Anda di halaman 1dari 5

HUTAN SOSIAL

Berikut hasil riset mengenai Konsep Pengelolaan Hutan Sosial Berbasis Masyarakat
di Manggarai Barat:

1. Perhutanan Sosial
Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. 83/2016 tentang Perhutanan Sosial
bahwa Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang
dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai
pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan
dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan,
Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.

Katagori Perhutanan Sosial dan Statusnya

Katagori Lokasi Bentuk Pemohon Pemberi Status dan


Hak/Izin Hak/Izin Jangka Waktu
1. Hutan Adat Wilayah Hutan Masyarakat Menteri Hak
adat, Hak/Hutan Adat LHK Menguasai/
diluar Adat Hak Milik
Hutan
Negara
2. Hutan Desa HP & HL HPHD Koperasi Menteri 35 tahun dan
Desa/ LHK/ dapat
BUMDes Gubernur diperpanjang
3. Hutan HP & HL IUPHKm Kelompok Menteri
Kemasyarakatan Masyarakat/ LHK/
Koperasi Gubernur
4. Hutan Tanaman HP IUPHHK- Perseorangan Menteri
Rakyat HTR /Kelompok/ LHK/
Koperasi Gubernur
5. Kemitraan HP, HL, Kesepakatan Naskah Menteri
Kehutanan dan HK Kesepakatan LHK/
Kerjasama Gubernur
(NKK) antara /Koperasi
Pengelola/
Pemegang
Izin dengan
Kelompok
Masyarakat/
Koperasi
Keterangan:
HP = Hutan Produksi
HL = Hutan Lindung
HK = Hutan Konservasi
HPHD = Hak Pengelolaan Hutan Desa
IUPHKm = Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
IUPHHK-HTR = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat

Berdasarkan berkas yang diperoleh mengenai Konsep Pengelolaan Hutan Sosial


Berbasis Masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat, menurut pendapat saya
Konsep Pengelolaan Hutan Sosial di Manggarai Barat menggunakan bentuk
Kemitraan Kehutanan.

2. Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan


Kemitraan Kehutanan merupakan kerjasama pemanfaatan kawasan hutan antara
masyarakat dengan pengelola hutan (KPH, Perhutani) atau pemegang izin
pemanfaatan hutan (HPH, HTI). Kerjasama antara masyarakat setempat dengan
pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin
pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan. (Permenlhk No. 83/2016 tentang Perhutanan Sosial)

Kemitraan/kerja samanya berupa hal-hal yang memang disepakati bersama


antara masyarakat sekitar kawasan hutan dengan pemegang hak kelola maupun
izin atas kawasan hutan tertentu, sehingga setiap tempat/wilayah bentuk
kemitraan atau kerja samanya bisa jadi berbeda satu dengan lainnya, misalnya
suatu daerah dimana ada perusahaan hutan tanaman industri bentuk
kemitraannya dapat berupa kerja sama menampung kayu hasil tanaman warga
untuk dibantu dipasarkan, atau bisa juga bentuk kerja samanya menjadikan
masyarakat sebagai tenaga tanam tanaman tertentu yang menjadi komoditas
perusahaan pemegang hak kelola ataupun izin atas kawasan hutan tersebut.

Bentuk kerja sama kemitraan ini dituangkan dalam perjanjian kerjasama


kemitraan antara pihak pemegang hak kelola maupun pemegang izin dengan
masyarakat. Perjanjian ini perlu disahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan untuk dapat melindungi hak masyarakat yang menjadi mitra dari
pihak pemegang hak kelola maupun izin kawasan hutan tersebut.

3. Pelaksana Kemitraan Kehutanan


Pelaksana kemitraan kehutanan adalah para pihak yang menandatangani
perjanjian kerjasama kemitraan, yaitu antara lain:
a. Masyarakat setempat yang dapat membentuk koperasi atau kelompok tani.
b. Pengelola hutan yang meliputi:
- kesatuan pengelolaan hutan;
- balai besar/balai taman nasional;
- balai besar/balai konservasi sumber daya alam;
- pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus;
- unit pelaksana teknis daerah taman hutan raya; dan/atau
- badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah pengelola hutan
negara.
c. Pemegang izin meliputi:
- izin usaha pemanfaatan kawasan;
- izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan;
- izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam;
- izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman;
- izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam;
- izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman;
- izin usaha pemanfaatan air;
- izin usaha pemanfaatan energi air;
- izin usaha pemanfaatan jasa wisata alam;
- izin usaha pemanfaatan sarana wisata alam;
- izin usaha pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan
lindung;
- izin usaha pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan produksi dan
hutan lindung;
- izin penggunaan kawasan hutan; dan/atau
- izin usaha industri primer hasil hutan.

4. Prosedur Permohonan Persetujuan Kemitraan Kehutanan Kepada Menteri


LHK
Berdasarkan Pasal 44 – 49 Permenlhk No. 83/2016 tentang Perhutanan Sosial
Prosedur Permohonan Persetujuan Kemitraan Kehutanan Kepada Menteri LHK
sebagai berikut:
a. Pengelola/Pemegang Izin mengajukan permohonan kepada Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan kemitraan dengan
masyarakat setempat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perhutanan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL) dan Gubernur.
Catatan:
Syarat yang berkaitan dengan masyarakat setempat:
- KTP/Surat keterangan tinggal dari kepala desa/lurah
- Bukti areal garapan
- Deskripsi tertulis tentang ketergantungan masyarakat terhadap
garapan/hasil hutan
- Deskripsi tertulis tentang ketergantungan masyarakat terhadap
garapan/hasil hutan
- Deskripsi tertulis tentang adanya potensi kawasan hutan tersebut untuk
menjadi usaha padat karya
- Menyertakan bukti sebagai pemasok/hasil hutan berupa kayu
(HHK)/hasil hutan bukan kayu (HHBK)
- Areal yang dimohon untuk dijadikan kemitraan kehutanan sesuai Pasal 43
Permenlhk No. 83/2016 tentang Perhutanan Sosial

b. Selanjutnya diadakan Pemeriksaan lapangan kelengkapan persyaratan


masyarakat setempat yang akan bermitra dengan pengelola hutan atau
pemegang izin dilakukan oleh instansi calon mitranya yang dapat dibantu
oleh Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (POKJA PPS).

c. Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, apabila berkas persyaratan belum


lengkap maka akan dikembalikan kepada pengelola hutan atau pemegang
izin untuk dilengkapi. Dalam hal berkas persyaratan dinyatakan lengkap
maka pengelola hutan atau pemegang izin bersama masyarakat calon mitra
menyusun Naskah Kesepakatan Kerjasama yang dapat dibantu oleh POKJA
PPS yang ditandatangani oleh pengelola hutan/pemegang izin dengan pihak
yang bermitra diketahui oleh kepala desa atau camat atau lembaga adat
setempat.
Catatan:
Naskah kesepakatan kerjasama memuat ketentuan:
a. latar belakang;
b. identitas para pihak yang bermitra;
c. lokasi kegiatan dan petanya;
d. rencana kegiatan kemitraan;
e. obyek kegiatan;
f. biaya kegiatan;
g. hak dan kewajiban para pihak;
h. jangka waktu kemitraan;
i. pembagian hasil sesuai kesepakatan;
j. penyelesaian perselisihan; dan
k. sanksi pelanggaran.

d. Selanjutnya, Naskah Kesepakatan Kerjasama tersebut dilaporkan oleh


pengelola hutan/pemegang izin kepada Direktur Jenderal Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL) dengan tembusan:
- Direktur Jenderal yang membidangi Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem atau Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Kepala Badan Penyuluhan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia;
- gubernur atau bupati/walikota;
- kepala dinas provinsi; dan
- kepala UPT atau kepala UPT terkait.

e. Dirjen PSKL akan memeriksa NKK dan apabila telah disetujui akan
menyerahkan Naskah Kesepakatan Kerjasama kepada Menteri LHK. Menteri
LHK akan mengesahkan dan mengeluarkan SK Pengakuan Perlindungan
Kemitraan Kehutanan (KULIN KK)

Anda mungkin juga menyukai