Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Semakin berkembangnya kegiatan ekonomi antar masyarakat dan antar


bangsa, masalah yang dihadapi oleh para pihak juga semakin beragam dan tidak
menutup kemungkinan menimbulkan sengketa. Sengketa berawal pada situasi di
mana pihak yang satu merasa dirugikan oleh pihak lain.

Timbulnya sengketa di bidang perdagangan dalam perkembangannya


dapat diselesaikan melalui mekanisme litigasi (Pengadilan) maupun nonlitigasi (di
luar pengadilan) atau alternatif penyelesaian sengketa/APS. Dalam penyelesaian
sengketa nonlitigasi harus didasarkan pada itikat baik dari para pihak, sehingga
proses penyelesaiannya dapat dilakukan secara cepat sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 1 butir 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Sedangkan arbitrase
juga merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase. Penyelesaian sengketa nonlitigasi mulai dikenal oleh
masyarakat, khususnya di bidang perdagangan. Hal ini dapat dicermati dari
berbagai kontrak di bidang perdagangan sudah mulai mencantumkan klausul
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (khususnya arbitrase).

1.2 rumusan masalah

1) Apakah pengertian dan pengelompokkan sengketa?

2) bagaimana sebab timbulnya sengketa?

3) bagaimana penyelesaian sengketa?


1.3 tujuan

1. untuk mengetahui apa itu sengketa dan pengelompokkannya

2. untuk mengetahui sebab timbulnya sengketa

3. untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sengketa Dan Pengelompokkannya

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi
antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara
kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara
perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan negara lainnya. Dengan kata
lain, sengketa dapat bersifatpublik maupun keperdataan dan dapat terjadi baik
dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.
Sengketa adalah suatu perkara yang terjadi antara para pihak yang bersengketa
di dalamnya mengandung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah
pihak. Sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik.
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-
kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.

pegelompokkan sengketa:

1. Sengketa antarindividu, misalnya perselisihan dalam keluarga akibat


perceraian seperti masalah anak, pembagian harta benda, warisan, dan
lain-lain.

2. Sengketa antara individu dan badan hukum, misalya masalah


ketenagakerjaan di mana perselisihan timbul antara pegawai dan
perusahaan mengenai upah, jam kerja, pemberian pesangon, dan lain-
lain.

3. Sengketa antarbadan hukum, misalnya perselisihan antarkorporasi dimana


perusahaan yang satu menggugat perusahaan lainnya.

B. Sebab-sebab Timbulnya Sengketa

Berikut ini beberapa teori tentang sebab-sebab timbulnya sengketa


menurut Takdir Rahmadi, antara lain :

1) Teori hubungan masyarakat


Teori hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya ketidak
percayaan dan rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para penganut
teori ini memberikan solusi-solusi terhadap konflik-konflik yang
timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling pengertian
antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta
pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima
keberagaman dalam masyarakat.
2) Teori negosiasi prinsip
Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena
adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur teori
ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan, maka
pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan
masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap.
3) Teori identitas
Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang
merasa identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas
mengusulkan penyelesaian konflik karena identitas yang terancam
dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara wakil-wakil
kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan mengidentifikasikan
ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta
membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah
pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok
semua pihak.
4) Teori kesalahpahaman antar budaya
Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi
karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari
latar belakang budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan dialog
antara orang-orang yang mengalami konflik guna mengenal dan
memahami budaya masyarakat lainnya, mengurangi stereotipe yang
mereka miliki terhadap pihak lain.
5) Teori transformasi
Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan
yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat baik
sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini berpendapat bahwa
penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti
perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para
pihak yang mengalami konflik, serta pengembangan proses-proses dan
sistem untuk mewujudkan pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan
pengakuan keberadaan masing-masing.
6) Teori kebutuhan atau kepentingan manusia Pada intinya, teori ini
mengungkapkan
bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan
manusia tidak dapat terpenuhi/ terhalangi atau merasa dihalangi oleh
orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan
psikologis. Kepentingan substantif (substantive) berkaitan dengan
kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan kebendaan seperti
uang,sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan. Kepentingan
prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan
masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological)
berhubungan dengan non-materiil atau bukan kebendaan seperti
penghargaan dan empati.

C. Dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:

1. Penyelesaian Sengketa melalui pengadilan

a. litigasi

Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau


yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa
yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan
untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim.

Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana


semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk
mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu
penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose
solution (Nurnaningsih Amriani, 2012: 35).

