Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Korupsi telah menjadi perhatian semua pihak pada saat ini. Bentukbentuk dan perwujudan
korupsi jauh lebih banyak daripada kemampuan untuk melukiskannya. Iklim yang diciptakan
oleh korupsi menguntungkan bagi tumbuh suburnya berbagai kejahatan.1 Korupsi pun menjadi
permasalahan yang sungguh serius dinegeri ini. Kasus korupsi sudah tidak terhitung lagi
jumlahnya. Berkembang dengan pesat, meluas dimana–mana, dan terjadi secara sistematis
dengan rekayasa yang canggih dan memanfaatkan teknologi modern. Kasus terjadinya korupsi
dari hari kehari kian marak. Hampir setiap hari berita tentang korupsi menghiasi berbagai media.
Bahkan Korupsi dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit
membedakan nama perbuatan korup dan mana perbuatan yang tidak korup. Meskipun sudah ada
komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan beberapa instansi antikorupsi lainnya, faktanya negeri
ini menduduki rangking teratas sebagai negara terkorup di dunia. Tindak korupsi di negeri ini
bisa dikatakan mulai merajalela, bahkan menjadi kebiasaan, dan yang lebih memprihatinkan
adalah korupsi dianggap biasa saja atau hal yang sepele. Berbagai upaya telah dilakukan oleh
1 Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 96. 2
pemerintah untuk mencegah terjadinya korupsi, namun tetap saja korupsi menjadi hal yang sering
terjadi.
BAB II

PEMBAHASAN

1.2 Pengertian Korupsi


Arti harifiah adalah Kebusukan, keburukan, kebejatan, ke tidak jujuran, dapat di suap, Tidak
bermoral, penyimpangan dari ke sucian.Menurut perspektif hukum, definisi korupsi di jelaskan
dalam 13 pasal ( UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 ) Merumuskan 30 bentuk /
Jenis tindak pidana korupsi, yang di kelompokan SBB :
1. Kerugian keuangan Negara
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi

2.2 Gambaran umum Korupsi di Indonesia Dan Jenis - jenis Korupsi:

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin
pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang
diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa
Agung, belum membuahkan hasil nyata.

Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang
dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan
kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang
tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain
ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih & Bebas
dari KKN.

Jenis-Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh
jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-
tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:

1. Kerugian keuntungan Negara


2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

Persepsi Mayarakat tentang Korupsi

Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi
pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat
menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat
lokal, maupun nasional.

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi.
Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka
memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup
berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan
manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha
rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan
keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.

Fenomena Korupsi di Indonesia :

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia ialah:

1. Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-
lembaga politik yang ada.
2. Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “oknum” lembaga
tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keagamaan, kedaerahan,
kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3. Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.
4. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :

1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering berubah-ubah
sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum.
3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
4. Terjadierosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang
mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar
(rakyat).
6. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang
politik dan ekonomi-bisnis.
7. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jabatan dan
hirarki politik kekuasaan.

3.2 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi

Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan


berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9
Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada
Jaksa Agung Dan Kapolri:

1. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk


menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
2. Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan
oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
3. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi

 Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-
PK) 2004-2009. Langkah – langkah pencegahan dalam RAN PK di prioritaskan pada :

1. Mendesain ulang layanan publik .


2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan
Ekonomi dan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.

Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.KPK yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan
komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.


2. Mendorong pemerintah melakukan reformasipublic sector dengan mewujudkan good
governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

4.2 Peran Serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut UU
No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi
2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak
hukum waktu paling lama 30 hari
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi:

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia,
antara lain sebagai berikut :

1. Upaya pencegahan (preventif).


2. Upaya penindakan (kuratif).
3. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
4. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Upaya Pencegahan (Preventif)

1. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa
dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama
2. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
3. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab
yang tinggi.
4. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
5. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
6. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
7. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
8. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
Upaya Penindakan (Kuratif):

Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan diberikan
peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh
penindakan yang dilakukan oleh KPK :

1. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda
NAD (2004).
2. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan
liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
3. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
4. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara
Rp 10 milyar lebih (2004).
5. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitaspreshipment danplacement deposito dari BI
kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).

 Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:

1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):

1. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi dan
melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang
yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat
untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di
tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang
bebas korupsi.
2. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi
korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang menjadi
organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi
tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang
membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta
sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia.
IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan
Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan,
Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar.Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
5.2 Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) Dengan Hukum Pidana

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau
criminalpolicy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008) :
1. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminallawapplication);
2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana(preventionwithoutpunishment);
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing viewsofsocietyoncrimeandpunishment/mass
media) (atau media lainnya seperti penyuluhan, pendidikan dll : tambahan dari penulis).
Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi
menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-
penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut
Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan
pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/ pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan
secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas
(Nawawi Arief : 2008).
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk
pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan
Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh subur kankejahatan (korupsi; tambahan
dari penulis). Dengan ini, upaya nonpenal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting
atau dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief ‘memiliki posisi strategis dari
keseluruhan upaya politik kriminal’.
Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana
atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan atau nestapa bagi
pelaku korupsi. Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan mengandung
beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara
‘subsidair’. Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief : 1998) adalah :

1. Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam
bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimumremedium (obat yang terakhir
apabila cara lain atau bidang hokum lain sudah tidak dapat digunakan lagi);
2. Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya yang
tinggi
3. Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek sampingan
yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Pemasyarakatan;
4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan
‘kurierenamsymptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik
bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di
luar jangkauan hukum pidana;
5. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial lainnya
yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalakemanusiaan dan kemasyarakatan
yang sangat kompleks;
6. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural atau
fungsional;
7. Efektivitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering diperdebatkan
oleh para ahli.

6.2 BERBAGAI STRATEGI DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI


Berikut akan dipaparkan berbagai upaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi
yang dikembangkan oleh United Nations yang dinamakan the Global Program AgainstCorruption
dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-CorruptionToolkit (UNODC : 2004).
1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang
independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa Negara didirikan
lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini pertama kali didirikan oleh Parlemen
Swedia dengan nama Justitie ombudsmannen pada tahun 1809. Peran lembaga ombudsman
yang kemudian berkembang pula di negara lain antara lain menyediakan sarana bagi
masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintah dan
pegawainya. Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan
masyarakat serta mengembangkan standar perilaku serta codeofconduct bagi lembaga
pemerintah maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman
adalah mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka
untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC :
2004). Di Hongkong dibentuk lembaga anti korupsi yang bernama Independent
CommissionagainstCorruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-
CorruptionAgency(ACA). Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk
memberantas korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari
tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan adalah
jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak memihak), jujur dan adil.
Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang
sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat
dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus
ditingkatkan. Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak
memiliki keinginan yang kuat (strongpoliticalwill) untuk memberantas korupsi, atau justru
terlibat dalam berbagai perkara korupsi.
2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik untuk
melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun
sesudah menjabat. Dengan demikian, masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran
peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan jumlah
kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan
melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada orang lain misalnya anggota keluarga.
Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat, daerah
maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah dengan melakukan
lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat harus diberi otoritas atau akses untuk dapat
memantau dan memonitor hasil dari pelelangan atau penawaran tersebut. Untuk itu harus
dikembangkan sistem yang dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk ikut memantau
ataupun memonitor hal ini.
3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk
mendapatkan akses terhadap informasi (accesstoinformation). Sebuah sistem harus dibangun
di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala informasi yang
berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak
ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya
secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi
berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.
4. Pengembangan dan Pembuatan Berbagai Instrumen Hukum yang Mendukung Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi
Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya
mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung
pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau
Pencucian Uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen
hukum berupa UU Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan Pers, perlu UU
yang mengatur mengenai Pers yang bebas. Bagaimana mekanisme masyarakat yang akan
melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan electronicsurveillance juga perlu diatur
supaya tidak melanggar privacy seseorang. Selain itu, hak warga negara untuk secara bebas
menyatakan pendapatnya harus pula diatur. Pasal-pasal yang mengkriminalisasi perbuatan
seseorang yang akan melaporkan tindak pidana korupsi serta menghalang-halangi
penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi seperti pasal mengenai
fitnah atau pencemaran nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana perlu diamandemen atau
dihapuskan. Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak
boleh takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Selain itu, untuk mendukung
pemerintahan yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau codeofconduct yang ditujukan
untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun codeofconduct bagi
aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).
5. Monitoring dan Evaluasi
Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka mensukseskan
pemberantasan korupsi, yakni melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi,
sulit mengetahui capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi,
dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan yang gagal. Untuk strategi atau program
yang sukses, sebaiknya dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus dicari penyebabnya.Pengalaman
negara-negara lain yang sukses maupun yang gagal dapat dijadikan bahan pertimbangan
ketika memilih cara, strategi, upaya maupun program pemberantasan korupsi di negara kita.
Namun mengingat ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang dapat digunakan, kita
tetap harus mencari cara kita sendiri untuk menemukan solusi memberantas korupsi.
6. Kerja sama Internasional
Hal lain yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan kerja sama
internasional atau kerja sama baik dengan negara lain maupun dengan International NGOs.
Sebagai contoh saja, di tingkat internasional, Transparency Internasional (TI) misalnya
membuat program National Integrity Systems. OECD membuat program theEthics
Infrastructure dan World Bank membuat program A FrameworkforIntegrity.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur
“penyelewengan” ataudishonest (ketidakjujuran).Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde
Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi
di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial,
kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa sering
menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Fenomena umum yang
biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik,
namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin
memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan dengan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indonesia, antara lain: upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya
edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

3.2 Saran

Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indo-nesia agar
mendapat informasi yang lebih akurat.
Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya di
dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan
Keadilan.

Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas

UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai