Anda di halaman 1dari 77

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

OPTIMASI BIOTRANSFORMASI SENYAWA EPMS


(ETIL P-METOKSISINAMAT) MENGGUNAKAN
Saccharomyces cerevisiae

SKRIPSI

NONI TRI UTAMI


1112102000056

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

OPTIMASI BIOTRANSFORMASI SENYAWA EPMS


(ETIL P-METOKSISINAMAT) MENGGUNAKAN
Saccharomyces cerevisiae

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi

NONI TRI UTAMI


1112102000056

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2016

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRAK

Nama : Noni Tri Utami


Program studi : S-1 Farmasi
Judul : Optimasi Biotransformasi Senyawa EPMS
(Etil p-metoksisinamat) menggunakan Saccharomyces
cerevisiae

Biotransformasi merupakan proses perubahan suatu senyawa menjadi senyawa


turunannya yang strukturnya berbeda dari senyawa asalnya akibat aktivitas
metabolisme suatu mikroorganisme. Kencur (Kaempferia galanga L) memiliki
aktivitas yang beragam seperti antioksidan, antimikroba, antineoplastik, analgesik,
sedatif, antiinflamasi, vasorelaksan dan anti nyamuk. Kandungan metabolit
sekunder yang paling banyak dimiliki kencur adalah etil p-metoksisinamat. Etil
p-metoksisinamat memiliki gugus fungsi ester yang reaktif sehingga mudah untuk
ditransformasikan. Pada penelitian ini dilakukan transformasi etil
p-metoksisinamat dengan metode biotransformasi menggunakan mikroorganisme
Saccharomyces cerevisiae. S. cerevisiae INVSc 1 diremajakan pada medium
padat YEPD selama 5 hari, kemudian dikultur dalam medium cair YEPD. Etil
p-metoksisinamat yang telah diisolasi ditambahkan pada kultur S. cerevisiae.
Proses biotransformasi dilakukan dengan tiga metode yang berbeda (reaksi
bilayer, reaksi dengan bantuan shaker dan reaksi statis) dengan optimasi waktu
biotransformasi 3, 5, 7, 11, dan 18 hari. Selanjutnya dilakukan ekstraksi hasil
reaksi dengan etil asetat dan kemudian dikeringkan dengan vacum rotary
evaporator. Hasil biotransformasi dianalisa dengan kromatografi lapis tipis
(KLT). Hasil analisa menunjukkan ada perbedaan spot KLT antara senyawa
murni dengan hasil biotransformasi. Perbedaan spot menunjukkan bahwa
biotransformasi yang dilakukan terjadi perubahan secara kualitatif.

Kata kunci : Biotransformasi, kencur (Kaempferia galanga L),


Saccharomyces cerevisiae

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRACT

Name : Noni Tri Utami


Major : Bachelor of Pharmacy
Title : Optimation Biotransformation of EPMC
(Ethyl p-methoxycinnamate) By Saccharomyces cerevisiae

Biotransformation is a convertion proccess of compound into its derivatives that


have different structure from its original compound as a result from the metabolic
activity of a microorganism. Kencur (Kaempferia galanga L) has been reported to
have a lot of activities such as antioxidant, antimicrobial, antineoplastic,
analgesic, sedative, anti-inflammatory, vasorelaxant and mosquito repellent. The
major secondary metabolites from kencur is ethyl p-methoxycinnamate. Ethyl
p-methoxycinnamate has ester as reactive functional groups, which is easy to be
carried out. In the present study, the transformation of ethyl p-methoxycinnamate
by biotransformation method was carried out by using Saccharomyces cerevisiae.
S. cerevisiae INVSc 1 cultivate on solid medium of YEPD for 5 days, then
cultured in a liquid medium of YEPD. Ethyl p-methoxycinnamate which had been
isolated was added to the culture of S. cerevisiae. Biotransformation process has
been done in three different methods (bilayer reaction, reaction with a shaker and
static reaction) with optimization time of biotransformation 3, 5, 7, 11, and 18
days. Furthermore, the product from biotransformation was extracted with ethyl
acetate and then dried by using vacuum rotary evaporator. Product of
biotransformation was analysed by using thin layer chromatography (TLC). The
result shows that there is a different spot found in TLC between staring material
and product of biotransformation. The different of spot indicate that the
biotransformation already changed within qualitatively.

Keywords: Biotransformation, kencur (Kaempferia galanga L),


Saccharomyces cerevisiae

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis panjatkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi biotransformasi senyawa
EPMS (Etil p-metoksisinamat) menggunakan Saccharomyces cerevisiae”.
Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh
gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK),
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bantuan, dukungan, bimbingan, dan do’a dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap yang telah ikut
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan
kepada:
1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. dan Ibu Zilhadia, M.Si., Apt.
sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, kesabaran,
dan tenaga untuk membimbing, memberi masukan, memberi ilmu, memberi
nasihat, dan memberi dukungan kepada penulis.
2. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, SKM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt. selaku
sekretaris Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan yang
diberikan selama penulis menempuh pendidikan.
5. Kedua orang tua tersayang, bapak Drs. H. B. Priatna, M.Pd dan mama
Hj. Nunung Yuliasri Permana, S.Pd yang tidak pernah berhenti dan lelah
memberikan penulis do’a, kasih sayang, cinta, semangat, dukungan moril
maupun materil, dan motivasi pada penulis hingga saat ini. Terimakasih atas

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


segala perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan, semoga Allah SWT
membalasnya dengan surga.
6. Kakak-kakak tercinta Bahar Bayu Pratama S.Kep, Veni Suci Meilawati
Am.Keb, Serka Riki Purniawan dan Tri Aprilia Suryani S.P yang selalu
memberikan penulis semangat, dukungan dan arahan. Kedua keponakan yang
selalu memberikan keceriaan dan semangat Maraditha Azzalea Qotrunnada
dan Anindya Salsabil Pratama.
7. Kak Walid, Kak Eris, Kak Yaenab, Bang Soleh. Terimakasih telah membantu
penulis selama penelitian di Laboratorium.
8. Teman-teman tercinta Nita Fitriani, Denny Bachtiar, Moethia, Nurul Fitri
Rukmana, Ade Rachma I, Siti Windi Hariani, Afina Almas Ghasani, Hary
Abdul Rahman, Fenny, Azmi Indillah, Risha, kaka Haidar yang tak pernah
lelah untuk memberikan semangat dan dukungan untuk penulis.
9. Teman Seperjuangan “Kingdom Luar Biasa” Beny, Putri, Gilman, Tantowi,
Atul, Ani, Elsa. Serta teman-teman sepermikrobiologi Laboratorium PNA,
Laboratorium PMC Rema, Yolan dan Sani yang telah memberikan bantuan
dan semangat. Terimakasih telah saling menyemangati selama perjuangan
skripsi.
10. Geng Arisan, Listia, Nurul dan Yoga, terimakasih telah mengisi semangat
penulis saat semangat penulis menurun.
11. Keluarga besar HMI Komfakdik, LKMI Ciputat, Chalila, Ayu Nop, Nanur,
Rakha, Tharlis, Syifa, Entin yang selalu menemani dan menyemangati
penulis selama penelitian.
12. Pengmas luar biasa, Okin, Aisyah, Ririn, Jida, Nabila dan Rijal yang selalu
menyemangati penulis dan memberikan kebahagiaan selama penulis
penelitian.
13. Teman-teman Program Studi Farmasi Angkatan 2012 yang telah banyak
memberikan cerita indah selama penulis penelitian atau selama perkuliahan
14. Serta pihak-pihak lain yang telah membantu selama penelitian dan
penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang
namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh Karena itu saran serta kritik yang membangun sangat
diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya. Amin Ya Robbal’alamin.

Ciputat, September 2016

Penulis

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
DAFTAR ISTILAH ..........................................................................................xviii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Hipotesis .............................................................................................. 3
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 4
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kencur (Kaempferia galanga L) ........................................................... 5


2.1.1 Klasifikasi Kencur ................................................................................ 5
2.1.2 Penyebaran dan Nama Lain Kencur ..................................................... 6
2.1.3 Deskripsi Kencur .................................................................................. 6
2.1.4 Bentuk dan Kultivar Kencur ................................................................. 6
2.1.5 Kandungan Kencur ............................................................................... 7
2.1.6 Fungsi dan Aktivitas Farmakologi Kencur .......................................... 8
2.2 Metabolit Sekunder ............................................................................... 9
2.2.1 Etil p-metoksisinamat (EPMS) ............................................................. 10
2.3 Saccharomyces cerevisiae .................................................................... 11
2.3.1 Taksonomi dan Tata Nama S. cerevisiae .............................................. 12
2.4 Biotransformasi ..................................................................................... 12
2.5 Kromatografi ......................................................................................... 13
2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis ...................................................................... 14
2.5.2 Gas chromatography mass spectrometry.............................................. 15

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 16

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3.1.1 Tempat .................................................................................................. 16
3.1.2 Waktu .................................................................................................... 16
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 16
3.2.1 Alat ........................................................................................................ 16
3.2.2 Bahan Uji .............................................................................................. 16
3.3 Prosedur Penelitian ............................................................................... 17
3.3.1 Pengambilan Sampel ............................................................................. 17
3.3.2 Determinasi Tumbuhan ......................................................................... 17
3.3.3 Penyiapan Bahan dan Alat untuk Ekstraksi .......................................... 17
3.3.4 Ekstraksi Kencur ................................................................................... 17
3.3.5 Identifikasi Senyawa Etil p-metoksisinamat ......................................... 18
3.3.5.1 Pengujian secara Organoleptis .............................................................. 18
3.3.5.2 Pengujian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ............................. 18
3.3.5.3 Pengujian dengan Gas chromatography mass spectrometry ................ 18
3.3.6 Persiapan Medium ................................................................................ 18
3.3.6.1 Medium Padat ....................................................................................... 18
3.3.6.2 Medium Cair ......................................................................................... 19
3.3.7 Proses Peremajaan Kembali S. cerevisiae ........................................... 19
3.3.8 Identifikasi secara Mikroskopis dan Makroskopis S. cerevisiae .......... 19
3.3.8.1 Mikroskopis .......................................................................................... 19
3.3.8.2 Makroskopis .......................................................................................... 20
3.3.9 Proses Pengkulturan S. cerevisiae......................................................... 20
3.3.10 Proses Pengambilan S. cerevisiae pada Fase Mid-log .......................... 20
3.3.11 Proses Biotransformasi ......................................................................... 20
3.3.11.1 Reaksi Bilayer ....................................................................................... 20
3.3.11.2 Reaksi dengan Bantuan Shaker ............................................................. 21
3.3.11.3 Reaksi secara Statis ............................................................................... 21
3.3.12 Ekstraksi Hasil Biotransformasi ........................................................... 21
3.3.12.1 Ekstraksi Reaksi dengan Bantuan Shaker dan Reaksi secara Statis .... 21
3.3.12.2 Ekstraksi Reaksi Bilayer ....................................................................... 22
3.3.13 Analisa Hasil Biotransformasi .............................................................. 22
3.3.13.1 Analisa dengan KLT ............................................................................. 22

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tumbuhan dan Penyiapan Ekstraksi ................................ 23


4.2 Ekstraksi Kencur ................................................................................... 23
4.3 Identifikasi Senyawa Etil p-metoksisinamat ......................................... 24
4.3.1 Pengujian secara Organoleptis .............................................................. 24
4.3.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .......................................................... 24
4.3.3 Gas Chromatography Mass Spectrometry ............................................ 25
4.4 Identifikasi S. cerevisiae ....................................................................... 26
4.5 Proses Biotransformasi ......................................................................... 28
4.6 Ekstraksi Hasil Biotransformasi ........................................................... 33
4.7 Analisa Hasil Biotransformasi .............................................................. 34

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 38


5.2 Saran ..................................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 39

LAMPIRAN ....................................................................................................... 44

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Rimpang kencur (Kaempferia galanga L) .................................. 5
Gambar 2.2. Tumbuhan kencur (Kaempferia galanga L) ................................ 5
Gambar 2.3. Struktur kimia komponen kencur ................................................ 8
Gambar 2.4. Struktur etil p-metoksisinamat .................................................... 10
Gambar 2.5. Jalur sikhimat untuk menghasilkan EPMS .................................. 11
Gambar 2.6. S. cerevisiae ................................................................................. 12
Gambar 4.1. Serbuk simplisia kencur .............................................................. 23
Gambar 4.2. Kristal etil p-metoksisinamat ....................................................... 24
Gambar 4.3. KLT kristal etil p-metoksisinamat ............................................... 25
Gambar 4.4. Interpretasi GCMS senyawa isolat etil p-metoksisinamat
yang dianalisa .............................................................................. 26
Gambar 4.5. S. cerevisiae secara makroskopis ................................................ 27
Gambar 4.6. Morfologi S. cerevisiae secara makroskopik dan mikroskopik.. 28
Gambar 4.7. Medium cair YEPD dengan S. cerevisiae ................................... 30
Gambar 4.8. Hasil KLT reaksi uji dengan bantuan shaker 1C......................... 35
Gambar 4.9. Hasil KLT reaksi bilayer 3A ....................................................... 37

