Anda di halaman 1dari 4

Analisis Faktor Risiko Kejadian Obesitas pada Anak Perkotaan di Beberapa Sekolah Dasar

Kabupaten Jember
Di Indonesia, berdasarkan data Riskesda oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2013, prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia 512 tahun mencapai 18,8%.
Provinsi yang memiliki prevalensi di atas rata-rata nasional salah satunya adalah Jawa Timur
(Kemenkes RI, 2013). Faktor resiko kejadian obesitad adalah genetik dan lingkungan.
Aktivitas fisik sehari-hari memiliki peranan dalam pengeluaran energi yang berlebihan.
Aktivitas fisik ringan ternyata kurang memiliki pengaruh terhadap penurunan kejadian
obesitas. Bukan berarti aktivitas fisik tidak berperan dalam penurunan kejadian obesitas.
WHO merekomendasikan aktivitas fisik untuk anak yaitu minimal satu jam melakukan
aktivitas fisik moderat selama 5 kali dalam seminggu sehingga dapat menurunkan kejadian
obesitas (WHO, 2010). Literatur mengemukakan bukti penting antara orang tua dengan
asupan makan dengan status gizi anak. Terdapat dua hal yang mempengaruhinya yaitu gaya
mendidik anak (parenting style) dan praktek mendidik anak (parenting practice) (Scaglioni,
et al, 2011). Faktor memiliki orang tua gemuk pada penelitian ini berdasarkan pengamatan
anak sehinga bukan merupakan gambaran status gizi orang tua yang sesungguhnya.
Kesimpulan :
Dari keseluruhan faktor risiko dapat disimpulkan bahwa faktor yang tidak dapat
dimodifikasi, yaitu memiliki orang tua gemuk berpengaruh terhadap kejadian obesitas
dengan risiko 6 kali dibandingkan anak yang tidak memiliki orang tua gemuk. Dari faktor
yang dapat dimodifikasi, anak yang memiliki frekuensi makan berat lebih dari 3 kali
berpotensi 2 kali terkena obesitas. Konsumsi susu yang sering sesuai dengan Dietary
Guideline for American 2015 memiliki faktor protektif dibandingkan dengan anak yang
jarang mengkonsumsi susu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
bagi masyarakat umum sehingga dapat dilakukan pencegahan kejadian obesitas. Penelitian
lebih lanjut juga dibutuhkan untuk mengkaji lebih mendalam dengan data kuantitatif.

FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ANAK 5-15 TAHUN DI INDONESIA


Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan
yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik,
perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan.1 Jika keadaan ini berlangsung terus
menerus (positive energy balance) dalam jangka waktu cukup lama, maka dampaknya
adalah terjadinya obesitas. Obesitas pada masa anak dapat meningkatkan kejadian diabetes
mellitus (DM) tipe 2. Selain itu, juga berisiko untuk menjadi obesitas pada saat dewasa dan
berpotensi mengakibatkan gangguan metabolisme glukosa dan penyakit degeneratif seperti
penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah dan lain-lain. Selain itu, obesitas pada
anak usia 6-7 tahun juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas dan
kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat badan.3
Beberapa faktor penyebab obesitas pada anak antara lain asupan makanan berlebih yang
berasal dari jenis makanan olahan serba instan, minuman soft drink, makanan jajanan
seperti makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) dan makanan siap saji lainnya yang
tersedia di gerai makanan. Selain itu, obesitas dapat terjadi pada anak yang ketika masih
bayi tidak dibiasakan mengkonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi mengunakan susu formula
dengan jumlah asupan yang melebihi porsi yang dibutuhkan bayi/anak.4 Akibatnya, anak
akan mengalami kelebihan berat badan saat berusia 4-5 tahun. Anak yang berusia 5-7
tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap gizi lebih. Oleh karena itu, anak dalam
rentang usia ini perlu mendapat perhatian dari sudut perubahan pola makan sehari-hari
karena makanan yang biasa dikonsumsi sejak masa anak akan membentuk pola kebiasaan
makan selanjutnya. Faktor penyebab obesitas lainnya adalah kurangnya aktivitas fisik baik
kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur. Obesitas dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dibandingkan dengan faktor genetik. Jika obesitas terjadi pada anak sebelum
usia 5-7 tahun, maka risiko obesitas dapat terjadi pada saat tumbuh dewasa. Anak obesitas
biasanya berasal dari keluarga yang juga obesitas. Tingginya prevalensi obesitas anak
disebabkan oleh pertumbuhan urbanisasi dan perubahan gaya hidup seseorang termasuk
asupan energi. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit tidak menular,
antara lain penyakit jantung, diabetes tipe 2, hipertensi dan sebagainya.

Kesimpulan :

Keterbatasan penelitian dalam menggunakan data sekunder antara lain banyak data missing
dan variabel yang tersedia tidak lengkap (terbatas). Prevalensi obesitas (persentil >95) pada
anak usia 5-15 tahun sebesar 8,3%. Faktor risiko yang paling berhubungan dengan obesitas
anak usia 5-15 tahun adalah tingkat pendidikan anak setelah dikontrol oleh variabel jenis
kelamin, riwayat obesitas ayah, kebiasaan olah raga dan merokok serta asupan protein.
Perlunya menanamkan pendidikan kesehatan pada anak sejak usia dini, melalui peningkatan
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), seperti gerakan anti rokok, gerakan cinta serat
(sayur dan buah), budayakan aktivitas fisik dan lain-lain. Penelitian lebih lanjut disarankan
untuk menambah variabel lain yang berhubungan dengan obesitas anak seperti aktifitas fisik
(termasuk kebiasaan olah raga, nonton TV dan main games) serta variabel kebiasaan jajan,
konsumsi junk food dan makanan cepat saji.

Pola Konsumsi Fast Food, Aktivitas Fisik dan Faktor Keturunan Terhadap Kejadian Obesitas
(Studi Kasus pada Siswa SD Negeri 01 Tonjong Kecamatan Tonjong Kebupaten Brebes)

Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan karena prevalensi obesitas anak di dunia
semakin meningkat. Di Indonesia, berdasarkan data Riskesda oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2013, prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia 5-12
tahun mencapai 18,8%. Obesitas adalah suatu penyakit serius yang dapat mengakibatkan
masalah emosional dan sosial. Seorang dikatakan overweight bila berat badannya 10%
sampai dengan 20% berat badan normal, sedangkan seseorang disebut obesitas apabila
kelebihan berat badan mencapai lebih 20% dari berat normal. Obesitas saat ini menjadi
permasalahan dunia bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan sebagai
epidemic global ( , 2016). Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi
nasional obesitas umum pada penduduk berusia 15 tahun pada laki-laki sebesar 13,9% dan
pada perempuan sebesar 23,8%, sedangkan kejadian obesitas pada anak balita yakni 12,2 %
dari jumlah anak Indonesia. Angka ini meningkat menjadi 14 % pada tahun 2010. Dan
prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada
perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia
5- 17 tahun. Menurut Data Estimasi Sasaran Program Kesehatan prevalensi obesitas tahun
2014 mencapai 20,5 % (Depkes RI, 2007). Walaupun mekanisme terjadinya belum
sepenuhnya di mengerti, tetapi telah dikonfirmasi bahwa obesitas terjadi karena
pemasukan energi melebihi pengeluaran energi . Penyebab terjadinya obesitas dipengaruhi
oleh genetik dan lingkungan (Biro &Wien, 2010). Fast food atau ready-to-eat-food jadi
pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama
keluarga pada masyarakat modern. Biasanya jumlah lemak dalam tubuh akan cenderung
meningkat dengan bertambahnya usia. Dengan demikian kecenderungan untuk obes pada
anak-anak yang awalnya telah kelebihan berat badan akan meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Umumnya fast food disukai anak-anak, remaja maupun orang dewasa
karena rasanya sesuai dengan selera dan harganya terjangkau. Sesuai dengan pernyataan
Khomsan (2006) banyak fast food yang mengandung tinggi kalori sehingga konsumsi yang
berlebihan akan menimbulkan masalah kegemukan, namun konsumsi 1-2 kali seminggu
mungkin masih dapat dianggap wajar.

Kesimpulan :

Prevalensi kegemukan anak sekolah di SD Negeri 01 Tonjong cukup tinggi yaitu sebesar 16.7
%. Anak gemuk paling banyak mengonsumsi fast food dengan frekuensi sering (lebih dari 2
kali seminggu), sedangkan anak normal pada frekuensi jarang (1-2 kali seminggu). Dengan
demikian anak normal mengonsumsi fast food masih dalam batas yang wajar, sedangkan
anak gemuk mengonsumsi fast food secara berlebihan. Terdapat perbedaan yang nyata
(p<0.05) antara frekuensi konsumsi fast food anak gemuk dan normal. Untuk aktivitas hari
sekolah, perbedaan nyata (p<0.05) terdapat pada kegiatan ringan dan sedang. antara anak
gemuk dan normal. Dalam penelitian ini diketahui sebagian besar anak gemuk dan normal
memiliki ayah dan ibu yang berstatus gizi normal. Akan tetapi terdapat 33.3% anak gemuk
memiliki ayah berstatus gizi gemuk dan gemuk sekali atau obes (22.2%), jumlah tersebut
lebih besar dibandingkan anak normal yang hanya 25.0% dan 15.3%. Begitu juga dengan
status gizi ibu, anak gemuk yang memiliki ibu gemuk dan obes sebanyak 27.8%. Ini berarti
baik kedua ataupun salah satu dari orang tua yang obes memiliki kecenderungan untuk
melahirkan anak yang obesitas. Terdapat hubungan positif (p<0.05) antara tingkat kesukaan
dengan frekuensi konsumsi fast food. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kesukaan (sangat
suka) maka frekuensi konsumsi fast food semakin sering.
DETERMINAN OBESITAS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR
Secara nasional masalah gemuk pada anak usia sekolah (5-12 tahun) masih tinggi yaitu
18,8%, terdiri dari gemuk 10,8 % dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 %. Sebanyak 13 provinsi
dengan prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Jawa
Timur, Banten, Kalimantan Timur, JawaBarat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera
Selatan, Jambi, Papua, Bengkulu, dan Bangka Belitung (Riskesdas, 2018). Faktor-faktor yang
dapat memperburuk keadaan gizi pada anak usia sekolah adalah perilaku dalam memilih
serta menentukan jenis makanan yang mereka sukai. Anak - anak sering kali salah dalam
memilih makanan, terutama apabila tidak adanya pengawasan serta petunjuk yang benar
dari orang tua dalam memilih makanan yang sehat. Pada anak usia sekolah, kebanyakan dari
mereka sangat gemar untuk jajan diluar karena sudah menjadi kebiasaan yang dibawanya
dari rumah atau bisa juga kerena pengaruh dari teman. Karna sudah terbiasa membeli
jajanan, maka hal ini dapat membuat anak merasa enggan untuk memakan makanan yang
sudah disediakan lengkap kandungan nilai gizinya oleh orangtua mereka dirumah.
Sebaliknya, anak – anak cenderung lebih menyukai jenis makanan jajanan yang biasa
mereka beli seperti macam-macam es, snack kemasan, atau makanan dan minuman lain
yang nilai gizinya sangat kurang. Berdasarkan segi praktis, uang saku untuk anak sekolah
bisa dikatakan memberi keuntungan karena orang tua tidak perlu sibuk dalam
mempersiapkan makanan selingan anak (Notoatmodjo, 2008).

Keterbatasan lapangan untuk bermain dan kurangnya fasilitas untuk beraktivitas fisik
menyebabkan anak memilih untuk bermain di dalam rumah. Selain itu, kemajuan teknologi
berupa alat elektronik seperti video games, playstation, televisi dan komputer
menyebabkan anak malas untuk melakukan aktivitas fisik. Faktor-faktor yang dapat
memperburuk keadaan gizi pada anak usia sekolah adalah perilaku dalam memilih serta
menentukan jenis makanan yang mereka sukai.

Kesimpulan :

Hasil penelitian menunjukkan responden yang tidak obesitas di SD IT Robbani Indralaya


sebesar 85,7%. Mayoritas responden dengan aktivitas fisik rendah (64,3%), konsumsi
makanan pokok <3 kali sehari (75,0%), sering sarapan (57,1%) dan jajan (67,9%), serta jarang
konsumsi snack (64,3%) dan fast food (78,6%). Tidak ada hubungan antara aktivitas fisik,
konsumsi makanan pokok, sarapan, konsumsi snack, konsumsi fast food dan jajan dengan
status gizi anak di SD IT Robbani Indralaya (p>0,05).

Anda mungkin juga menyukai