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis,
menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal,
tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang
bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu
penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di
luar proses peradilan formal ini lah yang disebut dengan “Alternative Dispute
Resolution” atau ADR (Yahy Harahap, 2008: 234).
2. penyesaian sengketa di luar pengadilan

a. Arbitrase

Arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan ,


berdasarkan pada perjanjaian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan ditunjuk
berdasarkan kesepakatan para pihak apabila mereka menghendaki penyelesaian
persengketaan yang timbul diantara mereka diputus oleh seseorang atau beberapa
orang arbiter yang bertindak sebagai pemutus yang tidak memihak.

1) Mekanisme Arbitrase

UU No.30 Tahun 1999 termasuk arbitrase. Adapun mekanisme arbitrase


menurut UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

a) Permohonan arbitrase dilakukan dalam bentuk tertulis dengan


cara menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter atau majelis
arbitrase yang memuat identitas para pihak, uraian singkat
tentang sengketa yang disertai dengan lampiran bukti-bukti dan
isi tuntutan yang jelas. Kemudian surat tuntutan dan surat
permohonan tersebut disampaikan kepada termohon yang
disertai perintah untuk memberikan tanggapan dan jawaban
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya tuntutan
oleh termohon, selanjutnya diteruskan kepada pemohon.
Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrasem
memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka
sidang arbitrase dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung
sejak dikeluarkannya surat perintah tersebut.
b) Pemeriksaan sengketa arbitrase harus dilakukan secara tertulis,
kecuali disetujui para pihak maka pemeriksaan dapat dilakukan
secara lisan. Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau
majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Jumlah arbiter harus
ganjil, penunjukan 2 (dua) arbiter dilakukan oleh parapihak
yang memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter
yang ketiga yang nantinya bertindak sebagai ketua majelis
arbitrase. Arbiter yang telah menerima penunjukan tersebut
tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
c) Dalam sidang pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai
kesepakatan maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu
akta perdamaian yang sifatnya final dan mengikat para pihak
dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan perdamaian
tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka
pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan.
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180
(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase
terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan
persetujuan para pihak apabila diperlukan.
d) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan
para pihak dapat dipanggil seorang atau lebih saksi atau saksi
ahli untuk didengar kesaksiannya yang sebelumnya disumpah.
Saksi atau saksi ahli tersebut dapat memberikan keterangan
tertulis atau didengar keterangannya di muka sidang arbitrase
yang dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
e) Putusan arbiter atau majelis arbitrase diambil berdasarkan
ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan,
putusan tersebut harus diucapkan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dapat juga dilakukan dengan
menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional
berdasarkan kesepakatan para pihak, yang dilakukan menurut
peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali
ditetapkan lain.

2) Putusan Arbitrase

 Putusan Arbitrase Ditinjau dari Bentuknya


Undang-Undang No. 30 tahun 1999 sebagaimana telah dicantumkan,
terutama pasal 32 ayat (1), pasal 44 ayat (2), pasal 45 ayat (1) dan pasal 60,
dapatlah disimpulkan bahwa bentuk putusan arbitrase ada 4 (empat) macam:

a). Putusan Sela

Putusan sela yang dimaksud disini sesuai dengan pengertian


putusan sela dimaksud dalam pasal 185 HIR(herzien inlandsch
reglement) yang menentukan bahwa: (1) Keputusan yang bukan akhir,
walaupun harus diucapkan dalam persidangan seperti halnya putusan
akhir, tidak dibuat sendiri-sendiri, akan tetapi termasuk dalam berita
acara persidangan.

keputusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk


sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau
majelis arbitrase, terhadap sesuatu hal yang ada hubungannya dengan
pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan kemudahan dalam
penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir.

Sebagai contoh adalah permohonan dari penuntut agar


pembangunan sebuah bangunan dihentikan dulu sampai perkara pokok
tentang sengketa kepemilikannya dapat diselesaikan dengan baik, dan
tidak menambah permasalahan kelak pada saat putusan akhir diajuhkan
dan dilaksanakannya putusan tersebut.

b) Putusan Akhir

Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari


arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian
sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan,
di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam
persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai
pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang
terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula.
Putusan mana telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitraseyang
bersangkutan.

c) Putusan Perdamaian

Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase,


yang tida didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan
tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan
termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat
tercapai atas prakarasa arbiter maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri
persengketaan antara pihak-pihak dan mengikat untuk para pihak,
bersifat final dan mempunyai daya kekuatan eksekutorial.

