Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat I
Dosen Pengampu : Sutarman S.Kep.,Ns
Di Susun Oleh :
Nama : Dhevi Listiyana
Nim : S7066
Kelas : S17B
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur serviks adalah istilah yang merujuk pada fraktur atau patah pada leher. Ini
merupakan kondisi ortopedis yang muncul ketika vertebra pada bagian serviks tulang
belakang patah atau bergeser karena trauma parah seperti kecelakaan motor atau cedera
olahraga berdampak tinggi. Kondisi ini sering terjadi karena serviks adalah bagian kolom
tulang belakang yang paling banyak bergerak dan rentan terhadap cedera.
Serviks tulang belakang tediri dari tujuh segmen tulang vertebra yang dihubungkan oleh
sendi facet. Dua bagian paling atas disebut segmen C1 dan C2, keduanya bertanggung jawab
untuk pergerakan tengkorak kepala. Segmen C1 adalah penopang utama tengkorak kepala
dan memungkinkannya bergerak memutar. Sedangkan segmen C2 memungkinan kepala
serta leher berputar dan juga bergerak maju dan mundur. Namun, sekitar 50% fraktur serviks
terjadi pada segmen C6 dan C7, dan hanya 25% yang terjadi pada segmen C2. Kebanyakan
fraktur serviks bertaraf ringan hingga sedang. Akan tetapi, jika segmen C1 dan C2 yang
patah atau bergeser, maka dianggap serius dengan potensi fatal yang tinggi.Cedera apapun
pada serviks tulang belakang dapat membawa konsekuensi yang parah karena saraf tulang
belakang menghubungkan tubuh ke otak. Dalam kasus parah, kondisi ini dapat
menyebabkan kelumpuhan permanen dari leher ke bawah atau bahkan kematian.
B. Rumusan Masalah
C. TUJUAN
Tujuan umum
Tujuan kusus
PEMBAHASAN
Fraktur adalah rusaknya keutuhan struktur tulang Fraktur menurut Dorland (2012),
adalah pemecahan suatu bagian, khususnya tulang ; pecah atau rupture pada tulang. Fraktur
adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, fraktur adalah pemisahan atau patahnya
tulang. Sehingga fraktur servikal adalah terpisahnya kontinuitas tulang pada vertebra
servikalis. Fraktur servikal pang sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan
di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga
memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait
dengan fraktur servikal. Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan kedaruratan medis yang
membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang
dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher.
a.Trauma hiperfleksi
1) Subluksasi anterior Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher;
ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada
subluksasi anterior adalah adanya angulasu ke posterios (kifosis) local pada tempat
kerusakan ligament. Tanda-tanda lainnya: jarak yang melebar antara prosesus
spinosus, dan subluksasi sendi apofiseal.
5) Clay shovelers fracture Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament
posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus;
biasanya pada C4-C7 atau Th1.
b. Trauma fleksi rotasi Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun
terjadinya kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang
bersangkutan dan vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan distalnya tetap
dalam posisi lateral.
c.Trauma hiperkstensi
e. Kompresi vertical Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui
kepala, kondilus oksipitalis, ke tulang leher.
D. Anatomi Fisiologi
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis
dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha
dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis. Vertebralis
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Vertebrata servikalis Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip
dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus
spinasus paling panjang. Berjumlah 7 buah.
2. Vetebrata Thoracalis (atlas) Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki
corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Ukurannya semakin besar mulai dari atas
kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang
thorax.
3. Vertebrata Lumbalis Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar
ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
4. Os. Sacrum Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana
ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
5. Os. Coccygis Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna
vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero- pesterior : lengkung vertikal
pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah
lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang
menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka
mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk
(sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang
panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke
anterior adalah sekunder lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat
kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk
ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus
bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang
lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah.
Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat
badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan,
menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh
untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga (Evelyn. C. Pearch, 1997).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula oblongata, menjulur
kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan
kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah
sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong
durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang
sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara
bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit. Pada sumsum tulang belakang terdapat
dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna
melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-
saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang mengadakan komunikasi antara otak dan
semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan
struktur sebagai berikut :
1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam
ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior
mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan
impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf
motorik.
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah
torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot
interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah,
serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
E. Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga
(22%), terjatuh dari ketinggian (24%), dan kecelakaan kerja. Lewis (2000) berpendapat
bahwa tulang bersifat relative rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba
berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau
penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang daoat oatah pada temoat yang terkena
dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
llunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang seperti
halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling
sering dikemukakan pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau
calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang
normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut
sangat rapuh.
Hal yang perlu di observasi adalah tekanan darah, status pernapasan, dan cidera sistemik.
1. Trauma kaudal servikalis dan torakalis tinggi, menyebabkan hipotensi ringan dan
bradikardi (simpatektomi fungsional yang berespon terhadap infuse kritaloid atau koloid).
2. Pemeriksaan neurologik pada pasien sadar di pusatkan pada nyeri leher atau punggung,
hilangnya tenaga ekstermitas, tingkat sensoris dari tubuh, reflek tendon dalam (biasanya
tidak ada dibawah tingkat cedera kode akut).
3. Cedera di atas servikalis 5, menyebabkan quadriplegi dan gagal pernapasan.
4. Pada C 5 dan C 6 bisep lemah, C4 dan C5 deltoideus dan supra serta infraspinatus lemah.
5. Cedera C 7, menyebabkan kelemahan trisep, ekstensor pergelangan tangan dan pronator
lengan bawah.
6. Cedera T 1 dan dibawahnya menyebabkan paraplegi dan hilang sensoris.
7. Kompresi pada region torak bawah dan lumbalis menyebabkan konus medularis atau
sindrom kauda equina.
8. Dislokasi hiperrefleksi dari vertebra servikalis menyebabkan kuadriplegia traumatik.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pertama trauma medula spinalis adalah imobilisasi eksternal untuk
stabilisasi sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment yang baik,
dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder. Setelah transportasi dan evaluasi
awal telah lengkap, extended-external fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan.
Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat direhabilitasi.
1. Imobilisasi dan traksi.
Halo vest sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina servikal. Philadelphia
collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan
ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J collar bersifat mirip tetapi lebih kaku dan
lebih nyaman untuk sandaran. Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur
spina servikal adalah
thermoplastic Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik dalam
membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan halo vest sedangkan halo
vest lebih bagus dalam membatasi rotasi dibandingkan TMBJ
2. Farmakoterapi
a. Farmakoterapi standar pada trauma medula spinalis berupa metilprednisolon 30
mg/kgBB secara bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah
cedera. Jika terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah
cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan
dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon
dapat dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi
tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4
mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif dimana terjadi
peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam waktu 6 minggu
pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari metilprednisolon ini
kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi terhadap peroksidasi lipid
dibandingkan efek glukokortikoid.
b. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus lambung.
Menurut Harrison (2000), setiap pasien dengan cedera kepala berat, secara potensial
berhubungan dengan ketidakstabilan kolumnar spinalis. Perawatan pasien dimulai
pada tempat kecelakaan. Leher harus diimobilasasi untuk mencegah kerusakan
medulla spinalis, harus diperhatikan selama pemindahan, pemeriksaan fisik, dan
radiologi, untuk mencegah ekstensi leher atau rotasi dan mencegah torsi rotasi dari
vertebra torakalis.
DAFTAR PUSTAKA
Syaifuddin. (2011). Anatomi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan. Edisi kedua. Jakarta:
EGC.
Ivones, J Hidayat.2011. Buku Ajar Orthopedi dan fraktur . Jakarta: Widya Medika
Hudak, Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Holistik Edisi VI . Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2013. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi pada Praktik Klini
Keperawaatan. Jakarta: EGC