodi terhadap reseptor asetilkolinnya negatif, tetapi gejala timbul pada usia
lebih muda, mungkin suatu miastenia gravis kongenital. Sekitar 40% – 50%
pasien yang antibodi terhadap reseptor asetilkolinnya negatif ternyata memiliki
antibodi terhadap reseptor muskarinik. Miastenia gravis tipe muskarinik lebih
sering pada wanita, klinis lebih berat dengan gejala, terutama pada bulbar dan
otot-otot pernapasan. Antibodi terhadap reseptor muskarinik sangat jarang pada
anak-anak.
(Goldenberg, 2013)
Pemeriksaan neutrofi siologi pada penyakit miastenia gravis adalah single-
fi ber electromyography (SFEMG) dan/atau stimulasi saraf repetitif. Tindakan ini
sangat sulit dilakukan pada anak-anak terkait tolerabilitas dan kepatuhan pasien,
sehingga tidak jarang membutuhkan sedasi. Hasil SFEMG pasien miastenia gravis
menunjukkan peningkatan jitter (Gambar 3). Stimulasi saraf repetitif dengan
frekuensi 3/detik pada saraf motorik dikata kan positif jika memberikan respons
dekremen lebih besar dari 10%.
(Goldenberg, 2013)
Pemeriksaan radiologi juga penting. Foto polos thoraks diperlukan untuk
mendeteksi pneumonia yang sering terjadi. Selain itu, perlu dilakukan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) atau CT (Computed Tomography) thoraks untuk
mendeteksi adanya timoma. Foto polos thoraks tidak sensitif untuk mendeteksi
timoma. Kemungkinan adanya neoplasma ini sebaiknya diperiksa pada setiap
pasien miastenia gravis.
(Goldenberg, 2013)
Tes diagnostik lain, yaitu biopsi otot untuk diperiksa in vitro, untuk
mengetahui jumlah reseptor asetilkolin pada celah sinaps. Selain itu, pengecatan
immunocytochemical pada motor endplates dapat mendeteksi imunoglobulin dan
komplemen. Tes genetik juga bermanfaat pada kasus miastenia gravis.
(Goldenberg, 2013)
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa
tes antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-
otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah
berat.
4. Laboratorium
a) Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang
menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan
salah satu tes yang pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada
pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
b) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab.
c) Antistriational antibodies
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien
timomadengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma
pada pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam
serum 10 beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan
otot jantung penderita.
d) Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis
suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74%
pasien.80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari
penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-
asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timomatanpa
miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibody.
(Engel, 2004)
f.Evaluasi Diagnostik
Tanda dan gejala miastenia gravis kadang-kadang sangat tersembunyi
dimana diagnosis perkiraan dapat di buat berdasarkan riwayat pasien dan
pemeriksaan fisik. Injeksi edrofonium (tensilon), merupakan medikasi yang
memudahkan transmisi impuls sambungan mioneural, yang digunakan untuk
menentukan diagnosa. Daalm 30 detik setelah injeksi intravena endrofonium, pada
banyak pasien miastenia mengalami peningkatan yang banyak sekali tetapi hanya
sementara waktu. Peningkatan kekuatan otot muncul setelah pengobatan agens-
agens yang menggambarkan tes positif ini dan selalu di gunakan dalam
menentukan diagnosis.
(Brunner dan Suddarth, 2008)

Munculnya antibodi anti-AChR dalam serum pasien mendekati 90%


pasien dengan sebagian besar miastenia dan sekitar 70% dari gejala terbatas pada
otot-otot mata (bentuk okular). Elektromiografi (EMG) digunakan untuk
mengukur potensial sel otot tetapi tidak menunjukkan diagnosa khusus untuk
miastenia gravis.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
g.Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada miastenia gravis, yaitu krisis miastenik
dan krisis kolinergik. Krisis miastenik terjadi akibat perburukan penyakit, ditandai
dengan gejala memberat dan sering disertai distres dan kegagalan napas. Krisis
kolinergik terjadi akibat dosis penghambat kolinesterase berlebihan seperti
neostigmin, piridostigmin, dan physostigmine. Gejala berupa gejala kolinergik,
seperti diare, kram abdominal, hipersalivasi, lakrimasi, inkontinensia urin,
hipermotilitas saluran gastrointestinal, emesis, miosis. Krisis kolinergik dapat
menyebabkan bronkospasme, seperti wheezing, bronchorrhea, kegagalan napas,
diaforesis, dan sianosis.
(Goldenberg, 2013)
h.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan miastenia gravis ditentukan dengan meningkatkan fungsi
pengobatan pada obat antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan
sirkulasi antibodi. Terapi mencakup agens-agens antikolinesterase dan terapi
imunosupresif, yang terdiri dari plasmaferesis dan timektomi.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Agens-agens antikolinesterase. Obat ini bereaksi dengan meningkatkan
konsentrasi asetilkolin yang relatif tersedia pada persimpangan pada
neuromuskular.. mereka diberikan untuk meningkatkan respons otot-otot terhadap
impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-kadang mereka diberikan
hanya mengurangi simtomatik. Obat-obatan dalam pengobatan digunakan
pridostigmin bromida (Mestinon), ambenonium khlorida (Mytelase), dan
neostigmin bromida (prostigmine). Banyak pasien lebih suka pada pridostigmin
karena obat ini menghasilkan efek samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan
berangsur-angsur sampai tercapai hasil maksimal yang diinginkan (bertambahnya
kekuatan, berkuangngnya kelelahan), walaupun kekuatan ott normal tidak dapat
tercapai dan pasien akan mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa
ketidakmampuan.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Obat-obat antikolinesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi
penyangga makanan lainnya. Efek samping mencakup kram abdominal, mual,
muntah dan diare. Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau dua kali sehari, dapat
menurunkan atau mencegah efek samping. Efek samping lain dari terapi
antikolinesterase mencakup efek samping pada otot-otot skelet, seperti adanya
fasikulasi (kedutan halus), spasme otot dan kelemahan. Pengaruh terhadap sistem
saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas, insomnia, sakit kepala, disartria
(gangguan pengucapan), sinkope atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan
ekskresi saliva dan keringat, meningkatnya sekresi bronkhial dan kulit lembab,
dan gejala-gejala ini sebaiknya juga di catat.
(Brunner dan Suddarth, 2008)

 Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk memberi obat-obat yang


ditentukan menurut jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-
gejala pasien. Penundaan pemberian obat-obatan dapat menyebabkan pasien
tidak mampu untuk menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah.
Meningkatnya kemampuan otot dalam satu jam setelah pemberian obat
antikolinesterase merupakan hasil yang di harapkan.

Setelah dosis medis telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil


obat sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang di tetapkan.
Penyesuaian lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosional dan
terhadap infeksi baru yang muncul sepanjang perjalanan penyakit.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Terapi imunosupresif ditentukan untuk tujuan menurunkan produksi
antibodi antireseptor atau mengeluarkan langsung melalui perubahan plasma.
Terapi imnuosupresif mencakup kortikosteroid, plasmaferesis, dan timektomi.
Terapi kortikosteroid dapat menguntungkan pasien dengan miastenia yang pada
umumnya berat. Kortikosteroid digunakan merka dengan efek terjadinya
penekanan respon imun pasien, sehingga menurunkan jumlah penghambatan
antibodi. Dosis antikolinesterase diturunkan sambil kemampuan pasien untuk
mempertahankan respirasi efektif dan kemampuan menelan di pantau. Dosis
steroid berangsur-angsur ditingkatkan dan obat antikolinesterase diturunkan
dengan lambat.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Prednison, digunakan dalam beberapa hari untuk menurunkan insiden efek
samping, dan terlihat dengan sukses adanya penekanan penyakit. Kadang-kadang
pasien memperlihatkan adanya penurunan kekuatan otot setelah terapi di mulai,
tetapi biasanya ini hanya sementara. Pada perawatan di rumah saki, pasien dapat
diberikan bel pemanggil yang digunakan dalam situasi darurat dan harus di pantau
ketat tentang adanya tanda-tada gawat napas.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Obat sitotoksik juga diberikan. Walaupun mekanisme aksi yang muncul
tidak sepenuhnya dimengerti, namun obat-obat seperti azatioprin (imuran) dan
siklofosfamid (Cytoxan) menurunkan titer sirkulasi antisetilkolin pada reseptor
antibodi. Efek samping yang muncul kadang-kadang terjadi dan hanya pasien
dengan penyakit berat saja yang diobati dengan obat-obatan ini. Pertukaran
plasma (plasmaferesis) adalah teknik yang memungkinkan pembuangan elektif
plasma dan komponen plasma pasien. Sel-sel yang sisa kembali di masukkan.
Penukaran plasma menghasilkan reduksi sementara dalam titersirkulasi antibodi.
Proses ini mempunyai pengaruh yang hebat pada pasien tetapi tidak mengobati
keadaan abnormal (menghasilkan antireseptor antibodi) sampai waktu yang
panjang.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Timektomi (Surgical Care)
Pada pasien miastenia gravis timus tampak terlibat dalam proses produksi
antibodi AChR. Timektomi (pembedahan mengangkat timus) menyebabkan
pengurangan penyakit substansial, terutama pada pasien dengan tumor atau
hiperplasia kelenjar timus. Timektomi yaitu membuka sternum karena seluruh
timus harus dibuang. Hal ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan
penyakit adalah terapi spesifik, sehingga tindakan ini mencegah pembentukan
antireseptor antibodi. Setelah pembedahan, pasien di pantau di ruang perawatan
intensif untuk memberikan perhatian khusus dalam fungsi pernpasan.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus
dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap
sebagai penyebab yang 16 mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian
miastenia gravis. Banyak ahli sarafmemilikipengalaman meyakinkan bahwa
timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun
kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan
oleh standar yang seksama. Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien
dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga
atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900.
(James, 2008)
Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan
dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien,dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan
adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli
lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur
ekstensif adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah
pembedahanadalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Secara umum,
kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah
timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada
lagi kelemahan serta obat-obatan).
(James, 2008)

Plasma Exchange (PE)


PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini digunakan pada pasien
yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang
kesulitan menjalani periode pasca operasi. Belum ada regimen standar untuk
terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume
plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.Albumin (5%) dengan
larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat
digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan
dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
(James, 2008)
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini
diakibatkan terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran
berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan
darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian
freshfrozen plasma tidak diperlukan.
Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun.Reduksi dari titer antibodi tidak
dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi.Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah
complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara
intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat
respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan
yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi
krisis.Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi
PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya
beberapa minggu.
(James, 2008)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai
sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari
terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam
pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.
(James, 2008)
Intravena Metilprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga
tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15
pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2
pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
(James, 2008)
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks
terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih
belum diketahui.Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan.Dimana respon terhadap pengobatan
kortikosteroid akanmulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya.Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi
sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell
yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.
(James, 2008)
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan
tapering pada pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap
harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi
obesitas serta hipertensi.
(James, 2008)
Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari
purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA
dan RNA.Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi
dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan dengan 15 obat imunosupresif lainnya.Azathioprine
biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol
tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan
secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.Pasien diberikan dosis
awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
(James, 2008)
Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus,
kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang
lain.
(James, 2008)
Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine.Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis.Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan
interleukin-2 dari sel T- helper.Supresi terhadap aktivasi sel T-helper,
menimbulkan efek pada produksi antibodi.Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. Cyclophosphamide (CPM) Secara
teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat
lainnya.CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B,
dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.
(James, 2008)

h.Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelmahan otot-otot volunter
3. Risiko terhadap aspirasi
Diagnosa keperawatan pasien miastenia gravis yang lain mencakup risiko
terjadi cedera, intoleransi aktivitas, bersihan jalan napas tidak efektif, cemas,
kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh serta gangguan cairan tubuh.
(Brunner dan Suddarth, 2008)

2.2 Guillain Barre Syndrom (GBS)


A. Definisi
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch,GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. (Yayan dkk,
2009)
B. Etiologi
Penyebab Guillain Barre Syndrom tidak diketahui, tetapi sering
dihubungkan dengan penyakit infeksi, seperti infeksi saluran nafas dan saluran
pencernaan. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah
Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan
untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni. (Yayan dkk,
2009)

C. Klasifikasi
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody


gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini
memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi
dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy
menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik.
Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1
tahun.

3. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan

4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)


CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominan dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

5. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
(Yayan dkk, 2009)

D. Manifestasi
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataxia
2. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
3. Paralisis pada ocular, wajah dan otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah dan menelan.
4. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan
gejala vasomotor.
5. Kehilangan sensasi posisi tubuh. (Amin, 2016)

E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi. (Yayan dkk, 2009)
F. Patofisiologi
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.

Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada GBS, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibody dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari system
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.

Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka


sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf. Yayan dkk, 2009)

G. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang


bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan
pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan
kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan. (Yayan dkk, 2009)

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5
g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961)
disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan
kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari
10/mm3 (albuminocytologic dissociation).

2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan
pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada
pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau
bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan
latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2,
akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan
menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.

3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS. (Yayan dkk,2009)
I. Penatalaksanaan
1. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot
2. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2
minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai
lima kali exchange.
3. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan
IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
4. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Tetapi, digunakan pada
SGB tipe CIDP. (Yayan dkk, 2009)

J. Masalah yg sering muncul


1. Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot-otot pernafasan, kerusakan
neurologis, hiperventilasi
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d paralisis
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan
4. Intoleransi aktivitas
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer. (Amin, 2016)

2.3.Hernia Nucleus Pulposus (HNP)


1. Definisi
Hernia Nucleus Pulposus (HNP) adalah turunnya kandungan annulus
fibrosus dari diskus intervertebralis lumbal pada spinal canal atau rupture
annulus fibrosus dengan tekanan dari nucleus pulposus yang menyebabkan
kompresi pada element saraf. Pada umumnya HNP pada lumbal sering terjadi
pada L4-L5 dan L5-S1. Kompresi saraf pada level ini melibatkan root nerve L4,
L5, dan S1. Hal ini akan menyebabkan nyeri dari pantat dan menjalar ketungkai.
Kebas dan nyeri menjalar yang tajam merupakan hal yang sering dirasakan
penderita HNP. Weakness pada grup otot tertentu namun jarang terjadi pada
banyak grup otot (Lotke dkk, 2008).

Gambar 2.1 Hernia Nucleus Pulposus


(Muttaqin,2008)

2.Etiologi

Penyebab dari Hernia Nucleus Pulposus (HNP) biasanya dengan


meningkatnya usia terjadi perubahan degeneratif yang mengakibatkan kurang
lentur dan tipisnya nucleus pulposus. Annulus fibrosus mengalami perubahan
karena digunakan terus menerus. Akibatnya, annulus fibrosus biasanya di daerah
lumbal dapat menyembul atau pecah (Moore dan Agur, 2013).

Hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga disebabkan oleh


karena adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang mengenai discus
intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada
kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat, dan gejala ini disebabkan oleh
cidera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan atau bahkan dalam
beberapa tahun. Kemudian pada generasi diskus kapsulnya mendorong ke arah
medulla spinalis, atau mungkin ruptur dan memungkinkan nucleus pulposus
terdorong terhadap sakus doral atau terhadap saraf spinal saat muncul dari
kolumna spinal (Helmi, 2012).

3.Patofisiologi
Pada tahap pertama sobeknya annulus fibrosus bersifat sirkum
ferensial. Karena adanya gaya traumatic yang berulang, sobekan tersebut menjadi
lebih besar dan timbul sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, maka risiko
HNP hanya menunggu waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu
dapat diasumsikan sebagai gaya traumatik ketika hendak menegakkan badan
waktu terpeleset, mengangkat benda berat dan sebagainya.
Menjebolnya (herniasi) nucleus pulposus dapat mencapai ke korpus
tulang belakang diatas atau di bawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis
vertebralis. Menjebolnya sebagian nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra
dapat dilihat pada foto rontgen polos dan dikenal sebagai nodus schmorl. Sobekan
sirkum ferensial dan radial pada annulus fibrosus diskus intervertebralis berikut
dengan terbentuknya nodus schmorl merupakan kelainan yang mendasari low
back pain subkronis atau kronis yang kemudian disusul oleh nyeri sepanjang
tungkai yang dikenal sebagai ischialgia atau siatika. Menjebolnya nucleus
pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nucleus pulposus menekan radiks
yang bersama- sama dengan arteria radikularis yang berada dalam lapisan dura.
Hal itu terjadi jika penjebolan berada disisi lateral. Setelah terjadi HNP, sisa
discus intervertebralis mengalami lisis, sehingga dua korpus vertebra bertumpang
tindih tanpa ganjalan (Muttaqin, 2008).
4.Tanda dan Gejala

Manifestasi klinis utama yang muncul adalah rasa nyeri di


punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP terbagi
atas HNP sentral dan lateral. HNP sentral akan menimbulkan paraparesis
flasid, parestesia dan retensi urine. Sedangkan HNP lateral bermanifestasi
pada rasa nyeri dan nyeri tekan yang terletak pada punggung bawah, di
tengah-tengah area bokong dan betis, belakang tumit dan telapak kaki.
Kekuatan ekstensi jari kelima kaki berkurang dan reflex achiller negative.
Pada HNP lateral L5-S1 rasa nyeri dan nyeri tekan didapatkan di punggung
bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum
pedis. Kelemahan m. gastrocnemius (plantar fleksi pergelangan kaki), m.
ekstensor halusis longus (ekstensi ibu jari kaki). Gangguan reflex Achilles,
defisit sensorik pada malleolus lateralis dan bagian lateral pedis
(Setyanegara dkk, 2014).

5.Anatomi Fungsional Sendi Tulang Belakang


a. Sistem Tulang Vertebra
Tulang belakang adalah struktur lentur sejumlah tulang yang
disebut vertebra. Diantara tiap dua ruas vertebra terdapat bantalan
tulang rawan. Panjang rangkaian vertebra pada orang dewasa dapat
mencapai 57 sampai 67 cm. seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah
diantaranya adalah tulang-tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung
membentuk 2 tulang.
Vertebra dikelompokkan dan dinilai sesuai dengan daerah yang
ditempatinya, tujuh vertebra cervikalis, dua belas vertebra thoracalis,
lima vertebra lumbalis, lima vertebra sacralis, dan empat vertebra
koksigeus (Pearce, 2009). Susunan tulang vertebra terdiri dari: korpus,
arcus, foramen vertebrale, foramen intervertebrale, processus articularis
superior dan inferior, processus transfersus, spina, dan discus
intervertebralis.
1) Korpus

Merupakan lempeng tulang yang tebal, agak


melengkung dipermukaan atas dan bawah (Gibson,
2003). Dari kelima kelompok vertebra, columna vertebra
lumbalis merupakan columna yang paling besar dan kuat
karena pusat pembebanan tubuh berada di vertebra
lumbalis (Bontrager dan Lampignano, 2014).

2) Arcus
Arcus vertebra terdiri dari:

a) Pediculus di bagian depan: bagian tulang


yang berjalan kea rah bawah dari corpus,
dengan lekukan pada vertebra di dekatnya
membentuk foramen intervertebrale.
b) Lamina di bagian belakang: bagian tulang
yang pipih berjalan ke arah belakang dan ke
dalam untuk bergabung dengan pasangan dari
sisi yang berlawanan.
3) Foramen vertebrale
Merupakan lubang besar yang dibatasi oleh korpus
di bagian depan, pediculus di bagian samping, dan
lamina di bagian samping dan belakang.
4) Foramen intervertebrale
Merupakan lubang pada bagian samping, di antara
dua vertebra yang berdekatan dilalui oleh nervus spinalis
yang sesuai.
5) Processus Articularis Superior dan Inferior
Membentuk persendian dengan processus yang
sama padavertebra di atas dan di bawahnya.
6) Processus Transversus
Merupakan bagian vertebra yang menonjol ke lateral.
Menurut Moore dan Agur (2013) otot penggerak batang tubuh
secara langsung atau pun tidak langsung mempengaruhi vertebra. Otot- otot
tersebut adalah m. erector spinae, m. psoas, m. rectus abdominis.

1) M. Erector Spinae
Origo: berasal melalui tendo yang lebar dari bagian dorsal
crista iliaca, permukaan dorsal sacrum dan processus
spinosus vertebrae lumbalis kaudal, dan ligament
supraspinale.
Insertion: M. iliocostalis: lumborum, thoracis, dan cervicis;
serabut melintas kranial ke angulus costae kaudal dan proc.
transversus vertebrae cervicalis.
M. longissimus: thoracis, cervicis dan capitis; serabut
melintas kranial ke costae antara tuberculum costae dan
angulus costae, ke
proc. Spinosus di daerah thorakal dan cervical, dan
proc. Mastoideus ossis temporalis.
M. spinalis: thoracis, cervicis dan capitis: serabut melintas
kranial ke proc. Spinosus di daerah torakal kranial dan
cranium.
Fungsi utama: bekerja bilateral: ekstensi columna
vertebralis dan kepala sewaktu punggung
membungkuk, otot-otot ini mangatur gerakan dengan
memperpanjang serabutnya secara bertahap; bekerja
unilateral: laterofleksi columna vertebralis.
2) M. Psoas Major
Origo: Proc. Tansversus vertebrae lumbalis; sisi corpus
vertebrae T12-L5 dan discus intervertebralis.
Insertio: melalui tendon yang kuat pada trochanter minor
femur. Fungsi: Kontraksi bagian kranial bersama m. illiacus
mengadakan fleksi paha; kontraksi bagian kaudal megadakan
laterofleksi columna vertebralis; berguna untuk mengatur
keseimbangan batang tubuh seaktu duduk; kontraksi bagian
kaudal bersama m. illiacus mengadakan fleksi batang tubuh.
3) M. Rectus Abdominis
Origo: Symphysis pubica dan crista pubica

Insertion: Proc. Xiphoideus dan cartilagines costales V-VII


Fungsi: fleksi batang tubuh dan menekan visera abdomen.

Gambar 2.6 Lapisan dalam otot-otot punggung ( Putz dan


Pabst, 2012)

6. PENATALAKSANAAN
1.Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :

Gerakan-gerakan yang perlu diperhatikan pada penderita:

Keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah.


Fleksi ke depan (forward flexion) secara khas akan menyebabkan
nyeri pada tungkai bila ada HNP, karena adanya ketegangan pada saraf
yang terinflamasi diatas suatu diskus protusio sehingga meninggikan
tekanan pada saraf spinal tersebut dengan jalan meningkatkan tekanan
pada fragmen yang tertekan di sebelahnya (jackhammer effect).

Lokasi dari HNP biasanya dapat ditentukan bila pasien disuruh


membungkuk ke depan ke lateral kanan dan kiri. Fleksi ke depan, ke
suatu sisi atau ke lateral yang meyebabkan nyeri pada tungkai yang
ipsilateral menandakan adanya HNP pada sisi yang sama.

Palpasi :

Adanya nyeri (tenderness) pada kulit bisa menunjukkan adanya


kemungkinan suatu keadaan psikologis di bawahnya (psychological
overlay).

Kadang-kadang bisa ditentukan letak segmen yang menyebabkan


nyeri dengan menekan pada ruangan intervertebralis atau dengan jalan
menggerakkan ke kanan ke kiri prosesus spinosus sambil melihat
respons pasien. Penekanan dengan jari jempol pada prosesus spinalis
dilakukan untuk mencari adanya fraktur pada vertebra. Pemeriksaan
fisik yang lain memfokuskan  pada kelainan neurologis.

Refleks patella terutama menunjukkan adanya gangguan dari


radiks L4 dan kurang dari L2 dan L3. Refleks tumit predominan dari
S1. Harus dicari pula refleks patologis seperti babinski, terutama bila
ada hiperefleksia yang menunjukkan adanya suatu gangguan upper
motor neuron (UMN). Dari pemeriksaan refleks ini dapat membedakan
akan kelainan yang berupa UMN atau LMN.

1. Pemeriksaan motoris : harus dilakukan dengan seksama dan


harus dibandingkan kedua sisi untuk menemukan abnormalitas
motoris yang seringan mungkin dengan memperhatikan
miotom yang mempersarafinya.
2. Pemeriksaan sensorik : Pemeriksaan sensorik akan sangat
subjektif karena membutuhkan perhatian dari penderita dan tak
jarang keliru, tapi tetap penting arti diagnostiknya dalam
membantu menentukan lokalisasi lesi HNP sesuai dermatom
yang terkena. Gangguan sensorik lebih bermakna dalam
menunjukkan informasi lokalisasi dibanding motoris.
3. Laboratorium:
Pada pemeriksaan laboratorium rutin penting untuk
melihat; laju endap darah (LED), kadar Hb, jumlah leukosit
dengan hitung jenis, dan fungsi ginjal.
4. Pemeriksaan Radiologis :
Foto rontgen biasa (plain photos) sering terlihat normal atau
kadang-kadang dijumpai penyempitan ruangan intervertebral,
spondilolistesis, perubahan degeneratif,  dan tumor spinal.
Penyempitan ruangan intervertebral kadang-kadang terlihat
bersamaan dengan suatu posisi yang tegang dan melurus dan
suatu skoliosis akibat spasme otot paravertebral.
1. CT scan adalah sarana diagnostik yang efektif  bila
vertebra dan level neurologis telah jelas dan
kemungkinan karena kelainan tulang.
2. MRI (akurasi 73-80%) biasanya sangat sensitif pada
HNP dan akan menunjukkan berbagai prolaps.
Namun para ahli bedah saraf dan ahli bedah
ortopedi tetap memerlukan suatu EMG untuk
menentukan diskus mana yang paling terkena.

7. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan saraf pada duktus intervertebralis.
2. Cemas berhubungan dengan proses penyakit.
3. Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparesis atau
hemipalgia.
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang. Tanda gejala yang muncul berupa
kelamahan otot ekstrem dan mudah mengalami kelelahan, yang umumnya
memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Sedangkan
Guillain Barre Syndrom (GBS) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu
atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia. Progresifitas: gejala
kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50%
mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4
minggu. Lain dengan Hernia Nucleus Pulposus (HNP) memiliki gejala rasa
nyeri di punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP
terbagi atas HNP sentral dan lateral. HNP sentral akan menimbulkan
paraparesis flasid, parestesia dan retensi urine. Sedangkan HNP lateral
bermanifestasi pada rasa nyeri dan nyeri tekan yang terletak pada punggung
bawah, di tengah-tengah area bokong dan betis, belakang tumit dan telapak
kaki.
DAFTAR PUSTAKA

Barohn RJ. 2013. The quantitative myasthenia gravis (QMG) test. Dallas: Myasthenia
Gravis Foundation of America.
Brunner& Suddarth. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Engel, A. G. MD. 2004. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Dalam
Annals of Neurology. Volume 16.
Goldenberg W. 2013. Emergent management of myasthenia gravis. Philadelphia:
McGraw-Hill.
Israr Akhyar, Yayan , dkk. 2009. Sindroma Guillain Barre. Pekan Baru : Fakultas
Kedokteran Universitas Riau
James F.H. 2008. Epidemilogy and Pathophysiology. Dalam Jr.M.D,penyunting.
Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi ke1
.Amerika.
Nurarif Huda, Amin & Rahil Hamdani, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis.
Jogjakarta : Mediaction Jogja

Price, SA, Wilson, LM 2008. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC
Setiyohadi B , Sudoyo AW, , Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : Interna.
Sylvia, A., Lorraine, M. 2015. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta : EGC

https://www.researchgate.net/publication/326439020_KEGAWATAN_PA
DA_NEUROMUSKULAR_EMERGENCY_ON_NEUROMUSCULAR

Anda mungkin juga menyukai