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 4.1. Data optimasi proses biotransformasi ............................................... 31

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Alur Penelitian ........................................................................ 44
Lampiran 2. Isolasi Etil p-metoksisinamat .................................................. 45
Lampiran 3. Komposisi medium yang digunakan ...................................... 46
Lampiran 4. Tabel Pembuatan Medium YEPD .......................................... 47
Lampiran 5. Surat Determinasi Tanaman Kencur Kaempferia galanga L . 48
Lampiran 6. Perhitungan rendemen hasil ekstraksi kencur......................... 49
Lampiran 7. Perhitungan nilai Rf kristal etil p-metoksisinamat hasil
isolasi dari kencur ................................................................... 49
Lampiran 8. Hasil analisa GCMS senyawa isolat etil p-metoksisinamat
dan senyawa etil p-metoksisinamat literatur........................... 50
Lampiran 9. S. cerevisiae secara mikroskopik ............................................ 53
Lampiran 10. Hasil pengamatan proses peremajaan dan inkubasi
selama 5 hari ........................................................................... 54
Lampiran 11. Data proses biotransformasi ................................................... 56
Lampiran 12. Perhitungan nilai Rf hasil reaksi shaker ................................. 59
Lampiran 13. Perhitungan nilai Rf hasil reaksi bilayer ................................. 59

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISTILAH

DMSO Dimethyl Sulfoxide


EPMS Etil p-metoksisinamat
GCMS Gass Chromatography Mass Spectrometry
KLT Kromatografi Lapis Tipis
UV Ultra Violet
YEPD Yeast Extract Peptone Dextrose

xviii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai ribuan jenis
tanaman yang tumbuh subur di setiap pulaunya. Beragamnya tanaman tersebut
memungkinkan beragam pula tanaman yang berkhasiat obat. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) telah menyatakan bahwa pengobatan tradisional pada masa kini dan
mendatang akan tetap digunakan oleh dua pertiga penduduk dunia dengan
memanfaatkan sumber daya alam yang potensial berupa tanaman berkhasiat obat
(Wijayakusuma, 2000). Menurut resolusi Promoting the Role of Traditional
Medicine in Health System : Strategy for the African Region, sekitar 80%
masyarakat di negara-negara anggota WHO (World Health Organization) di
Afrika menggunakan obat tradisional untuk keperluan kesehatan. Begitu juga di
Asia, penggunaan obat tradisional terus meningkat walaupun banyak tersedia dan
beredar obat-obat entitas kimia (Ditjen PEN/MJL/81/IX/2014).
Salah satu tanaman obat berkhasiat yang sering digunakan sebagai obat
tradisional dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak ditanam di
Indonesia, Cina, Malaysia dan India adalah Kaempferia galanga L atau kencur
(Zingiberaceae) (Indrayan et al., 2007). Ekstrak kencur telah diketahui memiliki
aktivitas sebagai antioksidan (Rao V dan Kaladhar, 2014), antimikroba
(Tewtrakul et al., 2005), antineoplastik (Koh 2009 dalam Umar 2011), analgesik
(AM Vittalrao et al., 2011), anti-inflamasi (Umar et al., 2012), sedatif (Huang et
al., 2008), vasorelaksan (Othman et al., 2004), nematisidal, anti nyamuk dan
larvasida (Dhandapani et al., 2011).
Kandungan metabolit sekunder ekstrak kencur antara lain 1,21-
docosadiene 1.47%, asam tridekanoat 1.81%, pentadekan 2.08%, asam propionat
4.71%, beta sitosterol 9.88% (Umar et al., 2012) dan yang paling utama yaitu etil
p-metoksisinamat 31.77% (Tewtrakul et al., 2005). Etil p-metoksisinamat ini
termasuk ke dalam golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan
gugus metoksi yang bersifat non polar dan juga gugus karbonil yang mengikat etil
yang bersifat sedikit polar (Setyawan et al., 2012). Etil p-metoksisinamat

1 UIN Syarif Hidayatulla Jakarta


2

merupakan bahan dasar yang potensial untuk sintesis turunan sinamat karena
memiliki gugus fungsi ester yang reaktif sehingga sangat mudah
ditransformasikan menjadi gugus fungsi yang lain seperti gugus amina (Barus,
2009).
Mikroorganisme seperti bakteri dan jamur telah digunakan selama
beberapa dekade untuk memproduksi bahan kimia, produk farmasi dan parfum.
Mikroorganisme juga mampu mendegradasi polutan dan memulihkan kembali
lingkungan yang terkontaminasi bahan kimia (Boaventura et al., 2004).
Penggunaan mikroba atau proses enzimatik dari mikroorganisme mampu
memproduksi senyawa yang efektif, aman, dan lebih baik jika dibandingkan
dengan bahan kimia sintesis (Sales et al., 2014).
Penggunaan mikroorganisme dalam memodifikasi struktur kimia disebut
biotransformasi (Sales et al., 2014). Metode biotransformasi memiliki keuntungan
antara lain : dapat dilakukan dalam sistem berair dan pada pH netral, untuk
menghindari penggunaan bahan kimia (pelarut) (green chemistry),
mikroorganisme dapat melakukan reaksi yang lebih besar yang beberapa bahan
kimia sintesis tidak dapat lakukan (Boaventura et al., 2004).
Penelitian-penelitian biotransformasi juga telah banyak dilakukan, seperti
biotransformasi myrcene menggunakan Pseudomonas aeruginosa dalam
penelitian Esmaeili et al (2011) dengan hasil biotransformasi dihydrolinalool dan
2,6-dimethyloctane, biotransformasi etil p-metoksisinamat dari Kaempferia
galanga L menggunakan Aspergillus niger dengan hasil biotransformasi etil
p-hidroksisinamat dalam penelitian Hasali et al (2013), biotransformasi metabolit
sekunder utama (senyawa x) dari ekstrak n-heksan kencur (Kaempferia galanga
L) oleh jamur Aspergillus niger ATCC 6275 dalam penelitian Sukmawati (2013)
dengan hasil yang menunjukkan bahwa jamur Aspergillus niger tidak mampu
mentransformasikan metabolit sekunder utama kencur.
Mikroorganisme lain yang biasa digunakan dalam biotransformasi adalah
Saccharomyces cerevisiae. Mikroorganisme ini memiliki kelebihan yaitu
menguntungkan secara ekonomis, ramah lingkungan (Lenke dan Schmid, vol IV),
mudah mendapatkannya dan sejarah panjang penggunaan yang aman dalam
industri makanan (Sales et al., 2014). Penelitian biotransformasi telah banyak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

dilakukan menggunakan S. cerevisiae. Kemampuan S. cerevisiae yang telah


diketahui dalam biotransformasi yaitu dapat mereduksi suatu senyawa dan
menghasilkan senyawa transformasinya, seperti kumarin (xanthotoxin dan
braylin) yang direduksi membentuk senyawa 5,6-dihydro-9-methoxy-7H-
furobenzopyran-7-one dan 3',4'-dihydrobraylin (Sales et al., 2014).
Kencur dengan metabolit sekunder utama yaitu etil p-metoksisinamat
sangat melimpah ketersediaannya di Indonesia dan memiliki banyak aktivitas
farmakologis. Ketersediaan dan kegunaan yang melimpah dari kencur (etil p-
metoksisinamat), maka transformasi struktur dari etil p-metoksisinamat ini
sangatlah diperlukan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi efektivitas
yang lebih baik dan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah senyawa
yang berpotensi tinggi dalam bidang farmasi.
Transformasi etil p-metoksisinamat (EPMS) dapat dilakukan oleh
mikroorganisme. Mikroorganisme yang berkemungkinan dapat mentransformasi
EPMS adalah S. cerevisiae, dengan memanfaatkan proses enzimatis dari
mikroorganisme tersebut dan kemampuannya dalam mereduksi (Grogan, 2009),
dengan melihat juga keamanan dan kemudahan dalam menggunakan S. cerevisiae,
maka dilakukanlah penelitian dengan judul “Optimasi biotransformasi senyawa
EPMS (Etil p-metoksisinamat) menggunakan Saccharomyces cerevisiae”.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah S. cerevisiae dapat melakukan biotransformasi etil
p-metoksisinamat (EPMS) yang diisolasi dari kencur ?

1.3 Hipotesis
S. cerevisiae dapat melakukan biotransformasi etil p-metoksisinamat
(EPMS) yang diisolasi dari kencur.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

1.4 Tujuan Penelitian


1. Melakukan optimasi biotransformasi etil p-metoksisinamat (EPMS)
dengan bantuan S. cerevisiae
2. Melakukan analisa hasil produk reaksi secara kualitatif dengan
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT)

1.5 Manfaat Penelitian


1. Memberikan informasi mengenai biotransformasi EPMS menggunakan
S. cerevisiae.
2. Menghasilkan metode “green chemistry” atau metode yang lebih aman
dan ramah lingkungan dalam hal mentransformasi suatu senyawa.
3. Menghasilkan suatu senyawa baru hasil biotransformasi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kencur (Kaempferia galanga L)

(1) (2)

Gambar 2.1. Gambar 2.2.


(1) Rimpang dan (2) tumbuhan kencur (Kaempferia galanga L)
(Sumber : Koleksi Pribadi)

2.1.1 Klasifikasi Kencur


Kencur diklasifikasi berdasarkan Integrated Taxonomic Information
System (ITIS) :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridaeplantae
Infrakingdom : Streptophyta
Divisi : Tracheophyta
Subdivisi : Spermatophytina
Infradivisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Superordo : Lilianae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaempferia galanga L

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

2.1.2 Penyebaran dan Nama Lain Kencur


Penyebaran tanaman kencur hampir di setiap daerah di Indonesia, tidak
hanya di Indonesia saja, kencur tumbuh dan berkembang di Asia dengan kondisi
alam yang tropis termasuk Cina Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia dan India.
Istilah kencur atau nama lain kencur di berbagai negara berbeda-beda sebutannya,
seperti : Ekangi (Bengali), Sa geung (Cina), Kunchor/ Cekur (Malaysia), Maraba
(Rusia), Ueang din (Thailand), Cam dia la (Vietnam), Dusol (Filipina), Kencur
(Indonesia) (nag dan mandal, 2015). Di Indonesia tidak hanya kencur sebutan
untuk Kaempferia galanga L ini, di berbagai daerah di Indonesia memiliki
sebutan masing-masing : ceuko (Aceh), cakua (Minangkabau), bataka (Ternate
dan Tidore), ceku (Bugis), cekuh (Bali), cekur (Lombok), cikur (Sunda), cekuru
(Makasar), kopuk (Mentawai), cekir (Sumba), sahulu (Ambon), ukap (Irian),
assuli (Ambon), kencor (Madura), kencur (Jawa), cokur (Lampung) (Sukmawati,
2013 dan Barus, 2009).

2.1.3 Deskripsi Kencur


Kencur merupakan tanaman tropis yang banyak digunakan dan tumbuh di
berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara. Tanaman ini
banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai bumbu masak
sehingga banyak sekali para petani membudidayakan kencur (bagian rimpang atau
rizoma) sebagai hasil pertanian yang diperdagangkan dalam jumlah yang besar
(Barus, 2009).

2.1.4 Bentuk dan Kultivar Kencur


Kencur adalah herba atau terna aromatik berbatang semu pendek dan tidak
berbatang tergolong ke dalam famili Zingiberaceae (temu - temuan). Pembeda
utama kencur dengan tanaman temu-temuan lainnya adalah daunnya yang
menutup tanah. Jumlah daun antara 2-3 helai yang letaknya saling berlawanan.
Rimpangnya kokoh, bercabang banyak, rapat seperti umbi, tidak berserat, dan
diameternya sampai 1,5 cm. Kulit rimpang berwarna coklat mengkilap, licin, dan
tipis sekali. Rimpang jika dipotong melintang, bagian tengahnya berwarna putih

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

dan berempulur transparan. Kencur termasuk tanaman dengan akar banyak,


berdaging, dan bagian ujungnya menggembung lonjong seperti telur atau bulat.
Daun kencur tumbuh mendatar dan bertangkai sangat pendek sehingga
terlihat hampir rata sejajar dengan permukaan tanah. Daunnya berdaging agak
tebal, berbentuk elips, melebar. Panjang daun berukuran 10-12 cm dengan lebar
8-10 cm memiliki sirip daun yang tipis dari pangkal daun (Backer, C. A. dalam
Barus, 2009). Sering ditemukan daun-daun yang bertepi warna merah kecoklatan.
Kencur dibagi menjadi 2 bagian menurut jenis daunnya, yaitu kencur
berdaun lebar dan kencur berdaun sempit. Jenis kencur ini kultivarnya dapat
ditemukan di Jawa Tengah yang dikenal diantaranya kencur boro (daun lebar),
kencur kalipare, kencur ketawang, kencur arjosari dan kencur kopral.
Bunga kencur tergolong bunga sempurna yaitu memiliki benang sari dan
putik. Bunga kencur berwarna putih dengan bibir bunga berwarna ungu dan
berbau harum dengan jumlah 4-12 dan tumbuh di antara helaian daun yang
letaknya di atas. Kelopak dan mahkota bunga jumlahnya 3 helai dan bakal buah
tenggelam. Bunga kotak beruang 3, berkelep 3 dan bijinya beraril (Afriastini,
2002 dalam Sukmawati 2013).

2.1.5 Kandungan Kencur


Ekstrak minyak atsiri kencur memiliki kandungan α-pinen (1.28%),
kamphen (2.47%), karvon (11.13%), benzen (1.33%), eucalyptol (9.59%), borneol
(2.87%), metil sinamat (23.23%), pentadekana (6.41%) dan etil-p-metoksisinamat
(31.77%). Komponen lain yang diindikasi merupakan kandungan utama adalah
β-phyllandrene, α-terpineol, etil sinamat dan dihidro β-seskuipilandren (Tewtrakul
et al., 2005). Selain itu, kandungan ekstrak metanol kencur terdapat sineol,
borneol, 3-karen, kamphene, kaempferol, sinamaldehid, asam p-metoksisinamat
dan etil p-metoksisinamat (Dhandapani et al., 2011).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

Gambar 2.3. Struktur kimia komponen kencur


(1) etil sinamat (2) etil p-metoksisinamat (3) p-metoksistiren (4) karen (5) borneol
dan (6) parafin
(Sumber : Barus, 2009)

2.1.6 Fungsi dan Aktivitas Farmakologi Kencur


Ekstrak metanol kencur menunjukkan efek toksisitas yang cukup tinggi
terhadap larva dan pupa nyamuk Anopheles stephensi atau bisa disebut memiliki
aktivitas larvasidal dan pupisidal (Dhandapani et al., 2011). Ekstrak etanol kencur
juga menunjukkan aktivitas antibakterial dan antifungi yang baik terhadap
Staphylococcus aureus (P, K., 2012). Menurut Tewtrakul et al. (2005) minyak
atsiri kencur memiliki aktivitas antimikrobial terhadap bakteri gram positif
(Staphylococcus aureus ATCC 25923, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis),
bakteri gram negatif (Salmonella typhi, Shigella flexneri, Escherichia coli ATCC
25922) dan terhadap fungi (Candida albicans). Ekstrak heksan kencur juga
memiliki aktivitas sedatif (Huang et al., 2008). Selain itu, etil sinamat yang
merupakan salah satu komponen utama kencur memiliki efek vasorelaksan yang
berguna untuk hipertensi, atau bisa juga untuk pengobatan lainnya, seperti angina,
asma, dan bentuk kejang otot secara umum lainnya (Othman et al., 2002).
Rimpang kencur juga digunakan di berbagai daerah untuk indikasi-
indikasi umum seperti sakit kepala, sakit gigi, batuk, rematik, tapal pada luka dan
memar, sakit dada dan konstipasi (Othman et al., 2002). Pada pengobatan
tradisional lainnya, kencur disebutkan dalam penelitian Umar et al. (2012) untuk
disentri, diare dan gangguan perut. Kencur juga memiliki efek lain selain yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

telah disebutkan sebelumnya, yaitu efek anti neoplasma, anti alergi, antioksidan,
analgesik dan antiinflamasi (Umar et al., 2012).

2.2 Metabolit Sekunder


Tanaman mensintesis berbagai macam senyawa organik yang secara
tradisional diklasifikasikan sebagai metabolit primer dan sekunder. Metabolit
primer adalah senyawa yang memiliki peran penting terkait dengan fotosintesis,
respirasi dan pertumbuhan dan perkembangan, diantaranya fitosterol, asam lipid,
nukleotida, asam amino dan asam organik. Fitokimia lainnya banyak terakumulasi
dalam konsentrasi yang sangat tinggi dalam beberapa spesies yang disebut dengan
metabolit sekunder. Metabolit sekunder sangat penting karena dapat digunakan
sebagai serat, perekat, pewarna, minyak, lilin, agen penyedap, obat dan parfum
dan mereka disebut sebagai sumber potensial untuk obat alami baru, antibiotik
dan herbisida (Crozier et al., 2007), tidak hanya itu metabolit sekunder penting
karena berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup suatu spesies
penghasilnya misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks serangga, dan
feromon (Manitto, 1992). Menurut Herbert (1995) metabolit sekunder adalah
senyawa metabolit tidak esensial untuk kehidupan, tetapi penting bagi organisme
yang menghasilkannya.
Berdasarkan asal biosintesis, metabolit sekunder dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok besar, yaitu :
1. Senyawa flavonioid, fenolat dan polifenolat
2. Terpenoid
3. Alkaloid yang mengandung nitrogen dan senyawa yang mengandung
sulfur (Crozier et al., 2007)
Berbeda dengan vitamin, metabolit sekunder tidak menunjukkan
aktivitasnya pada penggunaan jangka pendek, namun pada penggunaan jangka
panjang memiliki aktivitas pada penderita kanker dan penyakit kronis termasuk
jantung dan diabetes tipe II (Crozier et al., 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

2.2.1 Etil p-metoksisinamat (EPMS)


Etil p-metoksisinamat merupakan produk alam yang berada pada kencur
dengan jumlah yang besar. Etil p-metoksisinamat ini memiliki gugus fungsi yang
reaktif sehingga sangat mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi yang lain,
selain itu isolasi dan pemurniannya dapat dilakukan dengan mudah (Barus, 2009).

Gambar 2.4. Struktur etil p-metoksisinamat


(sumber : Bangun, 2011)

Etil p-metoksisinamat dari rimpang kencur termasuk ke dalam senyawa


ester yang mengandung cincin benzen dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar
dan juga gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga
dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang memiliki variasi
kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air dan n-heksan (Barus, 2009).
Menurut Bangun (2011) etil p-metoksisinamat (EPMS) dapat di isolasi secara
perkolasi menggunakan pelarut etanol. Pemurnian dari hasil ekstraksi dapat
dilakukan dengan proses rekristalisasi menggunakan pelarut etanol.
Etil p-metoksisinamat ini merupakan senyawa aktif yang bisa digunakan
sebagai tabir surya dengan proses perlakuan penurunan kepolaran EPMS nya
(Barus, 2009., Windono et al., 1997), memiliki kemampuan antiinflamasi non
selektif menghambat COX-1 dan COX-2 secara invitro (Umar et al., 2012). Etil
p-metoksisinamat merupakan senyawa turunan asam sinamat dengan jalur
biosintesis senyawa etil p-metoksisinamat adalah melalui jalur biosintesis asam
sikhimat (Bangun, 2011). Asam sinamat memiliki berbagai aktivitas biologis
seperti antibakteri, anastetik, antiinflamasi, antispasmodik, fungisida, herbisida
serta penghambat enzim tirosinase (Hartanti dan Setiawan, 2009 dalam Aulia,
2015).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

B C

Gambar 2.5. Jalur sikhimat untuk menghasilkan EPMS


Keterangan gambar : (A) 3-Dehydroquinate dehydratase, (B) Phenyl ammonium
lyase, (C) Cinnamate 4-hydroxylate
(Sumber : Bangun 2011)

2.3 Saccharomyces cerevisiae


Saccharomyces cerevisiae adalah organisme eukariotik bersel tunggal dan
salah satu bentuk sederhana dari eukariotik. S. cerevisiae telah banyak digunakan
sebagai model pada proses biokimia eukariotik dan genetik.
S. cerevisiae telah sangat dikenal dalam hal pembuatan roti dan bir dalam
bidang bioteknologi, dan ketersediaannya pun sangat tinggi sehingga mudah
untuk diaplikasikan dalam dua hal tersebut, kemampuan lainnya yaitu untuk
mengkatalisasi reduksi enantioselektif pada gugus karbonil menggunakan
aktivitas dehidrogenase alkohol. Yeast yang lain, khususnya strain non-patogen
candida, digunakan juga untuk reaksi reduksi dan juga menghasilkan enzim

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

seperti format dehidrogenase, salah satu enzim yang paling penting dalam teknik
recycling kofaktor (Grogan, 2009).

Gambar 2.6. S. cerevisiae. Keterangan : (a) Freeze-dried S. cerevisiae, (b)


S. cerevisiae secara makroskopik
(sumber : Grogan 2009 dan koleksi pribadi)

2.3.1 Taksonomi dan Tata Nama S. cerevisiae


Sinonim : Candida robusta, Saccharomyces ellipsoideus
Taksonomi dari S. cerevisiae berdasarkan Integrated Taxonomic
Information System (ITIS) adalah :
Kingdom : Fungi
Subkingdom : Dikarya
Divisi : Ascomycota
Subdivisi : Saccharomycotina
Kelas : Saccharomycetes
Sub kelas : Saccharomycetidae
Ordo : Saccharomycetales
Famili : Saccharomycetaceae
Genus : Saccharomyces
Spesies : Saccharomyces cerevisiae

2.4 Biotransformasi
Biotransformasi didefinisikan sebagai pengubahan suatu senyawa menjadi
senyawa turunannya yang strukturnya berbeda dari senyawa asalnya akibat
aktivitas metabolisme suatu mikroorganisme (Lu et al., 2000 dalam Rahman

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

2009). Menurut Grogan (2009) biotransformasi merupakan suatu proses


perubahan atau transformasi substrat untuk produk akhir yang dapat dipulihkan
kembali dengan baik oleh mikroba atau secara enzimatik.
Proses biotransformasi sangat berkaitan dengan penggunaan enzim untuk
mengubah suatu substrat ke dalam suatu produk melalui langkah-langkah yang
kompleks dan pembentukan semua proses biotransformasi dibutuhkan
perkembangan biokatalisator, media reaksi dan bioreaktor yang optimal (Cabral,
2002). Jenis reaksi pada suatu senyawa yang mengalami biotransformasi yaitu
oksidasi, reduksi, hidrolisis, konjugasi, asetilasi, dehidrogenasi, hidroksilasi,
dehidrasi, kondensasi, dekarboksilasi, deaminasi, aminasi, isomerisasi dan
metilasi (Rosazza 2000., dalam Rahman 2009 dan Walker 2002).
Mikroorganisme merupakan agen biokatalitik yang paling efisien dengan
kemampuannya dalam memetabolisme berbagai substrat (Srivastava et al., 2009).
Seperti yang telah dilakukan dalam penelitian terdahulu mengenai kemampuan
biotransformasi oleh S. cerevisae, yaitu biotransformasi mogrosida dari Siraitia
grosvenorii Swingle, penelitian ini menunjukkan bahwa S. cerevisiae dapat
memodifikasi triterpenoid saponin yang ada dalam buah Siraitia grosvenorii
(Chiu et al., 2013). Pada penelitian lainnya yaitu biotransformasi kumarin oleh
S. cerevisiae yang menunjukkan terjadinya reduksi Kumarin oleh S. cerevisiae
dengan sistem bifase hasilnya adalah reduksi pada furanokumarin dengan produk
yang teridentifikasi yaitu 5,6-dihydro-9-methoxy-7H-furo[3,2-g] benzopyran-7-
one dan biotransformasi dari piranokumarin menghasilkan 3’,4’-dihydrobraylin
(Sales et al., 2014).

2.5 Kromatografi
Kromatografi merupakan cara pemisahan zat khasiat dan zat lain yang ada
dalam sediaan dengan jalan penyarian berfraksi, penyerapan atau penukaran ion
pada zat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh
dapat digunakan untuk uji identifikasi atau penetapan kadar. Kromatografi yang
sering digunakan adalah kromatografi kolom, kromatografi kertas, kromatografi
lapis tipis, dan kromatografi gas. Zat penyerap yang digunakan selain kertas, ada
zat penyerap berpori misalnya alumunium oksida yang diaktifkan, asam silikat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

atau silika gel, kiselgur dan harsa sintetik. Zat tersebut dapat digunakan sebagai
penyerap tunggal atau campuran atau sebagai penyangga zat lain. Kromatografi
kertas dan kromatografi lapis tipis umumnya lebih berguna untuk uji identifikasi
karena cara ini khas dan mudah dilakukan untuk zat dengan jumlah sedikit.
Kromatografi gas memerlukan alat yang lebih rumit tetapi cara tersebut sangat
berguna untuk uji identifikasi dan penetapan kadar (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979).

2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi lapis tipis merupakan metode analisis yang sangat lama dan
telah terbukti akurat dalam penggunaannya. Selama lebih dari 30 tahun telah
terbukti dan menduduki posisi paling atas untuk analisis kualitatif khususnya.
Syarat penting dalam penggunaan kromatografi lapis tipis adalah zat atau
campuran zat yang akan dianalisis harus larut dalam pelarut atau campuran
pelarut. Kromatografi lapis tipis ini digunakan pada saat kondisi :
1. Zat yang mudah menguap atau volatilitas yang rendah
2. Zat yang sangat polar, polaritas media, non polar atau ionik
3. Sejumlah besar sampel harus di analisis secara bersamaan,
mengefektifkan biaya, dan jangka waktu yang terbatas
4. Sampel yang akan dianalisis akan merusak atau menghancurkan
kolom LC (Liquid Chromatography) atau GC (Gas Chromatography)
5. Pelarut yang digunakan akan merusak sorbents dalam kolom LC
6. Zat dalam material yang akan dianalisis tidak dapat dianalisis oleh LC
atau GC atau hanya dengan kesulitan yang baik
7. Tidak ada sumber listrik yang memungkinkan
8. Komponen dari campuran zat harus dilakukan berbagai metode satu
persatu atau dideteksi secara individual (Hahn-Deinstrop, 2006)
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan senyawa secara
cepat, dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan
serba rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai
kolom kromatografi terbuka dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan,
pembagian atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Harga Rf pada kromatografi
lapis tipis tidak tetap, jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi
kertas. Karena itu diperlukan kromatogram zat pembanding kimia yang dibuat
pada sisi lain lempeng (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

2.5.2 Gas Chromatography – mass spectrometry


Gas chromatography – mass spectrometry (GC-MS) dapat dianggap
sebagai suatu bentuk kromatografi kolom dimana fase bergerak adalah gas yang
disebut gas pembawa. Fase tidak bergerak dapat berupa zat penyerap aktif
misalnya alumina, silika gel atau karbon (kromatografi gas-padat) atau dapat
berupa cairan yang dilapiskan sebagai lapisan tipis pada zat padat penyangga inert
yang halus, misalnya kiselgur, serbuk bata, butir gelas atau bahan lain yang cocok
(kromatografi gas-cair) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
Keunggulan dari kromatografi gas ini adalah kolom yang digunakan dapat
lebih panjang sehingga dapat memberikan hasil efisiensi pemisahan yang tinggi,
analisis relatif cepat dan sensitivitas tinggi karena gas dan uap memiliki viskositas
yang rendah, sehingga kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung
cepat. Reaktivitas fase gas terhadap fase diam dan zat-zat terlarut lebih rendah
dibandingkan fase cair. Kekurangannya hanya pada keterbatasan jenis sampel atau
zat yang dapat dianalisis, karena hanya zat yang mudah menguap saja yang dapat
dianalisis oleh kromatografi ini (Khopkar, 2003).
Sampel yang akan dianalisis diinjeksikan melalui suatu sampel injection
port yang temperaturnya dapat diatur, senyawa-senyawa dalam sampel akan
menguap dan dibawa oleh gas pengemban menuju kolom. Zat terlarut akan
teradsorpsi pada bagian atas kolom oleh fase diam, kemudian merambat dengan
laju rambatan masing-masing komponen yang sesuai dengan nilai koefisien partisi
masing-masing komponen tersebut. Komponen-komponen tersebut terelusi sesuai
dengan urut-urutan makin membesarnya nilai koefisien partisi menuju ke
detektor. Detektor mencatat seluruh sederetan sinyal yang timbul akibat
perubahan konsentrasi dan perbedaan laju elusi. Pada alat pencatat sinyal ini akan
terlihat kurva antara waktu dengan komposisi aliran gas pembawa (Reza, 2015).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


3.1.1 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia,
Laboratorium Analisis Obat dan Pangan Halal, Laboratorium Formulasi Sediaan
Steril, Laboratorium Biologi dan Laboratorium Kimia Obat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.1.2 Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai dengan Juli
2016.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan yaitu gelas kimia, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet
tetes, spatula, batang pengaduk, corong pisah, corong, lemari asam, parafilm,
blender, timbangan analitik, rotary evaporator, labu evaporator, inkubator, vial,
mikropipet, tip, vortex, mikrotube, magnetic stirrer, cawan petri, bunsen, pH
meter, jarum ose, kapas penutup, alumunium foil, laminar airflow, autoklaf,
inkubator shaker, dan gas chromatography mass spectrometry (GCMS).

3.2.2 Bahan Uji


Senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) hasil isolasi dari kencur,
n-heksan, etanol, S. cerevisiae, DMSO, etil asetat, diklorometan, buffer kalium
fosfat/asam sitrat (0.2 M/0.1 M pH 4.5), natrium sulfat, medium yeast extract
peptone dextrose (YEPD) (komposisi medium terlampir pada lampiran 3), agar,
plat KLT, aquadest.

16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Pengambilan Sampel
Sampel kencur diperoleh dari Balitro, Bogor, Jawa Barat. Sampling
dilakukan pada tanggal 19 November dan 3 Desember 2015.

3.3.2 Determinasi Tumbuhan


Determinasi tumbuhan kencur dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang
Botani Pusat Penelitian Biologi – LIPI Bogor pada tanggal 4 Desember 2015.

3.3.3 Penyiapan Bahan dan Alat untuk Ekstraksi


Kencur sebanyak 5.5 kg dibersihkan, dicuci dengan air yang mengalir dan
dirajang setelah itu dijemur ditempat yang tidak terkena sinar matahari, setelah
kencur kering dilakukan sortasi kering dan proses penghalusan dengan
menggunakan blender, dihasilkan simplisia serbuk lalu ditimbang menggunakan
timbangan.

3.3.4 Ekstraksi Kencur


Simplisia serbuk yang telah ditimbang, dimaserasi dengan menggunakan
pelarut n-heksan (hasil destilasi pada suhu 50oC) (Huang et al., 2008) sampai
dapat merendam semua serbuk kencur (dilebihkan sedikit volume rendamannya).
Maserasi (perendaman) dilakukan selama 5 hari dengan sesekali diaduk, setelah
itu dilakukan dua kali penyaringan, pertama menggunakan kapas dan selanjutnya
menggunakan kertas saring, sehingga didapatkan filtrat dan ampas. Ampas yang
didapat dimaserasi kembali dengan n-heksan (hasil destilasi) dan remaserasi ini
dilakukan sampai beberapa kali sampai filtrat tidak keruh, sedangkan filtratnya
dipekatkan dengan rotary evaporator dengan suhu 50oC dan suhu refrigatornya
8oC untuk dipisahkan dari pelarutnya. Hasil filtrat pekat ini diendapkan pada suhu
ruang (25oC) sampai terbentuk kristal, kristal yang terbentuk dimurnikan dengan
n-heksan dan rekristalisasi dengan cara melarutkan kristal dalam n-heksan dan
etanol 96% (Siswanto et al.,). Rendemen kristal yang didapat dihitung dengan
cara (Sukmawati, 2013) :

% rendemen = x 100%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

3.3.5 Identifikasi Senyawa Etil p-metoksisinamat


3.3.5.1 Pengujian secara Organoleptis
Senyawa hasil ekstraksi diidentifikasi secara fisik dengan mengamati
warna, bentuk dan juga bau nya.

3.3.5.2 Pengujian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Senyawa etil p-metoksisinamat dianalisa dengan KLT, eluen yang
digunakan n-heksan : etil asetat (9:1). Spot yang terbentuk kemudian dihitung
nilai Rf nya dan dibandingkan dengan nilai Rf etil p-metoksisinamat murni
(Prabawati, 2015).

3.3.5.3 Pengujian dengan Gas Chromatography Mass Spectrometry


Senyawa etil p-metoksisinamat diidentifikasi dengan menggunakan Gas
Chromatography Mass Spectrometry (GCMS), dengan cara : senyawa etil
p-metoksisinamat dilarutkan dengan pelarut metanol liquid chromatography lalu
diinjekkan ke dalam GCMS dengan kolom HP-5MS (30 m x 0.25 mm ID x 0.25
µm), dengan suhu awal 70oC selama 2 menit, dinaikkan menjadi 285oC dengan
kecepatan 20oC/menit selama 20 menit. Suhu untuk MSD 285oC. Kecepatan alir
Helium 1,2 mL/menit dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari
massa yang rendah sampai massa yang paling tinggi yaitu 35 – 550 (Umar et al.,
2012).

3.3.6 Persiapan Medium


3.3.6.1 Medium Padat
Pembuatan medium padat yaitu dengan cara : semua bahan YEPD agar
(formula terlampir) disuspensikan dalam labu erlenmeyer 1 liter aquadest, lalu
semua bahan diaduk dengan bantuan pemanasan dan stirrer sehingga bahan
homogen dengan sempurna, selanjutnya dilakukan sterilisasi dengan autoklaf
suhu 121oC selama 15 menit. Hasil sterilisasi didinginkan selama 45-60 menit
pada suhu ruang sampai suhunya menjadi 50-60oC. Lalu sebanyak ±15 ml dituang
pada cawan petri yang telah disterilkan sebelumnya, proses penuangan dilakukan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

dalam laminar airflow. Semua perlakuan dilakukan secara aseptis (Sigma Aldrich
dan Current protocols in Molecular Biology, 2008).

3.3.6.2 Medium Cair


Pembuatan medium cair yaitu dengan cara : semua bahan YEPD broth
(formula bahan terlampir) disuspensikan dalam gelas beaker 1 liter aquadest
kemudian diaduk hingga homogen, campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer, tutup dengan sumbat kapas juga plastik dan lakukan sterilisasi dengan
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Dinginkan pada suhu ruang, dan tuang
ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml, proses penuangan dilakukan dalam
laminar airflow. Semua perlakuan dilakukan dalam kondisi steril dan secara
aseptis (Sigma Aldrich dan Current protocols in Molecular Biology, 2008).

3.3.7 Proses Peremajaan Kembali S. cerevisiae


Sebagian kecil S. cerevisiae INVSc1 dari biakan murni di streak pada
medium padat YEPD yang telah disiapkan dalam cawan petri dan telah
didinginkan sebelumnya, lalu inkubasi pada 30oC sampai 5 hari. Koloni yang
terbentuk siap digunakan. Koloni yang belum digunakan dan masih berada dalam
cawan petri dapat disimpan selama 2 bulan pada suhu 4oC dengan melapisi cawan
petri mengunakan parafilm (Yeast protocols handbook, Clontech Laboratories
Inc).

3.3.8 Identifikasi secara Mikroskopis dan Makroskopis S. cerevisiae


3.3.8.1 Mikroskopis
S. cerevisiae diidentifikasi dengan menggunakan NaCl 0.9 %, akuades dan
methylene blue. Diambil 1 sampai 2 ose NaCl 0.9% lalu sebar diatas kaca objek
lalu isolat S. cerevisiae yang telah diremajakan diambil 1 ose dan disebar dengan
memutar diatas NaCl 0.9%, lalu tutup dengan penutup kaca dan lakukan
pengamatan dengan mikroskop, begitu juga untuk pengamatan menggunakan
akuades. Pengamatan menggunakan methylene blue dilakukan dengan cara :
diambil 1 ose NaCl 0.9% lalu sebar diatas kaca objek lalu isolat S. cerevisiae yang
telah diremajakan diambil 1 ose dan disebar dengan memutar diatas NaCl 0.9%,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

lalu keringkan, selanjutnya methylene blue sebanyak 1 tetes ditambahkan


diatasnya dan diputar (naik, turun), bilas dengan akuades dan lakukan pengamatan
dengan mikroskop. Semua perlakuan dilakukan secara aseptis.

3.3.8.2 Makroskopis
S. cerevisiae diidentifikasi dengan mengamati bentuk, warna, dan bau
secara langsung (makroskopis).

3.3.9 Proses Pengkulturan S. cerevisiae


Satu koloni diambil dari cawan petri dan dimasukkan dalam 10ml medium
cair yang telah disiapkan sebelumnya dalam tabung reaksi (larutan inkubasi 1).
Dispersikan sel dengan alat vortex selama 1 menit. Lalu di inkubasi pada suhu
30oC selama 16-18 jam pada shaker 75 mpm (S. cerevisiae pada fase stasionary)
menghasilkan OD600 > 1.5 (Yeast protocols handbook, Clontech Laboratories
Inc).

3.3.10 Proses Pengambilan S. cerevisiae pada Fase Mid-log


Pada larutan inkubasi 1 setelah 12 jam diinkubasi, diambil ±3000 µl
larutan tersebut dan dimasukkan ke dalam 15 ml medium cair yang baru (larutan
inkubasi 2), di cek nilai OD nya hingga mencapai nilai OD600 0.2-0.3
(S. cerevisiae pada fase mid-log) selanjutnya dilakukan inkubasi selama 3-5 jam
pada suhu 30oC dengan shaker 75 mpm, maka nilai OD600 berkisar 0.4-0.6, lalu
larutan inkubasi 2 di sentrifugasi dan didekantasi dihilangkan mediumnya, lalu
endapan ditimbang (Yeast protocols handbook, Clontech Laboratories Inc).

3.3.11 Proses Biotransformasi


3.3.11.1 Reaksi Bilayer
Tabung ependorf steril yang berisi S. cerevisiae yang telah ditimbang, lalu
EPMS yang dibutuhkan dihitung berapa gram yang digunakan dengan cara
membandingkan dengan perbandingan 2 gram S. cerevisiae : 0,2 gram EPMS
(Sales et al, 2014). EPMS dan S. cerevisiae dengan sejumlah gram hasil
perhitungan ditimbang lalu dimasukkan ke dalam pelarut n-heksan/diklorometan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

(95:5) dan ditambahkan buffer kalium fosfat/asam sitrat (0.2 M/0.1 M pH 4.5)
didalam labu erlenmeyer lalu reaksikan diatas magnetic stirrer selama 48 jam
pada suhu ruang.

3.3.11.2 Reaksi dengan Bantuan Shaker


Tabung ependorf steril yang berisi S. cerevisiae yang telah ditimbang, lalu
EPMS yang dibutuhkan dihitung berapa gram yang digunakan dengan cara
membandingkan dengan perbandingan 14 gram S. cerevisiae : 0,2 gram EPMS
(Gideon, 2009). EPMS dengan sejumlah gram hasil perhitungan dilarutkan
dengan salah satu pelarut ±150 µl (etanol 96% atau DMSO) lalu dimasukkan
kedalam tabung ependorf, selanjutnya ditambahkan medium cair YEPD sebanyak
15 ml, tabung diinkubasi dalam inkubator shaker selama 5 hari, 7 hari dan 11 hari
pada suhu 30oC. Larutan hasil biotransformasi diambil setiap harinya dari hari ke
3, sampai hari terakhir inkubasi dan dilakukan proses ekstraksi.

3.3.11.3 Reaksi secara Statis


Tabung ependorf steril yang berisi S. cerevisiae yang telah ditimbang, lalu
EPMS yang dibutuhkan dihitung berapa gram yang digunakan dengan cara
membandingkan dengan perbandingan 14 gram S. cerevisiae : 0,2 gram EPMS
(Gideon, 2009). EPMS dengan sejumlah gram hasil perhitungan dilarutkan
dengan ±150 µl etanol 96% lalu dimasukkan kedalam tabung ependorf,
selanjutnya ditambahkan medium cair YEPD sebanyak 15 ml, tabung diinkubasi
selama 18 hari, pada suhu ruang. Larutan hasil biotransformasi diambil pada hari
ke 18 lalu dilakukan proses ekstraksi.

3.3.12 Ekstraksi Hasil Biotransformasi


3.3.12.1 Ekstraksi Reaksi dengan Bantuan Shaker dan Reaksi secara
Statis
Larutan dan endapan yang terbentuk divortex lalu dipisahkan
menggunakan corong pisah dengan ditambahkan etil asetat, dan diuapkan dengan
vacum rotary evaporator, didapatkan ekstrak hasil biotransformasi (Ferraboschi,
1990).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

3.3.12.2 Ekstraksi Reaksi Bilayer


Larutan dimasukkan kedalam corong pisah, lalu ditambahkan
diklorometan, akan terbentuk 2 lapisan, diambil lapisan paling bawah, keringkan
dengan menambahkan natrium sulfat, dan diuapkan dengan vacuum rotary
evaporator, didapatkan ekstrak hasil biotransformasi (Sales et al, 2014).

3.3.13 Analisa Hasil Biotransformasi


3.3.13.1 Analisa dengan KLT
Ekstrak di analisis dengan KLT fase diam yaitu silica gel Merck 60 F254
dan fase gerak dengan perbandingan 9:1 (n-heksan dan etil asetat). Diamati
dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm (Sukmawati,
2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tumbuhan dan Penyiapan Ekstraksi


Determinasi dilakukan dengan tujuan untuk memastikan kebenaran
tumbuhan yang akan digunakan dalam penelitian. Hasil determinasi menunjukkan
bahwa tumbuhan yang digunakan adalah kencur (Kaempferia galanga L), famili
Zingiberaceae. Hal ini sesuai dengan tumbuhan yang dibutuhkan dalam penelitian
biotransformasi senyawa etil p-metoksisinamat (sertifikat hasil determinasi ada
pada lampiran 5).
Rimpang kencur selanjutnya disiapkan untuk proses ekstraksi atau disebut
dengan pembuatan simplisia. Pembuatan simplisia ini meliputi pembersihan untuk
menghilangkan kotoran yang menempel pada rimpang, perajangan, pengeringan
dan penghalusan. Serbuk simplisia kencur yang didapatkan sebanyak 797 gram
dengan warna kecoklatan (serbuk simplisia pada Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Serbuk simplisia kencur


(sumber : koleksi pribadi)

4.2 Ekstraksi Kencur


Kencur diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut n-heksan
yang telah didestilasi. Destilasi pelarut ini memiliki tujuan agar pelarut yang
digunakan tidak lagi terdapat pengotor. Maserasi dilakukan selama 5 hari dan
disaring menggunakan kapas, selanjutnya menggunakan kertas saring pada corong
saring. Penyaringan ini memiliki tujuan untuk mendapatkan filtrat hasil saringan
yang benar-benar terbebas dari pengotor. Filtrat yang didapatkan berwarna
kekuningan dan ampas sisa penyaringan dimaserasi kembali dengan n-heksan

23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

sampai didapatkan filtrat yang hampir bening. Filtrat ini selanjutnya dipekatkan
pada vacum rotary evaporator. Filtrat pekat yang didapat diendapkan sampai
terbentuk kristal. Proses selanjutnya adalah rekristalisasi dengan pelarut n-heksan
dan etanol 96%. Tujuan dari proses rekristalisasi ini adalah untuk memurnikan
suatu zat dari pengotornya dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut dalam
pelarut yang sesuai (Sukmawati, 2013). Kristal yang didapat diidentifikasi, secara
organoleptis, KLT dan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). Kristal
ditimbang dan dihitung rendemennya, sehingga didapatkan rendemen etil
p-metoksisinamat sebanyak 5.13% (Perhitungan rendemen ada pada lampiran 6).

4.3 Identifikasi Senyawa Etil p-metoksisinamat


Identifikasi senyawa EPMS (etil p-metoksisinamat) dilakukan dengan 3
cara, yaitu pengujian secara organoleptis, KLT dan Gas Chromatography Mass
Spectrometry (GCMS).

4.3.1 Pengujian secara Organoleptis


Senyawa etil p-metoksisinamat yang didapatkan, diidentifikasi secara
organoleptis bentuk, warna dan bau. Hasil pengamatan yang dilakukan adalah
EPMS berbentuk kristal, berwarna putih dengan bau aromatik khas.

Gambar 4.2 Kristal etil p-metoksisinamat


(sumber : koleksi pribadi)

4.3.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Plat silica gel F254 digunakan dalam analisa KLT bertujuan untuk
memonitor spot yang dihasilkan oleh senyawa pada sinar UV dengan panjang
gelombang 254 nm. Perbandingan eluent 9:1 (n-heksan : etil asetat) digunakan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

untuk menarik dan memisahkan etil p-metoksisinamat yang bersifat non polar
dengan senyawa lain.
Nilai Rf etil p-metoksisinamat hasil isolasi dari kencur yaitu 0.5 (Gambar
4.3) dan menghasilkan satu spot tunggal. Berdasarkan nilai Rf dan spot yang
dihasilkan, dibandingkan dengan nilai Rf etil p-metoksisinamat pada penelitian
Mufidah (2014) yaitu 0.5582, menunjukkan bahwa hasil isolasi etil
p-metoksisinamat murni (perhitungan nilai Rf ada pada lampiran 7).

4 cm

2 cm

Gambar 4.3 KLT kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi pada plat silica gel
F254 (Visualisasi sinar UV λ 254 nm)
(sumber : koleksi pribadi)

4.3.3 Gas Chromatography – Mass Spectrometry


Etil p-metoksisinamat hasil isolasi dianalisa lebih lanjut dengan Gas
Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). Hasil interpretasi GCMS
menunjukkan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat yang dianalisis muncul pada
waktu retensi 9,094 menit dengan berat molekul 206.0 dan fragmentasi massa
pada 161; 134; 118; 89; 77; 63 dan 51 (pada Gambar 4.4), spektrum GCMS ini
sama dengan spektrum GCMS dari EPMS yang telah dipublikasikan oleh
Mufidah (2014) dan Umar et al (2012) (pada lampiran 8).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

(a)

161
(b)

Gambar 4.4 Interpretasi GCMS senyawa isolat etil p-metoksisinamat yang


dianalisa. Keterangan : (a). waktu retensi, (b) fragmentasi massa
(sumber : koleksi pribadi)

4.4 Identifikasi S. cerevisiae


S. cerevisiae INVSc1 diperoleh dari Pusat Teknologi Farmasi dan Medika
(PTFM – BPPT) di gedung LAPTIAB BPPT, Puspiptek Serpong. S. cerevisiae
diremajakan kembali dalam medium padat YEPD (yeast extract peptone dextrose)
dengan cara diinkubasi selama 5 hari dalam inkubator suhu 30oC (Yeast protocols
handbook, Clontech Laboratories Inc). Proses peremajaan dilakukan dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

tujuan untuk menjaga sifat alami yang dimiliki S. cerevisiae yang diisolasi
(Sukmawati, 2013).
S. cerevisiae hasil peremajaan sebelum dikultur untuk proses
biotransformasi harus diidentifikasi. Identifikasi yang dilakukan yaitu secara
makroskopis (organoleptis) dan mikroskopis dengan tujuan untuk memastikan
bahwa S. cerevisiae yang akan digunakan koloni murni dan tidak mengalami
kontaminasi. Proses identifikasi secara makroskopis dilihat dari warna, bau dan
bentuk S. cerevisiae. Hasil identifikasi yang diperoleh berbentuk bulat, berwarna
krem dan bau seperti tape, memiliki tekstur licin dan tidak terjadi kontaminasi
(Gambar 4.5 dan pada lampiran 10 hasil pengamatan dari hari pertama sampai
hari kelima), sesuai dengan penelitian yang dilakukan Widiastutik dan Alami
(2014) dan Reis et al (2013) (pada Gambar 4.6).

(a) (b)
Gambar 4.5 S. cerevisiae secara makroskopis (a) S. cerevisiae pada medium
YEPD tampak depan, (b) S. cerevisiae pada medium YEPD tampak belakang
(sumber : koleksi pribadi)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

Gambar 4.6 morfologi S. cerevisiae secara makroskopik dan mikroskopik


(sumber : Widiastutik dan Alami, 2014, Setiawati, 2015 dan Reis et al 2013)

S. cerevisiae yang diidentifikasi secara mikroskopis menggunakan


mikroskop. Preparat disiapkan dengan meneteskan NaCl 0.9% pada kaca objek,
lalu koloni S. cerevisiae diinokulasikan pada permukaan kaca objek secara
aseptis. Hasil dari identifikasi mikroskopis lebih jelas terlihat morfologi dari
S. cerevisiae dengan perbesaran 10x dan 40x, memiliki sel bulat dan askospora
(ada pada lampiran 9).

4.5 Proses Biotransformasi


Isolat yang telah diidentifikasi sebagai S. cerevisiae INVSc1 diambil
sebanyak satu koloni dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 10 ml
medium cair YEPD steril. Proses sterilisasi medium cair YEPD sebelumnya
dilakukan menggunakan autoklaf selama 15 menit, 121oC. Koloni S. cerevisiae
yang telah dimasukkan ke dalam medium cair YEPD selanjutnya divortex selama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

1 menit dengan tujuan agar koloni dapat terdispersi dengan baik dalam medium.
Inkubasi pada suhu 30oC dengan inkubator shaker selama 12 jam dengan
kecepatan 75 mpm. Penggunaan inkubator shaker ini bertujuan untuk
mempercepat transfer nutrisi ke dalam sel, mensuplai oksigen untuk aktivitas
metabolik sel dan meratakan mikroorganisme dalam medium sehingga semua
mikroorganisme mendapatkan kontak dengan oksigen secara rata (Sukmawati,
2013).
S. cerevisiae yang telah dikultur selama 12 jam dalam inkubator shaker
diambil ±3000 µl untuk dimasukkan ke dalam medium cair YEPD yang baru
sehingga menghasilkan nilai OD600 berkisar antara 0.2-0.3. Nilai OD600 dapat
dilihat dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis, dimana kultur yang
diambil berada pada fase mid log. Medium YEPD baru yang telah ditambahkan
kultur S. cerevisiae diinkubasi kembali selama 3 jam pada suhu 30oC dengan
kecepatan shaker yang sama. Proses ini dilanjutkan dengan melihat kembali nilai
OD600, sehingga nilai OD600 yang dihasilkan berada pada rentang 0.4-0.6, lalu
dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 12 menit (Yeast
protocols handbook, Clontech Laboratories Inc), selanjutnya endapan atau pelet
yang didapat dipisahkan dan ditimbang.
Medium cair YEPD pada awalnya berwarna kuning jernih, setelah dikultur
S. cerevisiae selama 12 jam, terbentuk endapan putih di bagian dasar medium
(Gambar 4.7). Pengecekan nilai OD600 pada medium yang dikultur S. cerevisiae
dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis, menunjukkan kerapatan dari sel
mikroorganisme dalam medium kultur (Myers et al, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

A B C

Gambar 4.7 Medium cair YEPD dengan S. cerevisiae Keterangan : (A)


medium YEPD tanpa S. cerevisiae, (B) endapan S. cerevisiae pada medium
YEPD, (C) medium YEPD dengan S. cerevisiae yang telah di vortex
(sumber : koleksi pribadi)

Etil p-metoksisinamat yang akan digunakan dihaluskan terlebih dahulu


dengan cara mekanik untuk mereduksi ukuran partikel. Reduksi ukuran partikel
bertujuan untuk mempermudah proses pelarutan dan proses reaksi biotransformasi
yang akan terjadi. Proses peningkatan kelarutan etil p-metoksisinamat juga
dilakukan dengan menambahkan ±150 µl pelarut etanol 96% atau DMSO,
sehingga etil p-metoksisinamat dapat melarut dengan sempurna di dalam medium
cair YEPD dan terjadi interaksi yang lebih mudah antara S. cerevisiae dengan
substrat. Etanol 96% yang digunakan dalam jumlah sesedikit mungkin, karena
dengan penggunaan etanol 96% pada batas yang paling rendah tidak akan
menghambat pertumbuhan dari S. cerevisiae (Guimaraes et al, 2006). Penggunaan
DMSO sebagai pelarut juga sesuai dengan yang dilakukan oleh Hasali et al
(2013), dalam penelitiannya menyatakan bahwa agar etil p-metoksisinamat yang
digunakan terlarut sempurna maka terlebih dahulu dilarutkan dalam DMSO.
Proses biotransformasi pada penelitian yang dilakukan, menggunakan
beberapa parameter. Parameter optimasi tersebut adalah metode uji untuk
biotransformasi, fase S. cerevisiae yang digunakan, penggunaan pelarut untuk etil
p-metoksisinamat, proses ekstraksi, waktu biotransformasi, semua data terlampir

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

pada lampiran 11. Hasil data yang didapat untuk proses biotransformasi dapat
dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Data optimasi proses biotransformasi


Fase S. cerevisiae yang
Metode uji Parameter Hasil Gambar hasil KLT
diambil
Reaksi dengan bantuan shaker
Uji dengan - Fase log (medium - EPMS tanpa pelarut - Nilai Rf belum
bantuan shaker baru dengan 3 jam - Waktu biotransformasi 5 hari berubah masih
1 = (1A) penambahan proses - Fase medium yang diekstraksi sama dengan nilai
shaker) Rf EPMS murni

1 2
Uji dengan - Fase log (medium - EPMS dengan pelarut etanol 96% dan DMSO - Nilai Rf untuk
bantuan shaker baru dengan 3 jam - Waktu biotransformasi 7 hari reaksi 1B tidak
2 = (1B) penambahan proses - Fase medium yang diekstraksi nampak
shaker)

321 3 21
- Fase mid log - Reaksi (1Ca)
(medium lama nampak jelas
dengan jam ke 12 perbedaan nilai Rf
setelah proses - Rendemen hasil
shaker) = (1Ca) reaksi yang
didapat 11.71 %

Uji dengan - EPMS dengan pelarut etanol 96% 2 1


bantuan shaker - Waktu biotransformasi 11 hari
- Fase log (medium - Nilai Rf untuk
3 = (1C) - Fase medium dan fase endapan yang diekstraksi
baru dengan 5 jam reaksi (1Cb) ada
penambahan proses perbedaan dengan
shaker) = (1Cb) EPMS murni pada
UV dengan
panjang
gelombang 365
nm
2 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

- Fase log (medium - Nilai Rf untuk


lama dengan 4 jam reaksi (1Cc) tidak
penambahan proses nampak
shaker) = (1Cc)

2 1
Reaksi secara statis
- EPMS dengan pelarut etanol 96% - nilai Rf masih
- Waktu biotransformasi 18 hari sama dengan
- Fase log (medium - Fase medium yang diekstraksi EPMS murni
Uji secara statis lama dengan 4.5 jam
= (2A) penambahan proses
shaker)

3 2 1
Reaksi bilayer
- Fase log (medium - Pelarut yang digunakan (n-heksan : diklorometan) - nilai Rf berbeda
baru dengan 5 jam - Waktu biotransformasi 3 hari dengan EPMS
penambahan proses murni
Uji bilayer 1 =
shaker)
(3A)

3 2 1
- Fase log (medium - Pelarut yang digunakan n-heksan - nilai Rf tidak ada
baru dengan 5 jam - Waktu biotransformasi 3 hari perbedaan dengan
penambahan proses EPMS murni
Uji bilayer 2 =
shaker)
(3B)

3 2 1
Keterangan gambar : (1) spot EPMS murni, (2) senyawa isolat (fase etil asetat/
fase diklorometan. Fase heksan), (3) fase air

Metode uji yang digunakan pada penelitian yang dilakukan ada 3 macam,
yaitu reaksi dengan bantuan shaker, reaksi secara statis dan reaksi bilayer. Ketiga
uji ini dibedakan dari segi proses penambahan EPMS dan proses
biotransformasinya. Reaksi dengan bantuan shaker dan reaksi secara statis
dikatakan sama jika ditinjau dari penambahan EPMS, dimana setelah pelet
S. cerevisiae didapat maka dihitung jumlah EPMS yang dibutuhkan dengan
perbandingan 1:70 (EPMS : S. cerevisiae) (Gideon, 2009), lalu EPMS dilarutkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

didalam etanol 96% dan DMSO. Reaksi biotransformasi dilakukan di dalam


medium cair YEPD pada inkubator shaker suhu 30oC selama beberapa hari.
Pengujian KLT dimulai dari hari ke 3 untuk reaksi dengan bantuan shaker. Reaksi
secara statis proses biotransformasinya pada suhu ruang (25oC), tidak didalam
inkubator shaker. Penggunaan shaker disini bertujuan untuk meningkatkan aerasi
dan distribusi nutrisi, agar sel dapat mencapai kondisi fisiologis yang optimum
(White 1991 dalam Setiawati, 2015).
Berbeda dengan reaksi keduanya, reaksi bilayer pada penelitian yang
dilakukan tidak menggunakan medium cair YEPD dan shaker untuk proses
biotransformasinya namun menggunakan pelarut bilayer, dengan bantuan
magnetic stirrer pada suhu ruang (25oC) dan dilakukan pengujian KLT secara
periodik. Penambahan EPMS pada pelet S. cerevisiae menggunakan
perbandingan 1:100 (EPMS : S. cerevisiae), lalu dilarutkan pada medium bilayer
yang terdiri dari pelarut organik n-heksan dan diklorometan (95:5) dan buffer
kalium fosfat asam sitrat (0.2 M/0.1M) dengan pH 4.5. Pada reaksi ini dilakukan
proses optimasi untuk pelarut organik, jadi ada yang menggunakan 2 pelarut dan
ada yang menggunakan 1 pelarut saja yaitu n-heksan saja. Penggunaan buffer
bertujuan untuk membantu meningkatkan kelarutan medium dalam reaksi
biotransformasi yang terjadi (Sales et al, 2014).

4.6 Ekstraksi Hasil Biotransformasi


Proses ekstraksi hasil biotransformasi dilakukan dengan menggunakan
pelarut etil asetat. Medium YEPD dan endapan yang terbentuk divortex terlebih
dahulu, lalu diambil beberapa ml dan selanjutnya ditambahkan etil asetat, semua
proses ini dilakukan pada corong pisah. Campuran tersebut dikocok dengan kuat
dan diamkan sampai terpisah menjadi 2 lapisan. Lapisan yang terbentuk adalah
fase air, dan fase etil asetat. Lapisan atas (fase etil asetat) diambil dan dikeringkan
menggunakan vacum rotary evaporator sampai pelarut etil asetat menguap
sempurna, selanjutnya ditambahkan sedikit etil asetat kemudian dianalisis
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Proses ekstraksi pada reaksi bilayer berbeda, hasil reaksi ini diambil
beberapa ml dan ditambahkan diklorometan, dengan pengulangan pemberian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

sebanyak 3 kali lalu didapatkan 3 lapisan. Fase diklorometan yang diambil ada
pada lapisan paling bawah, karena melihat berat jenis diklorometan lebih besar
dibandingkan pelarut lain yang digunakan. Filtrat yang didapat diberikan natrium
sulfat yang berfungsi untuk menarik sisa air yang masih terkandung, kemudian
diuapkan menggunakan rotary evaporator dan di tambahkan lagi sedikit etil asetat
lalu di analisis menggunakan KLT.

4.7 Analisa Hasil Biotransformasi


Proses biotransformasi pada penelitian ini menggunakan beberapa
optimasi (pada lampiran 11) dan dilakukan sebanyak 6 kali reaksi. Hasil analisis
KLT yang memiliki nilai Rf berbeda jika dibandingkan dengan nilai Rf EPMS
murni hanya pada uji dengan bantuan shaker 3 (1Ca) dan uji bilayer 1(3A).
Pada uji dengan bantuan shaker dilakukan sebanyak 3 kali (1A, 1B, 1C
(a,b.c)) dan uji 1C hanya a dan b yang menghasilkan nilai Rf yang berbeda. Pada
reaksi uji dengan bantuan shaker (1A), proses penambahan EPMS tidak
dilarutkan terlebih dahulu kedalam pelarut yang dapat melarutkan secara lebih
sempurna EPMS dalam medium biotransformasi, sehingga hal ini tidak
memudahkan interaksi antara EPMS dengan S. cerevisiae. Penggunaan pelarut
untuk melarutkan EPMS didalam medium sangat dibutuhkan, maka dari itu pada
uji dengan bantuan shaker (1B) dan (1C) EPMS dilarutkan dengan pelarut etanol
96% dan DMSO. Uji dengan bantuan shaker (1B) dilakukan 2 macam reaksi,
reaksi pertama dilarutkan dalam etanol 96% dan kedua dilarutkan dalam DMSO.
Uji dengan bantuan shaker (1C) dilakukan dengan melarutkan EPMS pada etanol
96% saja.
Tidak hanya dari pelarut, pada penelitian ini waktu biotransformasi juga
berpengaruh terhadap proses reaksi yang terjadi, dimana uji dengan bantuan
shaker 1A dilakukan selama 5 hari, uji dengan bantuan shaker 1B selama 7 hari,
dan uji dengan bantuan shaker 1C dilakukan selama 11 hari. Hal ini membuktikan
bahwa semakin lama interaksi yang terjadi antara S. cerevisiae dan EPMS
semakin besar pula kemungkinan biotransformasi terjadi.
Kelarutan dan waktu biotransformasi belum cukup untuk mengoptimasi,
optimasi juga dilakukan pada fase mana S. cerevisiae diambil. Pada reaksi uji

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

dengan bantuan shaker 1A dan 1B S. cerevisiae diambil pada fase log (setelah 12
jam dilakukan inkubasi dalam shaker lalu diinkubasi kembali didalam shaker
selama 3 jam pada medium baru) dan keduanya belum menghasilkan perubahan.
Namun pada reaksi uji dengan bantuan shaker 1C, (1Ca) S. cerevisiae yang
diambil pada fase mid log (setelah 12 jam dilakukan inkubasi dalam shaker),
(1Cb) fase log “baru” (setelah 12 jam dilakukan inkubasi dalam shaker lalu
diinkubasi kembali didalam shaker selama 5 jam pada medium baru) dan (1Cc)
pada fase log “lama” (setelah 12 jam dilakukan inkubasi dalam shaker lalu
diinkubasi kembali didalam shaker selama 4 jam pada medium lama).
Hasil yang menunjukkan perubahan yaitu pada reaksi 1Ca dan 1Cb,
keduanya menunjukkan nilai Rf yang berbeda, namun yang sangat terlihat jelas
dan nampak nyata perbedaannya yaitu reaksi 1Ca (Gambar 4.8).

A B

4 3 2 1 4 3 2 1

Gambar 4.8 Hasil KLT reaksi uji dengan bantuan shaker 1C. Keterangan : A)
visualisasi sinar UV λ 254 nm , B) visualisasi sinar UV λ 365 nm dan (1) EPMS
murni, (2) 1Cb, (3) 1Ca, (4) 1Cc.
(sumber: koleksi pribadi)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

Nilai Rf yang didapat yaitu untuk reaksi 1Ca pada visualisasi sinar UV
λ 254 nm adalah 0.675 sedangkan untuk EPMS murni yaitu 0.425 dengan eluen
n-heksan dan etil asetat 9:1. Hal ini menggambarkan bahwa senyawa hasil reaksi
memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibanding EPMS murni. Berbeda
pada visualisasi sinar UV λ 365 nm, reaksi 1Ca memiliki nilai Rf 0.6 dan reaksi
1Cb yaitu 0.575 (perhitungan nilai Rf ada pada lampiran 12) namun untuk EPMS
murni tidak terlihat spotnya, karena EPMS tidak dapat berpendar pada sinar UV
λ 365 nm.
EPMS yang digunakan pada reaksi 1Ca ini sebanyak 0.0035 gram dan
jumlah akhir EPMS yang didapat setelah direaksikan adalah 0.041 gram.
Rendemen yang didapat yaitu 11.71%.

%rendemen = x 100% = 11.71%

Pada reaksi statis (2A) yang dilakukan, tidak menghasilkan perubahan.


Meskipun waktu proses biotransformasinya sudah dioptimasi menjadi lebih lama
yaitu selama 18 hari, namun pada penelitian ini terlihat bedanya dengan
menggunakan shaker. Penggunaan shaker akan lebih memudahkan sel mencapai
kondisi fisiologis yang optimum, karena tidak menggunakan shaker distribusi
nutrisi akan lebih sulit dan kemungkinan S. cerevisiae secara fisiologis kondisinya
kurang optimum.
Pada reaksi bilayer dilakukan sebanyak 2 kali reaksi, dimana yang
menghasilkan nilai Rf yang berbeda hanya pada reaksi bilayer 3A. Perbedaan
diantara keduanya yaitu pada pelarut yang digunakan. Reaksi bilayer 3A pelarut
yang digunakan adalah n-heksan dan diklorometan, sedangkan reaksi bilayer 3B
pelarut yang digunakan hanya n-heksan saja. Hasil KLT yang menunjukkan
perubahan ada pada Gambar 4.9.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

A B

3 2 1 3 2 1

Gambar 4.9 Hasil KLT reaksi bilayer 3A yang menandakan ada perubahan nilai
Rf pada visualisasi sinar UV λ 365 nm. Keterangan : A) visualisasi sinar UV λ
365 nm, B) visualisasi sinar UV λ 254 nm. (1) EPMS murni, (2) Fase
diklorometan, (3) Fase air.
(sumber : koleksi pribadi)

Hasil dianalisis dengan KLT, didapatkan nilai Rf untuk spot yang berbeda.
Nilai Rf fase diklorometan pada visualisasi sinar UV λ 365 nm yaitu 0.275 cm dan
nilai Rf EPMS murni dan fase diklorometan pada visualisasi sinar UV λ 254 sama
yaitu 0.625 cm (pada lampiran 13).
Biotransformasi senyawa etil p-metoksisinamat dengan S. cerevisiae
dengan beberapa optimasi, secara kualitatif dapat diubah menjadi senyawa yang
berbeda dari etil p-metoksisinamat murni, dilihat dari hasil KLT yang
menunjukkan perbedaan pada nilai Rf.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Penelitian biotransformasi senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS)
menggunakan S. cerevisiae INVSc 1 dengan optimasi metode biotransformasi,
waktu biotransformasi, dan proses biotransformasi dapat menghasilkan
perubahan secara kualitatif.
2. Senyawa hasil reaksi bilayer dengan dua pelarut yang digunakan yaitu
n-heksan : diklorometan dan reaksi dengan bantuan shaker dengan fase
S. cerevisae yang digunakan yaitu pada fase mid log (1Ca), memiliki nilai Rf
yang berbeda dengan EPMS murni .
3. Hasil optimasi menunjukkan metode biotransformasi dengan bantuan shaker
selama 11 hari dengan fase S. cerevisiae yang digunakan yaitu mid log (1Ca)
menghasilkan perbedaan spot KLT yang paling baik diantara metode
biotransformasi lainnya.

5.2 Saran
1. Perlu dilakukan proses biotransformasi dengan menggunakan mikroorganisme
lain dan optimasi lainnya dari segi hal yang berbeda yang berpengaruh pada
reaksi biotransformasi.
2. Perlu dilakukan uji lanjutan secara kuantitatif dan identifikasi menggunakan
GCMS.

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Afriastini, J. J. 2002. Bertanam Kencur. Jakarta. Penebar Swadaya


Afrizal., Fahmi, Rizal., dan Osmeli, Delvi. 1999. Sintesis Isoamil Trans-p-
Metoksisinamat dari Etil Trans-p-Metoksisinamat. Jurnal Kimia Analisis.
Vol 5 (2)
AM, Vittalrao., T, Shanbhag., M, Kumari., KL, Bairy., S, Shenoy. 2011.
Evaluation of antiinflamatory and analgesic activities of alcoholic extract of
Kaempferia galanga L in rats. Indian J Physiol Pharmacol. 55(1): 13-24
Aulia, Nova Sari. 2015. Modifikasi Struktur Etil p-metoksisinamat Melalui Proses
Nitrasi dengan Metode Cold Microwave Serta Uji Aktivitas Sebagai
Antiinflamasi. Program Studi Farmasi – Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi.
Backer. C. A. R. C. B. Van den Briak. 1968. Flora Of Java. Vol. 2 Walters
Noordhoff. N. V. Groningen. P. 33
Bangun, Robijanto. 2011. Semi Sintesis N,N-Bis(2-Hidroksietil)-3-(4-
Metoksifenil) Akrilamida dari Etil p-metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang
Kencur (Kaempferia galanga L) melalui Amidasi dengan Dietanolamin.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sumatra Utara. Medan.
Barus, R. 2009. Amidasi Etil p-Metoksi Sinamat yang diisolasi dari Kencur
(Kempferia galanga L). Tesis. Universitas Sumatra Utara
Boaventura, Maria, Amelia, D., Lopes, R, F.A.P., Takahashi, Jacqueline, A. 2004.
Microorganisms as tools in modern chemistry: the biotransformation of 3-
indolylacetonitrile and tryptamine by fungi. Brazilian Journal of
Microbiology. 35: 345-347.
Cabral, J. M. S. 2002. Basic Biotechnology. Edisi ke-2. Cambridge: Cambridge
University Pr.
Chiu, Chun-Hui., Wang, Reuben., Lee, Cho-Ching., Lo, Yi-Chen., and Lu, Ting-
Jang. 2013. Biotransformation of Mogrosides from Siratia grosvenorii
Swingle by Saccharomycescerevisiae. Journal of Agricultural and Food
Chemistry.
Clontech. 2009. Yeast Protocols Handbook. Clontech Laboratories, Inc.
Crozier, A., Clifford, M. N., Ashihara, H. 2007. Plant Secondary Metabolities:
Occurrence, Structure and Role in the Human Diet. Blackwell Publishing
Ltd.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta

39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

Dhandapani, A., Kumar, S., Kadarkarai, M. 2011. Larvacidal, Pulpicidal and


Smoke Toxicity Effect of Kaempferia galanga L to the Malarial Vector, and
Anopheles stephensi. The bioscan. 6(2): 329-333
Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementrian Perdagangan,
2014. Obat Herbal Tradisional. Ditjen PEN/MJL/81/IX/2014 : Jakarta.
Diakses tanggal 13 Januari 2016 pukul 07. 50 WIB
Esmaeili, Akbar. And Hashemi, Elham. 2011. Biotransformasi of myrcene by
Pseudomonas aeruginosa. Chemistry central jurnal. 5:26
Ferraboschi, Patrizia., Grisenti, Paride., Manzocchi, Ada., and Santaniello, Enzo.
1990. Baker’s Yeast-Mediated Preparation of Optically Active Aryl
Alcohols and Diols for the Synthesis of Chiral Hydroxy Acids. Journal
Chemistry
Grogan, Gideon. 2009. Practical Biotransformations. First Published edition.
United Kingdom: Wiley
Guimaraes, M Thais., Moriel, G Danilo., Machado, P Lara., Picheth Fadel, M T
Cyntia., Bonfim, M B Tania. 2006. Isolation and characterization of
Saccharomyces cerevisiae strains of winery interest. Brazilian Journal of
Phaarmaceutical Science. (42): 1
Hartanti, Lanny dan Setiawan, Henry K. 2009. Daya Hambat beberapa Turunan
Asam Sinamat Sintetik terhadap Enzim Tirosinase. Indo. J. Chem. 9(1)
Hasali, Mohd Hazwani Nor., Omar, Nor Muhammad., Zuberdi, Muzammil
Ahmad., Alfarra, Yousif Helmi. 2013. Biotransformasi of ethyl p-
methoxycinnamate from Kaempferia galanga L. using Aspergillus niger.
International Journal of Biosciences. 3 (7): 148-155
Herbert, R. B. 1995. The Biosynthesis of Secondary Metabolities. Semarang. IKIP
Semarang Press.
Huang, Linfang., Yagura, Toru., dan Chen, Shilin. 2008. Sedative activity of
hexane extract of Kaempferia galanga L. And its active compound. Journal
of Ethnopharmacology. 120 : 123-125
Indrayan, K, A., Kurian, Alice., Tyagi, K, P., Shatru, Ajat., dan Rathi, K, Anuj.
2007. Comparative Chemical Study of Two Varieties of Attractive Medicinal
Plant Kaempferia galanga L. Natural Product Radiance. 6(4): 327-333.
Integrated Taxonomic Information System (ITIS). Diakses pada tanggal Maret 28
dan April 1, 2016. www.itis.gov
Khopkar, S. M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta. UI Press.
Koh HL .2009. Guide to Medicinal Plants: An Illustrated Scientific and Medicinal
Approach. SGP. World Scientific, 9789812837103.
Lenke, Hiltrud., and Schmid, Andreas. Biotransformations. Biotechnology vol IV.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

Lu, H., Zou, W. X., Meng, J. C., Tan, R. X. 2000. New bioactive metabolites
produced by Colletrotricum sp,an endophytic fungus in Artemisia annua.
Plant Sci. 151: 67-73
Manitto, P. 1992. Biosynthesis Of Natural Product. Semarang. IKIP Semarang
Press
Mufidah, Syarifatul. 2014. Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat
yang diperoleh dari Kencur (Kaempferia galanga L) melalui Transformasi
Gugus Fungsi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi. Skripsi. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Myers, A John., Curtis, S Brandon., Curtis, R Wayne. 2013. Improving accuracy
of cell and chromophore concentration measurements using optical density.
BMC Biophysics. 6:4
Nag, Sudipa., dan Mandal, Subrata. 2015. Importance of Ekangi (Kaepferia
galanga L) as Medicinal Plants- A Review. International Journal of
Innovative Research and Review. 3(1): 99-106.
Othman, R., Ibrahim, H., Mohd, M. A., Mustafa, M. R. And Awang, K. 2006.
Bioassay-guided isolation of a vasorelaxant active compound from
Kaempferia galanga L. Phytomedicine. 13: 61-66
P. K. Kochuthressia., Britto, John S., M.O, Jaseentha., and Raphael Rini. 2012. In
vitro antimicrobial evaluation of Kaempferia galanga L. Rhizome extract.
Amecrican Journal Biotechnology and Molecular Sciences. 2 (1): 1-5
Rahman, M. N. 2009. Aktivitas Anti Bakteri Senyawa Hasil Biotransformasi
Kurkumin oleh Mikroba Endofit Asal Kunyit. Skripsi. FMIPA Institute
Pertanian Bogor.
Rao V, Narasinga., Kaladhar, DSVGK. 2014. Antioxidant and antimicrobial
activities of rhizome extracts of Kaempferia galanga. World journal of
pharmacy and pharmaceutical sciences. Volume 3: 1180-1189
Reis, Vanda Renata., Bassi, Ana Paula Guarnieri., da Silva, Jessica Carolina
Gomes., Ceccato-Antonini, Sandra Regina. 2013. Characteristics of
Saccharomyces cerevisiae yeasts exhibiting rough colonies and
pseudohyphal morphology with respect to alcoholic fermentation. Brazilian
Journal of Microbiology. 44 (4): 1121-1131
Reza, Muhammad. 2015. Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat melalui reaksi
langsung dengan Iradiasi Microwave serta uji aktivitas sebagai
antiinflamasi. Program Studi Farmasi – Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
Rosazza. 2000. Microbial Transformation of Bioactive Compounds. Volume ke 1.
Florida: CRC Pr.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

Sales, Edijane, Matos., Barros, Tania, Fraga., and Velozo, Eudes, Da silva. 2014.
Biotransformation of Coumarins by Saccharomycescerevisiae. World
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 3(12): 209-216.
Setiawati, Erlin. 2015. Biotransformasi sitronelal menjadi sitronelol oleh
Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang
Setyawan, Eko., Putratama, Pandhu., Ajeng, Astriningtyas dan Rengga Pita Dyah,
Wara. 2012. Optimasi yield etil p-metoksisinamat pada ekstraksi oleoresin
kencur (Kaempferia galanga L) menggunakan pelarut etanol. Vol 1(2):
2303-0623
Siswanto, Agus., Sri Rahayu, Wiranti., Utami, Pri Iswati. 2012. Formulasi Krim
Tabir Surya Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L).
Journal from JHPTUMP Digital Library Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Sukmawati, Heny. 2013. Biotransformasi Metabolit Sekunder Utama (Senyawa
X) dari Ekstrak n- Heksana Kencur (Kaempferia galanga L) oleh Jamur
Aspergillus niger ATCC 6275. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Tewtrakul, S., Yuenyongsawad, S., Kummee, S., and Atsawajaruwan, L. 2005.
Chemical Components and Biological Activities of Volatile Oil of
Kaempferia galanga L. Songklanakarin Journal of Science and Technology.
27(Suppl. 2): 503-507.
Umar, Muhammad I., Asnawi, Mohd Zaini., Sadikun, Amirin., Altaf, Rabia., and
Iqbal, Adnan Muhammad. 2011. Phytochemistry and medicinal properties
of Kaempferia galanga L (Zingiberaceae) extracts. Journal of pharmacy and
pharmacology. 5(14): 1639-1647
Umar, Muhammad I., Asnawi, Mohd Zaini., Sadikun, Amirin., Atangwho, Itern
J., Yam , Mun Fei., Altaf, Rabia., and Ahmed, Ashfaq. 2012. Bioactivity-
Guided Isolation of Ethyl-p-Methoxycinnamate, an Anti-inflammatory
Constituent, from Kaempferia galanga L. Extract. Molecules. 17: 8720-
8734.
Prabawati, Charinna Agus. 2015. Evaluasi daya penetrasi etil p-metoksisinamat
hasil isolasi dari rimpang kencur (Kaempferia galanga L) pada sediaan
salep, krim, dan gel. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Walker, J. M. And Rapley, R. 2002. Molekuler Biology and Biotechnology
Britain: Athenaeum Pr.
White, J. 1991. Procaryotic Physiology. London: Prentince Hall.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

Widiastutik, Naning., Alami, Nur Hidayatul. 2014. Isolasi dan Identifikasi Yeast
dari Rhizosfer Rhizophora mucronata Wonorejo. Jurnal Sains dan Seni
POMITS. 3 (1): 2337-3520
Wijayakusuma, Hembing, M, H. 2000 . Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia
sebagai Produk Kesehatan. Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi.
Wiley, John., Sons, Inc. Current Protocols in Molecular Biology. 2008. Wiley
Interscience
Windono, Tri., Jany., Widji, Suratri. 1997. Aktivitas Tabir Matahari Etil p-
metoksisinamat yang diisolasi dari rimpang kencur. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia Volume 3. No. 4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

Lampiran 1. Alur Penelitian

Ekstraksi rimpang Isolasi kristal etil Identifikasi


kencur (Kaempferia p-metoksisinamat kristal etil
galanga L) p-metoksisinamat
dengan
menggunakan
KLT, GCMS

Peremajaan kembali Identifikasi S. cerevisiae EPMS murni


S. cerevisiae secara makroskopis dan
mikroskopis

S. cerevisiae dikultur pada Proses pengambilan


medium cair YEPD S. cerevisiae pada fase
mid-log dalam medium
cair YEPD (pada proses
pengkulturan)

Ekstraksi hasil Proses S. cerevisiae ditambahkan


biotransformasi biotransformasi metabolit sekunder kencur
(etil p-metoksisinamat)

Hasil ekstraksi dianalisis Analisis data


dengan KLT

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

Lampiran 2. Isolasi Etil p-metoksisinamat

Rimpang kencur Pencucian dengan air Sortasi basah


(Kaempferia galanga L) mengalir untuk
menghilangkan
kotoran yang
menempel pada
rimpang

Dilakukan perajangan lalu


Dilakukan
Sortasi dikeringanginkan di udara
penimbangan hasil
kering terbuka dan tidak terpapar
pengeringan
sinar matahari langsung

Proses Dilakukkan
penghalusan kembali Maserasi dengan
dilakukan penimbangan n-heksan
dengan serbuk simplisia
blender

Ampas Filtrasi dengan kapas


selanjutnya dengan kertas
saring

Lakukan maserasi berulang


atau remaserasi dengan filtrat
n-heksan

Dipekatkan dengan vacum


rotary evaporator

Pelarut n-heksan Filtrat pekat

Kristal etil p- Rekristalisasi


metoksisinamat dengan n-heksan Diendapkan
Terbentuk pada suhu ruang
dan etanol 96%
kristal

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

Lampiran 3. Komposisi medium yang digunakan

No. Nama Medium Komposisi Jumlah


Bacteriological peptone 20 g/L
1 YEPD Broth (Y1375-250G) Yeast extract 10 g/L
Glucose 20 g/L
Bacteriological peptone 20 g/L
YEPD Broth (Y1375-250G) + Yeast extract 10 g/L
2
Agar Glucose 20 g/L
Agar 15 g/L

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

Lampiran 4. Tabel Pembuatan Medium YEPD

Medium Tempat Proses


Metode uji Pelarut Jumlah pelarut YEPD Agar
YEPD penuangan sterilisasi
Semua bahan
Medium dihomogenkan dan
100 ml 5 gram 1.5 gram
padat YEPD dituang dalam
cawan petri
Reaksi dengan
100 ml 5 gram
bantuan shaker 1A
Reaksi dengan
225 ml 11.25 gram Autoklaf
bantuan shaker 1B
aquadest 121oC selama
Semua bahan
Reaksi dengan 15 menit
Medium cair dihomogenkan dan
bantuan shaker 1C 200 ml -
YEPD dimasukkan dalam
10 gram tabung reaksi
Reaksi bilayer 3A

Reaksi bilayer 3B 264 ml 13.2 gram

Reaksi statis 2A 295 ml 14.75 gram

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

Lampiran 5. Surat Determinasi Tanaman Kencur (Kaempferia galanga L)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

Lampiran 6. Perhitungan rendemen hasil ekstraksi kencur

% rendemen = x 100% = 5.13%

Lampiran 7. Perhitungan nilai Rf kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi dari


kencur

Nilai Rf =

Nilai Rf = = 0,5 cm

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

Lampiran 8. Hasil analisa GCMS senyawa isolat etil p-metoksisinamat dan


senyawa etil p-metoksisinamat literatur

8.1 Spektrum GCMS senyawa etil p-metoksisinamat (Umar et al, 2012)

(a)

(b)

Keterangan : (a) waktu retensi etil p-metoksisinamat, (b) fragmentasi massa etil
p-metoksisinamat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

8.2 Spektrum GCMS senyawa etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014)

(a)

(b)

Keterangan : (a) waktu retensi etil p-metoksisinamat, (b) fragmentasi massa etil
p-metoksisinamat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

8.3 Spektrum GCMS senyawa isolat etil p-metoksisinamat

(a)

161

(b)

161

(c)

Keterangan : (a) waktu retensi etil p-metoksisinamat, (b) fragmentasi massa etil
p-metoksisinamat, (c) similarity index etil p-metoksisinamat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Lampiran 9. S. cerevisiae secara mikroskopik

(a)

(b)

Keterangan : (a) Mikroskopis S. cerevisiae NaCl 0,9% dengan perbesaran 10x,


(b) Mikroskopis S. cerevisiae NaCl 0,9% dengan perbesaran 40x

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

Lampiran 10. Hasil pengamatan proses peremajaan dan inkubasi selama 5 hari
Hari Hasil pengamatan
dan
Nampak depan Nampak belakang
tanggal
Jumat
13 Mei
2016

Sabtu
14 Mei
2016

Minggu
15 Mei
2016

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


55

Senin
16 Mei
2016

Selasa
17 Mei
2016

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

Lampiran 11. Data proses biotransformasi


Eluen dan medium yang
Tanggal uji Metode uji Jumlah S. cerevisiae dan EPMS Parameter Hasil
digunakan
Reaksi dengan bantuan shaker
18 – 25 Mei Uji dengan S. cerevisiae = 0.143 gram n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase log (medium baru dengan 3 jam - Rf belum berubah
2016 bantuan shaker EPMS = 0.002 gram dan (4:1) penambahan proses shaker) masih sama dengan Rf
1 = (1A) - EPMS tanpa pelarut EPMS murni
- Waktu biotransformasi 5 hari
- Fase medium yang diekstraksi
30 Mei – 16 Uji dengan - pelarut etanol 96% n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase log (medium baru dengan 3 jam - Nilai Rf untuk reaksi
Juni bantuan shaker S. cerevisiae = 0.027 gram penambahan proses shaker) 1B tidak nampak
2 = (1B) EPMS = 0.00038 gram - EPMS dengan pelarut etanol 96% dan
DMSO
- pelarut DMSO - Waktu biotransformasi 7 hari
S. cerevisiae = 0.22 gram - Fase medium yang diekstraksi
EPMS = 0.0031 gram

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

17 Juni – 30 Uji dengan - reaksi 1Ca n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase mid log (medium lama dengan jam - Reaksi 1Ca nampak
Juni bantuan shaker S. cerevisiae = 0.0035 gram ke 12 setelah proses shaker) = 1Ca jelas perbedaan nilai
3 = (1C) EPMS = 0.25 gram - Fase log (medium baru dengan 5 jam Rf
- reaksi 1Cb penambahan proses shaker) = 1Cb - Rendemen reaksi 1Ca
S. cerevisiae = 0.131 gram - Fase log (medium lama dengan 4 jam yang didapat 11.71 %
EPMS = 0.0018 gram penambahan proses shaker) = 1Cc - Nilai Rf untuk reaksi
- reaksi 1Cc - EPMS dengan pelarut etanol 96% 1Cb ada perbedaan
S. cerevisiae = 0.172 gram - Waktu biotransformasi 11 hari dengan EPMS murni
EPMS = 0.0024 gram - Fase medium dan fase endapan yang pada UV dengan
diekstraksi panjang gelombang
365 nm
- Nilai Rf untuk reaksi
1Cc tidak nampak
Reaksi secara statis
1 – 19 Juli Uji secara S. cerevisiae = 0.345 gram n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase log (medium lama dengan 4.5 jam - nilai Rf masih sama
statis = (2A) EPMS = 0.0049 gram penambahan proses shaker) dengan EPMS murni
- EPMS dengan pelarut etanol 96%
- Waktu biotransformasi 18 hari
- Fase medium yang diekstraksi
Reaksi bilayer
17 – 22 Juni Uji bilayer 1 = S. cerevisiae = 0.129 gram n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase log (medium baru dengan 5 jam - nilai Rf hasil reaksi
(3A) EPMS = 0.0129 gram penambahan proses shaker) bilayer berbeda dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Pelarut = 3.870 ml - Pelarut yang digunakan (n-heksan : nilai Rf EPMS murni


diklorometan)
- Waktu biotransformasi 3 hari
24Juni- 1 Juli Uji bilayer 2 = S. cerevisiae = 0.216 gram n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase log (medium baru dengan 5 jam - nilai Rf tidak ada
(3B) EPMS = 0.0216 gram penambahan proses shaker) perbedaan dengan EPMS
Pelarut = 6.48 ml - Pelarut yang digunakan (n-heksan) murni
- Waktu biotransformasi 3 hari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Lampiran 12. Perhitungan nilai Rf hasil reaksi shaker

Nilai Rf =

Nilai Rf reaksi no.3 pada uv 254 nm = = 0.675 cm

Nilai Rf EPMS murni pada uv 254 nm = = 0.425 cm

Nilai Rf reaksi no.3 pada uv 365 nm = = 0.6 cm

Nilai Rf reaksi no.2 pada uv 365 nm = = 0.575 cm

Lampiran 13. Perhitungan nilai Rf hasil reaksi bilayer

Nilai Rf =

Nilai Rf reaksi no.2 pada uv 365 nm = = 0.275 cm

Nilai Rf EPMS murni dan reaksi no.2 pada uv 254 nm = = 0.625 cm

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai