Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

KETIDAKBERDAYAAN

1. Masalah Utama
Ketidakberdayaan
2. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian
Ketidakberdayaan adalah persepsi atau tanggapan klien bahwa
perilaku atau tindakan yang sudah dilakukannya tidak akan membawa
hasil yang diharapkan atau tidak akan membawa perubahan hasil seperti
yang diharapkan, sehingga klien sulit mengendalikan situasi yang terjadi
atau mengendalikan situasi yang akan terjadi (NANDA, 2015).
Menurut Wilkinson (2014) ketidakberdayaan merupakan persepsi
seseorang bahwa tindakannya tidak akan mempengaruhi hasil secara
bermakna, kurang penggendalian yang dirasakan terhadap situasi terakhir
atau yang baru saja terjadi. Sedangkan menurut Carpenito-Moyet (2014)
ketidakberdayaan merupakan keadaan ketika seseorang individu atau
kelompok merasa kurang kontrol terhadap kejadian atau situasi tertentu.

B. Rentang Respon

Respon adaptif Respon Maladaptif

Harapan Kesempatan Ketidakpastian Bahaya Tidak Bedaya Putus Asa

1) Harapan
Harapan akan mempengaruhi respon psikologis terhadap penyakit
fisik. Kurangnya harapan dapat meningkatkan stres dan berakhir
dengan penggunaan mekanisme koping yang tidak adekuat. Pada
beberapa kasus, koping yang tidak adekuat dapat menimbulkan
masalah kesehatan jiwa.
2) Ketidakpastian
Ketidakpastian adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu
memahami kejadian yang terjadi. Hal ini akan mempengaruhi
kemampuan individu mengkaji situasi dan memperkirakan upaya
yang akan dilakukan. Ketidakpastian menjadi berbahaya jika disertai
rasa pesimis dan putus asa.
3) Putus asa
Putus asa ditandai dengan perilaku pasif, perasaan sedih dan harapan
hampa, kondisi ini dapat membawa klien dalam upaya bunuh diri.

C. Tanda dan gejala ketidakberdayaan


1) Batasan Karakteristik (NANDA)
Menurut NANDA (2015) dan Wilkinson (2014) ketidakberdayaan
yang dialami klien dapat terdiri dari tiga tingkatan antara lain:
a) Rendah
Klien mengungkapakan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat
energi dan bersikap pasif.
b) Sedang
Klien mengalami ketergantungan pada orang lain yang dapat
mengakibatkan iritabilitas, ketidaksukaan, marah, dan rasa
bersalah. Klien tidak melakukan praktik perawatan diri ketika
ditantang. Klien tidak ikut memantau kemajuan pengobatan. Klien
menunjukkan ekspresi ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan
melakukan aktivitas atau tugas sebelumnya. Klien menujukkan
ekspresi keraguan tentang performa peran.
c) Berat
Klien menunjukkan sikap apatis, depresi terhadap perburukan fisik
yang terjadi dengan mengabaikan kepatuhan pasien terhadap
program pengobatan dan menyatakan tidak memiliki kendali
(terhadap perawatan diri, situasi, dan hasil). Pada klien NAPZA
biasanya klien cenderung jatuh pada kondisi ketidakberdayaan
berat karena tidak memiliki kendali atas situasi yang
memepngaruhinya untuk menggunakan NAPZA atau
ketidakmampuan mempertahankan situasi bebas NAPZA.
2) Batasan Karakteristik (Carpenito, 2014)

Mayor (harus ada) Minor (mungkin ada)

Memperlihatkan atau menutupi a) Apatis dan pasif


(marah, apatis) ekspresi b) Ansietas dan depresi
ketidakpuasan atas c) Marah dan perilaku kekerasan
d) Perilaku buruk dan
ketidakmampuan mengontrol
kebergantungan yang tidak
situasi/ stressor (pekerjaan, memuaskan orang lain
penyakit, perawatan) yang e) Gelisah dan cenderung
menganggu pandangan, tujuan, menarik diri.
dan gaya hidup.

D. Faktor Presdiposisi dan Faktor Prespitasi


1) Faktor predisposisi
a) Biologis :
1) Ada riwayat keturunan (salah satu atau kedua orang tua
menderita gangguan jiwa).
2) Gaya hidup (merokok, minum alkohol, obat, dan zat adiktif)
dan pengalaman penggunaan zat terlarang.
3) Menderita penyakit kronis (riwayat melakukan general chek
up, tanggal terakhir periksa).
4) Ada riwayat menderita penjakit jantung, paru-paru, yang
mengganggu pelaksana aktivitas harian pasien.
5) Adanya riwayat sakit panas lama saat perkembangan balita
sampai kejang-kejang atau pernah mengalami riwayat trauma
kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal, temporal dan
limbic.
6) Riwayat menderita penyakit yang secara progresif
menimbulkan ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel,
kanker terminal atau AIDS
b) Psikologis :
1) Pengalaman perubahan gaya hidup akibat lingkungan tempat
tinggal.
2) Ketidaknmampuan mengambil keputusan dan mempunyai
kemampuan komunikasi verbal yang kurang atau kurang dapat
mengekspresikan perasaan terkait dengan penyakitnya atau
kondisi dirinya.
3) Ketidakmampuan menjalankan peran akibat penyakit yang
secara progresif menimbulkan ketidakmampuan, misalnya:
sklerosis multipel, kanker terminal atau AIDS.
4) Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup yang sudah
dicapai).
5) Merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya dan
kehidupannya yang sekarang.
6) Pola asuh orang tua pada saat klien anak hingga remaja yang
terlalu otoriter atau terlalu melindungi/menyayangi.
7) Motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang konsisten
selama tahap perkembangan balita hingga remaja, kurang minat
dalam mengembangkan hobi dan aktivitas sehari-hari.
8) Pengalaman aniaya fisik, baik sebagai pelaku, korban maupun
sebagai saksi.
9) Self kontrol: tidak mampu mengontrol perasaan dan emosi,
mudah cemas, rasa takut akan tidak diakui, gaya hidup tidak
berdaya.
10) Kepribadian: mudah marah, pasif dan cenderung tertutup.
c) Sosial budaya :
1) Usia 30-meninggal berpotensi mengalami ketidakberdayaan .
2) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan mempunyai
kecenderungan yang sama untuk mengalami ketidakberdayaan
tergantung dari peran yang dijalankan dalam kehidupannya.
3) Pendidikan rendah.
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses
penuaan (misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik,
status finansial atau orang terdekat yang berlangsung lebih dari
6 bulan).
5) Adanya norma individu atau masyarakat yang menghargai
kontrol (misalnya kontrol lokus internal).
6) Dalam kehidupan sosial, cenderung ketergantungan dengan
orang lain, tidak mampu berpartisipasi dalam sosial
kemasyarakatan secara aktif, enggan bergaul dan kadang
menghindar dari orang lain.
7) Pengalaman sosial, kurang aktif dalam kegiatan di masyarakat.
8) Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik secara aktif maupun
secara pasif.
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat menstimulasi klien jatuh pada kondisi
ketidakberdyaan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal.
Kondisi internal dimana pasien kurang dapat menerima perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi. Kondisi eksternal biasanya keluarga
dan masyarakat kurang mendukung atau mengakui keberadaannya
yang sekarang terkait dengan perubahan fisik dan perannya.
Sedangkan durasi stressor terjadi kurang lebih 6 bulan terakhir, dan
waktu terjadinya dapat bersamaan, silih berganti atau hampir
bersamaan, dengan jumlah stressor lebih dari satu dan mempunyai
kualitas yang berat. Hal tersebut dapat menstimulasi
ketidakberdayaan bahkan memperberat kondisi ketidakberdayaan
yang dialami oleh klien.
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan faktor presiptasi
timbulnya ketidakberdayaan adalah sebagai berikut :
a) Biologis :
1) Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan terapi tertentu,
Program pengobatan yang terkait dengan penyakitnya
(misalnya jangka panjang, sulit dan kompeks) (proses
intoksifikasi dan rehabilitasi).
2) Kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan terakhir.
3) Dalam enam bulan terakhir mengalami infeksi otak yang
menimbulkan kejang atau trauma kepala yang menimbulkan
lesi pada lobus frontal, temporal dan limbic.
4) Terdapat gangguan sistem endokrin.
5) Penggunaan alkhohol, obat-obatan, kafein, dan tembakau .
6) Mengalami gangguan tidur atau istirahat.
7) Kurang mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, ras, etnik
dan gender.
8) Adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan
b) Psikologis :
1) Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis.
2) Tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi, kesenangan dan
aktivitas sosial yang berdampak pada keputusasaan.
3) Perasaan malu dan rendah diri karena ketidakmampuan
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari akibat tremor, nyeri,
kehilangan pekerjaan.
4) Konsep diri: gangguan pelaksanaan peran karena
ketidakmampuan melakukan tanggungjawab peran.
5) Kehilangan kemandirian atau perasaan ketergantungan dengan
orang lain.
c) Sosial budaya :
1) Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat kondisi kesehatan
atau kehidupannya yang sekarang.
2) Tinggal di pelayanan kesehatan dan pisah dengan keluarga
(berada dalam lingkungan perawatan kesehatan).
3) Hambatan interaksi interpersonal akibat penyakitnya maupun
penyebab yang lain.
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses
penuaan (misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik,
status finansial atau orang terdekat yang berlangsung dalam 6
bulan terakhir).
5) Adanya perubahan dari status kuratif menjadi status paliatif.
6) Kurang dapat menjalankan kegiatan agama dan keyakinannya
dan ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan sosial di
masyarakat

3. POHON MASALAH

Efek:
Harga diri rendah

Core problem:
Ketidakberdayaan

Causa:
Disfungi proses berduka.
Kurangnya umpan balik positif.
Umpan balik negatif yang
konsisten.
1) Patofisiologi
Setiap proses penyakit, baik akut maupun kronis, dapat menyebabkan
ketidakberdayaan atau berperan menyebabkan ketidakberdayaan.
Beberapa sumber umum antara lain:
a) Berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi, sekunder
akibat CVA, trauma servikal, infark miokard, nyeri.
b) Berhubungan dengan ketidakmampuan menjalani tanggung jawab
peran, sekunder akibat pembedahan, trauma, artritis.
c) Berhubungan dengan proses penyakit yang melemahkan, sekunder
akibat sklerosis multipel, kanker terminal.
d) Berhubungan dengan penyalahgunaan zat.
e) Berhubungan dengan distorsi kognitif, sekunder akibat depresi.
2) Situasional (Personal, Lingkungan)
a) Berhubungan dengan perubahan status kuratif menjadi paliatif.
b) Berhubungan dengan perasaan kehilangan kontrol dan
pembatasan gaya hidup, sekunder akibat (sebutkan)
c) Berhubungan dengan pola makan yang berlebihan.
d) Berhubungan dengan karakteristik personal yang sangat
mengontrol nilai (mis., lokus kontrol internal).
e) Berhubungan dengan pengaruh pembatasan rumah sakit atau
lembaga.
f) Berhubungan dengan gaya hidup berupa ketidakmampuan
(helplessness).
g) Berhubungan dengan rasa takut akibat penolakan
(ketidaksetujuan).
h) Berhubungan dengan kebutuhan dependen yang tidak terpenuhi.
i) Berhubungan dengan umpan balik negatif yang terus-menerus.
j) Berhubungan dengan hubungan abusive jangka panjang.
k) Berhubungan dengan kurangnya pengetahuan.
l) Berhubungan dengan mekanisme koping yang tidak adekuat.
3) Maturasional :
a) Anak remaja berhubungan dengan masalah pengasuhan anak.
b) Dewasa berhubungan dengan peristiwa kehilangan lebih dari satu
kali, sekunder akibat penuaan (mis., pensiun, defisit sensori,
defisit motorik, uang, orang terdekat.

4. DATA YANG PERLU DIKAJI

Data Masalah keperawatan


Subjektif: Ketidakberdayaan
1) Mengatakan secara verbal ketidakmampuan
mengendalikan atau mempengaruhi
situasi.
2) Mengatakan tidak dapat menghasilkan
sesuatu.
3) Mengatakan ketidakmampuan perawatan
diri.
Objektif:
1) Tidak berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan saat kesempatan diberikan.
2) Segan mengekspresikan perasaan yang
sebenarnya.
3) Apatis,pasif.
4) Ekspresi muka murung.
5) Bicara dan gerakan lambat.
6) Nafsu makan tidak ada atau berlebihan.
7) Tidur berlebihan.
8) Menghindari orang lain.

5. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Ketidakberdayaan
6. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Intervensi Keperawatan pada Pasien
a. Tujuan Umum :
1) Pasien mampu membina hubungan saling percaya
2) Pasien mampu mengenali dan mengekspresikan emosinya
3) Pasien mampu memodifikasi pola kognitiif yang negatif
4) Pasien mampu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang
berkenaan dengan perawatan pasien.
5) Pasien mampu termotivasi untuk aktif mencapai tujuan realistis.
b. Tindakan Keperawatan
SP1 Pasien: Assesmen ketidakberdayaan dan latihan berpikir positif.
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil
pasien sesuai nama panggilan yang disukai.
b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian
ketidakberdayaan agar proses penyembuhan lebih cepat.
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian ketidakberdayaan
3) Bantu pasien mengenal ketidakberdayaan:
a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan
perasaannya.
b) Bantu pasien mengenal penyebab ketidakberdayaan.
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat ketidakberdayaan.
d) Bantu Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan
identifikasi area-area situasi kehidupannya yang tidak berada
dalam kemampuannya untuk mengontrol.
e) Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
berpengaruh terhadap ketidak berdayaannya.
f) Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien tanpa
memintanya untuk menyimpulkan.
g) Identifikasi pemikiran yang negatif dan bantu untuk menurunkan
melalui interupsi atau subtitusi.
h) Bantu pasien untuk meningkatkan pemikiran yang positif.
i) Evaluasi ketepatan persepsi, logika dan kesimpulan yang dibuat
pasien.
j) Identifikasi persepsi klien yang tidak tepat, penyimpangan dan
pendapatnya yang tidak rasional
4) Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif)

SP2 Pasien: Evaluasi ketidakberdayaan, manfaat mengembangkan


harapan positif dan latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan
1) Pertahankan rasa percaya pasien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang ketidakberdayaan dan kemampuan
mengembangkan pikiran postif.
2) Membuat kontrak ulang: latihan mengontrol perasaan
ketidakberdayaan.
3) Latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan melalui peningkatan
kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa dilakukan pasien
(Bantu klien mengidentifikasi area-area situasi kehidupan yang dapat
dikontrolnya. Dukung kekuatan – kekuatan diri yang dapat di
identifikasi oleh klien) misalnya klien masih mampu menjalankan
peran sebagai ibu meskipun sedang sakit.
2. Intervensi Generalis pada Keluarga
a. Tujuan:
1) Keluarga mampu mengenal masalah ketidakberdayaan pada anggota
keluarganya.
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami
ketidakberdayaan.
3) Keluarga mampu memfollow up anggota keluarga yang mengalami
ketidakberdayaan
b. Tindakan keperawatan pada keluarga
1) Mendiskusikan kondisi pasien: ketidakberdayaan, penyebab, proses
terjadi, tanda dan gejala, akibat.
2) Melatih keluarga merawat ketidakberdayaan pasien.
3) Melatih keluarga melakukan follow up

SP1 Keluarga: Penjelasan Kondisi Pasien dan Cara Merawat.


1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri .
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan ketidakberdayaan
pasien dan cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara
merawat ketidakberdayaan pasien.
3) Bantu keluarga mengenal ketidakberdayaan:
a) Menjelaskan ketidakberdayaan, penyebab, proses terjadi, tanda dan
gejala, serta akibatnya.
b) Menjelaskan cara merawat ketidakberdayaan pasien: membantu
mengembangkan motivasi bahwa pasien dapat mengendalikan
situasi dan memotivasi cara afirmasi positif yang telah dilatih
perawat pada pasien.
c) Sertakan keluarga saat melatih afirmasi positif

SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat pasien, cara


latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan dan follow up
1) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,
menanyakan peran keluarga merawat pasien & kondisi pasien
2) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
3) Menyertakan keluarga saat melatih pasien latihan mengontrol
perasaan tidak berdaya
4) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan
kondisi pasien yang perlu dirujuk (klien tidak mau terlibat dalam
perawatan diri) dan cara merujuk pasien.
Terapi Aktivitas Kelompok pada Klien
dengan ketidakberdayaan

1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk
memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama
untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota (Depkes RI,
2015).
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni
pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang
telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang
masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk
membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan
orang lain (Riyadi dan Purwanto, 2014).
2. Tujuan terapi okupasi
Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto (2014), adalah:
a. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental:
1. Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat
mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan
orang lain dan masyarakat sekitarnya.
2. Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
3. Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
4. Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa
dan terapi.
b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik :
1. Meningkatkan gerak, sendi, otot dan koordinasi gerakan.
2. Mengajarkan adl seperti makan, berpakaian, bak, bab dan
sebagainya.
3. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah.
4. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan
kemampuan yang dimiliki.
5. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk
mengetahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan
bersosialisasi, bakat, minat dan potensinya.
6. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien
kembali di lingkungan masyarakat.
3. Aktivitas
Muhaj (2016), mengungkapkan aktivitas yang digunakan dalam
terapi okupasi, sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan,
lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapi
sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat dan kreativitasnya).
a. Jenis
Jenis kegiatan yang dapat dilakukan meliputi: latihan gerak
badan, olahraga, permainan tangan, kesehatan, kebersihan, dan kerapian
pribadi, pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti
dengan mengajarkan merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel),
praktik pre-vokasional, seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain),
rekreasi (tamasya, nonton bioskop atau drama), diskusi dengan topik
tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan
lingkungan) (Muhaj, 2016).
b. Aktivitas
Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan
seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan
berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional maupun
fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan harus mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
1) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang
jelas. Jadi, bukan hanya sekedar menyibukkan klien.
2) Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya dikenal oleh atau ada
hubungannya dengan klien.
3) Klien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan
apa kegunaanya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
4) Harus dapat melibatkan klien secara aktif walaupun minimal.
5) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi klien,
bahkan harus dapat meningkatkan atau setidaknya memelihara
kondisinya.
6) Harus dapat memberi dorongan agar klien mau berlatih lebih giat
sehingga dapat mandiri.
7) Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
8) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau
penyesuaian dengan kemampuan klien.

4. Indikasi terapi okupasi


Riyadi dan Purwanto (2014), menyatakan bahwa indikasi dari terapi okupasi
sebagai berikut:
a. Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga diri rendah yang
disertai dengan kesulitan berkomunikasi.
b. Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi
terhadap rangsang tidak wajar.
c. Klien yang mengalami kemunduran.
d. Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan kepribadian.
e. Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas.
f. Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada
membayangkan.

5. Karakteristik aktivitas terapi


Riyadi dan Purwanto, (2014), mengemukakan bahwa karateristik
dari aktivitas terapi okupasi, yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti
tertentu bagi klien, harus mampu melibatkan klien walaupun minimal, dapat
mencegah bertambah buruknya kondisi, dapat memberi dorongan hidup,
dapat dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien.

6. Analisa aktivitas
Riyadi dan Purwanto (2014), menyatakan bahwa analisa dari
kegiatan terapi okupasi, meliputi: jenis kegiatan yang dilakukan seperti
latihan gerak badan atau pekerjaan sehari-hari, maksud dan tujuan dari
kegiatan dilakukan dan manfaatnya bagi klien, sarana atau alat atau aktivitas
dilakukan disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan, persiapan
terhadap sarana pendukung dan klien maupun perawat, pelaksanaan dari
kegiatan yang telah direncanakan, kontra indikasi dan disukai klien atau
tidak disukai yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh klien.

7. Proses terapi okupasi


Adapun proses dari terapi okupasi, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien, gejala,
diagnosis, perilaku dan kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih,
putus asa, marah.
b. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang telah dikaji
ditegakkan diagnosa sementara tentang masalah klien maupun keluarga.
c. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang ditegakkan dapat
dibuat sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
d. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan
dengan tujuan terapi.
e. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi
dan tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi
rencanakan kembali kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi
dilakukan secara periodik, misalnya 1 minggu sekali dan setiap selesai
melaksanakan kegiatan.
8. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok
tergantung dari kondisi klien dan tujuan terapi.
a. Metode
1) Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum
mampu berinteraksi dengan kelompok dan klien lain yang sedang
menjalani persiapan aktivitas.
2) Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang
memiliki tujuan kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok
yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar
antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2015). Jumlah anggota
kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (dalam Keliat dan
Akemat, 2015) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck
(dalam Keliat dan Akemat, 2015) menyatakan jumlah anggota
kelompok adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar
akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika
terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2016) menyatakan terapi kelompok
sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi
interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah
sebanyak itu. Apabila keanggotaanya lebih dari 10, maka akan
terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga
anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali
bertingkah laku irrasional.
b. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual
maupun kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam
seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2 bagian,pertama: ½-1 jam
yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2 jam
yang terdiri dari tahap kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto,
2014)

9. Pengorganisasian
1. Waktu
Kegiatan terapi kognitif ini akan dilaksanakan selama 1 hari yaitu
pada:
Hari :
Jam :
Lama :
2. Terapis
Adapun terapis yang akan terlibat adalah
a. Fasilitator.
Menyusun rencana terapi kognitif
- Mengarahkan kelompok mencapai tujuan
- Memberikan contoh cara kerja membuat ket pot bunga
- Memfasilitasi anggota untuk mengekspresikan perasaan dapat
dan memberi umpan balik
- Sebagai role model
- Mempertahankan kehadiran anggota
3. Klien
4. Metode dan media
a. Metode
Adapun metode yang digunakan pada terapi okupasi ini adalah
dinamika kelompok
b. Media
Media yang akan digunakan meliputi:
- Spidol
- Buku catatan

Skema Ruang Terapi

K F

F K

K F

F K
K
F

KETERANGAN:

F : Fasilitator

K : Klien

10. MEKANISME KEGIATAN


1. Persiapan
a) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b) mengumpulkan informasi mengenai riwayat dan pengalaman
pekerjaan pasien, pola hidup sehari-hari, minat, dan kebutuhannya
c) analisa tampilan pekerjaan seperti kemampuan untuk melaksanakan
aktivitas dalam kehidupan keseharian, yang meliputi aktivitas dasar
hidup sehari-hari, pendidikan, bekerja, bermain, mengisi waktu
luang, dan partisipasi sosial.

2. Orientasi
a. Salam tarapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Terapis dan klien memakai papan nama.
b. Evaluasi / validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak
1) Terapis menjelaskan tujuan terapi
2) Menjelaskan aturan main berikut:
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
minta izin kepada terapis.
 Lama kegiatan ± 60 menit.
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
d. Tahap Kerja
e. Tahap terminasi.
f. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasan klien setelah mengikuti terapi
okupasi
2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
g. Tindak lanjut
Menganjurkan klien membuat ketrampilan seperti yang telah
diajarkan
h. Kontrak yang akan datang
Buat kesepakatan baru untuk kegiatan berikutnya
11. Evaluasi Dan Dokumentasi
Hal-hal yang perlu di evalausi antara lain adalah sebagi berikut:
a. Kemampuan membuat keputusan
b. Tingkah laku selama bekerja
c. Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang
mempunyai kebutuhan sendiri
d. Kerjasama
e. Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lain)
f. Inisiatif dan tanggung jawab
g. Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding
h. Menyatakan perasaan tanpa agresi
i. Kompetisi tanpa permusuhan
j. Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja
k. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung
jawab atas pendapatnya tersebut
l. Wajar dalam penampilan
m. Orientasi, tempat, waktu, situasi, orang lain
n. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya
o. Kemampuan bekerja tanpa terus menerus diawasi
p. Kerapian bekerja
q. Lambat atau cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Angreni. (2016). Askep Gangguan Alam Perasaan Depresi. Diambil dari


http://scrib.com/2010/12/askep-gangguan-alam-perasaan-depresi.html.
diakses pada 20 Januari 2020.

Carpenito, LJ. (2014). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis ed.
9. Jakarta: EGC.

Keliat, B.A. dan Akemat. (2015). Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok.


Jakarta: EGC.

Muhaj, K. (2016). Terapi Okupasi dan Rehabilitasi. Jakarta: EGC

NANDA Internasional. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


terj. Made Sumarwati. Jakarta: EGC.

Riyadi, S. dan Purwanto, T. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai