Anda di halaman 1dari 9

Pedekatan Teori Realisme, Liberalis dan Konstruktivisme

Terkait studi Perdamaian dan Keamanan

Abstrak

Perdamain dan keamanan akan selalu berhubungan dengan perspektif teori hubungan
internasional. Bahwasanya sistem dunia yang anarki seperti asumsi kaum realis mengaharuskan
negara untuk self help dan memiliki power agar bisa survival dalam sistem internasional.
Pandangan berbeda membawa perspektif liberal yang lebih optimis, sebagai pandangan bahwa
institusi atau organisasi internasional menjadi alternatif perdamaian dan keamanan dalam sistem
dunia yang anarki. Bagi pandangan konstruktivis keamanan internasional tidak hanya terdapat
pada struktur material tetapi juga bersifat sosial, yang memperhatikan norma, identitas,
kepentingan dan intensi dalam hubungan internasional.

Pendahuluan

Studi perdamaian dan keamanan merupakan studi yang tidak akan terlepas dari hubungan
internasional. Sejak terjadinya perang dunia kajian studi perdamaian dan keamanan menjadi
riset yang secara teoritis pendekatan kajiannya tidak terlepas dari teori HI. Hubungan
internasional yang anarki seperti asumsi kaum realis yang pesimistik, mendorong negara untuk
memperjuangkan kelangsungan hidupnya sendiri dalam sistem internasional. Oleh karena itu
negara harus memiliki power untuk memperoleh keamanan bagi negaranya. Berbeda dengan
perspektif kaum liberalis yang memandang dunia dengan optimistik, mereka percaya bahwa
hubungan positif dan rasional antara negara bisa dicapai dengan tindakan kolabortif dan saling
ketergantungan untuk memperoleh kepentingan bersama dapat menciptakan keharmonisan
antar negara. Maka pandangan kaum liberal bahwa Organisasi internasional meruapakan salah
satu jawaban untuk menciptakan tatanan dunia yang aman dan damai. Kontrukstivisme
menjadi pendekatan yang signifikan, kontruktivis menekankan akan pentingnya norma,
kepentingan, identitas dan intensi dalam hubungan Internasional, yang mana hasil kontruksi
sosial merupakan realita sosial dalam hubungan internasional. Seiring dengan perkembangan
waktu kajian Berbagai perspektif dii HI mengalami perkembangan begitu studi Perdamaian dan
keamanan yang mengubah fokusnya lebih ke people dibandingKan state.

Realisme

Bagi kaum realis, dalam Hubungan Internasional, keamanan terkait negara dan sebuah
negara kurang lebih akan aman pada tingkatkatan ketika negara tersebut bisa memastikan
keberlangsungan hidupnya dalam sistem internasional. Para kaum realis berpendapat bahwa,
berbeda dengan politik domestik dimana terdapat pemerintahan yang bertanggung jawab
menegakkan hokum, dalam politik dunia tidak ada pemerintahan yang menegakkan hukum
sehingga setiap Negara harus menjamin keamanan mereka sendiri (Steans & Pettiford, 2001)

Dalam buku yang berjudul security and the international relations, Edward A. Koledziej
(2007) mengkategorikan realisme kedalam tiga Jenis yaitu psimistik realism, neorealism,
optimistik realism pada dasarnya, realisme mengidentifikasi negara sebagai aktor kunci dari HI.
Kegagalan LBB pada perang dunia pertama membawa pesimistic kaum realis bahwa tidak ada
intitusional yang dapat mengikat negara untuk tidak melakukan anarki. Sistem aliansi yang
dilakukan antara blok sentral dan sekutu untuk melakukan perimbangan kekuatan demi
mendapatkan kepentingan nasional serta memperoleh power untuk mengadapi negara lawan.
Bagi kaum realis kekuatan militer (military power) sangat penting untuk mempertankan
negaranya dari serangan lawan. Pandangan realisme akan perdamaian dan keamanan akan
terbangun jika ada perimbangan kekuatan (balance of pawer) .