Putusan perdamaian ini oleh karena sudah final dapat dianggap


sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang
tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Oleh
karena putusan perdamaian ini juga tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat
(2) jo pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), maka ketentuan pasal 4 dan pasal 5
harus diperhatikan di dalam putusan perdamaian ini.

d) Putusan Verstek.

Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majeli arbitrase di


luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan,
berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 (sepuluh) hari
setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan
pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis
arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasar
hukum. Putusan mana bersifat final dan mempunyai daya kekuata
eksekutorial.

 Putusan Arbitrase Ditinjau dari Sifatnya


Walaupun dalam UU No. 30 tahun 1999, sama sekali tidak menjelaskannya,
akan tetapi berhubung dalam Bab VI tentang "pelaksanaan putusan Arbitrase"
pada pasal 64 ditegaskan bahwa : "Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah
Ketua Pengadilan Negeri , dilaksanakan sesuai ketentua pelaksanaan putusan
dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap",
makadengan sendirinya kita akan sampai kepada berbagai putusan arbitrase, yang
apabila ditinjau dari segi sifatnya, terdiri dari 3 macam, sebagai berikut:

a) putusan yang bersifat deklaratoir


Putusan yang diktumnya bersifat deklaratoir, adalah diktum
putusan yang bersifat menerangkan saja atau menegaskan saja tentang
suatu keadaan hukum. Misalnya diktum yang berbunyi: "Si A adalah anak
angkat yang syah dari si B". Putusan seperti ini, walaupun ditemukan
dalam putusan arbitrase, tidak akan dapat dilaksanakan oleh Pengadilan
Negeri.
b) Putusan yang bersifat konstitutif

Putusan yang diktumnya constitutif adalah putusan yang sifatnya


meniadakan suatu keadaan hukum atau yang menimbulkan suatu keadaan
hukumyang baru, misalnya diktum putusan yang mengatakan seorang
pailit atau yang mengatakan seseorang itu telah melakukan wanprestasi.
Diktum putusan seperti ini, walupun memang sah dan diperbolehkan
adanya, akan tetapi termasuk juga kepada diktum putusan yang tidak dapat
dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri secara riil.

c) Putusan yang bersifat condemnatoir

Putusan condemnatoir, adalah diktum putusan yang berisi


penghukuman terhadap suatu pihak. Misalnya termohon dihukum untuk
membayar hutang sejumlah tertentu kepada pemohon. Putusan seperti
inilah yang dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri secara riil.

 Putusan Arbitrase Ditinjau dari Sistematikanya Isi Putusan


UU No. 30/1999 yang berkaitan dan relevan dengan suatu putusan arbitrase,
Suatu putusan arbitrase yang lengkap di samping harus memuat seperti disebut
dalam pasal 54 ayat 1 isinya dapat pula mencakup hal-hal lain sebagai berikut:

1. Hasil pemeriksaan terhadap saksi-saksi secara singkat, baik yang diajukan


pemohon ataupun termohon. (pasal 37 ayat 3).

2. Hasil pemeriksaan setempat yang dilakukan aleh arbiter. (pasal 37 ayat 4).

3. Bunyi tuntutan balasan yang dikemukakan oleh termohon dalam jawabannya.


(pasal 42 ayat 1).

4. Tanggapan pemohon terhadap tuntutan balasan tersebut, yang dikemukakan


Pemohon dalam repliknya.

5. Perincian bukti yang diajukan oleh para pihak (pasal 46 ayat 2).

6. Kesimpulan para pihak untuk terakhir kali.

7. Pernyataan yang sah dan berharganya sita jaminan yang telah dilaksanakan

penyitaannya.

8. Pengajuan penjelasan tambahan dan bukti-bukti lain yang dianggap perlu

oleh arbiter (pasal 46 ayat 3).

3) Pembatalan Putusan Arbitrase


Pasal 70 menentukan terhadap putusan arbitrase para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur:
1) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2) ,setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
3) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Contoh alasan yang tidak disebutkan dalam Pasal 70, akan tetapi menurut
UU Arbitrase nampaknya dapat digunakan oleh pengadilan dalam hal pembatalan
putusan arbitrase, adalah alasan bahwa sengketa yang diputus menurut hukum
tidak dapat diarbitrasekan (non-arbitrable). Dalam hal ini, ketentuan penjelasan
Pasal 72 (2) menyebutkan bahwa: "Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan
bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain
akanmemeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu
sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Berdasarkan ketentuan
ini, UU Arbitrase jelas mengatur kewenangan pengadilan untuk mengabulkan
permohonan pembatalan putusan arbitrase dan menentukan bahwa suatu sengketa
tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.

Mekanisme arbitrase

(menurut uu no. 30 tahun 1999)

Para pihak Para pihak

sengketa

Arbitrase
Dipimpin oleh:
Dalam
-arbitrase waktu 30
Arbitrase hari
-majelis umum
Acara institusional
Pemeriksaan
30 Hari

Pendapat & Pelaksanaan pendapat &


keputusan arbirase putusan arbitrase

Tidak dapat di
Di laksanakan
laksanakan

kasasi kasasi

Mahkama agung Mahkama agung

b. Mediasi
1) Pengertian Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang


dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak
sebagai fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap
diambil oleh para pihak itu sendiri, tidak oleh mediator.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi memberikan arti sebagai
proses mengikut sertakan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasihat. Pengertian tersebut mengandung tiga unsur penting, yaitu:
1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang
terjadi antar dua pihak atau lebih.

2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak


yangberasal dari luar pihak bersengketa.

3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai


penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan
keputusan.

Lawrence Bolle menekankan bahwa mediasi merupakan proses pengambilan

keputusan yang dilakukan pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga
yaitu mediator. Bahwa kewenangan pengambilan keputusan sepenuhnya adalah
ditangan para pihak bersengketa dan posisi mediator hanyalah membantu para
pihak dalam mengambil keputusan tersebut.

J. Folberg dan A. menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui


mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh para pihak bersengketa dan dibantu
oleh pihak ketiga yaitu pihak netral. Pihak netral atau mediator
dapatmengembangkan dan menawarkan pilihan penyelesaian sengketa dan para
pihak dapat mempertimbangkannya tawaran mediator sebagai alternatif menuju
kesepakatan dalam penyelesaian sengketa. Mediasi dapat membawa para pihak
mencapai kesepakatan tanpa merasa ada pihak yang menang atau pihak yang
kalah (win-win solution).

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008


tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, juga terdapat defenisi mediasi yakni
terdapat pada Pasal 1 Angka 7, yang isinya “ mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator”.

Defenisi mediasi yang terdapat di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 ini
tidak jauh berbeda dengan defenisi para ahli. Namun, di dalam PERMA No.1
Tahun 2008 ini mediasi lebih menekankan bahwa yang penting di dalam sebuah
mediasi itu adalah mediator. Mediator harus mampu mencari alternatif-alternatif
penyelesaian sengketa tersebut. Apabila para pihak sudah tidak menemukan lagi
jalan keluar untuk menyelesaikan sengketa tersebut maka mediator tersbut harus
dapat memberikan solusi-solusi kepada para pihak. Solusi-solusi tersebut haruslah
kesepakatan bersama dari si para pihak yang bersengketa. Disinilah terlihat jelas
peran penting mediator.

Dari beberapa rumusan pengertian mediasi diatas, dapat di simpulkan


bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui
perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non intervention)

dan tidak memihak (impartial) kepada para pihak yang bersengketa serta diterima
kehadirannya oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut dinamakan
“mediator” atau “penengah”, yang tugasnya membantu para pihak yang
bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan.

Mediasi berdasarkan prosedurnya dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Mediasi yang dilakukan diluar pengadilan (UU No. 30 Tahun


1999)Mediasi diluar pengadilan dilakukan oleh para pihak tanpa
adanya proses perkara dipengadilan, hasil kesepakatan yang diperoleh
dari proses mediasi diluar pengadilan ini dapat diajukan ke pengadilan
untuk mendapatkan pengukuhan sebagai akta perdamaian yang
memiliki kekuatan layaknya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewisjde)

2. Mediasi yang dilakukan di pengadilan (Pasal 130 HIR/154 RBg Jo.


PERMA No 1 Tahun 2008) mediasi ini adalah proses mediasi yang
dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata ke pengadilan.
Dengan merujuk kepada ketentuan pasal 130 HIR/154 RBg bahwa
setiap sengketa yang diperiksa dipengadilan wajib menempuh
perdamaian terlebih dahulu, maka berdasarkan ketentuan tersebut
Mahkamah Agung berupaya memberdayakan lembaga perdamaian
berdasarkan pasal 130 HIR/154 RBg dengan memasukkan konsep
mediasi kedalam proses perkara di pengadilan.

Kesepakatan perdamaian akan menjadi penyelesaian yang tuntas karena


hasil akhirnya tidak menggunakan prinsip win-lose solution. Kesepakatan
yangtelah dikukuhkan menjadi akta perdamaian merupakan suatu penyelesaian
yang mengikat dan final (final and binding). Mengikat karena setiap butir-butir
yang disepakati dalam akta perdamaian dapat dilaksanakan melalui proses
eksekusi jika kemudian hari salah satu pihak mengingkari.

Final berarti bahwa dengan dikukuhkannya kesepakatan menjadi akta


perdamaian, maka tertutup segala upaya hukum yang tersedia bagi para pihak.
Jika salah satu pihak dikemudian hari \

tidak mau melaksanakan kesepakatan dalam akta perdamaian maka


pelaksanaannya akan dilakukan secara paksa melalui lembaga eksekusi atas
permohonan dari pihak yang mneghendakinya.

2) Model-Model Mediasi

Lawrence Boulle, membagi mediasi dalam beberapa jenis diantaranya:

1. Settlement mediation, dekenal sebagai mediasi kompromi merupakan mediasiyang


tujuan utamanya adalah untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan
kedua belah pihak yang bertikai.

2. Facilitative mediation, yang juga disebut sebagai mediasi yang berbasis kepentingan
(interest-based) dan problem solving yang bertujuan untuk menghindarkan para
pihak yang bersengketa dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan
kepentingan para pihak hak-hak legal mereka secara kaku.

3. Transformative mediation, yang juga dikenal sebagai mediasi terapi dan


rekonsiliasi. Mediasi ini menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari
munculnya permasalahan dipihak yang bersengketa, dengan pertimbangan untuk
meningkatkan hubungan diantara mereka melalui pemberlakuan dan pemberdayaan
sebagai dasar resolusi konflik dari pertikaian yang ada.
4. Evaluative mediation, yang juga dikenal sebagai mediasi normative merupakan
model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak-hak
legal dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang diantisipasi oleh
pengadilan.

3) Fungsi Mediator

Menurut Fuller sebagaimana dikutipoleh Suyud Margono, menyebutkan 7


(tujuh)fungsi mediator, yakni :

1) Sebagai katalisator (catalyst) mengandung pengertian bahwa kehadiran


mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana
yang konstruktif bagi diskusi.

2) Sebagai pendidik (educator) berarti seorang mediator harus berusaha


memahami aspirasi,prosedur kerja, keterbatasan politis dan kendala
usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri
dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.

3) Sebagai penerjemah (translator), berarti mediator harus berusaha


menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak
lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak
lainnya, tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.

4) Sebagai Narasumber (resource person), berarti seorang mediator harus


mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.

5) Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news), berarti seorang


mediator harus menyadari, bahwa para pihak dalam proses perundingan
dapat bersikap emosional, maka mediator harus mengadakan pertemuan
terpisah dengan pihak-pihak untuk menampung berbagai usulan.

6) Sebagai agen realitas (agent of reality), berarti mediator harus berusaha


memberi pengertian secara terang kepada salah satu pihak bahwa
sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal untuk dicapai melalui
perundingan.

7) Sebagai kambing hitam (scapegoat), berarti seorang mediator harus siap


disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

4) Tahapan-tahapan mediasi

Secara garis besar dapat dikemukakan tahapan-tahapan mediasi sebagai


berikut :

1) Tahap pembentukan forum. Pada awal mediasi, sebelum rapat antara


mediator dan para pihak, mediator menciptakan atau membentuk forum. Setelah
forum terbentuk, diadakan rapat bersama. Mediator memberi tahu kepada para
pihak mengenai bentuk dari proses, menjelaskan aturan dasar, bekerja berdasar
hubungan perkembangan dengan para pihak dan mendapat kepercayaan sebagai
pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai wewenangnya dengan para
pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila para pihak sepakat melanjutkan
perundingan, para pihak diminta komitmen untuk mentaati aturan yang berlaku.

2) Tahap kedua: pengumpulan dan pembagian informasi. Setelah tahap awal


selesai, maka mediator meneruskannya dengan mengadakan rapat bersama,
dengan meminta pernyataan atau penjelasan pendahuluan pada masing- masing
pihak yang bersengketa. Pada tahap informasi, para pihak dan mediator saling
membagi informasi dalam acara bersama dan secara sendiri-sendiri saling bagi
informasi dengan mediator, dalam acara bersama. Apabila para pihak setuju
meneruskan mediasi, mediator kemudian mempersilahkan masing-masing pihak
menyajikan versinya mengenai fakta dan patokan yang diambil dalam sengketa
tersebut. Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan
informasi, tetapi tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan pertanyaan atau
melakukan interupsi apapun. Mediator memberi setiap pihak dengar pendapat
mengenai versinya atas sengketa tersebut. Mediator harus melakukan kualifikasi
fakta yang telah disampaikan, karena fakta yang disampaikan para pihak
merupakan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh masing- masing
pihak agar pihak lain menyetujuinya. Para pihak dalam menyampaikan fakta
memiliki gaya dan versi yang berbeda-beda, ada yang santai,ada yang emosi, ada
yang tidak jelas, ini semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian
dilanjutkan dengan diskusi terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-
masing pihak, untuk mengukuhkan bahwa mediator telah mengerti para pihak,
mediator secara netral membuat kesimpulan atas penyajian masing-masing pihak,
mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap perspektif atau patokan
mengenai sengketa.

3) Tahap ketiga, merupakan tahap penyelesaian masalah. Selama tahap tawar-


menawar atau perundingan penyelesaian problem, mediator bekerja dengan para
pihak secara bersama-sama dan terkadang terpisah, menurut keperluannya, guna
membantu para pihak merumuskan permasalah menyusun agenda untuk
membahas masalah dan mengevaluasi solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang
mediator mengadakan “caucus” dengan masing-masing dalam mediasi.

Suatu caucus merupakan pertemuan sendiri para pihak pada satu sisi atau
suatu pertemuan sendiri antara para pihak pada satu sisi dengan mediator.
Mediator menggunakan caucus (bilik kecil) untuk mengadakan pertemuan pribadi
dengan para pihak secara terpisah, dalam hal ini mediator dapat melakukan tanya
jawab secara mendalam dan akan memperoleh informasi yang tidak diungkapkan
pada suatu kegiatan mediasi bersama. Mediator juga dapat membantu suatu pihak
untuk menentukan alternatif-alternatif untuk menyelesaikannya, mengeksplorasi
serta mengevaluasi pilihan-pilihan, kepentingan dan kemungkinan penyelesaian
secara lebih terbuka. Apabila mediator akan mengadakan caucus, harus
menjelaskan penyelenggaraan caucus ini kepada para pihak, menyusun perilaku
mediator sehubungan dengan caucus yang mencakup kerahasiaan yaitu mediator
tidak akan mengungkapkan apapun pada pihak lain, kecuali sudah diberi
wewenang untuk itu. Hal ini untuk menjaga netralitas dari mediator dan akan
memperlakukan yang sama pada para pihak.

4) Tahap pengambilan keputusan.


Dalam tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk
memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi yang dapat
diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para pihak
mengidentifikasi solusi yang mungkin, para pihak harus memutuskan sendiri apa
yang akan mereka setujui atau sepakati.

Akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama, yang
kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat membantu untuk
menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian agar seefisien
mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang tertinggal di dalam
perundingan

Mekanisme mediasi

Para Pihak Para Pihak

Perorangan
Mediator
Mediasi
Lembaga negara

Tidak sepakat sepakat Kesepakatan


final & banding

Didaftarkan pada
pengadilan negeri

Tidak
dilaksanakan
dilaksanakan

Permohonan fiat
eksekusi
eksekusi

c. Negosiasi,
Negosiasi yaitu cara untuk penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah)
secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para
pihak tersebut. Jadi, negosiasi tampak sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan
dan bukan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari. Dalam praktik, negosiasi dilakukan
karena 2 alasan, yaitu :
(1) untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri,
misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling
memerlukan untuk menentukan harga, dalam hal ini tidak terjadi sengketa; dan

(2) untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul diantara para pihak.

1. Strategi Negosiasi

Menurut Garry Goodpaster, dikatakan meskipun mekanisme negosiasi sangat


kompleks dan beragam, namun secara esensial ada tiga strategi dasar negosiasi yaitu :

1). Bersaing (competiting); Negosiasi dengan cara bersaing atau kompetitif, disebut juga
“hard bargaining” (tawar-menawar bersikeras),distributif, posisional, “zero-sum
bargaining” (menang tawar- menawar sebesar kekalahan pihak lawan) atau “win-lose
bargaining” (tawar-menawar menang kalah). Negosiasi bersaing mempunyai maksud
memaksimalisasi keuntungan yang didapat pelaku tawar- menawar kompetitif
terhadap pihak lain, yaitu untuk mencari kemenangan, berupaya mendapatkan harga
termurah, laba yang besar, biaya rendah, persyaratan yang lebih menguntungkan
dibandingkan dengan pihak lain.

2). Kompromi (compromising); Strategi negosiasi kompromi disebut juga “soft


bargaining” (negosiasi lunak), “win-somelose-some” (mendapat dengan member) atau
“take and give bargaining”. Hal ini berarti bahwa salah satu pihak harus memberi
ganti atas beberapa yang diinginkan agar mendapat sesuatu. Pada prinsipnya satu
pihak harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan kesepakatan, negosiator tidak
mendapatkan semua yang diinginkannya, tetapi hanya sebagian.
3). Kolaborasi pemecahan masalah (problem solving).

Negosiasi berkolaborasi pemecahan masalah (problem solving) disebut juga negosiasi


integratif atau kepentingan (positive-sum atau win-win). Strategi ini para pihak
bertujuan memenuhi kepentingan sendiri, juga kepentingan pihak mitra untuk
memaksimalkan keuntungan, para pihak harus berkolaborasi guna menyelesaikan
problem dari penemuan tindakan bersama yang dapat mereka lakukan guna memenuhi
kepentingan masing- masing. Terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi
jalannya negosiasi, yaitu :

(1) kekuatan tawar-menawar;

(2) pola tawar-menawar;

(3) strategi dalam tawar-menawar.

2. Tahapan negosiasi

Melakukan negosiasi untuk menyelesaikan sengketa harus melalui tahapan-


tahapan sebagaimana pendapat Howard Raiffa (seperti dikutip oleh Suyud Margono)
sebagai berikut :

1). Tahap persiapan

Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang harus dipersiapkan adalah


apa yang dibutuhkan/ diinginkan. Dengan kata lain, negosiator harus mengenali dulu
kepentingan sendiri sebelum mengenali kepentingan pihak lain, misalnya seberapa
terbukanya informasi yang harus diberikan, dimana perundingan akan dilaksanakan, apa
sasaran yang diinginkan. Tahap ini sering diistilahkan dengan know your self. Dalam
tahap persiapan ini, juga perlu menelusuri berbagai alternatif lainnya, apabila alternatif
terbaik atau maksimal tidak tercapai atau disebut BATNA (Best Alternative To A
Negotiated Agreement). Dalam tahap ini perlu juga menentukan hal-hal yang bersifat
logistik, seperti siapa yang harus bertindak sebagai perunding, perlukah menyewa
perunding yang mempunyai ketrampilan khusus, apabila perundingan bersifat
internasional bahasa apakah yang akan digunakan serta siapa yang bertanggung jawab
menyediakan penerjemah. Selanjutnya dilakukan simulasi (simulated role playing), hal
ini sangat bermanfaat dalam mempersiapkan strategi bernegosiasi.
2). Tahap tawaran awal (opening gambit)

Dalam tahap ini seorang perunding melakukan strategi tentang siapa yang harus
lebih dahulu menyampaikan tawaran, bagaimana menyikapi tawaran awal tersebut.
Apabila ada dua tawaran dalam perundingan, biasanya midpoint (titik diantara dua
tawaran) merupakan solusi atau kesepakatan, sebelum midpoint dijadikan kesepakatan
hendaknya dibandingkan dengan level aspiration para pihak.

3). Tahap pemberian konsesi (the negotiated dance)

Konsesi yang harus dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi
yang diberikan oleh pihak lawan. Seorang perunding harus melakukan kalkulasi yang
tepat tentang agresifitas, seperti bagaimana menjaga hubungan baik dengan pihak lawan,
empati terhadap pihak lawan, dan fairness. Negosiator mempunyai peranan penting dalam
konsesi dan menjaga posisi tawar sampai pada tingkat yang diinginkan.

4). Tahap akhir permainan (end play)

Tahap akhir permainan ini meliputi pembuatan komitmenmatau membatalkan


komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya. Lebih lanjut Howard Raiffa menyatakan,
agar suatu negosiasi dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan yang
bersifat stabil, ada beberapa kondisi yang mempengaruhinya, di antaranya sebagai
berikut:

1). Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran penuh


(willingness);

2). Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);

3). Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);

Mekanisme negosiasi

(menurut uu n0. 30 tahun 1999)

Para pihak Para pihak

kesepakatan Sepakat/setuju
negosiasi
negosiasi Oleh negosiator para pihak

sepakat Tidak sepakat

Pendaftaran perjanjian
mediasi
akta kesepakatan pada
pengadilan negeri

Tidak dilaksanakan dilaksanakan

Permohonan fiat eksekusi


eksekusi

d. Konsultasi

Pada dasarnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak menjelaskan


secara tentang pengertian konsultasi dan bagaimana prosedurnya. Namun, banyak
pendapat yang dikemukakan oleh ahli tentang konsultasi. Salah satu definisi
konsultasi seperti yang dikemukakan oleh Zins bahwa konsultasi ialah suatu
proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik hubungan yang sama yang
ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama
dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk
mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat
memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab
dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan.[1]

Konsultasi menurut wiktionary adalah sebuah pertemuan atau konferensi


untuk saling bertukar informasi dan saran. Konsultasi didefinisikan oleh Audit
Commission (1999) sebagai sebuah proses dialog yang mengarah kepada sebuah
keputusan. Definisi tersebut menyiratkan tiga aspek dalam konsultasi :

1) Konsultasi adalah sebuah dialog, di dalamnya ada aktifitas berbagi dan


bertukar informasi dalam rangka untuk memastikan pihak yang
berkonsultasi agar mengetahui lebih dalam tentang suatu tema. Oleh
karenanya konsultasi adalah sesuatu yang edukatif dan inklusif.
2) Konsultasi adalah sebuah proses. Konsultasi adalah sebuah proses
yang interaktif dan berjalan.
3) Konsultasi adalah tentang aksi dan hasil. Konsultasi harus dapat
memastikan bahwa pandangan yang dikonsultasikan mengarahkan
kepada sebuah pengambilan keputusan. Oleh karenanya konsultasi
adalah tentang aksi dan berorientasi kepada hasil.

Layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai


konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan
cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu
terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah).
Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang
dilakukan oleh konselor kepada konsulti dan tahap penanganan yang dilakukan
oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi
adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.

Layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:


1) Konsultan seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan
untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi
masalah klien.
2) Konsulti yaitu pribadi atau seorang professional yang secara langsung
memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
3) Klien yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai masalah.

Terdapat tiga etika dasar konseling yaitu kerahasiaan, kesukarelaan, dan


keputusan diambil oleh klien sendiri (kemandirian). Etika dasar ini terkait
langsung dengan asas konseling. Asas ini juga berlaku pada layanan konsultasi.
Ketiga asas ini diuraikan sebagai berikut:

a). Asas Kerahasiaan

Seorang konselor diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan, dengan harapan


adanya kepercayaan dari semua pihak maka mereka akan memperoleh manfaat
dari pelayanan konsultasi. Asas kerahasiaan pada layanan konsultasi yang
dimaksudkan adalah menyangkut jaminan kerahasiaan identitas konsultasi dan
pihak ketiga, dan jaminan kerahasiaan terhadap permasalahan yang dialami pihak
ketiga.

b). Asas Kesukarelaan

Kesukarelaan yang dimaksudkan pada layanan konsultasi adalah


kesukarelaan dari konselor dan konsulti. Konselor secara suka dan rela membantu
konsulti untuk membantu mengarahkan bantuan pemecahan masalah yang akan
diberikan kepada pihak ketiga. Kesukarelaan konsulti yaitu bersikap sukarela
dating sendiri kepada konselor dan kemudian terbuka mengemukakan hal-hal
yang terkait dengan konsulti sendiri dan pihak ketiga dengan tujuan agar
permasalahan yang dialami pihak ketiga segera terselesaikan.

c). Asas Kemandirian

Pada layanan konsultasi, konsulti diharapkan mencapai tahap-tahap kemandirian


berikut:
1) Memahami dan menerima diri sendiri secara positif dan dinamis.

2) Memahami dan menerima lingkungan secara objektif, positif dan dinamis.

3) Mengambil keputusan secara positif dan tepat.

4) Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambil.

e. penilaian AHLI

Penilaian Ahli adalah suatu upaya mempertemukan pihak yang berselisih dengan
cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di
bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan. Penilaian ahli berupa
keterangan tertulis yang merupakan hasil telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang
dimiliki untuk membuat terang pokok sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli
ini dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad hoc.

Anda mungkin juga menyukai