Anda di halaman 1dari 21

ASKEP CKD + HD

1.      DEFINISI CKD
Menurut  National  Kidney Foundation (NKF)  Kidney  Disease Outcome
Quality  Initiative (K/DOQI), 2002,  Chronic Kidney  Disease
(CKD) atau  Penyakit  Ginjal  Kronik  (PGK)  adalah  kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus kurang dari 60 ml/menit/1,73
m². Pada keadaan tidak
terdapat  kerusakan  ginjal  lebih  dari  3  bulan,  dan  LFG  sama  atau  lebih dari  60
ml/menit/1,73 m², tidak termasuk kriteria CKD.
CKD merupakan suatu penurunan fungsi jaringan ginjal secara progresif sehingga
massa  ginjal  yang  masih  ada  tidak  mampu  lagi  mempertahankan lingkungan
internal  tubuh  (Black  &  Hawks 2005).  Adapun  batasan penyakit  ginjal  kronik
menurut  Suwitra  (2006)  bahwa  penyakit  ginjal kronik  adalah  suatu  proses
patofisiologi  dengan  etiologi  yang   beragam, mengakibatkan  penurunan  fungsi
ginjal  yang  progresif,  dan  pada umumnya  berakhir  dengan  gagal  ginjal.
Selanjutnya  gagal  ginjal  adalah  suatu  keadaan  klinis   yang  ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal  yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi   pengganti  ginjal  yang  tetap,  berupa  dialisis  atau transplantasi  ginjal.
Uremia  adalah  suatu  sindrom  klinik  dan  laboratorik yang  terjadi  pada  semua organ, akibat
penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Chronic Kidney Disease( CKD )atau  End Stage Renal Disease (ESRD) adalah
kerusakan  fungsi  ginjal  yang  progresif  dan  tidak  dapat  pulih kembali,  dimana
tubuh  tidak  mampu  memelihara  metabolisme  dan  gagal memelihara
keseimbangan  cairan  dan  elektrolit  berakibat  peningkatan ureum  (azotemia) (Smeltzer, et al.
2008).

2.      KLASIFIKASI
Sistem klasifikasi CKD yang sekarang dipakai diperkenalkan oleh NKFK/DOQI
berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis,laboratorium dan pencitraan.
Tujuan adanya sistem klasifikasi adalah untukpencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal, dan
penatalaksanaan yang dapatmengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari end stage
renal disease(ESRD).
Namun demikian sistem klasifikasi ini hanya dapat diterapkan padapasien dengan usia 2
tahun ke atas, karena adanya proses pematangan fungsiginjal pada anak dengan usia di bawah 2
tahun.
  
Tabel 1. Klasifikasi stadium CKD NKF-K/DOQI
Stadium GFR Deskripsi
2
(ml/mnt/1,73 m )
1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan GFR
normal/meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
berat
5 < 15 atau dialisis Gagal ginjal

Tabel 2. GFR normal pada anak dan remaja


Usia GFR rata-rata ± SD (ml/mnt/1,73 m2)
1 minggu (laki-laki dan perempuan) 41 ± 15
2-8 minggu (laki-laki dan perempuan) 66 ± 25
> 8 minggu (laki-laki dan perempuan) 96 ± 22

2-12 tahun (laki-laki dan perempuan) 133 ± 27

13-21 tahun (laki-laki) 140 ± 30


13-21 tahun (perempuan) 126 ± 22

3.      ETIOLOGI
Penyebab CKD diberbagai negara hampir sama. Berdasarkan penyebabnya, NKF K/DOQI
membagi CKG menjadi 3 kelompok besar (Tjokroprawiro dkk 2007):
a.       Penyakit Ginjal Diabetik: Diabetes tipe 1 dan 2
b.      Penyakit Non-Diabetik:
1)      Penyakit glomerulus (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat-obatan, keganasan)
2)      Penyakit-penyakit pembuluh darah (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
3)      Penyakit-penyakit tubulointerstisiel (ISK, batu, obstruksi, keracunan obat)
4)      Penyakit-penyakit kista (penyakit ginjal polikistik)
c.       Penyakit pada Transplantasi
1)      Rejeksi kronik
2)      Toksisitas obat (siklosporin atau takrolimus)
3)      Penyakit rekuren (penyakit glomerulus)
4)      Glomerulopati transplant
Penyebab  CKD  yang  menjalani  hemodialisa  di  Indonesia menurut  PERNEFRI
tahun 2000, adalah
a)      Glomeruloneritis   46,39%
b)      Diabetes Mellitus   18,65%
c)      Obstruksi dan infeksi   12,85%
d)     Hipertensi     8,46%
e)      Sebab lain    13,65%
Penyebab  lain  adalah  :  infeksi,  penyakit  peradangan,  penyakit  vaskuler
hipersensitif,  gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan herediter, gangguan
metabolism, nefropati toksik, nefropati obstruksi, dan intoksikasi obat.
4.      PATOFISIOLOGI
Menurut Price (2005) terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk
menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandangan tradisional
mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang
berbeda, beda, dan bagian bagian spesifik nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat
saja benar benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organik pada medulla akan
merusak susunan anatomik pada lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars
asendens lengkung Henle yang akan menggangu proses aliran balik pemekat dan aliran balik
penukar.
Mekanisme yang dapat menyebabkan CKD adalah glomerulosklerosis,parut
tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.
a.       Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif glomeruli yang
dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular. Kerusakan sel intraglomerular
dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel) dan ekstrinsik
(trombosit, limfosit, monosit/makrofag). Sel endotel dapat mengalami kerusakan akibat
gangguan hemodinamik, metabolik dan imunologis. Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi
fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit
serta pembentukan mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta munculnya mikroinflamasi.
Akibat mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium sedangkan faktor
pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel miofibroblas
sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mampu bereplikasi terhadap
jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis glomerulus dan menarik sel
inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal menyebabkan formasi adesi kapsular dan
glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi material amorf di celah paraglomerular dan
kerusakan taut glomerulo-tubular sehingga pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis
interstisial
b.       Parut tubulointerstisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi fibroblas
interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan keseimbangan produksi dan
pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan fibrosis ireversibel
c.        Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi iskemi
interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan sumber miofibroblas yang
berperan dalam berkembangnya fibrosis interstisial ginjal
Meskipun penyakit gagal ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut harus di
eksreksi oleh ginjal untuk memperahankan hemeostatis tidaklah berubah, kendati  jumlah nefron
yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting
dilakukan oleh ginjal sebagai respon ancaman ketidak seimbangan cairan dan elektrolit. Sisa
nefron yang ada mengalami hipertropi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban
ginjal.
Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorbsi tubulus dalam
setiap nefron mesikun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turuh
dibawah nilai normal. Namun akhirnya apabila sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga
keseimbangan glomerulus dan tubulus tidak dapat lagi dipertahankan (Price 2005).
Sedangkan menurut Suwitra (2006)
patofisiologi  awalnya  tergantung dari  penyakit  yang  mendasari  dan  pada perkembangan
lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya pengurangan
massa  ginjal  mengakibatkan hipertrofi  struktural  dan  fungsional  nefron  yang masih tersisa
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti  sitokin  dan growth  factor  sehingga  menyebabkan  terjadinya  hiperfiltrasi yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, yang diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan pada
akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal  yang  dipengaruhi  oleh  growth  factor  Transforming Growth  Factor  β (TGF-β)
menyebabkan  hiperfiltrasi,  sklerosis  dan progresifitas.  Selain  itu progresifitas penyakit ginjal
kronik juga dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan ginjal
(renal  reverse)  dimana  basal  laju  filtrasi  glomerulus  (LFG) masih  normal  atau malah
meningkat dan dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif  ditandai  adanya  peningkatan  kadar urea  dan  kreatinin  serum.  Sampai pada LFG
sebesar 60%, masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat  badan  dan  setelah terjadi  penurunan  LFG  dibawah  30%  terjadi  gejala  dan
tanda  uremia yang  nyata  seperti  anemia,  peningkatan  tekanan  darah,  gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi
infeksi  pada  saluran  perkemihan,  pencernaan  dan  pernafasan,  terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Pada
LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih berat dan memerlukan terapi pengganti
ginjal  (renal  replacement  therapy)  antara  lain dialisis  atau  transplantasi  ginjal (Suwitra
2006).
Perubahan fisiologis yang dapat terjadi sebagai dampak CKD adalah :
a.       Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urine
(hipothenuria)  dan  kehilangan  cairan  yang  berlebihan (poliuria).  Hipothenuria tidak
disebabkan atau berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh
peningkatan  beban  zat  tiap  nefron. Hal  ini  terjadi  karena  keutuhan  nefron  yang membawa
zat tersebut dan kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak dapat
berfungsi  lama. Terjadi  osmotik  diuretik,  menyebabkan  seseorang  menjadi dehidrasi.
Jika  jumlah  nefron  yang  tidak  berfungsi  meningkat  maka  ginjal  tidak mampu
menyaring  urine  (isothenuria).  Pada  tahap  ini  glomerulus menjadi  kaku  dan
plasma  tidak  dapat  difilter  dengan  mudah  melalui tubulus.  Maka  akan  terjadi kelebihan
cairan dengan retensi air dan natrium.
b.      Ketidakseimbangan Natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius dimana ginjal dapat
mengeluarkan  sedikitnya  20-30  mEq  natrium  setiap  hari atau  dapat  meningkat sampai 200
mEq perhari. Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan “ intact
nephron   theory”.  Dengan  kata  lain,  bila terjadi  kerusakan  nefron  maka  tidak
terjadi  pertukaran  natrium.  Nefron menerima  kelebihan  natrium  sehingga menyebabkan GFR
menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat
pada  gangguan gastrointestinal,  terutama  muntah  dan  diare.  Keadaan  ini
memperburuk hiponatremia  dan  dehidrasi.  Pada  CKD  yang  berat  keseimbangan
natrium  dapat  dipertahankan  meskipun  terjadi  kehilangan  yang fleksibel  nilai
natrium.  Orang  sehat  dapat  pula  meningkat  di  atas  500 mEq/hari.  Bila  GFR
menurun  di  bawah  25-30  ml/menit,  maka ekskresi  natrium  kurang  lebih  25
mEq/hari,  maksimal  ekskresinya  150-200  mEq/hari.  Pada  keadaan  ini  natrium dalam diet
dibatasi 1-1,5 gram/hari.
c.       Ketidakseimbangan Kalium
Jika  keseimbangan  cairan  dan  asidosis  metabolik  terkontrol maka hiperkalemia
jarang  terjadi  sebelum  stadium  4.  Keseimbangan kalium  berhubungan  dengan
sekresi  aldosteron.  Selama  output  urine dipertahankan  kadar  kalium  biasanya
terpelihara.  Hiperkalemia  terjadi karena  pemasukan  kalium  yang  berlebihan,
dampak  pengobatan, hiperkatabolik  (infeksi),  atau  hiponatremia.  Hiperkalemia juga
merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat. Pada penyakit tubuler ginjal,
nefron ginjal meresorbsi kalium sehingga ekskresi kalium meningkat. Jika hipokalemia persisten,
kemungkinan GFR menurun dan produksi NH3 meningkat. HCO3 menurun dan natrium
bertahan.
d.      Ketidaseimbangan asam basa
Asidosis  metabolik  terjadi  karena  ginjal  tidak  mampu mengekskresikan  ion Hidrogen
untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan ketidakmampuan
pengeluaran ioh H. Dan pada umumnya penurunan ekskresi H
sebanding  dengan  penurunan  GFR. Asam  yang  secara  terus-menerus  dibentuk oleh
metabolisme dalam tubuh tidak difiltrasi secara efektif melewati glomerolus,
NH3  menurun  dan  sel tubuler  tidak  berfungsi.  Kegagalan  pembentukan
bikarbonat memperberat  ketidakseimbangan.  Sebagian  kelebihan  hidrogen
dibuffer oleh  mineral  tulang.  Akibatnya  asidosis  metabolik  memungkinkan terjadinya
osteodistrophy.
e.       Ketidakseimbangan Magnesium
Magnesium pada tahap awal CKD adalah normal, tetapi menurun secara progresif dalam
ekskresi urine menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang
berlebihan mengakibatkan henti napas dan jantung.
f.       Ketidakseimbangan Calsium dan Fospor
Secara normal calsium dan pospor dipertahankan oleh parathyroid hormon  yang
menyebabkan  ginjal  mereabsorbsi  kalsium,  mobilisasi calsium  dari  tulang  dan
depresi  resorbsi  tubuler  dari  pospor.  Bila fungsi  ginjal  menurun  20-25  %  dari
normal,  hiperpospatemia  dan hipocalsemia  terjadi  sehingga  timbul
hiperparathyroidisme  sekunder. Metabolisme  vitamin  D  terganggu.  Dan  bila
hiperparathyroidisme berlangsung  dalam  waktu  lama  dapat  mengakibatkan
osteorenaldystrophy.
g.      Gangguan Fungsi Hematologi
Ginjal merupakan tempat produksi hormon eritropoetin yang mengontrol produksi
sel  darah  merah.  Pada  gagal  ginjal  produksi eritropoetin  mengalami  gangguan
sehingga  merangsang  pembentukan sel  darah  merah  oleh  bone  marrow.
Akumulasi  racun  uremia  akan menekan  produksi  sel  darah  merah  dalam  bone marrow dan
menyebabkan masa hidup sel darah merah menjadi lebih pendek.
Manifestasi  klinis  anemia  diantaranya  adalah  pucat,  takikardia, penurunan
toleransi  terhadap  aktivitas,  gangguan  perdarahan  dapat terjadi  epistaksis,
perdarahan  gastrointestinal,  kemerahan  pada  kulit  dan jaringan  subkutan.
Meskipun  produksi  trombosit  masih  normal  akan tetapi  mengalami  penurunan
dalam  fungsinya  sehingga  menyebabkan terjadinya  perdarahan.  Peningkatan kehilangan sel
darah merah dapat terjadi akibat pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan  laboratorium dan  selama  dialisis.  Gagal  ginjal  juga  dapat menurunkan
hematokrit.
h.      Retensi Ureum kreatinin
Urea  yang  merupakan  hasil  metabolik  protein  meningkat (terakumulasi).  Kadar
BUN  bukan  indikator  yang  tepat  dari  penyakit ginjal  sebab  peningkatan  BUN
dapat  terjadi  pada  penurunan  GFR  dan peningkatan  intake  protein.  Tetapi kreatinin serum
adalah indikator yang lebih baik pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan
jumlah yang diproduksi tubuh secara konstan.

5.      MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis menurut Suyono (2001) dalam Rendy (2012) adalah sebagai berikut:
a.       Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardiac dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b.      Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental, suara krekels
c.       Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus,
perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi, dan perdarahan mulut, nafas bau amonia
d.      Gangguan musculoskeletal
Restles leg syndrom (pegal pada kaki sehingga selalu digerakkan), burning feet syndrom (rasa
kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi
otot-otot ekstremitas)
e.       Gangguan integument
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal-
gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh
f.       Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan amenore.
Gangguan metabolik glukosa, lemak, dan vitamin D.
g.      Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

6.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada Chronic Kidney Disease (CKD)
a.       Laboratorium
1)      Pemeriksaan analisa urin
Menggunakan tes dipstick, mendeteksi adanya hematuria, piuria, dan proteinuria
2)      Pemeriksaan mikroskopis urin
a)      Pada anak banyak ditemukan hyalin cast
b)      Nekrosis tubular akut banyak ditemukan granular cast
c)      Pada kasus infeksi ditunjukkan dengan adanya red cell cast
d)     White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atauinterstitial nephritis
Berikut hasil pemeriksaan urinalisis yang berkaitan dengan adanya penyakit pada ginjal:
3)      Pemeriksaan kimiawi serum
Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang paling penting,
sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase,
hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk terapi dan pencegahan
komplikasi CKD. Nilai normal untuk kadar urea dalam darah berkisar 8-24 mg/dl pada laki-laki
dan pada wanita berkisar 6-21 mg/dl. Nilai normal kreatinin berkisar antara 0,6-1,3 mg/dl (SI:
62-115 µmol/L).
4)      Penghitungan laju filtrasi gromerulus
Pengukuran ini dimaksudkan untuk menilai jumlah nefron yang masih berfungsi untuk
melakukan filtrasi. Pemeriksaan eGFR (Estimated Glomerular Filtratin Rate) adalah perkiraan
untuk menentukan kemampuan fungsi ginjal dalam menyaring atau membersihkan darah
menggunakan perhitungan rumus schwartz berdasarkan kreatinin darah, umur dan jenis kelamin.
Namun demikian, perhitungan eGFR tidak bisa digunakan pada wanita hamil, obesitas, sangat
kurus, asites, anak-anak dan usia lanjut (diatas 65 tahun). Untuk keadaan seperti ini harus
melakukan CCT (Creatinin Clerence Test).
Pemeriksaan CCT (Creatinin Clerence Test) untuk menentukan kemampuan fungsi ginjal
lebih teliti dalam menyaring atau membersihkan darah, menggunakan perhitungan berdasarkan
pengukuran kadar kreatinin darah, kreatinin urin 24 jam, berat badan, tinggi badan, dan volume
urin yang dikumpulkan selama 24 jam, pengumpulan urin selama 24 jam tidak boleh ada yang
terbuang.

b.      Pencitraan
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui penyebab dari CKD. Pemeriksaan
pencintraan meliputi:
1)      Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
2)      Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena aman, mudah,
dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas terpilih untuk kemungkinan
penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi
massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid,
jugasering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
3)      CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan
USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untukmengidentifikasi batu ginjal. CT Scan
dengan kontras harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari
terjadinya gagal ginjalakut. 
4)      MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak dapat
menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untukmendeteksi adanya trombosis vena
renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri
renalis.
5)      Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan radioisotope
scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid  (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif
dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan
diagnosisstandar untuk mendeteksi nefropati refluks.
6)      Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan radionukleotida
untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
7)      Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk mendiagnosis dan
menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini diindikasikan apabila dari anamnesis
didapatkan kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya
hidronefrosis.
8)      Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid sekunder yang
merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usiatulang untuk memberikan terapi
hormon pertumbuhan.
           
7.      PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah
komplikasi, yaitu sebagai berikut.
a)      Koreksi hiperkalemi. Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan menimbulkan
hiperkalemia. Sealin dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan
EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi
intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa (Muttaqin 2011).
Penurunan GFR sampai di bawah 50% nilai normal akan disertai penurunan reabsorpsi
bikarbonat yang menyebabkan asidosis sistemik, akibatnya terjadi degradasi protein dan efluks
kalsium dari tulang. Terapi ditujukan untuk mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum
sebesar 20-22 mEq/L (20-22 mmol/L) dengan cara pemberian suplemen sodium bikarbonat atau
pengikat fosfat. Hiperkalemia dapat terjadi karena ketika penyakit ginjal memburuk, tubulus
distal yang terisisa terus menerus mensekresikan kalium. Peningkatan aldosteron juga
mendorong sekresi kalium dengan menstimulasi pertukaran natrium-kalium di ginjal dan kolon.
Hipokalemia dapat juga terjadi pada anak yang menderita CKD, namun cenderung terjadi pada
pasien yang memiliki defek tubular seperti pada sindrom Faconi. (Whyte& Fine 2008)
b)     Koreksi anemia. Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor defisiensi, kemudian
mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada
keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi
yang kuat, misalnhya ada insufisiensi koroner (Muttaqin 2011).
c)      Koreksi asidosis. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium
bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat
diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis peritoneal dapat
juga mengatasi asidosis (Muttaqin 2011).Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK
adalah hyperkalemia dan asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah
mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia
membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi :
         . Diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran berlebih.
         Menghindari penggunaan diuretic K-sparring : furosemide, spironolactone.
Pengobatan hyperkalemia tergantung derajat kegawatannya
Gawat : glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate); glukosa intravena (25-50 %);
insulin 10-20 unit; natrium bikarbonat intravena (25-100 ml 8,4 % NaHCO3); dapat digunakan
juga insulin kerja cepat 2 U yang dicampur dextrose 40% 25 cc, diberikan bolus IV.
Meningkatkan : Furosemid Ekskresi kalium : K-exchange resin; dialysis Asidosis menyebabkan
keluhan mual, lemah, air-hunger dan drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya
diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara per-
oral (PPDT, 2008)
d)     Pengendalian hipertensi. Pemberian obat betabloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakuka.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua
gagal ginjal disertai retensi natrium (Muttaqin 2011). Pemantauan faal ginjal secara serial perlu
dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE dan ARB. Apabila
dicurigai adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE merupakan
kontraindikasi (Rendy&Margareth 2012).
e)      Diit tinggi kalori dan rendah protein. Diit rendah protein (20-40 gram/hari) dan tinggi kalori
menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureania dan
menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Kebutuhan kalori minimal 35
kcal/kgBB/hari. Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan
BUN dan akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat
progresivitas penurunan faal ginjal. Hindari masukan dari kalium dan garam (Rendy&Margareth
2012).Sedangkanmenurutkeluargasehat hospital, diet rendah protein
diberikanuntukpasienpenyakitginjalkronik
         Sebelum hemodialisis (pre-dialisis) dengan jumlah protein yang boleh dikonsumsi adalah 0,6-
0,75 g/kg berat badan/hari. Asupan garam yang dianjurkan sebelum dialysis antara 2,5 – 5 gr
garam/hari, pembatasan asupan kalium dianjurkan bila kadar kalium dalam darah> 5,5 meq dan
asupan kalium yang dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari. Bahan makanan yang tinggi kalium
berupa umbi, buah-buahan, kacang-kacangan, tidak dianjurkan mengkonsumsi : kentang,
alpokat, pisang, mangga, tomat, daun singkong, rebung, bayam.
         Pada pasien hemodialisis 1 -12 gram/kgBB ideal/hari
         Pasien hemodialisis 1 -1,2 gram/kgBB ideal/hari
         Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
f)       Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti alumunium hidroksida (300-
1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000 mg) pada setiap makan (Rendy&Margareth 2012).
g)      Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan diterapi lebih
ketat (Rendy&Margareth 2012).
h)     Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolit toksik dan dikeluarkan
oleh ginjal (Rendy&Margareth 2012).
i)        Optimilisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Biasanya diusahakan
hingga tekanan vena jugularis meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pengawasan
dilakukan melalui berat badan, urine dan pencatatan keseimbangan cairan. Pemberian cairan
disesuaikan dengan produksi urin. Yaitu produksi urin 24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam
tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal
mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide dosis tinggi masih dapat digunakan pada awal PGK,
akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontraindikasi.
Penimbangan berat badan, pemantauan produksi urin serta pencatatan keseimbangan cairan akan
membantu pengelolaan keseimbangan cairan dan garam(Rendy&Margareth 2012)
j)       Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius, seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumnsi secar bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka (Muttaqin 2011). Segera
persiapkan setelah gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialisis biasanya adalah
gagal ginjal dengan gejala klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi konservatif, atau terjadi
komplikasi. Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam (2008)
bahwa dialysis dapat diberikan pada pasien gagal ginjal dengan stadium 5 yaitu GFR < 15 dan
jika ada uremia. Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanankan proses tersebut
(Smeltzer, 2008)
Pemberian dialisis juga diklasifikasikan oleh Smeltzer (2008) menurut waktu
pemberiannya yaitu dialisis akut dan dialisis kronik.
         Dialisis akut
Akut diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang meningkat (kalium serum > 6 mEq/L),
kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang mengancam, asidosis yang meningkat,
perikarditis atau konfusi berat. Tindakan ini juga digunakan untuk menghilangkan obat-obat
tertentu atau toksin lain (keracunan atau dosis obat yang berlebihan).
         Dialisis Kronik
Sedangkan dialysis kronik dibutuhkan pada GGK (penyakit ginjal stadium terminal) dalam
keadaan sebagai berikut : terjadinya tanda-tanda dan gejala uremia (ureum darah >200 mg/L)
yang mengenai seluruh sistem tubuh (mual, serta muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi,
konfusi mental),  kadar kalium serum meningkat (> 6 mEq/L), muatan cairan berlebih yang tidak
responsif terhadap terapi diuretic serta pembatasan cairan, dan penurunan status kesehatan yang
umum. Disamping itu terdengarnya pericardial friction rub melalui auskultasi merupakan
indikasi yang mendesak untuk dilakukan dialisis.
Berdasarkan metode, dialysis dibagi menjadi dua yaitu  (smeltzer, 2008) :
o   Hemodialisis (HD)
Hemodialisis adalah sebuah terapi yang menghilangkan sampah dan cairan berlebih
daridarah. Selama hemodialisis, darah dipompa melalui selang lembut ke mesin dialisis yang
akan menuju fliter khusus yang disebut dialyzer (juga disebut ginjal buatan). Saat darah difiltrasi,
darah akan dikembalikan ke aliran darah. Untuk dapat disambungkan dengan mesin dialisis,
pasien harus mempunyai akses atau pintu masuk ke aliran darah. Terapi ini biasanya dilakukan 3
kali seminggu. Tiap terapi berlangsung selama 3-5 jam. Hemodialisis dapat dilakukan di rumah
atau di pusat HD. Pusat HD berlokasi di dalam rumah sakit atau layanan kesehatan. Syarat
melakukan HD di rumah antara lain pasien harus memiliki cukup ruangan untuk peralatan dan
cukup air dan listrik untuk mengoperasikan mesin dialisis dan mesin purifikasi. Pasien juga
membutuhkan pendamping  saat dialisis.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) umumnya
indikasi dialisa pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG <15 ml/ menit) sehingga
dialysis baru dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal di bawah ini :
o   Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
o   Kalium serum > 6 mEq/L
o   Ureum darah> 200 mg/L
o   Ph darah< 7,1
o   Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
o   Fluid overloaded

Akses Hemodialisis
Jika pasien memilih HD, pasien perlu memiliki akses permanen atau pintu masuk ke aliran
darah. Ini dilakukan dengan pembedahan minor, biasanya pada lengan. Ada dua jenis akses
vascular permanen:
a)      Fistula
Sebuah fistula direkomendasikan sebagai akses. Ini dibuat dengan menggabungkan artei ke vena
di dekatnya di bawah kulit untukmembuat vaskuler yang lebih besar.
Tipe ini dipilih karenamengakibatkan masalah yang sedikit dan bertahan lama. Pasien harus
dievaluasi oleh bedah vaskuler minimal 6 bulan sebelum memulai dialisis. Dokter akan
melakukan pemeriksaan ultrasound untuk melihat pembuluh darah yang ideal untuk fistula.
Tindakan ini disebut dengan“vessel mapping”. Fistula harus disiapkan terlebih dahulu (beberapa
bulan sebelum dimulai dialisis), sehingga ada waktu untuk penyembuhan dan siap untuk
digunakan HD.
b. Graft
Jika pembuluh darah tidak sesuai untuk dilakukan fistula, graft dapat
dilakukan. Tindakan ini menggabungkan arteri dan vena
di dekatnyadengan selang lembut dari sintetik. Graft ini dimasukkan di bawahkulit.
Selain itu terdapat juga akses vascular yang sifatnya temporer :
a)      Kateter
Akses ketiga, disebut dengan kateter, dimasikkan ke dalam vena besar di leher atau dada. Ujung
dada selang berada diatas kulit luar tubuh.
Tipe ini umum nya digunakan untuk dialysis periode pendek. Kateter digunakan menetapjika
fistula atau graft tidak dapat dilakukan.
         Peritoneal Dialisis (PD)
Dalam Updates Clinical Practice Guidelines for Hemodialysis Adequacy (2006) pada
peritoneal dialisis (PD), darah dibersihkan di dalam tubuh bukan di luar tubuh pasien.
Peritoneum bekerjasebagai filter alami. Cairan pembersih yang disebut dialisat,
dialirkan ke dalam abdomen melalui selang lembut yang dinamakan kateter PD. Kateter
dipasang melalui pembedahan minor. Sampah dan kelebihan cairan keluar dari darah ke dalam
cairan dialisat. Setelah beberapa jam, pasienmengalirkan cairan dialisat yang
sudah digunakan dari abdomen danmengisi ulang dengan cairan pembersih yang
baru untuk memulai proses kembali. Mengeluarkan cairan yang telah digunakan dan mengisi
cairan baru membutuhkan waktu setengah jam dan hal ini disebut “exchange”. Peritoneal
dialisis dapat dilakukan di rumah, saat bekerja, di sekolah atau selama perjalanan. Peritoneal
dialysis merupakan terapirumahan. Banyak pasien yang
memilih terapi ini merasa diberifleksibilitas. Indikasi dilakukannya Peritoneal Dialisis (PD)
menurutSmeltzer (2008) antara lain :
o   Pasien yang menjalani hemodialisis maintenance yang mempunyai masalah seperti :gangguan
fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa haus yang berlebihan, hipertensi berat, sakit
kepala pasca dialisis, dan anemia berat yang memerlukan transfusi.
o   Pasien yang menunggu operasi cangkok ginjal.
o   Penyakit ginjal stadium akhir akibat DM
o   Lansia
Prosedur
Seperti halnya tindakan yang lain, keputusan untuk memulai PD
diputuskanoleh pasien dan keluarga setelah konsultasi dengan dokter. Pasien bisa saja
mengalami kejadian akut yang mengharuskan pengobatan jangka pendek untuk memperbaiki
gangguan cairan dan elektrolit, atau mungkin mengalami ERSD membutuhkan perawatan yang
berkelanjutan. Berikut prosedur pelaksanaan PD (Smeltzer, 2008):
a)      Persiapan pasien
Persiapan perawat kepada pasien dan keluarga terhadap tindakan PD adalah tergantung status
fisik dan psikologis pasien, pengalaman sebelumnya terhadap dialysis, dan pemahaman terhadap
prosedur. Perawat menjelaskan prosedur kepada pasien dan membantu untuk mengambil
keputusan dengan dasar berat badan pasien, dan kadar serum elektrolit. Pasien dianjurkan untuk
mengosongkan kandung kemih dan usus untuk mengurangi risiko tusukan organ internal selama
tindakan. Agen antibiotic dengan spektrum luas mungkin dapat diberikan untuk mencegah
infeksi. Tindakan pemasangan kateter peritoneal dapat dilakukan di dalam ruang radiologi, ruang
operasi, atau di tempat tidur. Hal tersebut tergantung situasi, dan perlu diberikan penjelasan
terlebih dulu ke pasien dan keluarga.
b)      Persiapan alat
Selain mempersiapkan perlatan untuk tindakan PD, perawat juga berkonsultasi dengan dokter
untuk menentukan konsentrasi dari dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan yang akan
ditambahkan. Heparin dapat ditambahkan untuk mencegah pembentukan fibrin dan oklusi
resultan dari kateter peritoneal. kalium klorida dapat diresepkan untuk mencegah hipokalemia.
antibiotik dapat ditambahkan untuk mengobati peritonitis (radang membran peritoneal) yang
disebabkan oleh infeksi. Dan insulin reguler dapat ditambahkan untuk pasien dengan diabetes.
c)      Tindakan
Memasukkan Kateter Idealnya, memasukkan kateter peritoneal dilakukan di dalam kamar
operasi atau ruang radiologi untuk mempertahankan aseptic dan meminimalkan risiko
kontaminasi. Namun, dalam beberapa situasi, dokter dapat melakukan tindakan ini di tempat
ridur pasien menggunakan teknik aseptic. Kapanpun kateter digunakan, perawatan secara hati-
hati dan observasi terhadap perforasi usus sangat penting untuk meminimalkan terjadinya
komplikasi.

k)     Transplantasi ginjal.
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh
ginjal yang baru (Muttaqin 2011). Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pilihan bagi
mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap akhir. Pasien memilih transplantasi ginjal dengan
berbagai alasan, seperti keinginan untuk menghindari dialisis atau untuk memperbaiki perasaan
sejahtera dan harapan hidup untuk hidup secara normal. Selain itu,  biaya transplantasi ginjal
yang sukses dibandingkan dialysis adalah sepertiganya. Transplantasi ginjal melibatkan
menanamkan ginjal dari donor hidup yang sesuai dan cocok bagi pasien (mereka dengan antigen
ABO dan HLA yang cocok) akan lebih baik daripada transplan yang berasal dari donor
kadaver.  Nefrektomi terhadap ginjal asli pasien dilakukan untuk transplantasi. Ginjal transplant
diletakkan di fosailiaka anterior sampai Krista iliaka pasien (Rendy&Margareth 2012).
1. Pre-operatif
(a)Tujuan
Mengembalikan status metabolik pasien ke kadar normal sedekat mungkin.
(b) Persiapan
Pemeriksaan fisik lengkap, sampel jaringan, sampel darah dan skrining antibodi untuk
menentukan kecocokan jaringan dari donor dan resipien. Tes diagnostik dan traktus urinarius
bawah perlu diteliti untuk mengkaji fungsi leher kandung kemih dan mendeteksi refluk ureteral.
Pastikan pasien bebas dari infeksi, koreksi jika ada penyakit gingiva dan karies gigi. Kaji
mekanisme koping, riwayat sosial dan sumber finansial. Riwayat psikiatrik juga perlu dikaji.
(c) Intervensi
Penyuluhan preoperatif meliputi informasi higiene pulmoner pasca operatif, penatalaksanaan
nyeri, pembatasan diet, jalur intravena dan arteri, selang dan ambulasi dini.
1.      Post operatif
(a)    Tujuan
Mepertahankan homeostasis sampai ginjal transplan berfungsi dengan baik. Ginjal yang dapat
berfungsi merupakan tanda prognosis yang menggembirakan.
(b)   Penatalasanaan
Terapi imunosupresif dan antisipasi rejeksi tandur.
(c)    Intervensi
Mengkaji rejeksi dan infeksi, memantau fungsi urinarius dan mencegah komplikasi seperti
ulserasi GI dan perdarahan akibat steroid, kolonissi jamur di traktus GI (mulut) dan kandung
kemih akibat kortikosteroid dan antibiotik, penyakit kardiovaskuler dan kemungkinan timbulnya
tumor atau malignansi

8.      KOMPLIKASI
Komplikasi menurut BC Guidelines (2014)
a)      Acute Kidney Injury (e.g., dehydration, dye, drugs)
b)      Anemia
c)      BP increases
d)     Calcium absorption decreases
e)      Drug toxicity
f)       Dyslipidemia
g)      Heart failure/volume overload
h)      Hyperkalemia
i)        Hyperparathyroidism
j)        Hyperphosphatemia
k)      Left ventricular hypertrophy
l)        Malnutrition potential (late)
m)    Metabolic acidosis

A.    KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1.      Pengkajian
1. Identitas : Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, perkerjaan,
diagnose medis.
2. Keluhan utama : Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah,
tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah,
mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
3. Riwayat penyakit
a.    Sekarang : Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi
anafilaksis, renjatan kardiogenik.
b.   Dahulu : Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi
saluran kemih, payah jantung, hipertensi,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.
c.    Keluarga : Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus
(DM).
4. Pemeriksaan fisik
Dasar data pengkajian klien menurut Doenges (2000: 626-628) adalah
sebagai berikut.
a.    Aktivitas/istirahat
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise.
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen).

Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.


b.    Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat.
Palpitasi; nyeri dada (angina).
Tanda : Hipertensi; DVJ (Distensi Vena Jugularis), nadi kuat, edema
jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak, tangan.
Disritmia jantung.
Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik menunjukkan
hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir.
Friction rub perikardial (respons terhadap akumulasi sisa).
Pucat; kulit coklat kehijauan, kuning.
Kecenderungan perdarahan.
c.    Integritas Ego
Gejala : Faktor stres, contoh finansial, hubungan, dan sebagainya.
Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.
d.   Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut).
Abdomen kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urin, contoh kuning coklat,berawan.
Oliguria, dapat menjadi anuria.
e.    Makanan/cairan
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi).
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak
sedap pada mulut (pernapasan amonia).
Tanda : Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir).
Perubahan turgor kulit/kelembaban.
Edema (umum, tergantung).
Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah.
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak
bertenaga.
f.     Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur.
Kram otot/kejang; sindrom “kaki gelisah”; kebas rasa
terbakar pada telapak kaki.
Kebas/kesemutan dan kelemahan, khususnya ekstremitas
bawah (neuropati perifer).
Tanda : Gangguan  status mental, contoh penurunan lapang
perhatian; ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor koma.
Penurunan DTR (Deep Tendon Reflex).
Tanda Chvostek dan Trousseau positif.
Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.
Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
g.    Nyeri//kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala; kram otot/nyeri kaki (memburuk
saat malam hari).
Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
h.    Pernapasan
Gejala : Napas pendek; dispnea noktural paroksismal; batuk
dengan/tanpa sputum kental dan banyak.
Tanda : Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman
(pernapasan Kussmaul).
Batuk produktif dengan sputum merah muda-encer (edema
paru).
i.      Keamanan 
Gejala : Kulit gatal.
Ada/berulangnya infeksi.
Tanda : Pruritus.
Demam (sepsis, dehidrasi); normotermia dapat secara aktual
terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh
lebih rendah dari normal (efek CKD/depresi imun).
Patekie, area ekimosis pada kulit.
Fraktur tulang; deposit fosfat kalsium (kalsifikasi metastatik)
pada kulit, jaringan lunak, sendi; keterbatasan gerak sendi.
j.      Seksualitas
Gejala : Penurunan libido; amenorea; infertilitas.
k.    Interaksi Sosial
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.
l.      Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Riwayat DM keluarga (risiko tinggi untuk gagal ginjal),
penyakit polikistik, nefritis, herediter, kalkulus urinaria,
malignansi.
Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan.
Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat ini/berulang.
Pertimbangan DRG (Diagnosis Relation Group) menunjukkan rerata lama
dirawat : 6,4 hari.
Rencana Pemulangan :
Memerlukan bantuan dalam obat, pengobatan, suplai, transportasi, pemeliharaan
rumah.

2.      Diagnosa Keperawatan
Menurut Smeltzer& Bare (2002: 1452-1456) diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul pada klien dengan penyakit ginjal kronik adalah:
a.       Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, diet berlebih serta
retensi cairan dan natrium.
b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah,
pembatasan diet, perubahan membran mukosa.
c.       Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan.
d.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur
dialisis.
e.       Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra
tubuh dan fungsi seksual.
f.       Resiko tinggi terjadinya komplikasi.
3.      Perencanaan dan Implementasi
Intervensi  keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronis menurut Smeltzer&
Bare (2002: 1452-1456) adalah:
a.       Diagnosa I
Tujuan keperawatan:
Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Intervensi:
1)   Kaji status cairan:
a)    Timbang  berat badan harian.
b)   Keseimbangan masukan dan haluaran.
c)    Turgor kulit dan adanya edema.
d)   Distensi vena leher.
e)    Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
2)   Batasi masukan cairan.
3)   Identifikasi sumber potensial cairan:
a)    Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan: oral dan intravena.
b)   Makanan.
4)   Jelaskan pada klien dan keluarga rasional pembatasan.
5)   Bantu klien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.
6)   Tingkatkan dan dorong higiene oral dengan sering.
b.      Diagnosa II
Tujuan keperawatan:
Mempertahankan masukkan nutrisi yang ade kuat.
Intervensi:
1)   Kaji status nutrisi yang adekuat:
a)    Perubahan berat badan.
b)   Pengukuran antropometrik.
c)    Nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, transferin dan kadar besi)
2)   Kaji pola diet nutrisi klien:
a)   Riwayat diet.
b)   Makanan kesukaan.
c)   Hitung kalori.
3)   Kaji faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi:
a)   Anoreksia, mual, dan muntah.
b)   Diet yang tidak menyenangkan bagi klien.
c)   Depresi.
d)  Kurang memahami pembatasan diet.
e)   Stomatitis.
4)   Menyediakan makanan kesukaan klien dalam batas-batas diet.
5)   Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi: telur, produk susu, daging.
6)   Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium.
7)   Ubah jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera diberikan sebelum makan.
8)   Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit ginjal dan peningkatan
urea dan kadar kreatinin.
9)   Sediakan daftar makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjuran untuk memperbaiki rasa
tanpa menggunakan natrium atau kalium.
10)  Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
11)  Timbang berat badan harian.
12)  Kaji adanya bukti masukan protein yang tidak adekuat.
a)    Pembentukan edema.
b)   Penyembuhan yang lambat.
c)    Penurunan kadar albumin serum.
c.    Diagnosa III
Tujuan keperawatan:
Meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan.
Intervensi:
1)   Kaji pemahaman mengenai penyebab gagal ginjal, konsekuensinya, dan penanganannya:
a)    Penyebab gagal ginjal klien.
b)   Pengertian gagal ginjal.
c)    Pemahaman mengenai fungi renal.
d)   Hubungan antara cairan, pembatasan diet dengan gagal ginjal.
e)    Rasional penanganan (hemodialisis, dialisis peritoneal, transplantasi)
2)   Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat pemahaman dan
kesiapan klien untuk belajar.
3)   Bantu klien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk memahami berbagai perubahan akibat
penyakit dan penanganan yang mempengaruhi hidupnya.
4)   Sediakan informasi baik tertulis maupun secara oral dengan tepat tentang:
a)    Fungsi dan kegagalan renal.
b)   Pembatasan cairan dan diet.
c)    Medikasi
d)   Melaporkan masalah, tanda dan gejala.
e)    Jadwal tindak lanjut.
f)    Sumber di komunitas.
g)   Pilihan terapi.
d.   Diagnosa IV
Tujuan keperawatan:
Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Intervensi:
1)   Kaji faktor yang menimbulkan keletihan:
a)   Anemia
b)   Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
c)   Retensi produk sampah.
d)  Depresi.
2)   Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi; bantu jika
keletihan terjadi.
a)   Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
b)   Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.
e.    Diagnosa V
Tujuan:
Memperbaiki konsep diri.
Intervensi:
1)   Kaji respons dan reaksi klien dan keluarga terhadap penyakit dan penanganan.
2)   Kaji hubungan antara klien dengan anggota keluarga terdekat.
3)   Kaji pola koping klien dan angota keluarga terdekat.
4)   Ciptakan diskusi terbuka tentang perubahan yang terjadi akibat penyakit dan penanganan:
a)    Perubahan peran.
b)   Perubahan gaya hidup.
c)    Perubahan dalam pekerjaan.
d)   Perubahan seksual.
e)    Ketergantungan pada tim tenaga kesehatan.
5)   Gali cara alternatif untuk ekspresi seksual lain selain hubungan seksual.
6)   Diskusikan peran memberi dan menerima cinta, kehangatan, dan kemesraan.
f.     Diagnosa VI
Tujuan keperawatan:
Intervensi:
1)   Kaji klien akan adanya kelemahan otot, diare, perubahan EKG (gelombang T memuncak dan
QRS melebar).
2)   Kaji klien terhadap adanya demam, nyeri dada, dan friction rub perikardial (tanda-tanda
perikarditis) dan jika ada beritahu dokter.
3)   Pantau dan catat tekanan dara sesuai indikasi.
4)   Berikan medikasi antihipertensi sesuai instruksi.
5)   Dorong dalam kepatuhan terapi pembatasan diet dan cairan.
6)   Ajarkan pada klien untuk melaporkan tanda kelebihan cairan, perubahan penglihatan, sakit
kepala, edema atau kejang.
4.      Evaluasi
1)      Diagnosa I
a)    Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
b)   Mempertahankan pembatasan diet dan cairan.
c)    Menunjukkan turgor kulit normal.
d)   Menunjukkan tanda-tanda vital normal.
e)    Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.
f)    Melaporkan adanya kemudahan dalam bernapas atau tidak terjadi napas pendek.
g)   Melakukan higiene oral dengan sering.
h)   Melaporkan penurunan rasa haus.
i)     Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membran mukosa mulut.
2)      Diagnosa II
a)   Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi.
b)   Memilih makanan yang menimbulkan napsu makan dalam batasan diet.
c)   Mengkonsumsi makanan tinggi kalori dalam batasan diet.
d)  Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak menimbulkan rasa
kenyang.
e)   Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan  kadar
kreatinin dan urea.
f)    Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima.
g)   Melaporkan peningkatan nafsu makan.
h)   Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan yang cepat.
i)     Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema; kadar albumin plasma dapat diterima.
3)   Diagnosa III
a)    Menyatakan hubungan antara penyebab penyakit ginjal kronis dengan konsekuensinya.
b)   Menjelaskan pembatasan cairan dan diet sehubungan dengan kegagalan regulasi ginjal.
c)    Menyatakan hubungan antara gagal ginjal dengan kebutuhan penanganan menggunakan kata-
kata sendiri.
d)   Menanyakan tentang pilihan terapi, yang merupakan petunjuk kesiapan belajar.
e)    Menyatakan rencana untuk melanjutkan kehidupan normalnya sedapat mungkin.
f)    Menggunakan informasi dan instruksi tertulis untuk mengklarifikasi pertanyaan dan mencari
informasi tambahan.
4)   Diagnosa IV
a)    Berpartisipasi dalam meningkatkan tingkat aktivitas dan latihan.
b)   Melaporkan peningkatan rasa sejahtera.
c)    Melakukan istirahat dan aktivitas secara bergantian.
d)   Berpatisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih.
5)   Diagnosa V
a)    Mengidentifikasi pola koping terdahulu yang efektif dan pada saat ini tidak mungkin lagi
digunakan akibat penyakit dan penanganan (pemakaian alkohol dan obat-obatan; penggunaan
tenaga yang berlebihan).
b)   Pasien dan keluarga mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan dan reaksinya terhadap
penyakit dan perubahan hidup yang diperlukan.
c)    Mencari konseling profesional, jika perlu, untuk menghadapi perubahaan akibat gagal ginjal.
d)   Melaporkan kepuasan dengan metode ekspresi seksual.
6)   Diagnosa VI
a)   Tanda-tanda vital dalam batas normal.
b)   Bunyi jantung klien normal.
c)   Denyut nadi perifer kuat dan teratur.
d)  Tidak terdapat edema dan warna kulit normal.

DAFTAR PUSTAKA
Ant (2009).  Sebanyak  36  juta  warga  dunia  meninggal  karena  gagal  ginjal.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/05/Jabar/21565.htm.  diunduh  25 Maret 2015.
BC Guidelines.ca: Chronic Kidney Disease - Identification, Evaluation and Management of Adult
Patients (2014)
Black  &  Hawks  (2009).  Medical   Surgical  Nursing  :  Clinical   Management  for
Dharmeizar  (2011).  Konsensus   Nutrisi  pada  Penyakit  Ginjal  Kronik.  Jakarta: PERNEFRI.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. & Geissler, A.C (2000). Nursing Care Plans Guidelines for
Planning and Documentating Patient Care Ed.3, Alih Bahasa, I Made Kariasa & Ni Made
Sumarwati. Jakarta: EGC
Firmansyah, Adi (2010). Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal Kronik ke Penyakit Ginjal
Stadium Akhir. Jakarta: PPDS Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Garabed Eknoyan et.al (2013) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. National Kidney Foundation
Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2006).  Medical surgical nursing: critical thinking for
collaborative care (5thed). St. Louis: Elsevier Saunders
Kumar R (2013). Dasar – dasar Patofisiologi Penyakit. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Le Mone, P., & Burke, K.M.  (2008).  Medical surgical nursing: critical thinking in client care. 6th
edition. New Jersey: Prentice Hall Health.
Lolyta Rika (2010). Analisa Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah Hemodialisis Pada Klien
Gagal Ginjal Kronik http://www.infokedokteran.com/arsip/jurnal-hasil-penelitian-asuhan
keperawatan-pada-pasien-gagal-ginjal-kronik.html. Diakses 28 Maret 2015
Morton, dkk (2011). Keperawatan kritis: pendekatan asuhan holistik. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif & Sari, Kumala(2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
National  Kidney  Foundation  (NKF)  Kidney  Disease  Outcome  Quality  Initiative
(K/DOQI)  Advisory  Board  :  K/DOQI  clinical  practice  guidelines  for chronic kidney
disease; evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis Suppl 2002; 39; S1-S246
Nursalam (2006) . Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
salemba Medika.
O’callaghan Chris (2007). At a Glance Sistem Ginjal. Jakarta: Erlangga
Price, A.Sylvia (2005) . Patofisiologi Konsep Klinis Edisi 6. Jakarta : EGC
Rachmadi, dedi (2011). Chronic kidney disease. Pustaka UNPAD Bandung

Anda mungkin juga menyukai