Anda di halaman 1dari 14

Nama : Nur Ulina M. Br.

Turnip

Nim : 197014015

Prodi : Magister Ilmu Farmasi

M. Kuliah : Fitofarmaka

Dosen : Dr. Marline Nainngolan, M.S., Apt.

1. Jelaskan apa yg menjadi kriteria obat herbal terstandard!

Jawab : (BPOM, 2014)

Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar dengan syarat

bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang

terstandarisasi. Disamping itu herbal terstandar harus melewati uji praklinis seperti uji

toksisitas (keamanan), kisaran dosis, farmakodinamik (kemanfaatan) dan teratogenik

(keamanan terhadap janin).

Uji praklinis meliputi in vivo dan in vitro. Riset in vivo dilakukan terhadap

hewan uji seperti mencit, tikus ratus-ratus galur, kelinci atau hewan uji lain.

Sedangkan in vitro dilakukan pada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel atau

mikroba. Riset in vitro bersifat parsial, artinya baru diuji pada sebagian organ atau

pada cawan petri. Tujuannya untuk membuktikan klaim sebuah obat. Setelah terbukti

aman dan berkhasiat, bahan herbal tersebut berstatus herbal terstandar.

Berdasarkan keputusan BPOM obat tradsional yang didaftarkan sebagai Obat

Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;

b. Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik;

c. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam

produk jadi;
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Logo Obat herbal Terstandar (BPOM,2004)

Melalui teknologi kimia dan proses, obat tradisional dapat dikembangkan agar
diperoleh bahan baku obat yang terstandarisasi atau zat kimia baru sebagai “lead
compounds” untuk pegembangan obat modern melalui eksplorasi sumber daya alam
atau bahan aktif tanaman obat tradisional. Eksplorasi sumber daya alam atau bahan
aktif tanaman obat tradisional dapat dilakukan dengan cara:
1. Ektraksi bahan tanaman obat dengan berbagai pelarut. (Etnomedisine)
2. Uji farmakologis awal ekstraks
3.Skrining fitokimia (Uji Kandungan Metabolit Sekunder : Terpen, Steroid,
Flavonoid, Senyawa Fenol, Alkaloid )
4. Isolasi bahan aktif dan penetapan struktur
5. Standarisasi sediaan fitofarmaka
6. Uji farmakologis lanjut isolate
7. Modifikasi struktur (QSAR)
8. Teknologi preformulasi untuk uji praklinik selanjutnya

2. Kenapa obat herbal terstandard yg banyak beredar di pasaran sementara obat

fitofarmaka cukup terbatas!

Jawab : (BPOM, 2014)

Hal tersebut dikarenakan :

Seperti yang telah disebutkan di atas Hingga tahun 2012 Obat Herbal terstandar yang

telah berkembang menjadi produk Fitofarmaka hanya mencapai enam produk.


Sedangkan OHT mencapai 17 dan golongan jamu mencapai ribuan. Jumlah

fitofarmaka yang masih sedikit tersebut sangat tidak seimbang dengan kekayaan

hayati Indonesia yang begitu besar. Hal ini disebabkan adanya beberapa kendala

yaitu:

a. Permasalahan waktu dan Biaya

Untuk menuju grade Fitofarmaka maka harus melalui uji klinik yang diawali

dari uji pre-klinik, uji klinik fase I (20-50 orang), fase II (200-300 orang) some

trials combine Phase I and Phase II, and test both efficacy and toxicity. Kemudian

fase III (300–3.000 orang), fase 4 disebut juga post marketing surveillance. Pada

pengujian tersebut diperlukan dana milyaran hingga triliunan rupiah selain itu juga

diperlukan waktu yang cukup lama yaitu lima sampai belasan tahun sehingga

tidak semua Industri Obat Tradisional mampu untuk menanggung biaya tersebut.

Hal inilah yang membuat produsen enggan untuk mendaftarkan produknya

menjadi fitofarmaka.

b. Belum populernya fitofarmaka di masyarakat

Sampai saat ini masyarakat belum banyak yang mengenal apa fitofarmaka dan

belum paham makna penggolongan grade-grade tersebut. Sebagai contoh produk

Tolak angin, pada awalnya produk tolak angin adalah jamu namun sekarang sudah

OHT. Bagi konsumen jelas dengan kenaikan grade ini semakin meningkatkan

kepercayaan, obat ini telah melalui proses standardisasi sehingga lebih terjamin

produknya. Masyarakat kita baru sampai tahap ini saja, bisa membedakan Jamu

dan OHT, namun belum sampai ke fitofarmaka. Masyarakat juga masih belum

tahu apa makna label fitofarmaka disetiap produk. Sebagai contoh Jika kita ke

apotek disuguhkan oleh apoteker 2 produk, 1 stimuno dan 1 lagi obat yang

mengandung sama-sama meniran dan ada tambahan Echinacea dan Zn, Vitamin
C, dengan harga lebih murah, juga kemasan yang lebih menarik. Tentu kita

sebagai masyarakat awam akan cenderung memilih produk X. Di sini yang

menjadi titik kritis, walau bisa dikatakan produk X lebih lengkap tapi ini belum

diuji formulasinya ke klinik (manusia/pasien), jadi kita belum tahu bagaimana

satu-kesatuan tersebut (formulasi) efeknya pada manusia. Walaupun masing-

masing bahan oleh jurnal-jurnal ilmiah telah dibuktikan khasiatnya.

c. Keengganan produsen untuk menaikkan grade produknya menjadi

fitofarmaka

Kengganan para produsen menaikkan grade produknya menjadi Fitofarmaka

dikarenakan sampai saat ini tingkat kepahaman para konsumen dalam hal ini

masyarakat masih sampai OHT (obat herbal terstandart) yang memiliki tingkatan

lebih tinggi dari jamu. Peningkatan status menjadi OHT bagi produsen sudah

cukup meningkatkan pamor dan revenue selain itu untuk menaikkan grade OHT

menjadi fitofarmaka diperlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang sangat

lama namun tidak menambah revenue dari modal tersebut.

3. Anda sebagai seorang farmasis apa usaha anda agar obat fitofarmaka dapat

berkembang krn khasiatnya diketahui hampir sama dgn obat modren!

Jawab : (BPOM, 2014)

Permasalahan perkembangan fitofarmaka yang terjadi sampai saat ini adalah

permasalahan biaya dan waktu pengujian; belum populernya fitofarmaka di

masyarakat dan keengganan produsen untuk menaikkan grade produknya menjadi

fitofarmaka. Berikut ini pendekatan pemecahan untuk mengatasi problem di atas:

a. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah, dunia usaha, para akademisi maupun

masyarakat dalam pengembangan jamu dan OHT menuju ke fitofarmaka.


b. Program saintifikasi jamu yang dicanangkan pemerintah bisa dijadikan wadah dan

sarana positif untuk melakukan kerjasama penelitian secara sinergis antara

pemerintah, akademisi, dunia usaha dan masyarakat untuk mengembangkan

produk jamu ataupun OHT menjadi fitofarmaka dalam rangka pembangunan

kesehatan masyarakat Indonesia.

c. Perlu adanya pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya produk fitofarmaka

karena telah terbukti keamanan dan khasiatnya pada manusia.

d. Perlu adanya peningkatan kesadaran bagi produsen akan pentingnya menaikkan

grade produknya menjadi fitofarmaka guna pembangunan kesehatan masyarakat

4. Pilih satu tumbuhan yg berkhasiat berdasarkan studi pustaka selanjutnya tentukan

bgm urutan2 yg akan anda kerjakan sampai diperoleh menjadi sedian fitofarmaka!

Jawab : (PERMENKES NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992)

Rencana Kerangka Tahap-Tahap Fitofarmaka

Agar supaya fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan khasiatnya

dalam pemakaiannya pada manusia, maka pengembangan obat tradisional tersebut

harus mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik.

Tahap-tahap ini meliputi:

1) Pemilihan.

Pemilihan jenis obat tradisional yang akan mengalami pengujian dan

pengembangan kearah fitofarmaka berdasarkan prioritas yang digariskan oleh

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Prioritas pemilihan diberikan kepada:

a. Jenis obat tradisional yang diharapkan mempunyai khasiat untuk penyakit-

penyakit yang menduduki urutan atas dalam morbiditas (pola penyakit).


b. Jenis obat tradisional yang diperkirakan mempunyai khasiat untuk penyakit-

penyakit tertentu berdasarkan inventarisasi pengalaman pemakaian.

c. Jenis obat tradisional yang diperkirakan merupakan alternatif yang jarang

(atau satu satunya alternatif ) untuk penyakit tertentu. Misalnya untuk obat

kencing batu (kalkuli).

Ketentuan lanjut tentang prioritas pemilihan jenis obat tradisional yang akan diuji

dan dikembangkan kearah fitotarmaka akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal

Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pada saat ini pengujian dilakukan terhadap calon-calon obat yang tidak bersifat

narkotik.

2) Pengujian Farmakologik

Penapisan efek farmakologi Fitofarmaka ditujukan untuk melihat dan kerja

farmakologik pada system biologic yang dapat merupakan petuniuk terhadap

adanya khasiat terapetik. Pengujian dapat dilakukan secara in vivo maupun in

vitro pada hewan coba sesuai. Petunjuk tentang khasiat calon fitofarmaka

seyogyanya diperoleh dari percobaan in vivo pada hewan mamalia yang sesuai,

sedapat mungkin dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Tidak

semua khasiat terapetik calon obat bisa diperkirakan secara langsung dari model-

model percobaan hewan. Beberapa khasiat yang mungkin bisa diperkirakan dari

uji penapisan dengan model percobaan hewan misalnya daya analgetik, daya

menidurkan, anti hipertensia, anti diabetes, anti arthritis dll. Kegunaan uji

penapisan farmakologik sebenarnya adalah untuk menghindari pemborosan

dalam tahap uji lebih lanjut. Hasil positif dapat digunakan untuk perkiraan

kemungkinan efek pada manusia

3) PengujianToksisitas
Uji toksisitas akut menyangkut pemberian beberapa dosis tunggal yang

meningkat secara teratur pada beberapa kelompok hewan dari jenis yang sama.

Pengamatan kematian dalam waktu 24 jam digunakan untuk menghitung LD50,

dan hewan dipelihara selama 14 hari. Uji toksisitas akut merupakan prasyarat

formal keamanan calon fitofarmaka (obat) untuk pemakaian pada manusia.

Secara ideal uji toksisitas akut dilakukan pada beberapa jenis hewan, sekurang-

kurangnya jenis hewan pengerat dan satu jenis hewan bukan pengerat. Namun

karena berbagai pertimbangan uji toksisitas akut pada saat ini sudah cukup

memadai , bila dilakukan pada tikus dari kedua jenis kelamin, menggunakan

minimal hewan dari tiap kelamin perdosis. Yang perlu dicari disini adalah :

a. Spektrum toksisitas akut Sistem biologik yang paling peka terhadap calon

Fitofarmaka.

b. Cara kematian (mode of death).

c. Nilai dosis lethal median( LD50) yang dihitung dengan metode statistic

baku.

Pada kasus dimana sulit untuk memperoleh harga LD50 secara pasti

seyogyanya dalam percobaan dosis yang diberikan sudah dicakup dosis terbesar

yang secara teknis dapat diterima oleh hewan coba. Jenis hewan yang dipakai

disini tidak perlu sama dengan hewan yang dipakai untuk uji jangka lama karena

untuk uji jangka lama sebaiknya dipilih hewan yang mempunyai profil

farmakokinetik yang sama dengan manusia terhadap obat tersebut. Demikian

juga untuk uji karsinogenisitates, ratogenisitas dll. Teknik pelaksanaan pengujian

keracunan harus memenuhi persyaratan yang lazim. Untuk tanaman yang belum

dikenal, uji menggunakan dua jenis hewan coba yaitu tikus dan mencit dari dua

jenis kelamin. Bila diperlukan dapat ditambah anjing. Calon Fitofarmaka yang di
uji toksisitas akut dilakukan dengan tikus dan mencit dari kedua jenis dengan

satu jenis hewan coba lain misalnya nantinya akan diberikan pada perlu

diupayakan kesetaraan adalah yang manusia. Bentuk sediaan uji dapat berbeda,

namun khasiat dan keamanan. Spectrum toksikologik yang perlu mendapat

perhatian khusus adalah kemungkinan adanya efek toksik pada system organ-

organ vital seperti kardiovaskuler, susunan saraf gastroiniestinaple, pernafasan

dan lain-lain Jika calon fitofarmaka mempunyai pengaruh toksik pada system ini,

umumnya akan terdeteksi pada tahap uji toksisitas akut.

Pengujian toksisitas lanjut meliputi :

a. Uji toksisitas sub akut.

b. Uji toksisitas kronik.

c. Uji toksisitass pesifik:

4) Pengujian Farmakodinamik

Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas penqaruh

farmakologik pada berbagai system biologik. Bila diperlukan , penelitian

dikerjakan pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo. Bila

calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap 2) dan

dipandang belum bias atau belum mungkin untuk dikerjakan pengujian

farmakodinamik , maka hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat untuk

lebih lanjut. Tahap pengujian farmakodinamik akan lebih banyak tergantung

pada sarana dan prasarana yang ada, baik perangkat lunak maupun perangkat

keras.

5) Pengembangan Sediaan (formulasi).

Perkembangan sediaan dimaksudkan agar bentuk sediaan fitofarmaka yang akan

diberikan pada manusia nantinya memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas


maupun estetika. Syarat-syarat kualitas yang sesuai dengan cara pemberian baik

peroral maupun cara pemberian lain harus diperhatikan secara khusus. Yang

perlu mendapat perhatian , sediaam calon fitofarmaka yang diberikan harus :

a. Tidak memberikan bau dan rasa yang menyebabkan kegagalan pengujian

(contoh pada bawang putih).

b. mempunyai ketersediaan hayati yang baik, hasil uji farmakologi dab uji

klinik meragukan, kadang- kadang disebabkan ketersediaan hayati calon

fitofarmaka yang tidak memadai.

6) Penapisan Fitokimia dan Standarisasi Sediaan.

jika sebelum diketahui kandungan aktifnya, tahap pertama yang harus dilakukan

bersamaan dengan pengujian klinik dalam pembuatan profil kromatogram

bertahap dengan pelarut non polar, semi polar dan polar. Slanjutnya dilkukan

standarisasi sediaan dengan menggunakan zat identitas. Penelitian fitokimialebih

lanjut adalah penentuan kandungan kimia aktif. Jika kandungan kimia aktif

sediaan sudah diketahui, maka dapat dilakukan standarisasi sediaan berdasarkan

atas kadar kandungan aktif tersebut.

7) Pengujian klinik.

Persyaratan dilaksanakannya uji klinik calon fitofarmaka antara lain adalah :

a. Adanya dasar pertimbangan pelaksanaan Dasar pertimbangan dilakukannya

uji klinik terhadap suatu calon fitofarmaka adalah:

 Adanya pengalaman empiris bahwa calon fitofarmaka tersebut

mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan pengobatan penyakit

atau gejala penyakit.


 Adanya data farmakologik pada pengujian terhadap hewan yang

menunjukkan fitofarmaka tersebut emmpunyai aktifitas farmakologik

yang relevan.

b. Persyaratan untuk uji klinik Terhadap fitofarmaka dapat dilakukan Uji

Klinik pada manusia apabila sudah terbukti aman berdasarkan penelitian

toksikologi dan dinyatakan memenuhi syarat keamanan untuk pengujian

pada manusia.

c. Kriteria Pelaksanaan Uji Klinik

 Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi syaratsyarallmiah dan

metodologik suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi suatu

obat baru. –

 Protokol uji klinik fitofarmaka harus sudah disetujui oleh suatu Panitia

llmiah yang independent

 Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh beberapa orang (tim)

peneliti yang mempunyai keahlian, pengalaman, kewenangan dan

tanggung jawab dalam pengujian klinik dan evaluasi obat.

 Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi prinsipprinsip etika sejak

perencanaan pelaksanaan sampai dengan penyelesaian uji klinik

 Setiap pengujian harus menciapatkan izin kelaikan etik (Ethical

clearance) dari Panitia Etika Penelitian Biomedik pada manusia.

Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan di unitunit pelayanan dan

penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik, baik

dari segi kelengkapan sarana, personalia, kemampuan maupun tersedianya

pasien-pasien yang mencukupi. Uji klinik Fitofarmaka seyogyanya


dilakukan sesuai dengan tahap-tahap uji klinik calon obat baru yang

meliputi fase l , fase ll, fase lll dan fase lV.

Contoh : Pare → obat Diabetes Millitus

Pare

Momordica charantia L

a. Nama daerah

Paria, pare, pare pahit, pepareh, prieu, peria, foria, pepare, kambeh, paria. Paya,

paria, truwuk, paita, paliak, pariak, pania, pepule, poya, pudu, pentu, paria

belenggede, palia, papariane, pariane, papari, kakariano, taparipong, papariano,

popare, pepare.

b. Bagian yang digunakan → Buah

c. Deskripsi tanaman/simplisia

Semak menjalar, dengan buah tipe peppo, memanjang, berjerawat tidak

beraturan, oranye, pecah sama sekali dengan 3 katup, 5-7 cm (liar) hingga 30 cm

(ditanam). Daun pare berbentuk membulat, bergerigi dengan pangkal bentuk

jantung, garis tengah 4-7 cm, tepi berbagi 5-9 lobus, berbintik-bintik tembus

cahaya, taju bergigi kasar hingga berlekuk menyirip, memiliki sulur daun dan

berwarna agak kekuningan dan terasa pahit. Bunga jantan dan bunga betina
tumbuh pada ketiak daun. Daun dari pare yang tumbuh liar, dinamakan daun

tundung. Daun ini dikatakan lebih berkhasiat bila digunakan untuk pengobatan.

d. Kandungan kimia

Buah pare mengandung steroid, karantin, momordikosid, asil glikosil sterol,

asam amino dan asam fenolat. Senyawa triterpen yang telah dilaporkan antara

lain momordikosid (AL), goya glikosida (A-H), momordisin, momordisinin,

kukurbitan I-III, dan goya saponoin I-III. Bijinya mengandung lektin, terpenoid,

momordikosid (A- E), visin, asam amino dan asam lemak, serta polipeptida-p

(protein mirip insulin). Senyawa yang telah diisolasi dari herba adalah saponin,

sterol, glikosida steroid, alkaloid, asam amino dan protein. Selain itu telah

diisolasi triterpenoid lainnya, yaitu momordikosida dan goya glikosida.

Komponen ekstrak pare dengan elektroforesis dan analisis spektrum infra

merah, mirip dengan struktur insulin binatang.

e. Data keamanan

LD50 jus buah: 91,9 mg/100 g BB dan LD50 ekstrak alkohol per oral : 362 mg/

100 g BB pada tikus. Momorcharins, diisolasi dari biji menginduksi aborsi pada

- 43 - kehamilan muda dan midterm pada mencit dan teratogenik pada kultur

embrio tikus pada tahap awal organogenesis.

f. Data manfaat

Uji klinik:

Uji pada sukarelawan pria normal 20-30 tahun dibagi menjadi 3 kelompok

masing-masing diberi ekstrak pare setara dengan 0,9; 1,8 dan 2,25 kg.

Pemberian dosis setara dengan 1,8 kg buah menurunkan kadar glukosa darah

secara bermakna.Ekstrak air buah pare (50 mg) pada diabetes tipe 2 dapat

menurunkan glukosa darah. Pemberian bubur buah pare pada 100 penderita
diabetes tipe-2 memberikan efek hipoglikemik pada 86 kasus (86%) dan 5 kasus

(5%) menunjukkan pengurangan glukosa darah puasa saja.

Studi kasus (n = 8) perbaikan toleransi glukosa dan kadar glukosa darah puasa

diamati pada pasien (38–50 tahun) diabetes tipe-2 yang diberi serbuk buah

kering 2 x 50 mg/kg BB/hari selama 1 minggu. Ekskresi glukosa urin menurun

pada hari ke-3 dan hilang sama sekali setelah 7 hari. Rerata kadar glukosa darah

pasca terapi menurun dibanding nilai pra-terapi yaitu 248 mg/dL menjadi 155

mg/dL (p < 0.001) perbedaan lebih besar setelah pemberian glukosa 60 g. Tidak

ditemukan efek samping.

Studi lain pada 10 pasien diabetes tipe-2 yang diberi serbuk buah 2,0 g/hari

selama 11 hari, memperlihatkan penurunan kadar glukosa dan kolesterol total

10,02%. Penurunan kadar glukosa selama GTT sangat bermakna, 10,64–15,15%

(p < 0,001).

Mekanisme kerja dengan menurunkan glukoneogenesis di hati, meningkatkan

sintesis glikogen hati, dan meningkatkan oksidasi glukosa perifer di eritrosit dan

adiposit. Ada data terbatas bahwa buah pare meningkatkan sekresi insulin di

pankreas. Penurunan kadar glukosa dimulai setelah 30 menit, mencapai

maksimum 4 jam dan berakhir dalam 12 jam.

g. Indikasi → Diabetes melitus

Anda mungkin juga menyukai