SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi
Penulis
Halaman
BAB 1 PENDAHULUAN
LAMPIRAN ....................................................................................................... 44
Halaman
Gambar 2.1. Rimpang kencur (Kaempferia galanga L) .................................. 5
Gambar 2.2. Tumbuhan kencur (Kaempferia galanga L) ................................ 5
Gambar 2.3. Struktur kimia komponen kencur ................................................ 8
Gambar 2.4. Struktur etil p-metoksisinamat .................................................... 10
Gambar 2.5. Jalur sikhimat untuk menghasilkan EPMS .................................. 11
Gambar 2.6. S. cerevisiae ................................................................................. 12
Gambar 4.1. Serbuk simplisia kencur .............................................................. 23
Gambar 4.2. Kristal etil p-metoksisinamat ....................................................... 24
Gambar 4.3. KLT kristal etil p-metoksisinamat ............................................... 25
Gambar 4.4. Interpretasi GCMS senyawa isolat etil p-metoksisinamat
yang dianalisa .............................................................................. 26
Gambar 4.5. S. cerevisiae secara makroskopis ................................................ 27
Gambar 4.6. Morfologi S. cerevisiae secara makroskopik dan mikroskopik.. 28
Gambar 4.7. Medium cair YEPD dengan S. cerevisiae ................................... 30
Gambar 4.8. Hasil KLT reaksi uji dengan bantuan shaker 1C......................... 35
Gambar 4.9. Hasil KLT reaksi bilayer 3A ....................................................... 37
Halaman
Tabel 4.1. Data optimasi proses biotransformasi ............................................... 31
Halaman
Lampiran 1. Alur Penelitian ........................................................................ 44
Lampiran 2. Isolasi Etil p-metoksisinamat .................................................. 45
Lampiran 3. Komposisi medium yang digunakan ...................................... 46
Lampiran 4. Tabel Pembuatan Medium YEPD .......................................... 47
Lampiran 5. Surat Determinasi Tanaman Kencur Kaempferia galanga L . 48
Lampiran 6. Perhitungan rendemen hasil ekstraksi kencur......................... 49
Lampiran 7. Perhitungan nilai Rf kristal etil p-metoksisinamat hasil
isolasi dari kencur ................................................................... 49
Lampiran 8. Hasil analisa GCMS senyawa isolat etil p-metoksisinamat
dan senyawa etil p-metoksisinamat literatur........................... 50
Lampiran 9. S. cerevisiae secara mikroskopik ............................................ 53
Lampiran 10. Hasil pengamatan proses peremajaan dan inkubasi
selama 5 hari ........................................................................... 54
Lampiran 11. Data proses biotransformasi ................................................... 56
Lampiran 12. Perhitungan nilai Rf hasil reaksi shaker ................................. 59
Lampiran 13. Perhitungan nilai Rf hasil reaksi bilayer ................................. 59
merupakan bahan dasar yang potensial untuk sintesis turunan sinamat karena
memiliki gugus fungsi ester yang reaktif sehingga sangat mudah
ditransformasikan menjadi gugus fungsi yang lain seperti gugus amina (Barus,
2009).
Mikroorganisme seperti bakteri dan jamur telah digunakan selama
beberapa dekade untuk memproduksi bahan kimia, produk farmasi dan parfum.
Mikroorganisme juga mampu mendegradasi polutan dan memulihkan kembali
lingkungan yang terkontaminasi bahan kimia (Boaventura et al., 2004).
Penggunaan mikroba atau proses enzimatik dari mikroorganisme mampu
memproduksi senyawa yang efektif, aman, dan lebih baik jika dibandingkan
dengan bahan kimia sintesis (Sales et al., 2014).
Penggunaan mikroorganisme dalam memodifikasi struktur kimia disebut
biotransformasi (Sales et al., 2014). Metode biotransformasi memiliki keuntungan
antara lain : dapat dilakukan dalam sistem berair dan pada pH netral, untuk
menghindari penggunaan bahan kimia (pelarut) (green chemistry),
mikroorganisme dapat melakukan reaksi yang lebih besar yang beberapa bahan
kimia sintesis tidak dapat lakukan (Boaventura et al., 2004).
Penelitian-penelitian biotransformasi juga telah banyak dilakukan, seperti
biotransformasi myrcene menggunakan Pseudomonas aeruginosa dalam
penelitian Esmaeili et al (2011) dengan hasil biotransformasi dihydrolinalool dan
2,6-dimethyloctane, biotransformasi etil p-metoksisinamat dari Kaempferia
galanga L menggunakan Aspergillus niger dengan hasil biotransformasi etil
p-hidroksisinamat dalam penelitian Hasali et al (2013), biotransformasi metabolit
sekunder utama (senyawa x) dari ekstrak n-heksan kencur (Kaempferia galanga
L) oleh jamur Aspergillus niger ATCC 6275 dalam penelitian Sukmawati (2013)
dengan hasil yang menunjukkan bahwa jamur Aspergillus niger tidak mampu
mentransformasikan metabolit sekunder utama kencur.
Mikroorganisme lain yang biasa digunakan dalam biotransformasi adalah
Saccharomyces cerevisiae. Mikroorganisme ini memiliki kelebihan yaitu
menguntungkan secara ekonomis, ramah lingkungan (Lenke dan Schmid, vol IV),
mudah mendapatkannya dan sejarah panjang penggunaan yang aman dalam
industri makanan (Sales et al., 2014). Penelitian biotransformasi telah banyak
1.3 Hipotesis
S. cerevisiae dapat melakukan biotransformasi etil p-metoksisinamat
(EPMS) yang diisolasi dari kencur.
(1) (2)
telah disebutkan sebelumnya, yaitu efek anti neoplasma, anti alergi, antioksidan,
analgesik dan antiinflamasi (Umar et al., 2012).
B C
seperti format dehidrogenase, salah satu enzim yang paling penting dalam teknik
recycling kofaktor (Grogan, 2009).
2.4 Biotransformasi
Biotransformasi didefinisikan sebagai pengubahan suatu senyawa menjadi
senyawa turunannya yang strukturnya berbeda dari senyawa asalnya akibat
aktivitas metabolisme suatu mikroorganisme (Lu et al., 2000 dalam Rahman
2.5 Kromatografi
Kromatografi merupakan cara pemisahan zat khasiat dan zat lain yang ada
dalam sediaan dengan jalan penyarian berfraksi, penyerapan atau penukaran ion
pada zat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh
dapat digunakan untuk uji identifikasi atau penetapan kadar. Kromatografi yang
sering digunakan adalah kromatografi kolom, kromatografi kertas, kromatografi
lapis tipis, dan kromatografi gas. Zat penyerap yang digunakan selain kertas, ada
zat penyerap berpori misalnya alumunium oksida yang diaktifkan, asam silikat
atau silika gel, kiselgur dan harsa sintetik. Zat tersebut dapat digunakan sebagai
penyerap tunggal atau campuran atau sebagai penyangga zat lain. Kromatografi
kertas dan kromatografi lapis tipis umumnya lebih berguna untuk uji identifikasi
karena cara ini khas dan mudah dilakukan untuk zat dengan jumlah sedikit.
Kromatografi gas memerlukan alat yang lebih rumit tetapi cara tersebut sangat
berguna untuk uji identifikasi dan penetapan kadar (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979).
pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Harga Rf pada kromatografi
lapis tipis tidak tetap, jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi
kertas. Karena itu diperlukan kromatogram zat pembanding kimia yang dibuat
pada sisi lain lempeng (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
3.1.2 Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai dengan Juli
2016.
% rendemen = x 100%
dalam laminar airflow. Semua perlakuan dilakukan secara aseptis (Sigma Aldrich
dan Current protocols in Molecular Biology, 2008).
3.3.8.2 Makroskopis
S. cerevisiae diidentifikasi dengan mengamati bentuk, warna, dan bau
secara langsung (makroskopis).
(95:5) dan ditambahkan buffer kalium fosfat/asam sitrat (0.2 M/0.1 M pH 4.5)
didalam labu erlenmeyer lalu reaksikan diatas magnetic stirrer selama 48 jam
pada suhu ruang.
sampai didapatkan filtrat yang hampir bening. Filtrat ini selanjutnya dipekatkan
pada vacum rotary evaporator. Filtrat pekat yang didapat diendapkan sampai
terbentuk kristal. Proses selanjutnya adalah rekristalisasi dengan pelarut n-heksan
dan etanol 96%. Tujuan dari proses rekristalisasi ini adalah untuk memurnikan
suatu zat dari pengotornya dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut dalam
pelarut yang sesuai (Sukmawati, 2013). Kristal yang didapat diidentifikasi, secara
organoleptis, KLT dan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). Kristal
ditimbang dan dihitung rendemennya, sehingga didapatkan rendemen etil
p-metoksisinamat sebanyak 5.13% (Perhitungan rendemen ada pada lampiran 6).
untuk menarik dan memisahkan etil p-metoksisinamat yang bersifat non polar
dengan senyawa lain.
Nilai Rf etil p-metoksisinamat hasil isolasi dari kencur yaitu 0.5 (Gambar
4.3) dan menghasilkan satu spot tunggal. Berdasarkan nilai Rf dan spot yang
dihasilkan, dibandingkan dengan nilai Rf etil p-metoksisinamat pada penelitian
Mufidah (2014) yaitu 0.5582, menunjukkan bahwa hasil isolasi etil
p-metoksisinamat murni (perhitungan nilai Rf ada pada lampiran 7).
4 cm
2 cm
Gambar 4.3 KLT kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi pada plat silica gel
F254 (Visualisasi sinar UV λ 254 nm)
(sumber : koleksi pribadi)
(a)
161
(b)
tujuan untuk menjaga sifat alami yang dimiliki S. cerevisiae yang diisolasi
(Sukmawati, 2013).
S. cerevisiae hasil peremajaan sebelum dikultur untuk proses
biotransformasi harus diidentifikasi. Identifikasi yang dilakukan yaitu secara
makroskopis (organoleptis) dan mikroskopis dengan tujuan untuk memastikan
bahwa S. cerevisiae yang akan digunakan koloni murni dan tidak mengalami
kontaminasi. Proses identifikasi secara makroskopis dilihat dari warna, bau dan
bentuk S. cerevisiae. Hasil identifikasi yang diperoleh berbentuk bulat, berwarna
krem dan bau seperti tape, memiliki tekstur licin dan tidak terjadi kontaminasi
(Gambar 4.5 dan pada lampiran 10 hasil pengamatan dari hari pertama sampai
hari kelima), sesuai dengan penelitian yang dilakukan Widiastutik dan Alami
(2014) dan Reis et al (2013) (pada Gambar 4.6).
(a) (b)
Gambar 4.5 S. cerevisiae secara makroskopis (a) S. cerevisiae pada medium
YEPD tampak depan, (b) S. cerevisiae pada medium YEPD tampak belakang
(sumber : koleksi pribadi)
1 menit dengan tujuan agar koloni dapat terdispersi dengan baik dalam medium.
Inkubasi pada suhu 30oC dengan inkubator shaker selama 12 jam dengan
kecepatan 75 mpm. Penggunaan inkubator shaker ini bertujuan untuk
mempercepat transfer nutrisi ke dalam sel, mensuplai oksigen untuk aktivitas
metabolik sel dan meratakan mikroorganisme dalam medium sehingga semua
mikroorganisme mendapatkan kontak dengan oksigen secara rata (Sukmawati,
2013).
S. cerevisiae yang telah dikultur selama 12 jam dalam inkubator shaker
diambil ±3000 µl untuk dimasukkan ke dalam medium cair YEPD yang baru
sehingga menghasilkan nilai OD600 berkisar antara 0.2-0.3. Nilai OD600 dapat
dilihat dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis, dimana kultur yang
diambil berada pada fase mid log. Medium YEPD baru yang telah ditambahkan
kultur S. cerevisiae diinkubasi kembali selama 3 jam pada suhu 30oC dengan
kecepatan shaker yang sama. Proses ini dilanjutkan dengan melihat kembali nilai
OD600, sehingga nilai OD600 yang dihasilkan berada pada rentang 0.4-0.6, lalu
dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 12 menit (Yeast
protocols handbook, Clontech Laboratories Inc), selanjutnya endapan atau pelet
yang didapat dipisahkan dan ditimbang.
Medium cair YEPD pada awalnya berwarna kuning jernih, setelah dikultur
S. cerevisiae selama 12 jam, terbentuk endapan putih di bagian dasar medium
(Gambar 4.7). Pengecekan nilai OD600 pada medium yang dikultur S. cerevisiae
dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis, menunjukkan kerapatan dari sel
mikroorganisme dalam medium kultur (Myers et al, 2013).
A B C
pada lampiran 11. Hasil data yang didapat untuk proses biotransformasi dapat
dilihat pada tabel 4.1
1 2
Uji dengan - Fase log (medium - EPMS dengan pelarut etanol 96% dan DMSO - Nilai Rf untuk
bantuan shaker baru dengan 3 jam - Waktu biotransformasi 7 hari reaksi 1B tidak
2 = (1B) penambahan proses - Fase medium yang diekstraksi nampak
shaker)
321 3 21
- Fase mid log - Reaksi (1Ca)
(medium lama nampak jelas
dengan jam ke 12 perbedaan nilai Rf
setelah proses - Rendemen hasil
shaker) = (1Ca) reaksi yang
didapat 11.71 %
2 1
Reaksi secara statis
- EPMS dengan pelarut etanol 96% - nilai Rf masih
- Waktu biotransformasi 18 hari sama dengan
- Fase log (medium - Fase medium yang diekstraksi EPMS murni
Uji secara statis lama dengan 4.5 jam
= (2A) penambahan proses
shaker)
3 2 1
Reaksi bilayer
- Fase log (medium - Pelarut yang digunakan (n-heksan : diklorometan) - nilai Rf berbeda
baru dengan 5 jam - Waktu biotransformasi 3 hari dengan EPMS
penambahan proses murni
Uji bilayer 1 =
shaker)
(3A)
3 2 1
- Fase log (medium - Pelarut yang digunakan n-heksan - nilai Rf tidak ada
baru dengan 5 jam - Waktu biotransformasi 3 hari perbedaan dengan
penambahan proses EPMS murni
Uji bilayer 2 =
shaker)
(3B)
3 2 1
Keterangan gambar : (1) spot EPMS murni, (2) senyawa isolat (fase etil asetat/
fase diklorometan. Fase heksan), (3) fase air
Metode uji yang digunakan pada penelitian yang dilakukan ada 3 macam,
yaitu reaksi dengan bantuan shaker, reaksi secara statis dan reaksi bilayer. Ketiga
uji ini dibedakan dari segi proses penambahan EPMS dan proses
biotransformasinya. Reaksi dengan bantuan shaker dan reaksi secara statis
dikatakan sama jika ditinjau dari penambahan EPMS, dimana setelah pelet
S. cerevisiae didapat maka dihitung jumlah EPMS yang dibutuhkan dengan
perbandingan 1:70 (EPMS : S. cerevisiae) (Gideon, 2009), lalu EPMS dilarutkan
sebanyak 3 kali lalu didapatkan 3 lapisan. Fase diklorometan yang diambil ada
pada lapisan paling bawah, karena melihat berat jenis diklorometan lebih besar
dibandingkan pelarut lain yang digunakan. Filtrat yang didapat diberikan natrium
sulfat yang berfungsi untuk menarik sisa air yang masih terkandung, kemudian
diuapkan menggunakan rotary evaporator dan di tambahkan lagi sedikit etil asetat
lalu di analisis menggunakan KLT.
dengan bantuan shaker 1A dan 1B S. cerevisiae diambil pada fase log (setelah 12
jam dilakukan inkubasi dalam shaker lalu diinkubasi kembali didalam shaker
selama 3 jam pada medium baru) dan keduanya belum menghasilkan perubahan.
Namun pada reaksi uji dengan bantuan shaker 1C, (1Ca) S. cerevisiae yang
diambil pada fase mid log (setelah 12 jam dilakukan inkubasi dalam shaker),
(1Cb) fase log “baru” (setelah 12 jam dilakukan inkubasi dalam shaker lalu
diinkubasi kembali didalam shaker selama 5 jam pada medium baru) dan (1Cc)
pada fase log “lama” (setelah 12 jam dilakukan inkubasi dalam shaker lalu
diinkubasi kembali didalam shaker selama 4 jam pada medium lama).
Hasil yang menunjukkan perubahan yaitu pada reaksi 1Ca dan 1Cb,
keduanya menunjukkan nilai Rf yang berbeda, namun yang sangat terlihat jelas
dan nampak nyata perbedaannya yaitu reaksi 1Ca (Gambar 4.8).
A B
4 3 2 1 4 3 2 1
Gambar 4.8 Hasil KLT reaksi uji dengan bantuan shaker 1C. Keterangan : A)
visualisasi sinar UV λ 254 nm , B) visualisasi sinar UV λ 365 nm dan (1) EPMS
murni, (2) 1Cb, (3) 1Ca, (4) 1Cc.
(sumber: koleksi pribadi)
Nilai Rf yang didapat yaitu untuk reaksi 1Ca pada visualisasi sinar UV
λ 254 nm adalah 0.675 sedangkan untuk EPMS murni yaitu 0.425 dengan eluen
n-heksan dan etil asetat 9:1. Hal ini menggambarkan bahwa senyawa hasil reaksi
memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibanding EPMS murni. Berbeda
pada visualisasi sinar UV λ 365 nm, reaksi 1Ca memiliki nilai Rf 0.6 dan reaksi
1Cb yaitu 0.575 (perhitungan nilai Rf ada pada lampiran 12) namun untuk EPMS
murni tidak terlihat spotnya, karena EPMS tidak dapat berpendar pada sinar UV
λ 365 nm.
EPMS yang digunakan pada reaksi 1Ca ini sebanyak 0.0035 gram dan
jumlah akhir EPMS yang didapat setelah direaksikan adalah 0.041 gram.
Rendemen yang didapat yaitu 11.71%.
A B
3 2 1 3 2 1
Gambar 4.9 Hasil KLT reaksi bilayer 3A yang menandakan ada perubahan nilai
Rf pada visualisasi sinar UV λ 365 nm. Keterangan : A) visualisasi sinar UV λ
365 nm, B) visualisasi sinar UV λ 254 nm. (1) EPMS murni, (2) Fase
diklorometan, (3) Fase air.
(sumber : koleksi pribadi)
Hasil dianalisis dengan KLT, didapatkan nilai Rf untuk spot yang berbeda.
Nilai Rf fase diklorometan pada visualisasi sinar UV λ 365 nm yaitu 0.275 cm dan
nilai Rf EPMS murni dan fase diklorometan pada visualisasi sinar UV λ 254 sama
yaitu 0.625 cm (pada lampiran 13).
Biotransformasi senyawa etil p-metoksisinamat dengan S. cerevisiae
dengan beberapa optimasi, secara kualitatif dapat diubah menjadi senyawa yang
berbeda dari etil p-metoksisinamat murni, dilihat dari hasil KLT yang
menunjukkan perbedaan pada nilai Rf.
5.1 Kesimpulan
Penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Penelitian biotransformasi senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS)
menggunakan S. cerevisiae INVSc 1 dengan optimasi metode biotransformasi,
waktu biotransformasi, dan proses biotransformasi dapat menghasilkan
perubahan secara kualitatif.
2. Senyawa hasil reaksi bilayer dengan dua pelarut yang digunakan yaitu
n-heksan : diklorometan dan reaksi dengan bantuan shaker dengan fase
S. cerevisae yang digunakan yaitu pada fase mid log (1Ca), memiliki nilai Rf
yang berbeda dengan EPMS murni .
3. Hasil optimasi menunjukkan metode biotransformasi dengan bantuan shaker
selama 11 hari dengan fase S. cerevisiae yang digunakan yaitu mid log (1Ca)
menghasilkan perbedaan spot KLT yang paling baik diantara metode
biotransformasi lainnya.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan proses biotransformasi dengan menggunakan mikroorganisme
lain dan optimasi lainnya dari segi hal yang berbeda yang berpengaruh pada
reaksi biotransformasi.
2. Perlu dilakukan uji lanjutan secara kuantitatif dan identifikasi menggunakan
GCMS.
Lu, H., Zou, W. X., Meng, J. C., Tan, R. X. 2000. New bioactive metabolites
produced by Colletrotricum sp,an endophytic fungus in Artemisia annua.
Plant Sci. 151: 67-73
Manitto, P. 1992. Biosynthesis Of Natural Product. Semarang. IKIP Semarang
Press
Mufidah, Syarifatul. 2014. Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat
yang diperoleh dari Kencur (Kaempferia galanga L) melalui Transformasi
Gugus Fungsi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi. Skripsi. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Myers, A John., Curtis, S Brandon., Curtis, R Wayne. 2013. Improving accuracy
of cell and chromophore concentration measurements using optical density.
BMC Biophysics. 6:4
Nag, Sudipa., dan Mandal, Subrata. 2015. Importance of Ekangi (Kaepferia
galanga L) as Medicinal Plants- A Review. International Journal of
Innovative Research and Review. 3(1): 99-106.
Othman, R., Ibrahim, H., Mohd, M. A., Mustafa, M. R. And Awang, K. 2006.
Bioassay-guided isolation of a vasorelaxant active compound from
Kaempferia galanga L. Phytomedicine. 13: 61-66
P. K. Kochuthressia., Britto, John S., M.O, Jaseentha., and Raphael Rini. 2012. In
vitro antimicrobial evaluation of Kaempferia galanga L. Rhizome extract.
Amecrican Journal Biotechnology and Molecular Sciences. 2 (1): 1-5
Rahman, M. N. 2009. Aktivitas Anti Bakteri Senyawa Hasil Biotransformasi
Kurkumin oleh Mikroba Endofit Asal Kunyit. Skripsi. FMIPA Institute
Pertanian Bogor.
Rao V, Narasinga., Kaladhar, DSVGK. 2014. Antioxidant and antimicrobial
activities of rhizome extracts of Kaempferia galanga. World journal of
pharmacy and pharmaceutical sciences. Volume 3: 1180-1189
Reis, Vanda Renata., Bassi, Ana Paula Guarnieri., da Silva, Jessica Carolina
Gomes., Ceccato-Antonini, Sandra Regina. 2013. Characteristics of
Saccharomyces cerevisiae yeasts exhibiting rough colonies and
pseudohyphal morphology with respect to alcoholic fermentation. Brazilian
Journal of Microbiology. 44 (4): 1121-1131
Reza, Muhammad. 2015. Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat melalui reaksi
langsung dengan Iradiasi Microwave serta uji aktivitas sebagai
antiinflamasi. Program Studi Farmasi – Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
Rosazza. 2000. Microbial Transformation of Bioactive Compounds. Volume ke 1.
Florida: CRC Pr.
Sales, Edijane, Matos., Barros, Tania, Fraga., and Velozo, Eudes, Da silva. 2014.
Biotransformation of Coumarins by Saccharomycescerevisiae. World
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 3(12): 209-216.
Setiawati, Erlin. 2015. Biotransformasi sitronelal menjadi sitronelol oleh
Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang
Setyawan, Eko., Putratama, Pandhu., Ajeng, Astriningtyas dan Rengga Pita Dyah,
Wara. 2012. Optimasi yield etil p-metoksisinamat pada ekstraksi oleoresin
kencur (Kaempferia galanga L) menggunakan pelarut etanol. Vol 1(2):
2303-0623
Siswanto, Agus., Sri Rahayu, Wiranti., Utami, Pri Iswati. 2012. Formulasi Krim
Tabir Surya Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L).
Journal from JHPTUMP Digital Library Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Sukmawati, Heny. 2013. Biotransformasi Metabolit Sekunder Utama (Senyawa
X) dari Ekstrak n- Heksana Kencur (Kaempferia galanga L) oleh Jamur
Aspergillus niger ATCC 6275. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Tewtrakul, S., Yuenyongsawad, S., Kummee, S., and Atsawajaruwan, L. 2005.
Chemical Components and Biological Activities of Volatile Oil of
Kaempferia galanga L. Songklanakarin Journal of Science and Technology.
27(Suppl. 2): 503-507.
Umar, Muhammad I., Asnawi, Mohd Zaini., Sadikun, Amirin., Altaf, Rabia., and
Iqbal, Adnan Muhammad. 2011. Phytochemistry and medicinal properties
of Kaempferia galanga L (Zingiberaceae) extracts. Journal of pharmacy and
pharmacology. 5(14): 1639-1647
Umar, Muhammad I., Asnawi, Mohd Zaini., Sadikun, Amirin., Atangwho, Itern
J., Yam , Mun Fei., Altaf, Rabia., and Ahmed, Ashfaq. 2012. Bioactivity-
Guided Isolation of Ethyl-p-Methoxycinnamate, an Anti-inflammatory
Constituent, from Kaempferia galanga L. Extract. Molecules. 17: 8720-
8734.
Prabawati, Charinna Agus. 2015. Evaluasi daya penetrasi etil p-metoksisinamat
hasil isolasi dari rimpang kencur (Kaempferia galanga L) pada sediaan
salep, krim, dan gel. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Walker, J. M. And Rapley, R. 2002. Molekuler Biology and Biotechnology
Britain: Athenaeum Pr.
White, J. 1991. Procaryotic Physiology. London: Prentince Hall.
Widiastutik, Naning., Alami, Nur Hidayatul. 2014. Isolasi dan Identifikasi Yeast
dari Rhizosfer Rhizophora mucronata Wonorejo. Jurnal Sains dan Seni
POMITS. 3 (1): 2337-3520
Wijayakusuma, Hembing, M, H. 2000 . Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia
sebagai Produk Kesehatan. Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi.
Wiley, John., Sons, Inc. Current Protocols in Molecular Biology. 2008. Wiley
Interscience
Windono, Tri., Jany., Widji, Suratri. 1997. Aktivitas Tabir Matahari Etil p-
metoksisinamat yang diisolasi dari rimpang kencur. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia Volume 3. No. 4
Proses Dilakukkan
penghalusan kembali Maserasi dengan
dilakukan penimbangan n-heksan
dengan serbuk simplisia
blender
Nilai Rf =
Nilai Rf = = 0,5 cm
(a)
(b)
Keterangan : (a) waktu retensi etil p-metoksisinamat, (b) fragmentasi massa etil
p-metoksisinamat
(a)
(b)
Keterangan : (a) waktu retensi etil p-metoksisinamat, (b) fragmentasi massa etil
p-metoksisinamat
(a)
161
(b)
161
(c)
Keterangan : (a) waktu retensi etil p-metoksisinamat, (b) fragmentasi massa etil
p-metoksisinamat, (c) similarity index etil p-metoksisinamat
(a)
(b)
Lampiran 10. Hasil pengamatan proses peremajaan dan inkubasi selama 5 hari
Hari Hasil pengamatan
dan
Nampak depan Nampak belakang
tanggal
Jumat
13 Mei
2016
Sabtu
14 Mei
2016
Minggu
15 Mei
2016
Senin
16 Mei
2016
Selasa
17 Mei
2016
17 Juni – 30 Uji dengan - reaksi 1Ca n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase mid log (medium lama dengan jam - Reaksi 1Ca nampak
Juni bantuan shaker S. cerevisiae = 0.0035 gram ke 12 setelah proses shaker) = 1Ca jelas perbedaan nilai
3 = (1C) EPMS = 0.25 gram - Fase log (medium baru dengan 5 jam Rf
- reaksi 1Cb penambahan proses shaker) = 1Cb - Rendemen reaksi 1Ca
S. cerevisiae = 0.131 gram - Fase log (medium lama dengan 4 jam yang didapat 11.71 %
EPMS = 0.0018 gram penambahan proses shaker) = 1Cc - Nilai Rf untuk reaksi
- reaksi 1Cc - EPMS dengan pelarut etanol 96% 1Cb ada perbedaan
S. cerevisiae = 0.172 gram - Waktu biotransformasi 11 hari dengan EPMS murni
EPMS = 0.0024 gram - Fase medium dan fase endapan yang pada UV dengan
diekstraksi panjang gelombang
365 nm
- Nilai Rf untuk reaksi
1Cc tidak nampak
Reaksi secara statis
1 – 19 Juli Uji secara S. cerevisiae = 0.345 gram n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase log (medium lama dengan 4.5 jam - nilai Rf masih sama
statis = (2A) EPMS = 0.0049 gram penambahan proses shaker) dengan EPMS murni
- EPMS dengan pelarut etanol 96%
- Waktu biotransformasi 18 hari
- Fase medium yang diekstraksi
Reaksi bilayer
17 – 22 Juni Uji bilayer 1 = S. cerevisiae = 0.129 gram n-heksan : etil asetat (9:1) - Fase log (medium baru dengan 5 jam - nilai Rf hasil reaksi
(3A) EPMS = 0.0129 gram penambahan proses shaker) bilayer berbeda dengan
Nilai Rf =
Nilai Rf =