Anda di halaman 1dari 11

Minggu, 23 Februari 2014

Keselamatan Kesehatan & Kerja ( K 3 )

I.       LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup banyak.
Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa populasi masyarakat Indonesia yang banyak merupakan potensi penyediaan
tenaga kerja atau buruh bagi pasar domestik atau pasar luar negeri. Namun, melimpahnya penawaran tenaga
kerja dan buruh di Indonesia ternyata kurang diimbangi dengan pemberian upah yang memuaskan bagi tenaga
kerja.
Buruh dengan upah yang rendah dijadikan sebagai faktor promosi  supaya investor asing masuk ke
Indonesia dan dapat memanfaatkan buruh yang upahnya murah. Buruh dengan upah rendah itulah yang menjadi
ujung tombak persaingan Indonesia dalam penetrasi produk manufakturnya di pasar tradisional. Namun dengan
seiringnya waktu, buruh mulai menyadari dengan ketidakadilan yang mereka dapat selama bekerja.
Sekitar tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Indonesia sempat menaikkan Upah Minimum Regional (UMR)
hingga mencapai 100% sebagai dampak dari tuntutan perbaikan nasib buruh melalui aksi mogok kerja ataupun
unjuk rasa. Sampai saat ini, hal itu masih berlanjut di setiap ada perubahan upah minimum oleh pemerintah yang
selalu dibarengi oleh aksi protes para buruh.
Pemberian upah yang minim atau tidak sesuai dengan kinerja buruh akan membuat buruh menjadi malas
bekerja sehingga menimbulkan aksi protes kepada perusahaan bahkan negara. Hal ini ditandai dengan aksi
protes yang selalu dilakukan oleh buruh di setiap Hari Buruh. Mereka selalu menuntut upah yang layak untuk
kesejahteraan mereka namun selalu saja pihak perusahaan tidak mengindahkannya.

II.       TUJUAN
Tujuan dari pemberian upah tenaga kerja atau buruh adalah untuk memberikan motivasi kepada mereka
agar bekerja lebih giat. Selain itu, dengan pemberian upah yang layak maka kehidupan buruh juga akan
sejahtera dan perusahaan pun akan menjadi lebih maju. Kemajuan perusahaan ditandai dengan tingginya
kinerja tenaga kerja atau buruh pada perusahaan tersebut. Oleh karena itu, pemberian upah yang layak kepada
buruh merupakan faktor penting untuk kemauan suatu perusahaan. 

III.       ISI
A.     PENGERTIAN UPAH
Di dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 telah ditentukan landasan hukum sebagai berikut bahwa : “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan demikian,
seharusnya upah yang diterima oleh buruh adalah upah yang wajar.
Menurut Undang-Undang Kecelakaan Nomor 33 Tahun 1947 pengertian upah, yaitu :
1.      Tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan
2.      Perumahan, makan, bahan makanan, dan pakaian dengan cuma-cuma  yang nilainya ditaksir menurut harga
umum di tempat itu.

Jadi dari beberapa pengertian upah di atas dapat disimpulkan bahwa upah dapat diartikan sebagai
pembayaran atau imbalan yang wujudnya dapat bermacam - macam dan diberikan oleh seseorang atau
lembaga atas usaha, kerja, prestasi, atau pelayanan yang dilakukan oleh buruh.
Upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan apa yang ia kerjakan dan harus
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari. Dalam hal ini perbedaan tingkat kebutuhan
dan kemampuan seseorang mempengaruhi sistem perupahan perusahaan. Pelaksanaan administrasi
perupahan sangatlah rumit karena upah yang telah ditetapkan oleh seorang pemimpin perusahaan dengan
bijaksana mungkin akan diterima oleh sebagian buruh dengan senang hati tetapi mungkin pula ada sebagian
buruh yang menerima upanya dengan terpaksa karena upah yang mereka terima masih tendah. Oleh karena itu,
pemberian upah kepada buruh harus dapat menimbulkan motivasi kerja.
B.     PERANAN UPAH DALAM SUATU PERUSAHAAN
Upah dalam arti yuridis adalah balas jasa yang diberikan oleh pengusaha kepada buruhnya atas
penyerahan jasanya dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal pengupahan banyak pihak yang terlibat baik
langsung maupun tidak langsung. Berikut penjelasan pihak-pihak yang terlibat dalam pengupahan.
Yang terlibat secara langsung, yaitu :
           Pihak pengusaha atau badan usaha yang memperkerjakan buruh. Dalam hal ini, bagi pihak pengusaha atau
badan usah aupah merupakan unsure pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan harga pokok
yang menentukan kehidupan perusahaan.
           Pihak buruh yang menerima upah. Upah itu selalu menjadi faktor pendorong bagi semangat bekerja. Upah juga
menggambarkan besar kecilnya kontribusi buruh pada perusahaannya.

Sedangkan pihak yang terlibat secara tidak langsung, yaitu :


           Organisasi buruh
           Pemerintah

C.     PERBEDAAN UPAH DAN PENDAPATAN


Secara umum upah adalah pendapatan, akan tetapi pendapatan itu tidak selalu harus upah. Pendapatan itu
merupakan jenis penghasilan lain, misalnya keuntungan dari hasil penjualan barang akan menjadi pendapatan
dalam administrasi perupahan.
Pendapatan yang dihasilkan para buruh atas pekerjaannya yang tercantum dalam perjanjian kerja dapat
dikatakan memperdalam hubungan perburuhan, maka sudah selayaknya bila seorang buruh memperoleh
sejumlah pendapatan yang cukup dan merasakan kepuasan berkenaan adanya kesesuaian dengan pendapatan
orang lain yang mengerjakan pekerjaan yang sejenis di perusahannya.
Pada masa sekarang di bidang usaha perindustrian telah mengaitkan hal-hal pengupahan dengan
produktivitas kerja serta kemampuan pekerja untuk menghasilkan suatu produk. Dengan kata lain, semakin
banyak pekerja yang berproduksi dan berprestasi maka semakin banyak upah yang akan diterimanya.

D.     JENIS – JENIS UPAH


1.      Upah Nominal
Yang dimaksud upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada para buruh yang berhak secara
tunai sebagai imbalan atas jasa atau pelayanannya sesuai dengan perjanjian kerja. Upah nominal juga sering
disebut upah uang (money wadges).
2.    Upah nyata (Real Wadges)
Yang dimaksud upah nyata ialah upah nyata yang harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah nyata
ditentukan oleh daya beli upah yang tergantung dari besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima serta besar
atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
3.      Upah Hidup
Dalam hal ini upah yang diterima oleh buruh relative cukp untuk membiayai kehidupan dan kebutuhan pokoknya
saja. Perusahaan yang maju dan kuat akan mampu memberikan upah hidup kepada burunnya.
4.    Upah Minimum
Dalam hal ini upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan hidup buruh beserta keluarganya walaupun
dalam arti yang sederhana, cost of living perlu diperhatikan dalam penentuan upah.
Tujuan utama penentuan upah minimum, yaitu :
           Menonjolkan peranan buruh dalam suatu sistem kerja.
           Melindungi buruh dari upah yang rendah
           Mengusahakan terjaminnya ketenangan dalam pekerjaan.
           Mengusahakan adanya dorongan peningkatan dalam standar hidupnya yang normal.
5.    Upah Wajar (Fair Wages)
Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang relative dinilai wajar oleh pengusaha dan para buruh sebagai uang
imbalan atas jasa buruh kepada perusahaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi upah wajar ini, yaitu :
           Kondisi ekonomi Negara
           Nilai upah rata-rata di daerah dimana perusahaan beroperasi
           Posisi perusahaan dilihat dari struktur ekonominya
           Peraturan perpajakan
           Standar hidup para buruh

E.     KARAKTERISTIK UPAH YANG BAIK


1.      Upah harus menjamin upah minimum
2.      Upah harus disetujui dan diterima oleh buruh
3.      Upah mencerminkan apresiasi kemampuan dan kemajuan para buruh
4.      Upah harus terperinci sehingga dimengerti oleh buruh
5.      Upah tidak akan melibatkan secara terlalu besar atas biaya tak langsung (overhead)
6.      Upah harus fleksibel dalam menghadai perubahan yang tidak terduga
7.      Upah hendaknya memotivasi peningkatan kualitas produk.
8.      Upah yang bersifat insentif seperti bonus haris diterima bersama dengan upah dasarnya
9.      Sistem pengupahan harus adil dan berperikemanusiaan yang baik oleh pihak buruh
10.   Manajemen yang baik berarti tidak terlalu mengikuti up and down labour supply atau pasang surut penawaran
tenaga kerja dalam perubahan upah.
           
  IV.        KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bawa :
a)    Upah buruh disetiap daerah berbeda-beda, sesuai dengan peraturan pemerintah setempat.
b)    Setiap buruh atau tenaga kerja telah dilindungi oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku, serta
pengusaha atau pemberi kerja tidak semena-mena melakukan hal yang tidak diinginkan, seperti :
1.    Memberikan jam lembur yang berlebihan, tanpa memikirkan kondisi fisik dari pegawai atau buruh
tersebut.
2.    Memotong upah buruh tanpa alasan yang jelas.
c)  perusahaan atau pihak yang membutuhkan jasa memberikan penghargaan atas jasa yang telah dilakukan
oleh pekerja, seperti memberikan upah yang lebih bagi pekerja yang mempunyai etos kerja yang tinggi.
d)  Jam kerja yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan atau perjanjian yang tertera, apabila telah
melewati jam kerja yang ditentukan maka jam kerja tersebut sudah termasuk lembur.

ARTIKEL MENGENAI PENYIMPANGAN UPAH TERHADAP BURUH

UPAH BURUH DAN DAYA SAING


Siklus tahunan isu perburuhan Indonesia terus berulang. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, setiap bulan Oktober-November, suhu politik perburuhan Indonesia
menghangat akibat perdebatan soal upah, tepatnya soal kenaikan Upah Minimum
Kabupaten/ Kota (UMK). Di Karawang, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
mengancam akan melakukan aksi mogok kerja secara massal jika upah minimum
kabupaten pada 2012 tidak dinaikkan menjadi 100 persen Kebutuhan Hidup Layak
yang angkanya mencapai Rp1.387.. Di  Bekasi, sekitar 1.000 orang buruh dari
Gerakan Serikat Buruh Indonesia (Gesburi) berunjukrasa menuntut kenaikan Upah
Minimum Kabupaten (UMK) di Kantor Bupati Bekasi, Jawa Barat, Selasa. Mereka 
menuntut Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menaikkan UMK sebesar 100 persen
dari UMK tahun 2011 Di Kabupaten Bandung, sekitar 25 ribu buruh dari Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) berunjuk rasa di depan komplek Pemkab
Bandung, Rabu. Mereka mendesak kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2012
sebesar 10 persen UMK 2011 Rp1.123.. Sementara itu di Kota Bandung, Kadisnaker
Kota Bandung Hibarni Andan Dewi mengimbau perusahaan untuk patuh jika UMK
2012 yang diusulkan naik 7%, nantinya disahkan. . Dengan kenaikan itu maka UMK
Kota Bandung akan naik dari Rp 1.271.625 pada 2012 dari yang sebelumnya Rp
1.188.435.
Unjuk rasa yang terus berulang setiap tahun, untuk isu yang sama, jelas
menunjukkan ada persoalan serius dalam isu upah ini. Tiga pihak yang terkait di
dalam isu ini yaitu pemerintah, pengusaha dan buruh, agaknya melihat persoalan ini
dengan cara pandang yang berbeda sehingga sulit menemukan titik temu. Buruh
melihat dengan kacamata pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak, pengusaha melihat
dengan kacamata Biaya Buruh, sedangkan Pemerintah melihat dengan kacamata
daya saing, untuk menarik investasi.
Tahun lalu, saya menulis di Harian ini mengenai UMK dari sisi pandang buruh.
Bahwa UMK samasekali belum mampu memenuhi Kebutuhan Hidup Layak bagi
buruh lajang, apalagi yang berkeluarga. Dalam tulisan kali ini, saya akan melihat
UMK dari sisi pemerintah, yaitu upah sebagai salah satu instrument untuk menarik
investor dan meningkatkan daya saing Indonesia diantara Negara-negara lain di
dunia.
Adalah World Economic Forum (WEF), sebuah lembaga yang secara rutin
mempublikasikan The Global Competitiveness Index (Indeks Daya Saing Global).
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga diteliti dan dianalisis daya
saingnya diantara Negara-negara lainnya. Hasilnya, tahun 2011 ini posisi Indonesia
berada di peringkat 46, turun 2 tingkat dari tahun sebelumnya (The Global
Competitiveness Report 2011-2012).
Ada banyak faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia justru turun. Selain itu,
laporan yang sama juga memperlihatkan factor-faktor bisnis apa saja yang dianggap
paling menghambat masuknya investor ke Indonesia. Urutan dan share dari masing-
masing factor dalam mengahmbat masuknya investasi diperlihatkan oleh table di
bawah ini.
Faktor-Faktor Penghambat Daya Saing
NO FAKTOR BISNIS INTENSITAS MASALAH
1 Korupsi 15.4
2 Birokrasi pemerintah yang 14.3
tidak efisien
3 Infrastruktur yang tidak 9.5
memadai
4 Ketidakstabilan politik 7.4
5 Akses pada pembiayaan 7.2
6 Tenaga kerja terdidik yang 6.3
memadai
7 Etika kerja yang buruk 6.2
8 Ketidakstabilan pemerintah 6.1
9 Inflasi 6.1
10 Peraturan pajak 6.0
11 Tingkat pajak 4.2
12 Peraturan Perburuhan yang 3.6
membatasi
13 Kriminalitas dan pencurian 2.7
14 Kesehatan umum yang buruk 2.5
15 Peraturan mata uang asing 2.3
Sumber: The Global Competitiveness Index, 2011-2012
Dari tabel di atas tampak bahwa 3 faktor utama penghambat daya saing adalah
Korupsi, Birokrasi Pemerintah yang tidak efisien dan Infrastruktur yang tidak
memadai. Sementara itu Peraturan Perburuhan hanya menempati urutan ke 12. Dari
data tersebut di atas, sudah sepantasnya, pemerintah memikirkan ulang strategi
untuk menarik investor. Untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di
Indonesia, yang penting bukanlah menekan upah buruh, melainkan serius
memberantas korupsi, mengefisienkan birokrasi pemerintah dan memperbaiki
infrastruktur.
Sementara itu, sudah waktunya pula untuk merevisi Permenaker 17/ 2005 tentang
Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dengan
menyesuaikannya dengan kondisi terkini. Bila buruh sudah mendapatkan upah layak,
maka daya belinya akan meningkat, produktifitasnyapun meningkat. Maka bukan
hanya buruh yang diuntungkan, tapi juga pengusaha dan pemerintah, tentunya.

MENYEJAHTERAKAN BURUH
Pikiran Rakyat (2 Mei 2011)   -   Menyambut peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei
tahun ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sebagian buruh di Jawa Barat
merayakannya dengan turun ke jalan membawa berbagai tuntutan. Tema utama
yang diusung tahun ini adalah masalah SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)
dan outsourcing tenaga kerja (buruh yang dipekerjakan melalui penyedia jasa
pekerja/ buruh). Tulisan ini hendak membahas tema kedua, dikaitkan dengan situasi
ketenagakerjaan di Jawa Barat saat ini.
Dalam Inforial yang dimuat di Koran Tempo pada 23 Februari 2011, Gubernur Jawa
Barat Ahmad Heryawan menyatakan bahwa hingga September 2010, jumlah
penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat sudah mencapai 1.063.213 orang. “…dan
prestasi yang dicapai dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun ini patut disyukuri
dengan terus berinovasi dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan di Jawa
Barat”, ucapnya.
Apa yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat tentu menggembirakan, sekalipun
setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati dari berita tersebut. Pertama, darimana
angka 1.063.213 itu berasal? Kedua, jika kita asumsikan bahwa angka itu benar,
bagaimana kualitas lapangan kerja yang tersedia?
Sebagaimana dikatakan oleh Gubernur Ahmad Heryawan, angka itu adalah capaian
selama kurang dari 3 tahun. (lihat tabel).
Dari data tersebut, angka pengangguran memang turun, tetapi hanya 1,28% selama
kurun waktu 2 tahun. Ini tidak signifikan. Sementara itu pengangguran terbuka turun
‘hanya’ sebesar 233.584 orang, dan jumlah penduduk yang bekerja naik sebesar
699.605 orang. Jadi, patut dipertanyakan, darimana angka 1.063.213 itu berasal.
Bagaimana Kualitas Lapangan Kerja yang Tersedia? Apabila kita berbicara
mengenai definisi bekerja, menurut BPS, orang yang bekerja selama 1 jam per
minggu sudah masuk dalam kelompok bekerja. Ini sangat bisa diperdebatkan.
Bagaimana orang bisa hidup (dengan sejahtera) bila bekerja 1 jam per minggu
dengan upah minimum?  Bila acuannya adalah UMK (Upah Minimum Kota/
Kabupaten) sebesar Rp 1 juta/ bulan, maka besarnya upah per jam adalah Rp
5.780. Bisakah orang hidup selama seminggu dengan Rp 5.780?
Kondisi Kerja
Tulisan ini akan memberikan gambaran kuantitatif dan kualitatif kondisi pekerja
(termasuk di Jawa Barat ) saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh AKATIGA Pusat
Analisis Sosial Bandung - FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) dan
FES (Friedrich Ebert Stiftung) pada 2010 mengenai  praktek kerja kontrak dan
penyediaan jasa pekerja/buruh industri metal di Indonesia menemukan bahwa sejak
disahkannya UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penggunaan buruh
kontrak dan buruh yang direkrut melalui penyediaan jasa pekerja/ buruh sangat
marak terjadi.  Di Provinsi Jawa Barat, proporsi buruh tetap sebanyak 44,6%,
sedangkan buruh tidak tetap sebesar 55,4%, terdiri dari buruh kontrak (direkrut oleh
perusahaan pengguna) sebanyak 31,1% sedangkan buruh yang direkrut melalui
penyedia jasa pekerja/buruh sebanyak 24,2%. Ini berarti, proporsi buruh tetap lebih
kecil dibandingkan denga buruh tidak tetap.
Penggunaan buruh kontrak dan buruh yang direkrut melalui penyedia jasa
pekerja/buruh ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh pengambil kebijakan
sebab implikasi yang ditimbulkannya bisa sangat serius. Pertama, soal jangka
waktu kontrak dan modus pengalihan hubungan kerja. Penelitian ini menemukan
bahwa beberapa perusahaan memPHK buruh yang berstatus tetap, lalu
memindahkan hubungan kerja itu kepada PPJP (Perusahaan Penyedia Jasa
pekerja/ Buruh) dan menerima buruh tersebut bekerja kembali tapi statusnya adalah
buruh yang disediakan oleh penyedia jasa pekerja/ buruh. Selain itu, data penelitian
ini menunjukkan bahwa 80% buruh kontrak dan buruh yang disediakan oleh
penyedia jasa pekerja/ buruh hanya dikontrak dalam jangka waktu 1 tahun,
kemudian terus menerus diperbaharui kontraknya rata-rata sebanyak 2,5 kali. Di
Jawa Barat ditemukan buruh yang dikontrak hingga 15 kali berturut-turut. Kontrak
terus-menerus, bagaimanapun juga tentu menimbulkan perasaan tidak aman (tidak
ada job security) bagi buruh, sebab pengusaha bisa saja setiap saat memutuskan
untuk tidak memperpanjang kontraknya. Bagi buruh dengan upah minimum, tidak
diperpanjang kontrak, artinya tidak ada penghasilan, dan putuslah sumber
penghidupannya. Kedua, masalah upah dan kesejahteraan. Penelitian ini
menemukan bahwa terjadi diskriminasi upah dan kesejahteraan antara buruh tetap
dengan buruh kontrak dan buruh yang disediakan oleh penyedia jasa pekerja/
buruh, meskipun mereka bekerja di tempat yang sama dan melakukan pekerjaan
yang sama. Upah total buruh kontrak lebih rendah 17% dari buruh tetap dan rata-
rata upah total buruh yang disediakan oleh penyedia jasa pekerja/ buruh 26% lebih
rendah daripada upah buruh tetap. Dari angka-angka ini, dapat dipastikan, upah
yang diterima oleh buruh kontrak dan buruh yang disediakan oleh penyedia jasa
pekerja/ buruh, belum mampu mensejahterakan buruh dan keluarganya.
Ketenagakerjaan
Mengatasi masalah pengangguran dan menciptakan lapangan kerja jelas bukan
pekerjaan mudah. Ini terkait dengan kebijakan pendidikan, industry, investasi, dan
keseluruhan kerangka kebijakan ekonomi politik. Perlu koordinasi yang kuat diantara
para pengambil kebijakan. Terdengar klise, tetapi sebenarnya disinilah justru inti
persoalannya. Menciptakan lapangan kerja bukan semata soal angka; yang lebih
penting dari itu adalah menciptakan lapangan kerja yang benar-benar mampu
mensejahterakan rakyat.
2008 2010
  Jumlah Penduduk 42.194.869 43 021 826
 Angkatan Kerja 18.743.979 19.210.000
 Penduduk yang Bekerja 16.480.395 17.180.000
 Pengangguran Terbuka 2.263.584 2.030.000
 % Pengangguran Terhadap 12, 08% 10,7%
angkatan kerja

UMK BELUM 100% KEBUTUHAN HIDUP LAYAK


Bulan Oktober bagi buruh sektor industri adalah bulan "harap-harap cemas".
Pasalnya pada 15 Oktober 2009, bupati/wali kota se-Jawa Barat akan
merekomendasikan UMK kepada Gubernur Jawa Barat untuk disahkan pada 20
Oktober 2009. Proses penentuan dan nilai upah untuk 2010 ini menjadi penting bagi
buruh karena pada 2007, Pemprov Jawa Barat menjanjikan bahwa pada 2010, buruh
bisa menikmati upah minimum sebesar seratus persen kebutuhan hidup layak (KHL).
Konsep Upah Layak
Konsep upah layak memang belum menjadi istilah resmi yang diterima oleh
pemerintah. Istilah yang selama ini dikenal adalah upah minimum yang dihitung
berdasarkan kebutuhan hidup layak. Untuk itu, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
mengamanatkan bahwa upah minimum yang selama ini menjadi acuan pengupahan
mestinya dapat memenuhi kebutuhan hidup layak sebagaimana diatur dalam
Permenaker Nomor Per-17/ Men/ VIII/ 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Faktanya, pengalaman buruh dan
hasil penelitian yang dilakukan oleh SPN (Serikat Pekerja Nasional) dan Federasi
Garteks KSBSI bersama AKATIGA di sembilan kota/kabupaten empat provinsi pada
2008–2009 menunjukkan bahwa upah minimum belum mampu memenuhi kebutuhan
hidup layak, bahkan pada buruh lajang. Upah minimum baru memenuhi 62,4 persen
pengeluaran riil buruh yang rata-rata Rp 1,467 juta per bulan.
Untuk menutupi kekurangan itu, buruh harus bekerja lebih lama (mengandalkan
lembur), bekerja sampingan, menggabungkan penghasilan anggota rumah tangga
lainnya, meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu, dan berutang.
Mengapa bisa terjadi demikian? Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa
persoalan mendasar terkait dengan penerapan dan konsep upah minimum.
Pertama, upah minimum yang seharusnya hanya berlaku untuk buruh lajang dengan
masa kerja 0-1 tahun, ternyata diberlakukan juga untuk buruh dengan masa kerja
hingga belasan tahun. Perbedaan upah antara buruh "baru" dengan buruh yang
masa kerjanya sudah cukup Lama, sangat kecil, hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, penelitian ini menemukan fakta bahwa 52 persen buruh sudah menikah dan
memiliki tanggungan, 59 persen buruh lajang memiliki tanggungan selain dirinya
sendiri. Dengan demikian, memberikan upah minimum yang didasarkan pada
kebutuhan hidup buruh lajang berarti memaksa buruh untuk "berbagi kemiskinan".
Pada saat upah minimum belum mencapai 100 persen KHL, buruh masih harus
membaginya dengan anggota rumah tangga lainnya.
Ketiga, 46 komponen KHL berdasarkan peraturan tersebut tidak relevan lagi untuk
kondisi saat ini. Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada 163 komponen
kebutuhan hidup yang harus dikonsumsi oleh buruh agar dapat hidup secara layak.
Contoh komponen kebutuhan hidup yang pasti dikonsumsi (dibeli/dianggarkan dalam
pengeluaran) oleh buruh tetapi tidak termasuk dalam KHL versi Permenaker 17/2005
antara lain setrika, sumbangan kemasyarakatan, dan biaya pendidikan anak untuk
buruh yang sudah berkeluarga. Buruh juga membutuhkan rumah yang bersih dan
sehat, sementara dalam komponen KHL, kebutuhannya dihitung hanya untuk kontrak
kamar. Untuk perumahan, buruh seharusnya bisa memiliki rumah sekalipun tipe
sederhana.
Secara umum, dalam penelitian ini, kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan
hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak
dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.

Tanggung Jawab

Masalah upah adalah masalah dalam hubungan kerja, yang terkait dengan masalah
produksi dan reproduksi. Dalam hal ini, peran pemerintah relatif masih terbatas. Akan
tetapi bagaimana dengan kebutuhan hidup layak? Apakah pemenuhan kebutuhan
hidup layak melulu tanggung jawab pengusaha? Upah memang seharusnya bisa
memenuhi kebutuhan hidup layak. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kebutuhan
hidup layak buruh lajang rata-rata Rp 2,45 juta dan buruh yang sudah berkeluarga
Rp 4,067 juta per bulan. Mungkinkah pengusaha mampu memberikan upah sebesar
KHL tersebut?. Penelitian yang dilakukan Akatiga pada 2007 memperlihatkan bahwa
pengusaha masih dibebani dengan berbagai bentuk pungutan yang mengakibatkan
inefisiensi (2007:31). Bila hal ini bisa diatasi maka buruh boleh berharap bahwa upah
sebesar KHL bisa dicapai. Jika dalam hal prasyarat tersebut belum bisa dipenuhi
maka pemerintah harus mencari solusi untuk memenuhi KHL tersebut sebagai wujud
tanggung jawabnya terhadap warga negara.
Untuk menjawab permasalahan ini, pemerintah bisa mulai memperbaiki program
jaminan sosial yang terkait langsung dengan kebutuhan perumahan, pendidikan,
kesehatan, serta berbagai program peningkatan kesejahteraan sebagai bentuk
tanggung jawab pemerintah terhadap warga negara.

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN YANG MEMISKINKAN


Persoalan kemiskinan di Negara ini semakin merisaukan. Masalah kemiskinan yang
terus meluas di kalangan yang memang sudah miskin: buruh, petani, nelayan, pelaku
sector informal, semakin kasat mata.  Upah dan pendapatan kelompok marjinal ini
semakin rendah dan semakin tak mampu mengejar lonjakan kenaikan harga-harga
barang kebutuhan pokok.
Salah satu kelompok yang sedang menghadapi pemiskinan adalah buruh di sector
industri manufaktur. Apabila ditelusuri lebih  ke hulu, kemiskinan buruh di sector
industri sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah  untuk
menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang
sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua strategi dasar yang dilakukan
pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni  pertama menjalankan
kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel
dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Kedua strategi tersebut secara
sistematis telah memiskinkan buruh.
Politik upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk
mengundang investasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable
Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic
Intelligence Unit, brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya
USD 0.6 per jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04), Thailand (1.63),
Cina (2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu
mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets
China and India’.
Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di
Indonesia mengingatkan kembali  pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru
dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah
kebijakan. Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah
terhadap perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global. Dalam kompetisi
global,  investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta
pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang
telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa
keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan
buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya
birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan
dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.
Politik upah murah telah terbukti menciptakan sulitnya kehidupan buruh karena nilai
rata-rata upah mínimum sebesar Rp.892,160 hanya mampu membiayai 62,4 persen
rata-rata pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-FES-TWARO 2009).
Prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi  dalam kebijakan
ketenagakerjaan menunjukkan kepatuhan pemerintah terhadap tekanan kapitalisme
global  agar Indonesia  menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan
cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan
mendesentralisasi  urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut dalam
implementasinya  secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan
menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing
dan magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa kerja menjadi sangat pendek
melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun dan
mempersempit peluang kerja di sektor formal bagi angkatan kerja usia produktif
karena munculnya kecenderungan baru pada preferensi perusahaan untuk hanya
mempekerjakan buruh yang berusia 18-24 tahun untuk alasan produktivitas. Sebuah
studi  di sektor metal menemukan bahwa sistem hubungan kerja yang fleksibel  telah
menurunkan upah buruh kontrak dan outsourcing hingga 26 persen terhadap upah
buruh tetap.
Sistem yang sama telah mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20 persen
karena dengan mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak perusahaan hanya
perlu membayar upah pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi ketika
hubungan kerja berakhir. Inilah sebabnya dalam lima tahun terakhir  fenomena
hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi sangat massif dan diterapkan di
hampir semua sektor industri. Berbagai laporan dan hasil studi menunjukkan di
berbagai perusahaan di sektor garmen dan logam serta elektronik saja misalnya
pengurangan penggunaan buruh tetap dan menggantikannya dengan buruh kontrak
terus terjadi.
Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh karena dengan sistem kerja kontrak,
upah buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan dan berbagai tunjangan yang
biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan.
Meskipun sistem kerja yang fleksibel  berdampak negatif terhadap buruh tetapi
rupanya masih dianggap belum cukup memberikan keleluasaan bagi modal sehingga
peraturan ketenagakerjaan yang ada masih akan dikaji ulang dan dibuat kondisi yang
lebih longar lagi dalam mempekerjakan buruh. Sekali lagi, sistem kerja yang lebih
fleksibel diupayakan agar semakin banyak investasi asing yang datang.
Kecenderungan pada  pemerintah yang lebih mempersoalkan masih kurang
fleksibelnya pasar kerja dan menekankan aspek tenaga kerja sebagai penyebab tak
kunjung kondusifnya iklim investasi, menunjukkan ketidakmampuan untuk mencari
jalan keluar terhadap pokok penyebab biaya tinggi dalam berinvestasi di Indonesia
yang bersumber dari buruknya infrastruktur dan birokrasi serta tingginya pungutan.
Situasinya persis seperti kalimat para pengusaha di Bandung yang mengatakan
bahwa  ’lebih mudah menghadapi protes  buruh daripada menghadapi  birokrasi dan
aparat pemerintah karena tuntutan aparat pemerintah di jaman otonomi daerah jika
tidak dipenuhi justru akan menimbulkan lebih banyak masalah terhadap kelancaran
usaha’.
Implikasi dan arah kebijakan
Politik upah murah dan ketiga prinsip yang menjadi  warna utama kebijakan
ketenagakerjaan di atas, apabila terus dipertahankan  maka dalam waktu yang tidak
terlalu panjang justru akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah untuk
memperbaiki iklim investasi dan menghapus kemiskinan. Upah murah dan
ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja dan
produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya
akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi 
investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat para investor berpikir
ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Belajar dari berbagai negara yang berhasil meraih investasi dengan mengedepankan
mutu angkatan kerja dan kesejahteraan buruh melalui penyediaan jaminan sosial,
maka strategi mengundang investasi dengan menjual buruh murah  seperti yang
dilakukan pemerintah Indonesia saat iini justru terasa sangat primitif dan
memprihatinkan dan oleh karenanya harus ditinggalkan. Fleksibilitas pasar kerja
memang merupakan gejala global akan tetapi di berbagai negara kebijakan tersebut
selalu disertai dengan penyediaan jaminan sosial  sebagai  ’fall-back cushion’  atau
jaring pengaman bagi buruh.
Di tengah iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang
semakin menjauh dari  posisi melindungi buruh sudah saatnya didekatkan kembali
dan pemerintah adalah pihak yang seharusnya  paling mampu untuk melakukannya.
Menjadi negara yang ramah terhadap bisnis harus dipandang sebagai  cara untuk
mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan
oleh konstitusi dan bukan untuk memiskinkan rakyat. Menjadi  negara yang ramah
terhadap investor dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi warganya
merupakan sebuah peta jalan pembangunan yang  sudah ditempuh juga oleh
Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan  Cina.  Peta  jalan tersebut dapat
dilengkapi  dengan kejelasan visi pembangunan bangsa dan arah untuk
menempatkan negara di posisi terhormat di dalam konstelasi global. Persaingan
global yang semakin ketat dan sengit hanya dapat dimenangkan oleh negara dengan
pemerintahan yang kuat dan konsisten menegakkan peraturan yang bersemangat
keadilan.

Buruh & PRT 'Kuasai' Ruang Rapat Baleg


DPR
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Rabu, 14/12/2011 14:36 WIB
Share7
Jakarta - Ada pemandangan yang berbeda di ruang rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR. Puluhan
aktivis buruh dan pembantu rumah tangga (PRT) menguasai ruang itu menuntut agar UU PRT masuk
dalam program legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2012.Rapat Baleg DPR kali ini
mengagendakan pembahasan Prolegnas DPR tahun 2012. Rapat akan digelar siang ini. Sebelum
rapat dimulai, para buruh dan PRT tiba-tiba menggeruduk masuk dan duduk-duduk di kursi anggota
DPR. Mereka tergabung dalam SPSI, KAJS, Jala PRT dan beberapa induk organisasi buruh dan PRT
lainnya. "Kami inginkan UU PRT masuk dalam Prolegnas dan menolak revisi UU tentang
Ketenagakerjaan," kata jubir rombongan, Lita, di ruang Baleg DPR, Senayan, Jakarta, Rabu
(14/12/2011). Para buruh dan PRT masih menunggu pimpinan Baleg DPR yang berjanji akan
menemui rombongan. Tim keamanan dalam DPR mencoba mengusir mereka. Namun usaha sulit
karena jumlah buruh dan PRT lebih besar. Rencananya, rapat Prolegnas akan tetap digelar.
Sedangkan perwakilan buruh dan PRT akan diterima di ruang pimpinan Baleg.
http://rromadhonunj.blogspot.com/2014/02/keselamatan-kesehatan-kerja-k-3.html

Anda mungkin juga menyukai