Menurut Heywod (2007) Konsep power menurut kaum realis diartikan sebgai kemampuan
untuk mempengaruhi perilaku negara lain. Dan bagi realis, politik internasional dapat disamakan
dengan politik kekuasaan. Sistem atau struktur internasionallah yang memaksa negara untuk
mencari kekuasaan (Mearsheimer, 2006). Menurut Mearsheimer, terdapat lima alasan suatu
negara mementingkan power dalam sistm internasional adalah

Negara yang memiliki power kuat akan mengantur dan memainkan system internasionalyang
anarki
Offinsive realist, dimana negara memperkuat dan meningkatkan power untuk menyerang negara
lain (musuh) terlebih dahulu.

Deffensive realist, dimana negara memperkuat power, hal ini dibutuhkan untuk mempersiapkan
jika negara lain (musuh) menyerang.

Tujuan Negara adalah bertahan, dengan cara meningkatkan power dan kapabilitas militernya.
Tujuan bertahan ini dapat dilihat dari negara mempertahankan wiliyahnya dari negara lain dan
mempertahankan politik dalam negerinya agar tercapai tujuan negara lainnya, yaitu
meningkatkan kemakmuran dan menjaga warga negaranya.

Negara merupakan aktor rasional dan terus mengembangkan teknologi pertahanan yang canggih
semaksimal mungkin untuk menjaga wilyahanya dan untuk bertahan didalam sistem.

Dalam sistem internasional yang anarki, masing-masing negara akan memosisikan


negaranya agar tetap seimbang dengan negara-negara lain. Dalam mencapai kepentingan
nasional negara membatu dirinya sendiri (self help system) agar tetap terlindung dari ancaman
ancaman eksternal (Waltz, 1979). Dalam konteks ini menurut Donnelly (2000) didalam sistem
internasional yang anarki, negara dapat melindungi dirinya dengan melakukan balancing atau
bandwagoning. Perbedaan yang paling besar adalah Balancing mendorong negra untuk
beraliansi dengan negara lainnya untuk mengimbangi kekuatan lawan. Sedangkan, bandwagon
mendorong negara beraliansi dengan lawannya. Dalam hal ini, kita tidak dapat memprediksi
strategi mana yang menguntungkan, balance of power merupakan salah satu usaha dari sebuah
negara untuk mengimbangi kekuatan pihak yang dianggap sebagai lawan atau terhadap ancaman
dari lingkungan eksternal.

Liberalisme

Liberalisme memiliki beberapa asumsi dasar diantara (1) kaum liberal memandang positif
sifat dasar manusia, (2) manusia memiliki akal pikiran yang digunakan untuk berfikir secara
rasional dalam menanggapi masalah-masalah internasional, (3) kaum liberal memandang bahwa
tiap-tiap individu memiliki kepentingannya sendiri tetapi dengan menggunakan akal pikirannya,
banyaknya kepentingan tersebut dapat dilibatkan dalam suatu aksi sosial yang lebih kooperatif.
Bagaimana kemudian dengan adanya sebuah konflik atau perang yang dapat dihindari
dengan cara yang lebih kooperatif adalah dengan adanya hukum internasional. Seperti yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham, filsuf inggris pada abad ke-18 yang memunculkan istilah
"hukum internasional". Bentham meyakini bahwa hukum internasional berada dalam
kepentingan rasional negara-negara konstitusional untuk meyakini hukum internasional dalam
kebijakan luar negerinya (Jackson & Sorensen, 1999). Dengan adanya hukum internasional dapat
menciptakan ketertiban di tiap-tiap negara dan melindungi perdamaian.

Pandangan liberalisme sendiri erat kaitannya dengan keamanan dan perdamaian. Kita
bisa melihat bagaimana pasca perang dunia I dimana Liga Bangsa-Bangsa dibentuk dari
pemikiran presiden amerika serikat, Woodrow Wilson. LBB dibentuk sebagai sebuah jawaban
atas adanya suatu kondisi yang konfliktual ketika itu. LBB menjamin keamanan negara-negara
dengan adanya suatu sistem yang dapat mengidentifikasi suatu ancaman keamanan dan
perdamaian dengan melakukan suatu tindakan yang kolektif untuk mencegah tindakan dari
negara yang agresif. Dengan adanya suatu sistem keamanan yang kolektif menjadikan tatanan
internasional semakin kuat sehingga kedamaian mungkin terjadi. Di dalam LBB sendiri terdapat
suatu pengadilan internasional untuk mengakhiri perselisihan dan menyelesaikan suatu konflik
secara damai. Walaupun pada kenyataannya LBB gagal, tetapi dengan adanya LBB menjadi
gagasan untuk terbentuknya suatu organisasi atau institusi internasional yang mengatur negara-
negara secara internasional agar terwujudnya suatu keamanan dan perdamaian.

Salah satu karya yang menjadi salah satu landasan pemikiran kaum liberalis dalam
hubungan internasional adalah karya Immanuel Kant (1724-1804 – seorang filsuf jerman yang
dikenal sebagai seorang pelopor pemikiran filsafat modern yang berjudul Pertual Peace : a
Philosophical Essay (1795) yang dalam naskah aslinya berbahasa jerman tertulis “Zum Ewigen
Frieden : Ein Philosophischer Entwurf”. Dalam buku Pertual Peace, kant mengatakan mengenai
mengapa perdamaian harus senantiasa diperjuangkan dan peperanagna harus dihindari, hal itu
dicirikan dalam beberapa pokok pikiran : (1) sikap anti-perang dimana setiap kesepakatan atau
perjanjian antar bangsa harus didasarkan pada keinginan kuat untuk mengindari peperangan; (2)
prinsip anti-perang didominasi asing, dimana setiap Negara lain dalam hal perdagangan,
finansial, apalagi secara militer; (3) prinsip de-militerisasi, dimana negra harus rela mengurangi
bahkan menghapuskan kekuatan militernya apabila suasana salinng mengancam sudah mereda
dan perdamaan abadi sudah ditegakkan; (4) pemisahan antara masalah ekonomi dengan
hubungan militer, dimana Negara-negara diharakan untuk tidak mengaitkan hutang luar negeri
dengan friksi militer demi tercapainya perdamain dunia; (5) prinsip non-intervensi, dimana tidak
satu Negara pun boleh mencampuri urusan negara lain, apalagi jika disertai dengan penggunaan
kekerasan; (6) prinsip non-kekerasan, dimana tidak satu negara pun boleh menebar sikap
permusuhan yang dapat mengancam prospek perdamaian, misalnya menebar terror melalui
penculikan, pembantaian, penyebaran racun, dan tindakan sejenisnya. Bagi Kant, perdamaian
abadi akan terjadi secara otomatis apabila negara-negra sebagai aktor utama politik internasional
secara sukarela mengikat diri pada tiga komponen penting politik internasional, yaitu: demokrasi
(democracy), saling ketergantungan ekonomi (economic-interpendency), dan organisasi
internasional (international organization). Organisasi interasional berperan dalam mengonversi
kepentingan nasional menjadi kepentingan bersama sehingga anggotanya mulai berpikir tentang
pentingnya kerjasama. (Hadiwinata, 2017).

Didalam liberalisme sendiri terdapat liberalisme institusional yang dimana terbentuknya


organisasi internasional seperti NATO, Uni eropa, dan lain sebagainya. Pernyataan yang
dikemukakan oleh kaum liberal institusional (Keohane et al., 1993) adalah bahwa tingkat
institusionalisasi yang tinggi secara signifikan mengurangi efek yang mengacaukan dari anarki
multipolar (Jackson & Sorensen, 1999). Institusi-institusi tersebut dibentuk dengan beberapa
fungsi diantaranya sebagai penyedia informasi tentang apa yang sedang dilakukan negara-negara
lain sehingga dari hal tersebut dapat mengurangi rasa takut negara-negara anggota satu sama
lain. Selain itu, adanya institusi internasional menjadi wadah negosiasi antara negara-negara
dengan menjalin kerja sama dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan masing-masing.

Konstruktivisme

Konstruktivisme telah menjadi teori yang semakin menonjol pada pendekatan hubungan
internasional sejak kemunculannya pada 1980-an, fokusnya pada peran dan konstruksi politik
dunia yang dapat digambarkan sebagai teori sosial yang lebih luas kemudian menginformasikan
bagaimana kita dapat mendekati studi keamanan. Konstruktivisme lahir untuk menjembatani
persepektif realisme dan liberalisme. Tokoh utama konstruktivisme yang membahas keterbatsan
dan kelemahan epistemologis teori HI adalah Fredrich Kratochwil. Bagi Kratochwil, konstruksi
hidup bersama dalam komunitas internansional adalah sebuah “proses pembelajaran” (learning
process) interkasi yang antar subjek dibentuk oleh identitas (identity), kepentingan (interets),
nilai-nilai (values), dan maksud (intention) yang membentuk pola-pola hubungan tertentu
sebagai “sahabat” (friends) atau” musuh” (enemies) sebagaimana dituliskan dalam karyanya
berjudul Rules, Norms, and Decisions : On The Conditions of Praticial and Legal Reasoning in
International Relations and Domestic Affairs. Kontruktivisme melihat pola interaksi yang
dibentuk oleh beberapa unsur lain seperti norma, identitas, intensi, dan bahasa yang menjadi
bgian penting dari proses historis hubugan antar subjek (Kratochwil,1989).

Salah pemikir jerman ikut membangun teori konstruktivis adalah Nicolas Onuf. Didalam
bukunya World of Our Making, Onuf menyatakan bahwa pemikiran kontruktivis dipengaruhi
oleh ‘The Linguistic Turn’ yang menyakut tiga hal. Pertama, simbol simbol lingustik (bahasa)
memiliki fungsi konstitutif, yakni apa yang kita bicarakan dan ditangkap pihak lain membentuk
dunia sebagaimana kita persepsikan. Kedua, perkataan (speech act) dan berbagai turunanya
berupa kebijakan dan aturan merupakan media konstruksi sosial sehingga menempatkan
manusia sebagai agen dalam penggunaan simbol linguistic. Ketiga, sebagai media, bahasa
mentraformasikan berbagai materi yang ada (available materials) menjadi sumber daya
(resources) sehingga berpotensi mencptakan asimetris dalam hal kontrol dan distribusi informasi
untuk dimanfaatkan masing masing subjek. Situasi ini serinng dijumpai dalam masyarakat
internasional (Onuf, 1989). Menurut Peter Hough (2008) terkadang aktor lebih mengikuti
petunjuk moral dan berpandangan sempit dalam bertindak, dibandingkan membuat pertimbangan
secara objektif. Pemikiran Kratochwil dan Onuf, Alexander wendt menyatakan bahwa unsur-
unsur identitas sosial, intensi, kepentingan, dan bahasa dapat menentukan apakah suatu negara
menjalin “pemusuhan” atau “persahabatan” dengan negara lain (Wendt, 1992)

Dengan demikian kita memperoleh penjelasan berbeda mengenai sikap keberatan


Amerika Serikat dan sejumlah negara barat lainnya terhadap perkembangan teknologi nuklir
Iran. Bagi Neo-realisme, keberatan Amerika Serikat didasarkan pada pertimbangan bahwa
kepemilikan nuklir oleh Iran akan merusak “Balance of Power” di Timur Tengah; sedangkan
bagi Konstruktivisme, keberatan Amerika Serikat merupakan akibat dari tidak adanya afinitas
identitas dan kurangnya interaksi simbolik yang membuat Amerika Serikat tidak mengetahui
dengan jelas maksud (intention) dan kepentingan (interest) Iran sehingga Amerika Serikat
cenderung memandang Iran sebagai “rival” bukannya “kawan” (Dawson, 2011). Dalam
mengeksplorasi bagaimana keamanan diberikan, para konstruktivis menekankan bahwa
keamanan adalah situs negosiasi (antara para pemimpin politik dan domestik) dan kontestasi
(antara aktor yang berbeda)

Pencetus Konstruktivisme yang lainnya Alexander Wendt (1999) menyatakan dalam


bukunya bahwa dia berupaya untuk membangun sebuah teori konstrukstivis yang berasumsi
bahwa hampir semua fenomena internasional : diplomasi, peperangan, perdamaian, dan
sebagainya adalah merupakan konstruksi sosial buatan manunia, karena merupakan produk
manusia, maka semua peristiwa tersebut dapat dibuat dan dihilangkan jika manusia berkenan
melakukannya. Cara pandang konstruktivis mengenai karakter hubungan antar aktor
internasional demikian dikonseptualisasikan oleh Alexander Wendt (1992) menjadi sebuah
proposisi ‘anarchy is what states make of it’, yang kemudian menjadi ciri khas dan label
paradigma konstruktivisme HI. Dalam konteks ini, Konstruktivisme sebagaiman dikatakan
Christian Reus-Smit (2005), meyakini bahwa agents (aktor) dan struktur bersifat saling
memperkuat (mutually constituted). Norma, nilai budaya, dan simbol linguistic membentuk
identitas, kepentingan dan intensi aktor, namun struktur (kekuasaan, ketertiban, rivalitas dan
persahabatan) tidak akan bekerja dengan baik tanpa adanya upaya para aktor untuk
mewujudkannya. Dalam konteks ini menurut Yani (2017) tindakan negara dalam melindungi
keamanannya merupakan strategi keamanan. Dalam menerapkan strategi keamanan, negara akan
memperhitungkan aspek-aspek ancaman dan kerentanan negara (threat and vulnerability).

Kesimpulan

Dari paparan diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa perspektif teori HI, realisme,
liberalisme dan konstruktivisme terkait dengan studi perdamian keamanan, ketiga perspektif
tersebut saling melengkapi dan kompleks dalam mengakaji studi perdamian keamanan. Dalam
hal ini Realisme dengan teori balance of power, dalam sistem dunia yang anarki membawa
strategi untuk negara beraliansi guna mengimbangi kekuatan pihak lawan dari ancaman. Bagi
kaum liberalis hukum dan intitusi internasional membawa jalan alternatif untuk menciptakan
perdamian dan keamanan dalam sitem internasonal yang anarki. Kaum liberal percaya bukan
hanya aktor state tetapi juga non state turut terlibat dalam terciptanya perdamaian dan keamanan
melalui kerasionalan, kolaboratif dan koopertif maka terjadinya konfilk dapat dicegah. Studi
keamanan kini mengalami perkembangan yang kompleks setelah terjadinya perang dingin
bahwasanya cakupan keamaman tidak hanya terpusat pada state tetapi lebih kearah people yang
sifatnya global, untuk itu pendekatan konstuktivis dirasa tepat untuk mengkaji hal tersebut
karena konstruktivis merupakan hasil dari realita sosial dari peristiwa peristiwa internasional,
yang mementingkan nilai sosial seperti norma, kepentingan, identitas dan intensi dalam
hubungan internasional.

Daftar Pustaka

Dawson, Julian. (2011). ‘A Contructivist Approach To The US-Irian Nucleaar Problem’.


Master’s Thesis For Strategic Studies, University Of Calgary, Canada.

Donnelly, Jack. (2000). Realism and International Relaltions, United Kingdom : Cambridge
University Press.

Hadiwinata S, Bob. (2017). Studi dan Teori Hubungan Internasional : Arus Utama, Alternatif,
dan Reflektitivis. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Heywood, Andrew. (2007). Politics ed. 3rd. New York : Palgrave Macmillan.

Hough, Peter. (2004). Understanding Global Security. London : Routledge.

Jackson, R & Sorensen, G. (1999). Introduction to International Relations. Oxford : Oxford


University Press.

Koledziej, Edward A. (2007). ‘Testing security theories: explaining the rise and the demise of
the Cold War’, in Security and the International Relations, Cambridge: Cambridge
University Press.
Kratochwil, Friedrich. (1989). Rules, Norms, and Decisions : On The Conditions of Praticial
and Legal Reasoning in International Relations and Domestic Affairs. Cambridge :
Cambridge Unversity Press.

Mearsheimer, John. (2007). “Structural Realism”. Dalam Tim Dunne et al, International
Relations Theories : Discipline and Diversity. New York : Oxford University Press.

Onuf, Nicolas. (1989). World of Our Making : Rules and rule in Social Theory and
Internasional Relations. Columbia : University of South Carolina Press.

Reus-Smit, Christian (2005). ‘Contructivism’, Dalam Scott Burchill, Et.Al (Ed.). Theories Of
International Relations Edisi Ketiga. London : Palgrave.

Waltz, Kenneth. (1979). Theory of International Politics. Sydney : Addison-Wesley Publishing


Company.
Wendt, Alexander. (1992). ‘Anarchy Is What State Make Of It : The Social Construction Of
Power Politicy’. International Organization, Vol 46, No. 2.

Yani, Yanyan Mochammad, dkk. (2017). Pengantar Studi Keamanan. Malang: Intrans
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai