Anda di halaman 1dari 3

VI.

IPTEKS DALAM ISLAM


A. Pengertian IPTEKS Dalam Islam dan Sumbernya
1. Pengertian IPTEKS
Pengetahuan yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu:
1. Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman kepada
Allah swt. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak.
2. Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori: pengetahuan (knowledge/kenneis),
ilmu pengetahuan (watenschap/science) dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan
kritis, sifatnya nisbi.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya mutlak (absolut) dan
wajib diyakini (QS. Al-Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4).
Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para filosuf, ilmuwan
dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-masing sesuai dengan apa
yang mereka senangi.
Sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan sedangkan dalam sudut pandang filsafat
ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu
yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu
adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi
sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang
secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang
terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan
dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh
kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu
seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang
banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis. Karena keterbatasan kemampuan
manusia, maka sangat jarang ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara
mendalam.
Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya,
teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu
pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan
netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk
merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan
teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia
juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam
kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas
teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan
atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan
ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya
manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran.
Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian.
Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat
keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang
lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan
akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang
kematangan jiwanya terus bertambah.
Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui
sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama
dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan
ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat
agama adalah membimbing dan mengarahkan akal. 

2. Sumber IPTEKS
Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh
dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya
berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran
Islam ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak,
karena bersumber dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge)
tingkat kebenarannya bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia .

B. Integrasi Iman, Ilmu dan Amal


Menurut Islam, ilmu pada hakekatnya tidak bersifat dikotomik seperti : ilmu agama-ilmu
umum, ulama-intelektual, madrasah-sekolah, santri-pelajar dan sebagainya. Menurut Al-
Qur’an, dua ayat Allah dihadapkan kepada manusia:
 Ayat al-kauniyah (alam semesta dan manusia: individu, komunal dan temporalnya)
 Ayat al-qauliyah (Al-Qur’an dan sunnah rasul)
Interpretasi manusia terhadap fenomena kauniyah melahirkan ilmu pengetahuan: biologi,
fisika, kimia, sosiologi, antropologi, komunikasi, ilmu politik, sejarah dan lain-lain.
Interpretasi manusia terhadap fenomena qauliyah melahirkan pemahaman agama (actual).
Kebenaran hakiki dan sumber ilmu ialah pada Allah swt. Ilmu harus difungsikan sesuai
dengan petunjuk Allah swt. (QS. Fushshilat/41:53 dan QS. Ali-Imran/3:164).
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat
hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut
Dienul Islam. Didalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak,
dengan kata lain iman, ilmu dan amal shaleh/ikhsan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-
Qur’an S.Ibrahim/14:24-25
Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik,
iman diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam.
Ilmu diidentikkan dengan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang
ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan
seni. 
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan tersebut tidak
dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya pengembangan ipteks
yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan
menghasilkan kemaslahatan bagi ummat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan
menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah s.w.t, akan
memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi
lingkungannya (QS. Al-Mujadalah/58:11).

C. Tanggung Jawab Ilmuwan Terhadap Alam dan Lingkungan


Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai abdun (hamba Allah) dan sebagai
khalifah Allah di bumi. Esensi dari abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada
kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap
diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dalam konteks 'abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah. Posisi ini memiliki
konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya.
Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan
menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan sang pencipta berupa potensi yang
sempurna yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya
rasa syukur mengakibatkan ia menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan
manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada
sesama manusia termasuk pada dirinya.
Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada
ketakwaan dan kecenderungan kepada perbuatan fasik (QS. Asy-Syams/91:8). Dengan kedua
kecenderungan tersebut, Allah memberikan petunjuk berupa agama sebagai alat bagi manusia
untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang
selalu didorong oleh nafsu amarah. 
Fungsi yang kedua sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Manusia diberikan
kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali sumber-sumber daya serta memanfaatkannya
dengan sebesar-besar kemanfaatan untuk kehidupan ummat manusia dengan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena alam diciptakan untuk kehidupan
manusia sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memadai. Tanpa menguasai IPTEKS, fungsi hidup manusia
sebagai khalifah akan menjadi kurang dan kehidupan manusia akan tetap terbelakang. Allah
menciptakan alam, karena Allah menciptakan manusia. Seandainya Allah tidak menciptakan
manusia, maka Allah tidak perlu menciptakan alam. Oleh karena itu, manusia mendapat
amanah dari Allah untuk memelihara alam, agar terjaga kelestariannya dan keseimbangannya
untuk kepentingan ummat manusia. Kalau terjadi kerusakan alam dan lingkungan ini lebih
banyak disebabkan karena ulah manusia sendiri. Mereka tidak menjaga amanat Allah sebagai
khalifah (QS. Ar-Rum/30:41).

Anda mungkin juga menyukai