Anda di halaman 1dari 39

2.1.

Patofisiologi
Perkembangan penyakit HIV meliputi beberapa fase yang dapat
diprediksi dari infeksi menjadi AIDS. Kecepatan proses perkembangan virus
dari seseorang ke orang lain sangat bervariasi tergantung pada beberapa
factor termasuk perawatan kesehatan secara regular, infeksi lainnya, status
gizi, penggunaan alcohol dan narkoba, stress dan depresi. seseorang
dikatakan terinfeksi HIV jika sistem kekebalan tubuhnya menjadi rusak serta
memburuk (jumlah CD4 turun) dan jumlah virus dalam di darah meningkat
(viral load meningkat). Tahapan-tahapan HIV dapat terbagi menjadi 4 fase
yaitu fase infeksi/ serokonversi, fase asimtomatik, fase simtomatik dan fase
AIDS. (Harkin et al., 2011)

Gambar 2.4.1. Fase dari HIV/ AIDS


Sumber Harkin et al., (2011)
Pada fase infeksi/ serokonversi, dimana seseorang sudah terinfeksi
virus namun pada beberapa orang dapat menimbulkan gejala seperti flu,
demam, nyeri otot dan sendi serta pembengkan selama 1-2 minggu. Pada fase
ini, terkadang pada beberapa orang tidak memiliki gejala apapun tetapi
replikasi virus yang cepat tetap terjadi yang menyebabkan viral load tinggi.
Pada tahap ini, orang yang terinfeksi HIV dapat memiliki hasil tes yang
negative (window period). Sehingga karena viral load yang tinggi, klien pada

1
tahap ini dapat sangat mudah menularkan pada orang lain. (Harkin et al.,
2011)
Selama window period, seseorang sudah memiliki virus HIV didalam
tubuhnya namun hasil test HIV negative dan masih dapat menyebarkan atau
menularkan virus ke orang lain meskipun hasil tesnya negative. Periode
window period dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan. Untuk
memastikan status HIV yang negative, maka tes HIV harus diulang setelah
tiga bulan atau harus dilakukan tiga bulan setelah seseorang terakhir
berpotensi terkena HIV. Pada fase ini, klien belum dapat diberikan obat HIV
(ARV). Oleh sebab itu window period merupakan masa yang sulit untuk di
mengerti oleh klien. (Harkin et al., 2011)
Fase asimtomatik merupakan masa seseorang yang terinfeksi tidak
memiliki gejala. Hasil tes HIV yang dilakukan memberikan hasil yang positif.
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh (sel CD4) telah dapat mengendalikan
virus namun belum dapat menyingkirkannya dari tubuh. Fase ini dapat
berlangsung selama 10 tahun dan pada fase ini klien belum dapat diberikan
terapi ARV. (Harkin et al., 2011)
Fase simtomatik, fase ini klien mengalami penurunan sistem
kekebalan tubuh dan jumlah CD4+ turun ke tingkat yang sangat rendah serta
viral load meningkat. Klien yang terinfeksi mulai menimbulkan gejala seperti
penurunan berat badan, kesulitan menelan dal lain-lain. Fase ini dapat
berlangsung selama 1 sampai 3 tahun. Pemberian terapi obat HIV dapat
dilakukan untuk memperlambat perkembangan penyakit. (Harkin et al., 2011)
Fase AIDS, pada fase ini sistem kekebalan tubuh sangat lemah, hasil
CD4 dibawah 200/µL dan viral load yang tinggi. Klien yang terinfeksi dapat
mengalami IO dan penyakit terkait HIV lainnya. Pemberian terapi ARV pada
fase ini dapat memperlambat perkembangan HIV dan meningkatkan kualitas
hidup. Kematian pada fase ini dapat terjadi yang disebabkan karena
pengobatan IO dan ART yang tidak dilaksanakan. (Harkin et al., 2011)
The World Health organization (WHO) telah mengembngkan kriteria
untuk stadium klinis remaja dan orang dewasa (usia > 15 tahun) dengan
infeksi HIV, namun tanpa pengujiantambahan untuk jumlah CD4, tingkat
RNA HIV-1 atau tindakan laboratorium lainnya untuk menilai status
imunologi. Setidaknya tana klinis harus hadir untuk tahap klinis 1 dari 4

2
tahap. Penentuan tahapan klinis membantu menentukan strategi pengobatan
antiretroviral (ART). (Klatt, 2016; WHO, 2016)
Fase-fase klinis berdasarkan tersebut adalah: (Klatt, 2016; WHO,
2016)
 Infeksi HIV primer: asimtomatik (tanpa adanya gejala, dan sindrom
retroviral akut.
 Tahap klinis 1 (ART ≤ 350 µL): Asimtomatik, Limfadenopati generalisata
yang persisten (limpadenopati setidaknya dua lokasi tidak termasuk
inguinal, selama lebih dari 6 bulan)\
 Tahap klinis 2 (ART≤ 350 µL): Penurunan berat badan (BB) yang tidak
dapat dijelaskan (<10% dari BB yang diperkirakn atau diukur), infeksi
saluran pernafasan berulang, herpes zoster, Cheilitis Angular, Ulserasi
mulut berulang, Papular pruritic eruptions, Dermatitis seboik, infeksi
jamur pada kuku jari (onikomikosis)
 Tahap klinis 3: penurunan BB yang drastic/ parah (> 10% dari BB yang
diperkirakan atau diukur), diare kronis yang tidak dapat dijelskan lebih
dari satu bulan, demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (intermiten
atau konstan lebih dari satu bulan), kandidasis oral, leukoplakia mulut
berbulu, Tuberkulosis paru (TB) didiagnosis dua ahun terakhir, infeksi
bakteri yang diduga parah (misalnya pneumonia, empyema, pyomiositis,
infeksi tulang atau sendi, meningitis, bacteremia),stomatitis ulserasi
nekrotikanat akut, radang gusi atau periodotitis, anemia yang tidak dapat
dijelaskan (< 8 g/dl) dan atau neutropenia (< 500 /µL) dan atau
trombositopenia (< 50.000 /µL) selama lebih dari satu bulan.
 Tahap klinis 4 (Semua penyakit yang terinfeksi AIDS, mulai ART): HIV
syndrome kekurangan tenaga/ kelelahan, pneumocystis jiroveci
pneumonia, bakteri pneumonia berat berulang, infeksi kronis herpes
simpleks, kandidiasis esophagus, TBC ekstrapulmoner, Kaposi sarcoma,
penyakit sitomegalovirus, toksoplasmamosis sistem saraf pusat,
ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis,
diseminasi infeksi mikrobakteri nontuberkulous, leukoencephalopathy
multifakal progresif, kronis kritoporidiosis, cytoisosporiasis kronis,
desiminasi mikosis, septicemia berulang, limfoma (sel otak atau sel B non

3
Hodgkin) karsinoma serviks invasive, leishmaniasis meluas dan gejala
terkait nefropati terkait HIV atau kardimiopati terkait HIV.

4
2.9. Terapi Pengobatan
Antiretroviral therapy atau yang juga disebut ART adalah kombinasi
obat yang diberikan dalam pengobatan klien dengan HIV. ART tidak
sepenuhnya menghancurkan virus atau menyembuhkan penyakit, tetapi
mengurangi jumlah virus di dalam tubuh (iral load) dengan menghentikan
dari bertambah banya. Dengan jumlah virus yang sedikit didalam darah maka
sistem kekebalan menjadi kuat/ baik dan dapat melawan infeksi sehingga
klien akan jarang sakit. Klien yang menggunakan terapi ART maka akan
harus dilaksanakan selama sisa hidupnya. (Harkin et al., 2011; Kemenkes RI,
2012; WHO, 2016)
Obat-obat ART bekerja dengan menyulitkan virus berkembang biak.
Terapi ART dengan menggunakan kombinasi dari beberapa kelas obat. Hal
ini dilakukan untuk mengurangi tingkat virus dalam darah dan mencegah
retensi virus terhadap obat. Standar kombinasi obat yang digunakan
terangkum pada lini pertama dan lini kedua. (Harkin et al., 2011; Kemenkes
RI, 2012; WHO, 2016)
Pengobatan ART dimulai saat virus telah merusak sistem kekebalan
tubuh sampai pada tingkat tertentu. Kerusakan ini ditentukan dengan
memeriksa jumlah sel CD4 < 350 /µL dan pemeriksaan darah dilakukan
untuk mengetahui klien menderita anemia atau penyakit lain. Selain itu, terapi
ART di berikan pada klien dengan TB aktif, ibu hamil dan IO hepatitis B
tanpa memperhatikan jumlah CD4. Keputusan penobatan dibuat bersama
dengan klien dan untuk mengetahui kesiapan klien memulai terapi ART.
Panduan untuk memuai terapi ART terlihat pada table dibawah ini. (Harkin et
al., 2011; Kemenkes RI, 2012; WHO, 2016)
Table 2.1.1. Terapi ODHA dewasa dimulai
Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi
ODHA dewasa Stadium klinis 1 > 350 /µL Terapi belum dimulai.
dan 2 Monitor gejala klinis
dan jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan
< 350 /µL Mulai terapi
Stadium klinis 3 Berapapun Mulai terapi
dan 4 jumlah CD4

Kien dengan IO Apapun stadium Berapapun Mulai terapi


TB, klinis jumlah CD4
5
Kien dengan IO Apapun stadium Berapapun Mulai terapi
Hepatitis B klinis jumlah CD4
kronik aktif
Ibu hamil Apapun stadium Berapapun Mulai terapi
klinis jumlah CD4
Sumber Kemenkes RI (2012)

Dalam pemberian pengobatan ARV harus berdasarkan pada 5 aspek


yaitu efektifitas, efek samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan dan
harga obat. Prinsip pemberian ARV juga perlu diperhatikan seperti panduan
obat ARV dengan menggunakan 3 jenis obat yang terserap dalam dosis
terapeutik, sehingga dapat menjamin efektifitas penggunaan obat;
membantu dan memastikan klien agar patuh meminum obat serta
mendekatkan pada akses pelayanan ARV; dan menjaga kesinambungan
ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistic yang baik.
(Harkin et al., 2011; Kemenkes RI, 2012; WHO, 2016)
Pemilihan obat ARV pada lini pertama sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah adalah 2NRTI + 1 NNRTI. Paduan pemilihan
ART dapat dilihat dalam table dibawah ini. (Harkin et al., 2011; Kemenkes
RI, 2012; WHO, 2016)
Tabel 2.1.2. Panduan terapi antiretroviral
AZT + 3TC + NVP Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine Atau
AZT + 3TC + EFV Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz Atau
TDF + 3TC/ FTC + NVP Tenofovir + Lamivudine/ Emtricitabine Atau
+ Nevirapine
TDF + 3TC/ FTC + EFV Tenofovir + Lamivudine/ Emtricitabine
+ Efavirenz
Sumber Kemenkes RI (2012)

Table 2.1.3. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang


dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatmen-naïve).
Populasi Pilihan yang Catatan
Target direkomendasikan
Dewasa AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan yang sesuai
(FTC) + EFV/ NVP untuk sebagian besar pasien
Gunakan FDC jika tersedia
Ibu hamil AZT + 3TC + EFV Tidak boleh menggunakan EFV pada
atau NVP trimester pertama

6
TDF bisa merupakan pilihan
Ko-infeksi AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera setelah terapi
HIV/TB (FTC) + EFV TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV
tidak dapat digunakan
Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg
HIV/ EFV terutama bila TDF merupakan paduan lini
Hepatitis B atau NVP pertama.
kronik Diperlukan penggunaan 2 ARV yang
aktif memiliki aktivitas anti-HBV
Sumber Kemenkes RI (2012)

Pada lini kedua akan diberikan 2NRTI + boosted-PI. Boosted PI


merupakan obat golongan protease Inhibitor (PI) yang sudah ditambah boost
dengan Ritonavir (ditulis …/r). Rekomendasi yang diberikan oleh
pemerintah pada lini kedua ini adalah TDF atau AZT + 3T + LPV/r. (Harkin
et al., 2011; Kemenkes RI, 2012; WHO, 2016)
Table 2.1.4. Pilihan terapi ARV kedua
Populasi Target dan ARV yang Pilihan panduan ARV pengganti yang
digunakan direkomendasikan
Dewasa (termasuk Bila menggunakan TDF +3TC atau FTC + LPV/r
perempuan hamil) AZT sebagai lini
pertama
Bila menggunakan AZT + 3TC + LPV/r
TDF sebagai lini
pertama
Ko-infeksi TB/HIV Mengingat rifampisin tidak dapat
digunakan bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkan menggunakan paduan
OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin
perlu diberikan maka pilihan lain
adalah menggunakan LPV/r dengan
dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari).
Perlu evaluasi fungsi hati ketat jika
menggunakan Rifampisin dan dosis
ganda LPV/r
Ko-infeksi HIV/HBV AZT + TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
(TDF + (3TC atau FTC)) tetap

7
digunakan meski sudah gagal di lini
pertama karena pertimbangan efek
anti-HBV dan untuk mengurangi
risiko „flare‟
Sumber Kemenkes RI (2012)

8
2.11. Patoflowdiagram HIV

Hubungan seksual Perinatal (dari ibu ke bayi) Penggunaan jarum suntik bersama-sama Transfusi darah/ kontak dengan darah

HIV masuk kedalam tubuh

Masuk ke peredaran darah

HIV berikatan limfosit, monosit, makrofag

Viremia & pertumbuhan yang luas di jaringan limfoid


VCT, Serolog HIV:
Gejala seperti flu : demam,
ELISA Proses infeksi
lemah, lesu, batuk, nyeri sendi

Netrofil HIV berdifusi dengan CD4+

Inti virus masuk kedalam sitoplasma


Pembentukan Netrofil di sumsum tulang ↓
Merubah RNA virus →DNA
Neutropenia

Infeksi berulang Integrasi DNA Virus + protein pada T4 (provirus)

RNA genomdi lepas ke sitoplasma RNA di transisi


Infeksi
Protein virus

Tunas Virus

9
Tunas Virus

Virion HIV terbentuk (di limfoid)

Respon Imun Proses infeksi

Humoral Seluler

Aktifitas sitokenin dan stimulasi


Antibody APC aktifitas CD4+
antigenic
menghasilkan sel B
Terinfeksi virus (sel T helper)
Diferensiasi dalam
plasma
IL 12 ↓ ↓inferior gamma Replikasi virus dan lisis sel
IGM dan IGG ↓ CD4+ ↑
 CD3 dan Intensitifitas sistem
Perlawanan CD4+  ↓rangsangan imun ↓ Sel CD4
yang terinfeksi pembentukan sel B
Kehilangan sel CD4+ ↑

Mudahnya transmisi penularan Sistem kekebalan tubuh ↓

Isolasi social AIDS

Isolasi social

10
AIDS
.Antiretroviral Terapy
(ART)
Sel rentan Rentan infeksi

Mutasi gen Aktifitas flora normal


Penularan mediator kimia

Integritas kulit sel berlebihan


Pembelahan
Sitokinin ↑ Infeksi Oportunitis

Picu sel kanker


Progenindogen

Hipertermi Integritas kulit


↑ suhu tubuh oleh hipotalamus

Sistem pernafasan Sistem saraf Sistem Gastrointestinal Sumsum Tlg Dermatologi

Menginfeksi paru-paru Neurophati Gatal, Lesi,


Oral Esophagus Lambung Usus Hepar Ggn
Nyeri
produksi
PCP/ Pneumonia Sensorik Motoric
Pertumbuhan Gangguan Bakteri mudah Ggn fungsi hati sel darah
pneumositic & TBC Nyeri telan Pansitopenia
jamur dan pencernan & masuk →
Kompleks Penurunan
bakteri ↑ absorbsi imun ↓ ↓proten ↓ trombosit, Ggn
Thorak foto demensia, kemampuan
motorik PT APTT metabolisme
encephalopati
Lesi mulut Nyeri Dyspepsia Peristaltic ↑ memanjang bilirubin
Eksudat akut Edema &
Asites
Absorbsi air Resiko hiperbilirubi
Inspirasi dan ekspirasi
Penurunan Nafsu & nutrisi ↓ perdarahan nemia
terganggu
intake cairan makan ↓
Diare Diare SGOT/PT, Bilirubin, PT APTT, Protein,
Suplay oksigen ↓ Albumin, hepatitis

11
Suplay oksigen ↓ Penurunan Nasfu makan ↓ Diare Feses
intake cairan
Difusi O2 terganggu Metabolism sel ↓
Intake nutrsi ↓
Dehidrasi Ggn elektrolit
Hipoksia ATP ↓ → kelemahan Na, K,
Syok Cl, Asidosis
Saturasi O2
Sesak nafas hipovolemik Ureum, metabolic
Intoleransi
aktifitas Kreainin
Lekosit, Hb, Eritosit,
Ketidakefektifan
Trombosit
jalan nafas
Kurang Ketidaseimbangan
volume cairan nutrisi kurang dari
kebutuhan
Gagal nafas

Kematian

12
BAB III
ANALISA KASUS

1.1. Tinjauan Kasus


Seorang laki-laki 50 tahun dirawat di unit medical dengan diagnose: HIV.
Klien seorang sarjana saat ini sudah tidak berkerja (resain dari acconting),
status menikah 2 kali (mempunyai anak berusia 10 tahun dengan istri ke-2).
Klien tinggal dengan dua orang anak dan istri ke-2 nya. Istri sudah
mengetahui penyakit suaminya.
Keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran CM, TD: 120/80mmHg, N:
98x/mnt, P: 19x/mnt, S: 37 ºC. Kaki tampak edema, tugor kulit elastis,
konjungtiva anemic, terdapat sariawan dimulut, nyeri epigastrik, makan
hanya ¼ porsi.
BB tiga bulan lalu 76 Kg dan saat ini 60 Kg.
Keluhan masuk RS: diare 1 bulan dengan lendir bercampur darah, batuk
berulang, penurunan BB dalam 3 bulan dan tidak nafsu makan. Saat ini sudah
tidak diare sejak 2 hari yang lalu.
Sebelumnya pasien sudah dirawat di RS X, dengan keluhan diare, hasil
pemeriksaan dinyatakan HIV positif, lalu pasien tidak diterima di RS
tersebut.
Hasil pemeriksaan:
Hb: 9.9 gr/dl, eritrosit: 3.37 juta/ul, hematocrit: 25.5%, lekosit: 16.56 10³/ul,
Na: 132, K: 3.9, Cl: 113, ureum 62 mg/dl, kreatinin: 2.0 mg/dl, SGOT: 125
iu/l, SGPT: 126 iu/l
Anti HIV: 423.8, Anti HIV reactive dan HIV Elisa: 800.45 reactive
HIV Ag/Ab combo 650.79, dengan metode CMIA reagen architect abbot:
reaktif, dengan metode ELFA HIV Duo Ultra: reaktif.
Hepatitis C: non reaktif, VDRL (RPR): non reakti dan TPHA (WR) reaktif
(titer) 1:512. CD4 Absolut: 16 cell/ul, CD 4%
Thorak foto: bronchopneumonia, BTA +++

13
Terapi:
NaCl 3% 250cc + NaCl 0.9%
Diplucan Kapsul 1x150 mg
Rifampicin 150 mg, Ethabutamol 3x275 mg, pyrazinamide 3x400 mg,
isoniazid 3x75 mg.
Cotromoxazole 2x1 gr, Mycostatin 4x2cc, Dexamethasone 3x1 gr,
Cefrtriaxon 1x3 gr.

TINJAUAN KASUS PADA KLIEN TN. X DENGAN HIV


PENDEKATAN TEORI DEFICIT SELF CARE OREM

I. Pengkajian
1. Identitas KLien
a. Nama : Perlu dilakukan pengkajian (Tn X)
b. Jenis kelamin : Laki-laki
c. Umur : 50 tahun
d. Agama : Perlu dilakukan pengkajian
e. Pendidikan : Sarjana
f. Pekerjaan : Tidak berkerja
g. Suku : Perlu dilakukan pengkajian
h. Alamat : Perlu dilakukan pengkajian
2. Tanggal Masuk RS : XX-XX-XXXX
3. Tanggal Pengkajian : XX-XX-XXXX
4. Keluhan utama : Diare
5. Riwayat penyakit dahulu: Sebelum masuk RS ini klien dirawat di RS X
dengan keluhan diare dan setelah hasil
pemeriksaan klien dinyatakan HIV positif, klien
tidak diterima di RS tersebut. Untuk mengetahui
riwayat penyakit klien sebelumnya, perlu
dilakukan pengkajian lebih lanjut
6. Riwayat penyakit keluarga: Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.
7. Faktor resiko : Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut

14
8. Riwayat alergi : Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut
9. Diagnostik test :
Hb : 9.9gr/dl Anti HIV : Reactive
Eritrosit : 3.37 juta/ul HIV Elisa : 800.45 reactive
Hematocrit : 25.5% HIV Ag/Ab combo : 650.79
Lekosit : 16.56 103 /ul CMIA reagen
Na : 132 architect abbot : reaktif
K : 3.9 ELFA HIV Duo
Cl : 113 Ultra : reaktif
Ureum : 62 mg/dl Hepatitis C : non reaktif
Kreatinin : 2.0 mg/dl VDRL (RPR) : non reakti
SGOT, : 125 iu/l TPHA (WR) : reaktif (titer) 1:512
SGPT : 126 iu/l CD4 Absolut : 16 cell/ul
Anti HIV : 423.8 CD 4% : 2%
Thorak foto: bronchopneumonia
BTA +++

10. Diagnosia Medis : HIV/ TB


11. Terapi Medis :
Diplucan Kapsul : 1x150 mg Cotromoxazole : 2x1 gr
Rifampicin : 150 mg Mycostatin : 4x2cc
Ethabutamol : 3x275 mg Dexamethason : 3x1 gr
Pyrazinamide : 3x400 mg e : 1x3 gr
Isoniazid : 3x75 mg. Cefrtriaxon

A. Basic conditioning factors (faktor kondisi dasar)


N Faktor kondisi Data
o

1. Umur 50 tahun

2. Jenis Kelamin Laki-laki

3. Status perkembangan Dewasa

4. Status Kesehatan Gangguan kesehatan terapeutik self care demand

5. Orientasi sosiokultural Klien berpendidikan sarjana, sudah resain dari


pekerjaannya sebagai accounting dan tinggal bersama

15
istri kedua dan kedua anaknya

6. Fungsi system Klien mendatangi rumah sakit untuk mendapatkan


pelayanan kesehatan perawatan atas keluhan yang dirasakan dan perlu
pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui fungsi
sistem pelayanan kesehatan bagi klien.

7 Fungsi system keluarga Klien menikah 2 kali dan mempunyai anak berusia 10
tahun dari istri kedua. Saat ini klien tinggal bersama
istri kedua dan kedua anaknya.

8. Pola hidup Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk


mengetahui pola hidup klien

9. Factor lingkungan Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk


mengetahui kondisi lingkungan klien

10 Ketersediaan sumber Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk


mengetahui ketersediaan sumber bagi klien

B. Universal self care requisite ( kebutuhan perawatan diri universal)


N Kebutuhan Data
0
1 Pemenuhan kebutuhan udara Ds : klien mengatakan mengalami
batuk berulang
Do: P: 19 x/mnt, hasil thorak foto:
bronchopenumonia, BTA +++, lekosit:
16.56 10³ /ul
2 Pemenuhan kebutuhan air DS: klien mengatakan diare 1 bulan
dengan lendir bercampur darah
Do: Kaki tanpak edema, terdapat
sariawan dimulut, S: 37oC, Na: 132,
K: 3.9, Cl 113, Ureum: 63 mg/dl,
Kreatinin: 2.0 mg/dl.
Intake-output tidak terdapat pada
kasus.
3 Pemenuhan kebutuhan makan DS: klien mengatakan tidak nafsu
makan, dan nyeri epigastrik
DO: Klien tampak sakit sedang,
konjungtiva anemic, sariawan di
mulut, makan ¼ porsi, BB turun 16 Kg

16
dalam 3 bulan, tugor kulit elastis, Hb:
9.9 gr/dl, HIV positif, diare >1 bulan
dengan lendir bercampur darah
4 Pemenuhan kebutuhan eleminasi DS: klien mengatakan diare 1 bulan
dengan lendir bercampur darah,
DO: tidak diare sejak 2 hari yang lalu,
pola BAK dan BAB tidak ada pada
kasus,
5 Keseimbangan aktivitas dan istirahat Tidak terdapat dalam kasus, perlu
dilakukan pengkajian lebih lanjut.
6 Pemeliharaan keseimbangan diri dan Tidak terdapat dalam kasus, perlu
interaksi social dilakukan pengkajian lebih lanjut.
7 Pencegahan fartor risiko/yang Tidak terdapat dalam kasus, perlu
mengancam dilakukan pengkajian lebih lanjut.
8 Peningkatan fungsi diri dan Tidak terdapat dalam kasus, perlu
pengembangan dalam kelompok social dilakukan pengkajian lebih lanjut.

C. Developmental self care requisites (kebutuhan perawatan diri sesuai dengan


tahap perkembangan)
no Kebutuhan Data
1 Pemeliharaan perkembangan Tidak terdapat dalam kasus, perlu
lingkungan dilakukan pengkajian lebih lanjut.
2 Pencegahan/pengelolaan kondisi yang Tidak terdapat dalam kasus, perlu
mengancam perkembangan normal dilakukan pengkajian lebih lanjut.

D. Health deviation self care reguisites (Kebutuhan perawatan diri dari


penyimpangan kesehatan)
No Kebutuhan Data
1 Mencari bantuan medis ketika Tidak terdapat dalam kasus, perlu
perubahan status kesehatan dilakukan pengkajian lebih lanjut.
2 Kesadaran/manajemen proses Tidak terdapat dalam kasus, perlu
penyakit dilakukan pengkajian lebih lanjut.
3 Kepatuhan terhadap regimen Tidak terdapat dalam kasus, perlu
terapetik dilakukan pengkajian lebih lanjut.
4 Kesadaran terhadap masalah Tidak terdapat dalam kasus, perlu
ketidaknyamanan yang dilakukan pengkajian lebih lanjut.
berhubungan dengan regimen
terapetik
5 Modifikasi konsep diri terhadap Tidak terdapat dalam kasus, perlu
perubahan status kesehatan dilakukan pengkajian lebih lanjut.

17
6 Penilaian gaya hidup terhadap Tidak terdapat dalam kasus, perlu
perubahan akomodasi status. dilakukan pengkajian lebih lanjut.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


No Therapeutik self care demand Adequacy of self Nursing Diagnosis
care agency
1 Kebutuhan udara, ditandai dengan: Inadequate Ketidakefektifan
Ds : klien mengatakan mengalami batuk jalan nafas
berulang berhubungan dengan
Do: P: 19 x/mnt, hasil thorak foto: penyakit infeksi paru
bronchopenumonia, BTA +++, lekosit: kronis
16.56 10³ /ul
2 Pemenuhan kebutuhan air Inadequate Gangguan
DS: klien mengatakan diare 1 bulan keseimbangan cairan
dengan lendir bercampur darah dan elektrolit
Do: Kaki tanpak edema, terdapat berhubungan dengan
sariawan dimulut, S: 37oC Na: 132, K: hilangnya volume
3.9, Cl 113, Ureum: 63 mg/dl, Kreatinin: cairan (diare)
2.0 mg/dl.
3 Pemenuhan kebutuhan makan Inadequate Ketidakseimbangan
DS: Tidak nafsu makan, nyeri epigastrik nutrisi kurang dari
DO: konjungtiva anemic, sariawan di kebutuhan tubuh
mulut, makan ¼ porsi, BB turun 16 Kg berhubungan dengan
dalam 3 bulan, tugor kulit elastis, Hb: intake menurun
9.9 gr/dl, Hematokrit: 25.5%, HIV
positif, diare >1 bulan dengan lendir
bercampur darah, SGOT: 125 iu/l,
SGPT: 126 iu/l

18
IV. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Therapeutic Adequacy Nursing Outcomes and Plan


self-care of self care diagnosis Outcome Nursing planning Design of Method of
demand agency the nursing helping
system
1. Ds : Pentingnya Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Kaji adanya gangguan pernafasan Partly  Ceramah
 klien intervensi jalan nafas tindakan seperti nafas cepat dan dangkal, sesak compensat  Penyuluhan
mengatakan kebersihan berhubungan keperawatan 1x24 nafas, batuk ory system  Pendampingan
mengalami dan ke- dengan infeksi jalan nafas R/ Napas cepat dangkal, suara nafas  Dukungan
batuk efektifan paru kronis kembali efektif berkurang, dan sesak napas bisa perawat dan
berulang jalan nafas dengan kriteri mengindikasikan kegagalan pernafasan keluarga
Do: hasil: sehingga terjadi hipoksia
 Ciptakan
 P: 19 x/mnt, DS: Pasien 2. Kaji adanya peningkatan suhu tubuh dan lingkungan
 Thorak foto: mengatakan batuk peningkatan nadi (WHO, 2007). yang kondusif
bronchopenu sudah R/ Peningkatan tanda-tanda vital dan nyaman
monia, sembuh/hilang. mengidentifikasikan berkembangnya sehingga
 BTA +++, Klien mengatakan infeksi. kebersihan
 lekosit: 16.56 dapat 3. Kaji kebiasaan rokok pasien, jika pasien pernafasan
10³ /ul mengeluarkan merokok anjurkan pasien untuk berhenti dapat terjaga
dahak/ sekret. merokok. (WHO, 2007).
DO: P: 16-20 R/ Mengoptimalkan status pernafasan

19
x/mnt, hasil thorak dan kebersihan jalan nafas.
foto: 4. Auskultasi dada untuk suara nafas dan
bronchopenumonia suara paru-paru yang abnormal
-, BTA +, lekosit: R/ Crackles dan wheezes mungkin
4-10 10³ /ul, mengindikasikan cairan di paru-paru,
yang mengganggu fungsi pernafasan dan
mengubah kapasitas pembawa oksigen
darah
5. Pantau denyut nadi, tekanan darah, dan
saturasi oksigen (WHO, 2007)
R/ Perubahan denyut nadi, tekanan
darah, dan kadar oksigen dapat
mengindikasikan perkembangan gagal
jantung atau pernafasan
6. Anjurkan pasien untuk dapat mengontrol
gejala yang timbul seperti batuk atau
sesak. (WHO, 2007)
R/ Mengendalikan gejala dapat
membantu pasien meningkatkan
kesehatannya.

20
7. Beri posisi semifowler (WHO, 2007)
R/ Memaksimalkan ekspansi paru
8. Beri oksigen nasal kanul 2-5 l/mnt
(WHO, 2007)
R/ membantu dalam pemenuhan
kebutuhan oksigen
9. Beri therapy Rifampicin 150mg
R/ membantu proses penyembuhan dan
mencegah terjadinya resistensi selama
pengobatan
10.Beri therapy Ethabutamol 3x275 mg
R/ Menekan/ menghambat pertumbuhan
kuman TB
11.Beri therapy Pyrazinamidel 3x400 mg
R/ Membantu proses penyembuhan
TBC
12.Beri therapy Isoniazid 3x75 mg
R/ Menghambat sistensa asam
mikolinat yang berfungsi untuk
pembentukan dinding sel mikrobatrium
tuberculosis.

21
13.Beri therapy Cotromoxazole 2x1 gr
R/ Menghambat tahap sistesis asam
nukleat dan protein yang sangat penting
untuk mikroorganisme.
14.Beri therapy Dexamethasone 3x1 gr
R/ Mengurangi atau menekan proses
peradangan
15.Beri therapy Ceftriaxon 1x3 gr
R/ Membantu pengobatan terhadap
bakteri pada penyakit pneumonia.
16.Kolaborasi dalam pemeriksaan sputum
jika batuk berdahak. (WHO, 2007)
R/ Mengevaluasi perkembangan virus
tuberculosis dan mengevaluasi adanya
resistensi terhadap pengobatan.
2. DS: Pentingnya Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji kadar elektrolit yang abnormal Partly  Ceramah
 Klien intervensi keseimbangan tindakan R/ Mengetahui tingkat keparahan pasien compensat  Penyuluhan
mengatakan pemenuha cairan dan keperawatan kehilangan cairan dan elektrolit ory system  Pendampingan
diare 1 bulan n elektrolit selama 3x24 jam 2. Panjau tanda-tanda vital  Dukungan
dengan lendir kebutuhan berhubungan keseimbangan R/ Merupakan tanda awal pasien perawat dan
bercampur cairan dengan hilangnya cairan dan kekurangan cairan dan elektrolit keluarga

22
darah volume cairan elektrolit tercapai 3. Pantau adanya tanda-tanda  Ciptakan
(diare) ditandai kriteria overdehidrasi seperti edema, nafas lingkungan
hasil dangkal dan cepat, diare, perubahan yang kondusif
Do: DS: - prilaku. dan nyaman
 Kaki tanpak DO: BAB 1x/hari, R/ Menilai perkembangan dan perbaikan sehingga klien
edema, edema pada kaki reresussitasi cairan dan elektrolit dapat minum
 terdapat berkurang dan 4. Monitor kehilangan jumlah dan dan
sariawan hilang, sariawan di banyaknya pasien BAB (diare) meminimalkan
dimulut, mulut berkurang R/ Menilai jumlah kehilangan cairan dan proses
 S: 37oC atau hilang, Na: elektrolit pasien evavorasi.
 Na: 132, 135-145 mEq, K: 5. Jelaskan pada pasien dan keluarga

 K: 3.9, Cl 3.5-5.3 mEq, Cl: tentang pentingnya pemberian cairan

113, 95-105 mEq, atau elektrolit tambahan seperti yang


Ureum: 5-25 dinstruksikan dokter.
 Ureum: 63
mg/dl, Kreatinin: R/ Mengurangi rasa cemas pasien dan
mg/dl,
0.6-1.3 mg/dl, TD: keluarga.
 Kreatinin: 2.0
110-120/70-80
mg/dl
mmHg, Nadi 60- 6. Berikan intake cairan peroral 1.5-2
100 x/mnt, P: 16- L/hari.
20x/mnt, S: 36.5- R/ meningkatkan intake cairan dan
37.5ºC memperbaiki status cairan dan elektrolit.

23
7. Berikan tindakan untuk mengontrol
kehilangan elektrolit berlebih dengan
mengistirahatkan saluran cerna serta
berkolaborasi dalam pemberian
antipiretik.
8. Berikan terapi infus NaCl 3% 250 dan
Nacl 0,9% sesuai instruksi dokter.
R/ Membantu resusitasi elektrolit dalam
tubuh
9. Kolaborasi pemberian therapy antidiare
R/ Mencegah dan mengurangi pasien
kehilangan cairan dan elektrolit.
3. DS: Pentingnya Ketidakseimbang Setelah dilakukan 1. Kaji status gizi dan kemampuan pasien Partly  Ceramah
 Tidak nafsu intervensi an nutrisi kurang tindakan untuk memenuhi kebutuhan gizi. compensat  Penyuluhan
makan, nyeri pemenuha dari kebutuhan keperawatan 7x24 R/ Menyediakan pengukuran status gizi ory system  Pendampingan
epigastrik n nutrisi tubuh jam pasien yang obyektif  Dukungan
DO: tinggi berhubungan mengalami 2. Kaji riwayat diet, termasuk alrergi, perawat dan
 konjungtiva kalori dan dengan intake meningkatkan makanan yang disuka dan tidak suka dan keluarga
anemic, tinggi menurun intake nutrisi intoleransi makanan.
 Ciptakan
 Sariawan di protein seimbang dengan R/ Mendefinisikan kebutuhan akan
lingkungan
mulut, kriteria hasil pendidikan gizi; Membantu intervensi
yang kondusif

24
 Makan habis DS: Nafsu makan individual. dan nyaman
¼ porsi, bertambah, nyeri 3. Kaji faktor-faktor yang mengganggu sehingga nafsu
 BB turun 16 epigastrik asupan oral. makan klien
Kg dalam 3 berkurang atau R/ Menyediakan dasar dan petunjuk bertambah
bulan, hilang untuk intervensi
 Tugor kulit DO: konjungtiva 4. Monitor peristaltic usus

elastis, tidak anemic, R/ mengidentifikasi peningkatan

 Hb: 9.9 gr/dl, sariawan di mulut peristaltic usus

 Hematokrit: berkurang atau 5. Observasi sariawan

25.5%, hilang, pasien R/ mengidentifikasi perbaikan status


dapat nutrisi dan gizi klien.
 HIV positif,
menghabiskan 6. Kaji kemampuan menelan pasien.
 Diare >1
makan ½-1 porsi, R/ kesulitan menelan dapat menurunkan
bulan dengan
BB stabil sampai keinginan klien untuk makan
lendir
meningkat 0.5-1 7. Kaji status mental (Green & Watson,
bercampur
Kg, tugor kulit 2005)
darah,
elastis, Hb: 12.4- R/ Status mental menurun menandakan
 SGOT: 125
14.9 gr/dl, pasien kekuarangan nutrisi berat
iu/l,
Hematokrit: 40,7% 8. Kaji penggunaan obat peningkat nafsu
 SGPT: 126
- 50,3%, HIV makan atau insulin (Green & Watson,
iu/l
positif, diare

25
berkurang 2005)
berhenti, R/ Menilai tingkat ketergantungan tubuh
SGOT: s.d 37 iu/l terhadap obat-obat yang digunakan.
dan SGPT: s.d 42 9. Mengkaji integritas kulit atau adanya
iu/l luka tekan (Green & Watson, 2005)
R/ Membuktikan status nutrisi pasien
buruk
10. Kaji keadaan mulut atau penggunaan
gigi palsu (Green & Watson, 2005)
R/ Keadaan mulut yang buruk dan gigi
yang tidak sehat merupakan ciri pasien
mengalami kekurangan nutrisi.
11. Mengurangi faktor pembatas asupan
oral:
a. Anjurkan pasien untuk beristirahat
sebelum makan.
R/ Meminimalkan kelelahan, yang
bisa menurunkan nafsu makan
b. Merencanakan waktu pemberian
makanan sehingga tidak diberikan

26
segera setelah prosedur yang
menyakitkan atau tidak
menyenangkan selesai dilakukan.
R/ Turunkan rangsangan berbahaya
c. Anjurkan pasien untuk makan
makanan bersama dengan
pengunjung/ orang lain bila
memungkinkan.
R/ Batasi isolasi sosial
d. Sajikan porsi makanan kecil dan
sering: 6 per hari.
R/ Batasi pengeluaran energi
e. Batasi pemberian cairan minimal 1
jam sebelum makan dan selama
pasein makan.
R/ Mengurangi rasa kenyang sebelum
makan
12. Jelaskan kepada pasien tentang
petingnya menerima program nutrisi
yang dibuat
R/ Pentingnya nutrisi seimbang dan

27
kebutuhan gizi yang diperlukan.
13. Bantu pasien untuk posisi semi fowler
saat pemberian makan
R/ Menghindari refluk balik dan
muntah
14. Berikan makanan lunak seperti yogurt,
sup dan milk shake.
R/ Mengurangi bebab kerja usus untuk
menyerap makanan.
15. Hindari makanan manis, pedas,
bermintyak, jika menimbulkan masalah
R/ Meningkatkan beban kerja usus
dalam memproses makanan

16. Beri makanan ringan seperti roti kering,


atau sereal dipagi hari
R/ Sarapan ringan dipagi hari
mencegah perut kosong dan
meringankan beban kerja usus untuk
memproses makanan
17. Siapkan minuman teh jahe atau rendah

28
mint
R/ Minuman membuat perut terasa
hangat
18. Anjurkan pasien untuk tidak berbaring
setelah makan
R/ Mencegah terjadinya refluk balik
makanan atau mencegah terjadinya
muntah.
19. Jaga ketenangan lingkungan pada
waktu makan.
R/ meningkatkan nafsu makan klien
20. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium
ulang: hemoglobisn, hemotokrit, protein
total, albumin dan globulin.
R/ Mengevaluasi pemberian dan
perbaikan nutrisi klien
21. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat-obatan sebelum makan
seperti analgesic dan antiemetic
R/ menurunnya rasanyeri dan mual,
meningkatkan selera makan klien.

29
22. Berikan therapy Mycostatin 4x2cc
R/ mengurangi sariawan pada mukosa
mulut klien sehingga dapat
meningkatkan nafsu makannya.
23. Berikian terapi pengobatan Diplucan
kapsul 1x150mg
R/ membantu mengatasi jamur pada
mulut sehingga sariawan dapat
berkurang dan hilang.
24. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan kebutuhan nutrisi pasien.

R/ Memastikan kebutuhan nutrisi klien


terpenuhi.
25. Kolaborasi dengan dokter dan ahli gizi
tentang makanan alternatif (enteral atau
nutrisi parenteral).
R/ Berikan dukungan nutrisi jika pasien
tidak dapat menerima jumlah yang
cukup dari mulut ke mulut.

30
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Analisis perbandingan antara kasus dan konsep teori


4.1.3. Terapi Medik
Pada Kasus diatas terapi yang diberikan adalah antibiotic dan anti
bakteri serta anti jamur. Pengobatan tersebut diberikan untuk therapy TBC
dan bronkopeumonia yang diderita pasien, pemberian anti jamur dilakukan
untuk memperbaiki mukosa mulut yang terdapat sariawan. Untuk
pengebalian cairan dan elektrolit diberikan infus NaCl 3% 250cc dan NaCl
0.9%.
WHO (2016) mengatakan terapi ART harus dimulai pada semua
orang dewasa yang hidup dengan HIV dan tidak berdasarkan stadium klinis
WHO serta pada jumlah CD4. Sebagai prioritas, ART harus dimulai pada
semua orang dewasa dengan peyakit klinis HIV dengan stadium lanut
(stadium klinis WHO 3 atau 4) dan pada klien dewasa dengan jumlah CD4
≤ 350 (rekomendasi kuat, kualitas sedang). (WHO, 2016)
Terapi ART harus dimulai pada semua klien TB yang hidup dengan
HIV, terlepas dari jumlah CD4 (rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi).
Pengobatan TB harus dimulai terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan ART
sesegera mungkin dalam delapan minggu pertama pengobatan. Klien TB
HIV-positif dengan imunosupresi yang parah (CD4 kurang dari 50) harus
menerima ART dalam dua minggu pertama setelah terapi TB dimulai.
(WHO, 2016).
Pada kasus ini, Mr. X diberikan terapi pengobatan TB klien akan
menerima terapi ART setelah 2 – 8 minggu terapi TB diberikan. Terapi
ART yang akan diterima oleh Mr X adalah AZT atau TDF + 3TC (FTC) +
EFV. Penggunaan NVP atau triple NRTI akan diberikan apabila EFV tidak
dapat digunakan.

31
4.1.4. Diagnosa Keperawatan
Pada kasus diatas dapat diangkat tiga diagnosa keperawatan yang
menjadi prioritas berdasarkan data pengkajian yang ada. Ketidakefektifan
jalan nafas berhubungan dengan penyakit infeksi paru kronis merupakan
prioritas pertama dalam kasus Mr. X. Diagnosa ini diangkat berdasarkan
data yang didapat yaitu: keluhan klien yang mengalami batuk berulang,
pernafasan 19 x/mnt, hasil thorak foto: bronchopenumonia, hasil
pemeriksaan BTA +++, dan hasil laboratorium darah salah satunya lekosit:
16.56 10³ /ul.
Pada teori di prioritaskan pada diare, resiko IO dan
ketidakseimbangan nutrisi/gizi (Smeltzer & Bare, 2003). Hal ini tidak
menutup kemungkinan yang menjadi diagnose keperawatan prioritas karena
respon setiap individu berbeda-beda terhadap reaksi infeksi yang terjadi
pada tubuhnya (Daniel & Nicoll, 2012; Lewis, 2014).

32
4.4. Evidence Based
4.4.1. Jurnal 1
Judul : A Review of the se of Complementary and Alternative Medicine
and HIV: Issues for Patient Care.
Peneliti : Ava Lorenc and Nicola Robinson
Jurnal : AIDS Patient Care and STDs,
Tahun : 2013, Vol 27 (9)
Analisa : (Lorenc & Robinson, 2013)
Pengobatan komplementer dan alternative (Complementer and
Alternative Medicine/ CAM) diartikan sebagai sekelompok sistem praktik
kesehatan dan perawatan yang beragam dan medis dan pada umumnya tidak
dianggap sebagai pengobatan konvensional seperti akupuntur, oba herbal,
osteopati, homeopati atau pijat CAM yang sudah dikenal diantara orang-
orang yang hidup dengan HIV/ AIDS (ODHA). Sebelum pengembangan
terapi anteretrovirus (ART), ODHA mengalami frustasi dan putus asa
karena kurangnya dan lambatnya kemajuan terapi pengobatan sehingga
CAM menjadi pilihan komunitas HIV yang menyebabkan pengalaman
hidup berubah secara radikal terutama dengan adanya pengembangan dan
penggunaan ART yang sangat aktif dan luas.
HIV memberikan dampak kesehatan fisik dan emosional lebih buruk
daripada penyakit kronis lainnya. Penggunaan CAM untuk mengatasi
masalah kesehatan dan social yang kompleks seperti pengurangan stress,
mengurangi efek samping dan gejala serta meningkatkan sistem kekebalan
tubuh. Tim kesehatan perlu mengetahuipenggunaan CAM dan juka perlu
didiskusikan bersama klien untuk memperbaiki hubungan antara tim
kesehatan dengan klien dan mengdentifikasi kemungkinan adanya masalah
keamanan. Sehingga tim kesehatan perlu memiliki pengetahuan tentang
penggunaan CAM.
Metode penelitian ini menggunakan database secara sitematik untuk
menelusuri HIV dan terapi pengobatan komplementer (CAM). Pemilihan
artikel ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sehingga
terpilih 91 artikel yang akan diteliti dari tahun 1989 sampai 2012.

33
Pelaksanaan CAM seumur hidup berkisar 30%-90%. Variasi angka
prevalensi disebabkan perbedaan pengertian CAM yang dipahami. Vitamin,
herbal dan suplemen merupakan yang paling umum dipilih oleh klien.
Sedangkan doa, meditasi dan spiritual dilakukan dengan pendekatan pijat
dan akupuntur. Tingkat pendidikan dan kaum perempuan merupakan
predictor pengguna CAM yang paling umum.
Alasan menggunakan CAM cukup bervariasi mulai dari untuk
mengurangi gejala dan meningkatkan kesejahteraan serta meningkatkan
imunitas. Alasan lain yang penting dalam penentuan menggunakan CAM
adalah menyediakan metode untuk mengelola kesehatan sendiri atau
memberikan rasa control, mengatasi ketidakpastian, mengelola gejala,
memberikan kebebasan dan memilih tambahan regimen medis dan mencoba
menormalitaskan status kesehatan, menjaga kesehatan serta mengatasi
keterbatasan atau masalah ART. Pemilihan jenis CAM bervariasi seperti
pada salah satu penelitian mengatakan penggunaan CAM dikaitkan dengan
penggunaan obat terlarang dan pada penelitian lain mengatakan pelaporan
gejala spesifik menentukan jenis CAM yang akan dipilih. Hambatan yang
dialami dalam penggunaan CAM adala biaya, akses, waktu, energy, dan
disiplin dalam pelaksanaannya.
Meskipun menempatkan penekanan pada pasien, tim kesehatan
memiliki peran penting dalam pengelolaan diri, baik memberikan perawatan
dan saran, serta dorongan, motivasi, dan alat. Hanya seperempat dari
petugas klinis HIV yang melaporkan kepada pasien tentang penggunaan
CAM, Meskipun ODHA yang menggunakan CAM masih mengandalkan
pengetahuan dan penyedia biomedis untuk memberikan kepastian. Jelas ada
kebutuhan, bahkan tugas etis, bagi perawat konvensional untuk
mendiskusikan CAM dengan klien, termasukalam pembuatan keputusan
penggunaan CAM dan menyadari implikasi keamanan potensial, terutama
interaksi antara obat herbal dan obat konvensional.
Mengingat banyaknya persamaan yang diidentifikasi antara HIV dan
penyakit kronis lainnya, yang menekankan HIV sebagai penyakit kronis
dapat membantu mendorong pengelolaan diri sendiri, mengurangi stigma,

34
dan memperluas akses terhadap perawatan kesehatan. Sehinga dapat
disimpulkan, CAM sangat populer dengan ODHA, terutama suplemen,
herbal, Dan pendekatan spiritual, dan tampaknya terkait dengan diagnosis
HIV. Penggunaan pendekatan CAM ini tampaknya membantu ODHA untuk
mengatasi gejala dan efek samping, namun mungkin juga yang lebih
penting, mengendalikan kesehatan mereka sendiri. Tim kesehatan harus
mempertimbangkan untuk mendiskusikan CAM dengan klien karena hal itu
dapat mendorong pengelolaan diri yang berharga dan memastikan
keselamatan pasien

4.4.2. Jurnal 2
Judul : Views and Experiences of Healthcare Professionals Towards the
Use of African Traditional, Complementary and Alternative
Medicine Among Patients with HIV Infection: The Case of
eThekwini Health district, South Africa
Peneliti : Manimbulu Nlooto
Jurnal : BMC Complementary and Alternative Medicine
Tahun : 2015, 15; 170
Analisa : (Nlooto, 2015)
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesadaran
petugas pelayanan kesehatan tentang penggunaan Tradisional
Complementer dan Alternative Medicine (TCAM) pada klien yang
terinfeksi HIV disamping pengobatan yang diresepkan dan menentukan
apakah ini berdasarkan pada klien yang dipantau atau laporan atau cerita
dari klien kepada petugas kesehatan. Penelitian ini dilakukan di Afrika
Selatan, dimana banyak klien terinfeksi HIV menggunakan TCAM (obat
tradisional Afrika dan suplemen bebas) dan pada akhir tahun 2012
diperkirakan ada dua juta orang mengalami infeksi HIV dan mendapatkan
akses ART sehingga banyak klien juga menggunakan TCAM. Penggunaan
terapi herbal di propinsi KwaZulu-Natal (KZN) tahun 2008 diperkirakan
sejumlah 36.6% dari orang yang terinfeksi HIV dan yang menggunakan
obat ART sejumlah 15.6%, sementara manfaat ART sudah mapan. Salah

35
satu keprihatinan yang perlu diperhatikan adalah kurangnya pengungkapan
klien tentang penggunaan TCAM kepada penyelia layanan kesehatan.
Berbagai alasan klien menggunakan TCAM salah satunya untuk
meningkatkan kekebalan atau memperbaiki kesehatan umum dan karena
obat yang diresepkan tidak berkerja. Namun berpotensi mengalami
kerusakan fisik langsung dengan adanya kontra-indikasi dan reaksi negative
antara obat ART dan produk obat alami atau TCAM. Tim multidisiplin yang
merawat klien HIV di sector kesehatan masyarakat yang terdiri dari dokter,
perawat, apoteker, asisten apoteker dan petugas kesehatan lainnya.
Berdasarkan hal tersebut tim memiliki tantangan yaitu penggunaan TCAM
dalam kombinasi pemberian ART.
Penelitian ini dilakukan pada 120 partisipan dengan mengeksplorasi
pandangan dan pengalamannya memberikan layanan kesehatan dengan cara
pemberian kuasioner semi terstruktur tanpa ada kontak dengan klien dengan
memperhatikan empat kategori pelayanan kesehatan diantar klien terinfeksi
HIV dan dilakukan dari Juni sampai Agustus 2013. Berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sehingga beberapa partisipan
dikeluarkan.
Hasil yang diperoleh, peneliti mendapatkan respon 78.3% (94
responden) dan hamper setengah responden setuju bahwa mereka
mengetahui klien menggunakan TCAM dan 23.4% menyatakan terbiasa
dengan klien yang menggunakan ART dan TCAM. Alasan utama yang
diberikan oleh penyedia layanan yaitu alasan klien menggunakan TCAM
dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh, perbaikan nutrisi,
menghilangkan gejala penyakit dan memperbaiki kelangsungan hidup dan
lain sebagainya. Sedangkan beberapa alasan mereka tidak mengungkapkan
tentang penggunaan TCAM adalah penggunaan praktik TCAM sebagau
penyebab kerugian yang dirasakan, penyebab utama kejadian buruk, dan
beberapa alasan lainnya.
Keterbukaan klien HIV menggunakan TCAM diperkirkan mencapai
36% di pre dan post ART. Namun berdasarkan hasil didapat, kesadaran
yang relaif tinggi pada penyedia layanan kesehatan terhadap penggunaan

36
TCAM . Pengungkapan atau tidaknya klien HIV mencerminkan buruknya
komunikasi pelayanan kesehatan yang diidentifikasi sebagai penyumbang
rendahnya tingkat pengungkapan klien HIV. Kurangnya komunikasi yang
tepat antara klien dan tim kesehatan merupakan tantangan nyata dan
diperparah oleh persepsi negative dan sikap tim kesehatan terhadap TCAM.
Pendekatan holistic untuk mengelola klien HIV didiskusikan dalam
kelompok khusus sebagai factor untuk meningkatkan kepatuhan klien
terhadap ART dan mendorong klien untuk menggunakan obat tradisional
dengan tepat asalkan kontinuitas terapi ART dan pemantauan interaksi obat
potensi terjamin. Kesadaran yang lebih besar tentang penggunaan obat
tradisional, pelengkap dan alternatif di antara petugas layanan kesehatan
memerlukan informasi yang lebih akurat mengenai apa yang terjadi dalam
kehidupan nyata berkenaan dengan penggunaan TCAM. Kegiatan
fargmakovigilance yang dilakukan petugas pelayanan kesehatan perlu
diinformasikan sebagai bukti empiris. Sehingga pendidikan tradisional,
pelengkap dan pengobatan alternative untuk petuas layanan kesehatan
merupakan bagian penting dari promosi kesehatan masyarakat dalam situasi
yang tidak terkendali.
Berdasarkan penelitin yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa,
kesadaran penyedia layanan kesehatan tentang penggunaan TCAM oleh
klien HIV relative tinggi di beberapa klinik kesehatan eThekwini, namun
sedikit responden yang pernah melihat klien menggunakannya. Jenis TCAM
yang digunakan adalah obat tradisional Afrika dan suplemen bebas. Potensi
kerugian kerugian terhadap kejadian buruk dan potensi interaksi dengan
obat ART disarankan untuk berhati-hati dalam menafsirkannya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Daniel, R., & Nicoll, L. (2012). Conteporary Medical-Surgical Nursing (2nd ed.).
USA: Delmar Cengage Learning.
Green, S. M., & Watson, R. (2005). Nutritional screening and assessment tools for
use by nurses : literature review. Journal of Advance Nursing, 50(1), 69–83.
Harkin, J., Stuart, L., Nolan, K., Walford, C., Engels, J., Bishara, J., … Buda, N.
(2011). Nursing Care of Patients with HIV/AIDS:Facilitator ’ s Guide. USA:
Family Health International.
KemenkesRI, K. K. R. (2012). Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretrovira: Pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Klatt, E. C. (2016). PATHOLOGY OF HIV / AIDS (27th ed.). USA: Mercer
University.
Lewis, S. L. (2014). Medical-Surgical Nursing (9th ed.). St.Louis, Missouri:
Elsevier Mosby.
Lorenc, A., & Robinson, N. (2013). A Review of the Use of Complementary and
Alternative Medicine and HIV : Issues for Patient Care, 27(9).
http://doi.org/10.1089/apc.2013.0175
Nlooto, M. (2015). Views and experiences of healthcare professionals towards the
use of African traditional , complementary and alternative medicines among
patients with HIV infection : the case of eThekwini health district , South
Africa. BMC Complementary and Alternative Medicine, 1–8.
http://doi.org/10.1186/s12906-015-0687-3
Smeltzer, S. C., & Bare, B. (2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-
Surgical Nursing (10th ed.). USA: Lippincott Williams & Wilkins.
WHO. (2007). Tuberculosis Care with TB-HIV Co-management. Switzerland:
World Health Organization.
WHO. (2016). The use of Antiretroviral Drugs for Treating and Preventing HIV
Infection. Switzerland: WHO.

38
39

Anda mungkin juga menyukai