Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat allah swt. Karena atas berkat rahmat
dan limpahan berkahnya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun makalah
tentang “perbandingan perencanaan perkerasan jalan metode analisa komponen,
aashto 1993, dan austroads 1992”.

Semoga dengan adanya makalah ini, dapat bermanfaat sebagaimana bagi


pembaca dan dapat diaplikasikan sebagaimana mestinya.

Penulis

1
DAFTAR ISI

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perkerasan Jalan adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan lapis konstruksi

tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta kestabilan tertentu agar

mampu menyalurkan beban lalu lintas diatasnya ke tanah dasar secara aman . Perkerasan jalan

merupakan lapisan perkerasan yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan,

yang berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana transportasi, dan selama masa

pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang

sesuai dengan mutu yang diharapkan, maka pengetahuan tentang sifat, pengadaan dan

pengolahan dari bahan penyusun perkerasan jalan sangat diperlukan.

1.2 Tujuan

Diharapkan dengan penyusunan makalah ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya

dan dapat berguna bagi pembaca maupun penulis

1.3 Rumusan Masalah

Perbandingan perkerasan jalan metode analisa komponen, aashto 1993, dan austroads

1992.

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 ANALISA KOMPONEN

Metode Analisa Komponen SNI 1732-1989-F merupakan metode yang bersumber dari

AASHTO 1972 yang disesuaikan dengan kondisi jalan di Indonesia. Selain itu, metode ini juga

merupakan penyempurnaan dari Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya no.

01/PD/B/1983. Rumus dasar metode Analisa Komponen diambil dari AASHTO 1972 revisi

1981 dengan beberapa penyesuaian. Metode Analisa Komponen merupakan metode empirik

yang dibuat berdasarkan penelitian terhadap jalan yang sudah ada. Faktor – faktor yang

dipertimbangkan pada metode empirik juga dapat sangat bervariatif.

1. Lintas ekivalen rencana (LER)

Tahapan-tahapan perhitungan nilai lintas ekivalen rencana yang perlu dilakukan

adalah sebagai berikut:

a. Lalulintas harian rata – rata (LHR t ) tahun 2021 (akhir umur rencana)

LHR 2011 perlu dihitung untuk mendapat nilai LHR 2021 dalam memperkirakan lalu

lintas harian rata – rata pada akhir umur perkerasan. Sebagai contoh untuk golongan 2 & 3

dihitung dengan persamaan:

𝐿𝐻𝑅𝑡=𝐿𝐻𝑅0×(1+𝑖)𝑈𝑅

𝐿𝐻𝑅2021=𝐿𝐻𝑅2011×(1+𝑖)𝑈𝑅

𝐿𝐻𝑅2021=1063×(1+6,5%)10=1995

dengan: LHRt= lalulintas harian rata – rata pada akhir umur rencana

LHR 0= lalulintas harian rata – rata pada awal umur rencana

i = faktor pertumbuhan lalulintas selama masa pelaksanaan (%)

UR = umur rencana (tahun)

4
Nilai Lalulintas harian rata-rata pada akhir umur rencana (LHR t ) ditunjukan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil perhitungan lalulintas harian rata – rata pada akhir umur rencana (LHR t )

LHR LHR
Jenis Kendaraan Pertumbuhan
2011 2021
Gol 2 & 3 1063 6,5 1995
Gol 4 368 6,5 691
Gol 5a 57 6,5 106
Gol 5b 19 6,5 36
Gol 6a 427 6,5 802
Gol 6b 49 6,5 92
Gol 7a 30 6,5 56

b. Koefisien distribusi kendaraan

Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) didasarkan pada jenis kendaraan, jumlah arah

dan jumlah lajur. Jalan Km. 35 – Pulang Pisau terdiri dari 2 lajur dan 2 arah. Besarnya koefisien

distribusi kendaraan (C) dapat dilihat pada Tabel 5.

Jumlah Lajur Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)


1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 Lajur - 0,30 - 0,45
5 Lajur - 0,20 - 0,425
6 Lajur - 0,10 - 0,40

c. Angka ekivalen (E) beban sumbu kendaraan

Angka ekivalen setiap jenis kendaraan berbeda – beda tergantung jumlah sumbu, beban,

dan konfigurasi sumbunya. Angka ekivalen untuk setiap kelompok sumbu juga dapat dihitung

dengan persamaan berikut dan sebagai contoh perhitungan untuk sumbu depan gol 2 & 3:
4
P sumbu
E2∧3 depan =k ( 8160 )

5
2000 4
E2∧3 depan =1 ( 8160) =0,00023

dengan: E = Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan

P = Beban Sumbu (kg)

k = Koefisien Distribusi Beban Sumbu tunggal = 1,0 tandem = 0,086 tridem = 0,021

Nilai total angka ekivalen adalah penjumlahan angka ekivalen sumbu depan dan belakang.
Hasil perhitungan Angka Ekivalen untuk setiap jenis kendaraan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil perhitungan angka ekivalen (E) berdasarkan jenis kendaraan

Jenis GVW Konfigurasi Beban Angka Ekivalen


Kendaraan (ton) Depan Belakang Lain Depan Belakang Lain
Gol 2 & 3 2 1 1 0,00023 0,00023 0,000451
Gol 4 5,3 1,8 3,5 0,00237 0,03385 0,036214
Gol 5a 8 2,7 5,3 0,01199 0,17797 0,189955
Gol 5b 14,2 4,8 9,4 0,11973 1,76097 1,880696
Gol 6a 8,3 2,8 5,5 0,01386 0,20639 0,220254
Gol 6b 15,1 5,1 10 0,15259 2,25548 2,40807
Gol 7a 26 6,5 19,5 0,40262 2,80463 3,207252

d. Lintas ekivalen permulaan (LEP)

Lintas ekivalen permulaan dihitung dengan menggunakan LHR pada awal umur rencana

(LHR 2011). Contoh perhitungan LEP untuk golongan 2 & 3 adalah sebagai berikut:

𝐿𝐸𝑃=𝐿𝐻𝑅2011×𝐶×𝐸

𝐿𝐸𝑃=1063×0,5×0,000451=0,239672

dengan: LEP = lintas ekivalen permulaan

LHR = lalulintas harian rata – rata pada awal umur rencana

C = koefisien distribusi kendaraan

E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan

e. Lintas ekivaelen akhir (LEA)

Lintas ekivalen akhir dihitung dengan menggunakan LHR pada akhir umur rencana (LHR

2021). Contoh perhitungan LEA untuk golongan 2 & 3 adalah sebagai berikut:

𝐿𝐸𝐴=𝐿𝐻𝑅2021×𝐶×𝐸

6
𝐿𝐸𝐴=1995×0,5×0,000451=0,4498979

Hasil perhitungan nilai Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dan Lintas Ekivalen Akhir

(LEA) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil perhitungan lintas ekivalen permulaan dan lintas ekivalen akhir

Jenis LHR 2011 LHR 2021 Koefisien Angka Lintas Lintas

Kendaraan (kend/hari/2 (kend/hari/2 Distribusi Ekivalen Ekivalen Ekivalen


Gol 2 & 3 1063
jurusan) 1995
jurusan) 0,5 0,000451 Permulaan
0,239672 0,4498979
Akhir
Gol 4 368 691 0,5 0,036214 6,662105 12,505687
Gol 5a 57 106 0,5 0,189955 5,376154 10,09178
Gol 5b 19 36 0,5 1,880696 18,14589 34,062324
Gol 6a 427 802 0,5 0,220254 47,03603 88,293088
Gol 6b 49 92 0,5 2,40807 58,86012 110,48853
Gol 7a 30 56 0,5 3,207252 47,44925 89,068768
Total 183,7692 344,96007

f. Lintas ekivalen tengah (LET)

Nilai Lintas ekivalen tengah didapat dengan merata – ratakan nilai lintas ekivalen awal

dan lintas ekivalen akhir. Nilai LET dihitung seperti berikut:

LEA + LEP
LET =
2

183,7692+344,96007
LET =
2

dengan: LET = lintas ekivalen tengah LEA = lintas ekivalen akhir

LEP = lintas ekivalen permulaan

Nilai lintas ekivalen rencana dapat dihitung setelah nilai LET didapatkan. Nilai LER

didapat dengan mengalikan LET dan faktor penyesuaian (FP). Faktor penyesuaian ditetapkan

dengan menggunakan umur rencana (UR) 10 tahun adalah sebagai berikut:

LER=LET x FP

UR
LER=LET x
10

10
LER=264,36464 x =264,36464
10
7
dengan: FP = faktor penyesuaian

LER = lintas ekivalen rencana

UR = umur rencana (tahun)

LET = lintas ekivalen tengah

2. Daya dukung tanah (DDT)

Daya dukung tanah (DDT) adalah suatu skala yang dipakai dalam nomogram penetapan

tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. Sementara ini dianjurkan untuk

mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya kepada pengukuran nilai CBR. Daya dukung tanah

dapat dihitung dengan cara grafis dan analitis. Nilai DDT dapat ditentukan menggunakan

nomogram dengan menarik garis lurus CBR terhadap DDT. Perhitungan nilai daya dukung

tanah (DDT) dihitung dengan memasukan nilai CBR rencana yang sebelumnya telah dihitung

sebesar 3,25% pada persamaan dari Bina Marga sebagai berikut:

𝐷𝐷𝑇=4,3log𝐶𝐵𝑅+1,7

𝐷𝐷𝑇=4,3log3,25+1,7=3,9

3. Indeks permukaan (IP)

Indeks permukaan (IP) adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan

kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan tingkat pelayanan

bagi lalulintas yang lewat. Nilai IP dan pengertiannya ditunjukan pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai indeks permukaan (IP)

IP Penjelasan
1,0 menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga mengganggu
lalulintas kendaraan
1,5 Tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak putus)
2,0 Tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap
2,5 Permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
(Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

8
Nilai Indeks permukaan perkerasan lentur dibagi menjadi dua yaitu pada awal umur

rencana dan akhir umur rencana. Penentuan nilai indeks permukaan tersebut adalah sebagai

berikut.

a. Indeks permukaan awal umur rencana (IP0). Nilai IP0 ditentukan berdasarkan jenis lapis

perkerasan yang digunakan. Nilai IP0dapat dilihat pada Tabel 9

Tabel 9. Indeks permukaan awal umur rencana (IP0).

Jenis Lapis Perkerasan IP 0 Roughness (mm/km)


LASTON ≥4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000

LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000

HRA 3,4 – 3,0 > 2000

3,9 – 3,5 ≤ 2000


BURDA
BURTU 3,4 – 3,0 > 2000
LAPEN
3,9 – 3,5 < 2000

3,4 – 3,0 < 2000


LATASBUM
(Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987) 3,4 – 3,0 ≤ 3000

Nilai IP0 ditentukan berdasarkan jenis lapis perkerasan yang digunakan. Karena jenis

perkerasan yang digunakan ditetapkan dengan menggunakan aspal beton (Laston). Sesuai pada

Tabel 9 maka besarnya IP0adalah ≥ 4.

b. Indeks permukaan akhir umur rencana (IP t). Nilai IPt ditentukan berdasarkan nilai lintas

ekivalen rencana (LER) dan klasifikasi kelas jalan. Nilai IPtdapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Indeks permukaan akhir umur rencana (IPt).

Klasifikasi Jalan
LER = Lintas Ekivalen
Lokal Kolektor Arteri Tol

9
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
(Sumber: SNI 1732-1989-F)

*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal

Catatan: Pada proyek – proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan murah, atau jalan darurat
maka IP dapat diambil 1,0

Berdasarkan perhitungan sebelumnya didapat LER sebesar 264,365 dan jalan termasuk

kelas jalan kolektor. Oleh karena itu, dari Tabel 10 didapatkan nilai IPtsebesar 2,0.

4. Faktor regional (FR)

Faktor regional (FR) adalah faktor setempat, menyangkut keadaan lapangan dan iklim,

yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan.Nilai

faktor regional ditentukan dengaan 3 parameter yaitu curah hujan, kelandaian dan persentase

kendaraan berat. Nilai FR dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Faktor regional (FR)

Kelandaian I (< 6 %) Kelandaian I (6-10 %) Kelandaian III (> 10 %)


Curah Hujan % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I
0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5
< 900 mm/th
Iklim I
1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5
> 900 mm/th
(Sumber: SNI 1732-1989-F)
Catatan: Pada bagian jalan – jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian, atau
tikungan tajam (jari – jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada derah rawa – rawa FR
ditambah dengan 1,0

Berdasarkan data curah hujan didapat nilai 3952 mm/tahun sehingga > 900 mm/tahun.

Perhitungan persentase kendaraan berat dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perhitungan persentase kendaraan berat.


Jenis Kendaraan Berat Kendaraan Kategori LHR Jumlah Persentase
Gol 2 & 3 2 Ringan 826
Gol 4 5,3 Ringan 286
10
Gol 5a 8 Ringan 44
Gol 6a 8,3 Ringan 332
Gol 5b 14,2 Berat 15
Gol 6b 15,1 Berat 38
Gol 7a 26 Berat 23 76 4,86%
1564 1564 100%
*) Kendaraan Berat ≥ 13 ton
Kendaraan Ringan < 13 ton

Berdasarkan Tabel 12, didapat persentase kendaraan berat sebesar 4,86%. Kelandaian

ditentukan berdasar alinemen vertikal-nya. Kemiringan terbesar adalah 5,62% sehingga dapat

ditetapkan memiliki kelandaian < 6%. Dari data tersebut, sesuai dengan Tabel 11 maka nilai

FR ditentukan sebesar 1,5.

5. Indeks tebal perkerasan (ITP)

Indeks tebal perkerasan (ITP) merupakan fungsi dari daya dukung tanah, faktor

regional, lintas ekivalen rencana, dan indeks permukaan. Perkerasan tidak menggunakan

metode konstruksi bertahap, maka nilai ITP dapat langsung dihitung. Dari perhitungan

sebelumnya didapatkan IP 0 ≥ 4 dan IP t 2,0. Nilai ini digunakan untuk menentukan

nomogram yang digunakan. Kemudian nilai DDT (3,9) dan LER (264,365) digunakan untuk

mendapatkan nilai ITP dan selanjutnya dikoreksi dengan FR 1,5 untuk mendapatkan ITP

seperti pada Gambar 3.

11
Gambar 3. Ploting data pada nomoogram IPt =2 : IP0 ≥ 4.

Berdasarkan nomogram pada gambar 3 didapat nilai ITP 9,2. Nilai ini yang digunakan

sebagai penentu tebal masing – masing lapisan perkerasan.

6. Tebal masing – masing lapis perkerasan

tebal lapis perkerasan ditentukan bahan yang dipakai dan nilai ITP hasil ploting pada

nomogram. Untuk masing – masing lapisan, tebalnya memiliki standar minium yang berbeda

ditentukan sesuai dengan nilai ITP.

a. Lapis permukaan. Berdasarkan bahan yan digunakan, tebal lapis permukaan minimum

ditunjukan pada Tabel 13.

Tabel 13. Batas minimum tebal lapis permukaan

ITP Tebal Minimum (cm) Bahan

12
< 3,00 5 Lapis Pelindung: (Buras/Burtu/Burda)

3,00 – 6,70 5 Lapen/aspal macadam, HRA, Lasbutag, Laston.


Lapen/aspal macadam, HRA, Lasbutag, Laston.
6,71 – 7,49 7,5 Lasbutag, Laston
(Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

b. Lapis fondasi. Berdasarkan bahan yang digunakan, tebal lapis fondasi minimum

ditunjukan pada Tabel 14.

Tabel 14. Batas minimum tebal lapis fondasi

I Tebal Minimum Bah


T
< (cm) 1 an tanah dengan
Batu pecah, stabilisasi
3,00 5 semen,
stabilisasi tanah dengan kapur.
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan
3,00 – 20 semen, stabilisasi tanah dengan kapur.
7,49 *) Laston atas.
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan

1 semen, stabilisasi tanah dengan kapur,


7,5 – 0 fondasi macadam.
9,99 2
0 Laston atas.

15

10 – 12,24 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan

semen, stabilitasi tanah dengan kapur,

fondasi macadam, lapen, laston atas.

≥ 12,25 25 Batu pecah, stablisasi tanah dengan

semen, stabilisasi tanah dengan kapur,

fondasi macadam, lapen, laston atas.


(Sumbe: SNI 1732-1989-F, 1987)

*) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk fondasi bawah digunakan

material berbutir kasar.

c. Lapis fondasi bawah

13
Tebal minimum bila menggunakan fondasi bawah, untuk setiap nilai ITP adalah 10

cm. Nilai koefisien kekuatan relatif ditunjukan pada table 15.

Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan Jenis Bahan


2
a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm ) CBR (%)
0,4 - - 744 - - Laston

0,35 - - 590 - -

0,32 - - 454 - -

0,30 - - 340 - -

0,35 - - 744 - - Labutag

0,31 - - 590 - -

0,28 - - 454 - -

0,26 - - 340 - -
HRA
0,30 - - 340 - -

0,26 - - 340 - - Aspal Macadam


Lapen (mekanis)
0,25 - - - - - Lapen (manual)
Laston atas
0,20 - - - - -

- 0,28 - 590 - -

- 0,26 - 454 - -
Lapen (mekanis)
- 0,24 - 340 - - Lapen (manual)
(Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

Perkerasan dengan manggunakan komposisi aspal (MS 800) untuk lapis permukaan,

batu pecah CBR 70% untuk fondasi atas dan sirtu CBR 70% untuk fondasi bawah.

Dengan nilai ITP 9,2 maka tebal minimum (Dmin) koefisien kekuatan relatif (a) setiap

lapisan adalah sebagai berikut:

a. Lapis permukaan, tebal (D1) minimum 7,75 cm untuk laston (table 13) dan

koefisien kekuatan relatif (a1) untuk aspal MS 800 kg adalah sebesar 0,421

dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

a 1=0,14281× ln ( MS × 2,205882) −0,647

a 1=0,14281× ln ( 800 ×2,205882 )−0,647=0,421

Dengan : a1 =koefisien kekuatan relatif aspal

14
MS = stabilitas Marshall (kg)

b. Lapis pondasi atas, tebal (D2) minimum 20 cm untuk batu pecah (table 14) dan

koefisien kekuatan relatif (a2) untuk batu pecah CBR 70% adalah sebesar 0,125

(table 15).

c. Lapis pondasi bawah, tebal (D3) minimum 10 cm untuk semua ITP dan koefisien

kekuatan relatf (a3) untuk sirtu/pitrun CBR 70% adalah sebesar 0,13 (Tabel 15).

Tebal lapisan perkerasan minimum tidak mencapai ITP yang disyaratkan maka

tebal masing-masing perkerasan disesuaikan agar memenuhi ITP yang

disyaratkan. Lapis perkerasan ditetapkan 11 cm, fondasi atas ditetapkan 20 cm,

dan fondasi bawah dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

ITP=a1 D 1+ a2 D 2 +a 3 D 3

9,2=( 0,421× 11) + ( 0,125 ×20 ) +(0,13 × D3 )

9,2−[ ( 0,421× 11 ) + ( 0,12520 ) ]


D 3= =15,94836 ≈ 16 cm
0,13

Dengan : a1, a2, a3 = koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

D1,D2,D3= Tebal masing-masing lapisan(cm)

ITP dihitung kembali dengan nilai tebal masing-masing lapisan perkerasan yang

digunakan menjadi: ITP=a1 D 1+ a2 D2 +a 3 D3

ITP=( 0,421× 11 ) + ( 0,125 ×20 ) + ( 0,13 ×16 )=9,2067

Nilai ITP didapatkan sebesar 9,2067 maka perkerasan dapat diterima denga tebal

masing-masing lapisan sebagai berikut:

a. Lapis permukaan, menggunakan aspal MS 800 kg dengan tebal (D1) 11 cm dan

koefisien relayif (a1) 0,421.

b. Lapis pondasi atas, menggunakan batu pecah CBR 70% dengan tebal (D2) 20 cm

dan koefisien kekuatan relatif (a2) 0,125.

15
c. Lapis pondasi bawah, menggunakan sirtu/pitrun CBR 70% tebal (D3) 16 cm dan

koefisien kekuatan relatif (a3) 0,13.

Gambar 4. Susunan tebal lapis perkerasan dengan metode analisa komponen.

2.2 AASHTO 1993

16

Anda mungkin juga menyukai