Anda di halaman 1dari 3

Ureum adalah suatu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstrasel,

tetapi pada akhirnya dipekatkan dalam urin dan diekskresi. Jika dalam tubuh terjadi
keseimbangan nitrogen, maka ekskresi ureum kira-kira 25 mg per hari (Widman, 1995). Ureum
merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen yang  penting pada manusia, yang disintesa
dari ammonia, karbon dioksida, dan nitrogen amida aspartat (Victor, 1999). Hampir seluruh urea
dibentuk di dalam hati, dari katabolisme asam-asam amino dan merupakan produk ekskresi
metabolisme protein yang sama. Konsentrasi urea dalam plasma terutama menggambarkan
keseimbangan antara pembentukan urea dan katabolisme protein serta ekskresi urea oleh ginjal
(Baron,1995).
Ureum merupakan produk sisa dari metabolism protein yang secara normal dipindahkan
dari darah ke ginjal. Jumlah ureum dalam darah ditentukan oleh diet protein dan kemampuan
ginjal mengekskresikan urea. Jika ginjal mengalami kerusakan, urea akan terakumulasi dalam
darah. Peningkatan urea plasma menunjukkan kegagalan ginjal dalam melakukan fungsi
filtrasinya.(Lamb et al,2006)
Jika kuantitas urea melebihi batas normal akan mengakibatkan tingginya kandungan urea
dalam darah dan umumnya terjadi pada penderita gagal ginjal Oleh karena itu diperlukan analisis
penentuan kadar urea dalam serum/plasma (Khairi, 2005). Penentuan kadar urea dalam serum
dalam analisis klinik bermanfaat untuk mengetahui kondisi disfungsi ginjal (gagal ginjal akut,
gagal ginjal kronik,  penyumbatan pada ginjal) dan pada kondisi yang tidak berkaitan dengan
penyakit ginjal (gagal jantung kongesti, kondisi pasca bedah/operasi, hipotensi)
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar ureum serum, yang sering
dipilih/digunakan adalah metode enzimatik. Enzim urease menghidrolisis ureum dalam sampel
menghasilkan ion ammonium yang kemudian diukur.Ada metodeyang menggunakan dua enzim,
yaitu enzim urease dan glutamatedehidrogenase. Jumlah nicotinamide adenine dinucleotide
(NADH) yang berkurang akan diukur pada panjang gelombang 340nm(Verdiansah, 2016).
Metode standar yang digunakan untuk pengukuran kadar urea dalam darah yaitu metode
spektrofotometri. Metode ini dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi urea dalam kisaran
normal dan memiliki batas deteksi 10-2 ppm (Nazaruddin, 2007). Namun kelemahan metode ini
adalah membutuhkan jumlah sampel yang cukup banyak dan tidak dapat digunakan secara luas
karena pengoperasian alat tersebut membutuhkan keahlian khusus. Oleh sebab itu diperlukan
metode analisis yang lebih cepat dan akurat untuk menganalisis kadar urea dalam darah, yaitu
dengan biosensor. Biosensor urea yang telah dikembangkan saat ini adalah biosensor
potensiometri berdasarkan amobilisasi enzim
Faktor -faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan kadar ureum :
1)Hasil palsu dapat terjadi pada spesimen yang mengalami hemolisis.
2)Nilai-nilai agak terpengaruh oleh hemodilusi.
3)Berbeda dengan tingkat kreatinin, asupan protein (diet rendah protein) dapat mempengaruhi
kadar urea nitrogen sehingga menurunkan nilai BUN.
4)Kadar kreatinin dan kadar urea nitrogen harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi fungsi
ginjal. Apabila terjadi peningkatan atau penurunan yang signifikan, hasil dapat dibandingkan
dengan rasio BUN : Kreatinin sebelum mengevaluasi fungsi ginjal (Chernecky dan Berger,
2013).
Dalam praktikum ini dilakukan penetapan kadar ureum dalam serum atau  plasma dengan
metode enzymatic-UV-Kinetik, Prinsip dalam pengukuran ini yaitu urea dalam sampel dengan
bantuan enzim urease akan menghasilkan amonia dan karbondioksida. Setelah dicampur dengan
pereaksi I (Fenol dan Na. Nitroprussid) dan II (NaOCl dan  NaOH) akan terjadi reaksi yang
menghasilkan suatu kompleks yang absorbansinya dapat diukur dengan spektrofotometer UV-
Vis (Dewi dkk., 2014) lalu Pada pemeriksaan dilakukan pembuatan larutan standar dengan
perbandingan 4:1 (1000µL R1 dengan 250µL R2). Setelah itu lakukan prosedur pemeriksaan
sesuai dengan pentunjuk alat dengan panjang gelombang 340nm. Sampel pengukuran yang
digunakan adalah sampel rumah sakit dan sampel mahasiswa.

Widmann, F. K. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 9. Jakarta:
EGC
Baron, D.N. 1995.  Patologi Klinik . Jakarta: EGC
Victor, W. 1999. Biokimia Harper, Ed.24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Khairi. 2005. Perbandingan Metode Potensiometri Menggunakan Biosensor Urea DenganMetode
Spektrofotometri Untuk Penentuan Urea. Jurnal Sains  Kimia Vol 9, No.2 : 68-72.
Nazaruddin, 2007, Biosensor Urea Berbasis Biopolimer Khitin sebagai Matriks Immobilisasi,
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, vol. 6, no. 1, pp. 41-44.
Lamb, E., D.J. Newman, C.P. Price. 2006.Kidney function test..In: Burtis, C.A., E.R. Ashwood,
D.E. Bruns. (Eds). Tietz Textbook of Clinical Chemistry and molecular diagnostic.
Elsevier Saunder. St Louis.

Anda mungkin juga menyukai