Keselamatan Kesehatan & Kerja (K 3) : I. Latar Belakang
Keselamatan Kesehatan & Kerja (K 3) : I. Latar Belakang
I. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup banyak.
Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa populasi masyarakat Indonesia yang banyak merupakan potensi penyediaan
tenaga kerja atau buruh bagi pasar domestik atau pasar luar negeri. Namun, melimpahnya penawaran tenaga
kerja dan buruh di Indonesia ternyata kurang diimbangi dengan pemberian upah yang memuaskan bagi tenaga
kerja.
Buruh dengan upah yang rendah dijadikan sebagai faktor promosi supaya investor asing masuk ke
Indonesia dan dapat memanfaatkan buruh yang upahnya murah. Buruh dengan upah rendah itulah yang menjadi
ujung tombak persaingan Indonesia dalam penetrasi produk manufakturnya di pasar tradisional. Namun dengan
seiringnya waktu, buruh mulai menyadari dengan ketidakadilan yang mereka dapat selama bekerja.
Sekitar tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Indonesia sempat menaikkan Upah Minimum Regional (UMR)
hingga mencapai 100% sebagai dampak dari tuntutan perbaikan nasib buruh melalui aksi mogok kerja ataupun
unjuk rasa. Sampai saat ini, hal itu masih berlanjut di setiap ada perubahan upah minimum oleh pemerintah yang
selalu dibarengi oleh aksi protes para buruh.
Pemberian upah yang minim atau tidak sesuai dengan kinerja buruh akan membuat buruh menjadi malas
bekerja sehingga menimbulkan aksi protes kepada perusahaan bahkan negara. Hal ini ditandai dengan aksi
protes yang selalu dilakukan oleh buruh di setiap Hari Buruh. Mereka selalu menuntut upah yang layak untuk
kesejahteraan mereka namun selalu saja pihak perusahaan tidak mengindahkannya.
II. TUJUAN
Tujuan dari pemberian upah tenaga kerja atau buruh adalah untuk memberikan motivasi kepada mereka
agar bekerja lebih giat. Selain itu, dengan pemberian upah yang layak maka kehidupan buruh juga akan
sejahtera dan perusahaan pun akan menjadi lebih maju. Kemajuan perusahaan ditandai dengan tingginya
kinerja tenaga kerja atau buruh pada perusahaan tersebut. Oleh karena itu, pemberian upah yang layak kepada
buruh merupakan faktor penting untuk kemauan suatu perusahaan.
III. ISI
A. PENGERTIAN UPAH
Di dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 telah ditentukan landasan hukum sebagai berikut bahwa : “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan demikian,
seharusnya upah yang diterima oleh buruh adalah upah yang wajar.
Menurut Undang-Undang Kecelakaan Nomor 33 Tahun 1947 pengertian upah, yaitu :
1. Tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan
2. Perumahan, makan, bahan makanan, dan pakaian dengan cuma-cuma yang nilainya ditaksir menurut harga
umum di tempat itu.
Jadi dari beberapa pengertian upah di atas dapat disimpulkan bahwa upah dapat diartikan sebagai
pembayaran atau imbalan yang wujudnya dapat bermacam - macam dan diberikan oleh seseorang atau
lembaga atas usaha, kerja, prestasi, atau pelayanan yang dilakukan oleh buruh.
Upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan apa yang ia kerjakan dan harus
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari. Dalam hal ini perbedaan tingkat kebutuhan
dan kemampuan seseorang mempengaruhi sistem perupahan perusahaan. Pelaksanaan administrasi
perupahan sangatlah rumit karena upah yang telah ditetapkan oleh seorang pemimpin perusahaan dengan
bijaksana mungkin akan diterima oleh sebagian buruh dengan senang hati tetapi mungkin pula ada sebagian
buruh yang menerima upanya dengan terpaksa karena upah yang mereka terima masih tendah. Oleh karena itu,
pemberian upah kepada buruh harus dapat menimbulkan motivasi kerja.
B. PERANAN UPAH DALAM SUATU PERUSAHAAN
Upah dalam arti yuridis adalah balas jasa yang diberikan oleh pengusaha kepada buruhnya atas
penyerahan jasanya dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal pengupahan banyak pihak yang terlibat baik
langsung maupun tidak langsung. Berikut penjelasan pihak-pihak yang terlibat dalam pengupahan.
Yang terlibat secara langsung, yaitu :
Pihak pengusaha atau badan usaha yang memperkerjakan buruh. Dalam hal ini, bagi pihak pengusaha atau
badan usah aupah merupakan unsure pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan harga pokok
yang menentukan kehidupan perusahaan.
Pihak buruh yang menerima upah. Upah itu selalu menjadi faktor pendorong bagi semangat bekerja. Upah juga
menggambarkan besar kecilnya kontribusi buruh pada perusahaannya.
MENYEJAHTERAKAN BURUH
Pikiran Rakyat (2 Mei 2011) - Menyambut peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei
tahun ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sebagian buruh di Jawa Barat
merayakannya dengan turun ke jalan membawa berbagai tuntutan. Tema utama
yang diusung tahun ini adalah masalah SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)
dan outsourcing tenaga kerja (buruh yang dipekerjakan melalui penyedia jasa
pekerja/ buruh). Tulisan ini hendak membahas tema kedua, dikaitkan dengan situasi
ketenagakerjaan di Jawa Barat saat ini.
Dalam Inforial yang dimuat di Koran Tempo pada 23 Februari 2011, Gubernur Jawa
Barat Ahmad Heryawan menyatakan bahwa hingga September 2010, jumlah
penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat sudah mencapai 1.063.213 orang. “…dan
prestasi yang dicapai dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun ini patut disyukuri
dengan terus berinovasi dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan di Jawa
Barat”, ucapnya.
Apa yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat tentu menggembirakan, sekalipun
setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati dari berita tersebut. Pertama, darimana
angka 1.063.213 itu berasal? Kedua, jika kita asumsikan bahwa angka itu benar,
bagaimana kualitas lapangan kerja yang tersedia?
Sebagaimana dikatakan oleh Gubernur Ahmad Heryawan, angka itu adalah capaian
selama kurang dari 3 tahun. (lihat tabel).
Dari data tersebut, angka pengangguran memang turun, tetapi hanya 1,28% selama
kurun waktu 2 tahun. Ini tidak signifikan. Sementara itu pengangguran terbuka turun
‘hanya’ sebesar 233.584 orang, dan jumlah penduduk yang bekerja naik sebesar
699.605 orang. Jadi, patut dipertanyakan, darimana angka 1.063.213 itu berasal.
Bagaimana Kualitas Lapangan Kerja yang Tersedia? Apabila kita berbicara
mengenai definisi bekerja, menurut BPS, orang yang bekerja selama 1 jam per
minggu sudah masuk dalam kelompok bekerja. Ini sangat bisa diperdebatkan.
Bagaimana orang bisa hidup (dengan sejahtera) bila bekerja 1 jam per minggu
dengan upah minimum? Bila acuannya adalah UMK (Upah Minimum Kota/
Kabupaten) sebesar Rp 1 juta/ bulan, maka besarnya upah per jam adalah Rp
5.780. Bisakah orang hidup selama seminggu dengan Rp 5.780?
Kondisi Kerja
Tulisan ini akan memberikan gambaran kuantitatif dan kualitatif kondisi pekerja
(termasuk di Jawa Barat ) saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh AKATIGA Pusat
Analisis Sosial Bandung - FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) dan
FES (Friedrich Ebert Stiftung) pada 2010 mengenai praktek kerja kontrak dan
penyediaan jasa pekerja/buruh industri metal di Indonesia menemukan bahwa sejak
disahkannya UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penggunaan buruh
kontrak dan buruh yang direkrut melalui penyediaan jasa pekerja/ buruh sangat
marak terjadi. Di Provinsi Jawa Barat, proporsi buruh tetap sebanyak 44,6%,
sedangkan buruh tidak tetap sebesar 55,4%, terdiri dari buruh kontrak (direkrut oleh
perusahaan pengguna) sebanyak 31,1% sedangkan buruh yang direkrut melalui
penyedia jasa pekerja/buruh sebanyak 24,2%. Ini berarti, proporsi buruh tetap lebih
kecil dibandingkan denga buruh tidak tetap.
Penggunaan buruh kontrak dan buruh yang direkrut melalui penyedia jasa
pekerja/buruh ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh pengambil kebijakan
sebab implikasi yang ditimbulkannya bisa sangat serius. Pertama, soal jangka
waktu kontrak dan modus pengalihan hubungan kerja. Penelitian ini menemukan
bahwa beberapa perusahaan memPHK buruh yang berstatus tetap, lalu
memindahkan hubungan kerja itu kepada PPJP (Perusahaan Penyedia Jasa
pekerja/ Buruh) dan menerima buruh tersebut bekerja kembali tapi statusnya adalah
buruh yang disediakan oleh penyedia jasa pekerja/ buruh. Selain itu, data penelitian
ini menunjukkan bahwa 80% buruh kontrak dan buruh yang disediakan oleh
penyedia jasa pekerja/ buruh hanya dikontrak dalam jangka waktu 1 tahun,
kemudian terus menerus diperbaharui kontraknya rata-rata sebanyak 2,5 kali. Di
Jawa Barat ditemukan buruh yang dikontrak hingga 15 kali berturut-turut. Kontrak
terus-menerus, bagaimanapun juga tentu menimbulkan perasaan tidak aman (tidak
ada job security) bagi buruh, sebab pengusaha bisa saja setiap saat memutuskan
untuk tidak memperpanjang kontraknya. Bagi buruh dengan upah minimum, tidak
diperpanjang kontrak, artinya tidak ada penghasilan, dan putuslah sumber
penghidupannya. Kedua, masalah upah dan kesejahteraan. Penelitian ini
menemukan bahwa terjadi diskriminasi upah dan kesejahteraan antara buruh tetap
dengan buruh kontrak dan buruh yang disediakan oleh penyedia jasa pekerja/
buruh, meskipun mereka bekerja di tempat yang sama dan melakukan pekerjaan
yang sama. Upah total buruh kontrak lebih rendah 17% dari buruh tetap dan rata-
rata upah total buruh yang disediakan oleh penyedia jasa pekerja/ buruh 26% lebih
rendah daripada upah buruh tetap. Dari angka-angka ini, dapat dipastikan, upah
yang diterima oleh buruh kontrak dan buruh yang disediakan oleh penyedia jasa
pekerja/ buruh, belum mampu mensejahterakan buruh dan keluarganya.
Ketenagakerjaan
Mengatasi masalah pengangguran dan menciptakan lapangan kerja jelas bukan
pekerjaan mudah. Ini terkait dengan kebijakan pendidikan, industry, investasi, dan
keseluruhan kerangka kebijakan ekonomi politik. Perlu koordinasi yang kuat diantara
para pengambil kebijakan. Terdengar klise, tetapi sebenarnya disinilah justru inti
persoalannya. Menciptakan lapangan kerja bukan semata soal angka; yang lebih
penting dari itu adalah menciptakan lapangan kerja yang benar-benar mampu
mensejahterakan rakyat.
2008 2010
Jumlah Penduduk 42.194.869 43 021 826
Angkatan Kerja 18.743.979 19.210.000
Penduduk yang Bekerja 16.480.395 17.180.000
Pengangguran Terbuka 2.263.584 2.030.000
% Pengangguran Terhadap 12, 08% 10,7%
angkatan kerja
Tanggung Jawab
Masalah upah adalah masalah dalam hubungan kerja, yang terkait dengan masalah
produksi dan reproduksi. Dalam hal ini, peran pemerintah relatif masih terbatas. Akan
tetapi bagaimana dengan kebutuhan hidup layak? Apakah pemenuhan kebutuhan
hidup layak melulu tanggung jawab pengusaha? Upah memang seharusnya bisa
memenuhi kebutuhan hidup layak. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kebutuhan
hidup layak buruh lajang rata-rata Rp 2,45 juta dan buruh yang sudah berkeluarga
Rp 4,067 juta per bulan. Mungkinkah pengusaha mampu memberikan upah sebesar
KHL tersebut?. Penelitian yang dilakukan Akatiga pada 2007 memperlihatkan bahwa
pengusaha masih dibebani dengan berbagai bentuk pungutan yang mengakibatkan
inefisiensi (2007:31). Bila hal ini bisa diatasi maka buruh boleh berharap bahwa upah
sebesar KHL bisa dicapai. Jika dalam hal prasyarat tersebut belum bisa dipenuhi
maka pemerintah harus mencari solusi untuk memenuhi KHL tersebut sebagai wujud
tanggung jawabnya terhadap warga negara.
Untuk menjawab permasalahan ini, pemerintah bisa mulai memperbaiki program
jaminan sosial yang terkait langsung dengan kebutuhan perumahan, pendidikan,
kesehatan, serta berbagai program peningkatan kesejahteraan sebagai bentuk
tanggung jawab pemerintah terhadap warga negara.