18/430517/PN/15834
DIPT
1. Penyebab Penyakit Faktor Lingkungan
Bila penyebab penyakit adalah faktor lingkungan fisik atau kimia maka biasanya
penyakit menjadi makin berat dengan pertambahan waktu, sedang kecepatan perkembangan
tersebut beragam menurut jenis pohon, jenis faktor penyebab penyakit serta seberapa jauh
penyimpangan kondisi faktor penyebab tersebut dari kondisi yang cukup baik untuk
perkembangan pohon yang bersangkutan. Makin besar penyimpangan jenis pohon tertentu,
makin cepatlah dan mungkin makin beratlah penyakit yang ditimbulkannya. Tiap jenis pohon
memerlukan syarat mengenai faktor fisik atau kimia tertentu untuk pertumbuhannya yang
optimal, oleh karena itu suatu kondisi lingkungan fisik atau kimia tertentu mungkin sekali cukup
baik untuk pertumbuhan jenis pohon yang satu tetapi tidak baik untuk pertumbuhan jenis pohon
yang lain. Demikian pula pada suatu kondisi lingkungan fisik atau kimia tertentu, suatu jenis
pohon yang semula pada umurumur tertentu tidak menunjang gejala suatu penyakit, pada umur-
umur lebih lanjut dapat menjadi sakit.
Pengaruh Suhu
Tumbuhan umumnya tumbuh pada kisaran suhu 1 sampai 40 OC, kebanyakan jenis
tumbuhan tumbuh sangat baik antara 15 dan 30 OC. Tumbuhan berbeda kemampuan
bertahannya terhadap suhu ekstrim pada tingkat prtumbuhan yang berbeda. Misalnya, tumbuhan
yang lebih tua, dan lebih keras akan lebih tahan terhadap suhu rendah dibanding kecambah
muda. Jaringan atau organ berbeda dari tumbuhan yang sama mungkin sangat bervariasi
kesensitifannya (kepekaannya) terhadap suhu rendah yang sama. Tunas jauh lebih sensitif (peka)
dibanding daun dan sebagainya.
Cahaya
Kekurangan cahaya memperlambat pembentukan klorofil dan mendorong pertumbuhan
ramping dengan ruas yang panjang, kemudian menyebabkan daun berwarna hijau pucat,
pertumbuhan seperti kumparan, dan gugurnya daun bunga secara prematur. Keadaan tersebut
dikenal dengan etiolasi. Tumbuhan teretiolasi didapatkan di lapangan hanya apabila tumbuhan
tersebut ditanam dengan jarak yang terlalu dekat atau apabila ditanam di bawah pohon atau
benda lain. Kelebihan cahaya agak jarang terjadi di alam dan jarang merusak tumbuhan. Banyak
kerusakan yang berhubungan dengan cahaya mungkin akibat suhu tinggi yang menyertai
intensitas cahaya tinggi.
Polutan Udara
Hampir semua polutan udara yang menyebabkan kerusakan pada tumbuhan berbentuk
gas, tetapi beberapa bahan yang berupa partikel atau debu juga mempengaruhi vegetasi.
Beberapa gas kontaminan seperti etilen, amoniak, klorin dan kadang-kadang uap air raksa,
menyebarkan pengaruh buruknya melewati daerah tertentu. Seringkali tumbuhan atau hasil
tumbuhan yang disimpan dalam gudang dengan ventilasi yang tidak baik dipengaruhi oleh
polutan yang dihasilkan oleh tumbuhan itu sendiri (etilen) atau dari kebocoran sistem pendingin
(amoniak). Beberapa kerusakan yang disebabkan oleh polutan udara sebagai berikut :
- Klorin (Cl2) yang berasal dari kilang minyak, menyebabkan daun terlihat keputihan,
terjadinya nekrosis antar tulang daun, tepi daun nampak seperti hangus. - Etilen (CH2CH2) yang
berasal dari gas buangan automobil, menyebabkan tumbuhan tetap kerdil, daun berkembang
secara abnormal dan senesen secara prematur.
- Sulfur dioksida (SO2) yang berasal dari asap pabrik, pada konsentrasi menyebabkan
klorosis umum dan pada konsentrasi tinggi menyebabkan keputihan pada jaringan antar tulang
daun. Defisiensi Hara pada Tumbuhan Tumbuhan membutuhkan beberapa unsur mineral untuk
pertumbuhan yang normal. Beberapa unsur, seperti nitrogen, posfor, kalium, magnesium dan
sulfur dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar yang disebut unsur makro, sedangkan yang
lain seperti besi, boron, mangan, seng, tembaga, molibdenum dan klorin dalam jumlah kecil yang
disebut unsur mikro. Jenis gejala yang dihasilkan oleh defisiensi hara tertentu trutama tergantung
pada fungsi unsur tersebut di dalam tumbuhan. Fungsi-fungsi tersebut mungkin menghambat
atau mengganggu apabila unsur-unsur tersebut terbatas. Gejala tertentu biasanya sama pada
defisiensi beberap unsur, tetapi ciri-ciri diagnostik lain biasanya berhubungan dengan defisiensi
unsur tertentu. Gejala yang ditimbulkan tumbuhan sebagai akibat defisiensi hara adalah sebagai
berikut :
- Nitrogen, apabila terjadi defisiensi menyebabkan tumbuhan tumbuh jelek dan berwarna
hijau muda. Daun bagian bawah berubah kuning atau coklat muda dan batang pendek dan kurus.
- Posfor, apabila terjadi defisiensi menyebabkan tumbuhan tumbuh jelek dan daun hijau
kebiruan. Daun bagian bawah kadang-kadang berubah menjadi karat muda dengan bercak ungu
atau coklat.
- Kalium, apabila terjadi defisiensi menyebabkan tumbuhan mempunyai tunas kecil yang
pada keadaan ganas timbul mati-ujung. Daun yang lebih tua memperlihatkan gejala klorosis
dengan kecoklatan pada ujung pinggirnya mengering dan biasanya banyak bercak coklat di
pinggirnya.
- Besi, apabila terjadi defisiensi menyebabkan daun muda mengalami klorosis berat,
tetapi tulang daun utamanya tetap hijau seperti biasa. Kadang-kadang berkembang bercak coklat.
Sebagian atau keseluruhan daun mungkin mati.
2. Faktor lingkungan dapat dipisahkan antara yang biotik (hidup) dan yang abiotik (mati).
Sebagai contoh untuk biotik adalah jasad-jasad renik yang ada di sekitar patogen. Pengaruh
faktor lingkungan biotik yang jelas adalah pada patogen yang bertahan hidup dan berkembang di
dalam tanah, yang biasanya menyerang akar. Jasad yang berkembang di sekitar patogen adalah
yang secara langsung berpengaruh terhadap daya tahan hidup patogen dengan bertindak sebagai
parasit, vektor, saingan dalam memperoleh makanan atau dengan melalui antibiosis. Unsur unsur
biotik yang lain dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap patogen. Hal ini disebabkan
karena adanya interaksi antara jasad renik di sekitar patogen. Interaksi dapat mengakibatkan
berkembangnya atau turunnya populasi jasad renik yang menguntungkan atau merugikan
patogen. Dengan demikian maka unsur-unsur biotik lingkungan dapat berpengaruh secara
langsung atau tidak langsung terhadap perkembangan penyakit pada pohon.
Kelompok faktor lingkungan yang lain adalah unsur-unsur abiotik (tidak hidup) seperti
suhu, kadar air tanah, kelembaban udara, pH tanah dan bahan-bahan kimia di dalam tanah. Suatu
faktor abiotik tertentu dapat menyebabkan pohon mengalami tekanan hingga penyakit yang
ditimbulkan oleh patogen menjadi lebih berat dibandingkan dengan bila pohon hanya terserang
oleh patogen.
Faktor lingkungan fisik atau kimia dapat bekerja sendiri dan menyebabkan pohon
menjadi sakit tanpa adanya serangan suatu patogen, dan dapat pula mempengaruhi
perkembangan penyakit yang ditimbulkan oleh patogen.
Sumber:
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan Munzir Busnia). Gadjah Mada
University Press.
Bidwek, R.G.S. 1979. Plant Physiology. Macmillan Publishing Co. Inc. New York Coller
Macmillan Publisher. London.
Gardner, F.P., R. B. Pearce, R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan
Herawati Susilo). Universitas Indonesia.
Hadi, S. 1986. Pengelolaan Hutan tanaman Industri dengan Penekanan pada Masalah Upaya
Perlindungan Terhadap Penyakit. Prosiding Seminar Nasinal Ancaman Terhadap Hutan
Tanaman Industri. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia. Jakarta.
Rao, N. S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia.
Roberts, D. A., C. W. Boothroyd. 1984. Fundamentals of Plant Pathology. W.H. Freeman and
Company. New York.
Salisbury, F. B., C. W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan (Trejkemahan Diah R. Likman). ITB
Bandung.
Semangun, H. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikutura di Indonesia. Gadjah Mada University
Press.
Tjitrosoepomo, G. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjah Mada University Press.
3. Tanaman kopi arabika akan tumbuh maksimal bila ditanam di ketinggian 1000-2000
meter dpl. Dengan curah hujan berkisar 1200-2000 mm per tahun. Suhu lingkungan paling cocok
untuk tanaman ini berkisar 15-24ºC. Tanaman ini tidak tahan pada temperatur yang mendekati
beku di bawah 4ºC (Silaban et al.,2016). Karakteristik tersebut yang menyebabkan penyakit
karat daun kopi tidak banyak dijumpai pada tanaman kopi arabika karena penyakit karat daun
kopi hanya menyerang tanaman kopi yang ditanam di daerah rendah (Syakir dan Surmaini,2017).
Sumber :
Silaban,S.H., Bintang S, dan Posma Marbun. 2016. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman
kopi arabika (Coffea arabica), kentang (Solanum tuberosum L.), kubis (Brassica
oleraceae L.), dan jeruk (Citrus sp.) di Kecamatan Harian Kabupaten Samosir. Jurnal
Agroekoteknologi. 4(3): 2055-2068.
Syakir,M dan Surmaini. 2017. Perubahan iklim dalam konteks sistem produksi dan
pengembangan kopi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 36(2):
77-90.
4. Keberadaan pohon pelindung tetap (Grevillea robusta) pada areal tanaman teh
menghasilkan (TM) dapat menurunkan suhu udara, meningkatkan kelembapan relatif (RH), dan
menurunkan intensitas cahaya pada musim kemarau sehingga iklim mikro terjaga tetap sesuai
untuk pertumbuhan tanaman teh.
Keberadaan pohon pelindung tetap (Grevillea robusta) pada areal tanaman teh
menghasilkan (TM) dapat menekan populasi serangga hama dan sebaliknya dapat meningkatkan
populasi musuh alami.
Keberadaan pohon pelindung tetap (Grevillea robusta) pada areal tanaman teh
menghasilkan (TM) dapat meningkatkan produksi pucuk teh sebanyak 21% pada musim hujan
dan 55% pada musim kemarau.
Penanaman pohon pelindung di perkebunan teh juga akan meningkatkan
keanekaragaman hayati yang diharapkan dapat menurunkan masalah hama yang biasanya
dihadapi perkebunan teh yang diusahakan secara monokultur. Penanaman pohon pelindung di
perkebunan teh juga merupakan cara manipulasi habitat yang akan membantu konservasi musuh
alami dengan menyediakan perlindungan, nectar, pollen, dan inang alternatif bagi musuh alami
(Das et al., 2010).
Pada waktu musim hujan kelembapan udara tinggi, sehingga tanaman pelindung
dipangkas sebagian daunnya guna menjaga kelembapan udara di perkebunan teh. Kelembapan
udara yang sangat tinggi akan menyebabkan tumbuhnya jamur-jamur yang dapat menganggu
tanaman teh itu sendiri.
Sumber :
Das, S., S. Roy, and A. Mukhopadhyay. 2010. Diversity of arthropod natural enemies in the tea
plantations of North Bengal with emphasis on their association with tea pests. Current
Science 99(10): 1457–1463.
Widayat, W. dan D. J. Rayati. 2011. Pengaruh pohon pelindung tetap pada tanaman teh
menghasilkan terhadap iklim mikro, populasi serangga hama dan musuh alami, serta
produksi pucuk teh. Jurnal Penelitian Teh dan Kina. 14(1): 1-7.
5. Kebasahan daun merupakan parameter kunci dalam meteorologi pertanian karena terkait
untuk epidemiologi banyak tanaman penting, mengendalikan infeksi dan pengembangan
patogen. Kebasahan juga merupakan variabel pendorong dalam model epidemiologis untuk
mensimulasikan risiko kerusakan tanaman dari banyak penyakit tanaman. Kebasahan daun dapat
disebabkan oleh hujan, kabut, irigasi, embun dari atmosfer, atau penyulingan dari tanah. Embun,
sering menjadi penyebab utama basahnya daun, biasanya terjadi pada transfer turbulent saat
malam hari, saat permukaan hidup yang menjadi lebih dingin daripada titik embun udara di
sekitarnya.
Faktor – faktor yang mempengaruhi kebasahan daun adalah Kelembaban nisbi udara
menentukan kebasahan permukaan daun yang bersama-sama dengan suhu merupakan
faktor penyebab infeksi benih. Selain kelembaban nisbi yang menentukan kebasahan organ
vegetatif tanaman, curah hujan juga merupakan faktor penting dalam kemunculan penyakit,
sedang pengaruhnya terutama berkaitan dengan reduksi konsentrasi spora di udara.
Berbagai faktor lingkungan tersebut secara bersama-sama akan menghasilkan suatu periode
kondisi lingkungan yang sesuai bagi perkembangan patogen. Curah hujan yang besar dapat
memberikan periode kelembaban nisbi udara tinggi dan periode kebasahan daun yang
lama dibandingkan dengan curah hujan yang kecil. Dengan demikian curah hujan besar
dapat meningkatkan "indeks kecocokan lingkungan" bagi penyakit tanaman.
Sumber :
Sentelhas, P. C., A.D. Marta, S Orlandini., E. A. Santos, T. J. Gillespieand M. L. Gleason. 2008.
Suitability of relative humidity as an estimator of leaf wetness duration. Agricultural and
forest meteorology. 148(3), 392-400.
Hadi, S., A. Saefuddin, dan A. Suryani. 2004. Epidemiologi hawar daun bibit Pinus merkusii
yang disebabkan oleh Pestalotia theae. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 10(1).
6. Pada tanah masam jarang dijumpai penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh bakteri
dikarenakan tidak semua bakteri mampu hidup pada tanah masam (pH rendah). Tanah masam
akan beracun/toksik bagi bakteri, sehingga mereka tidak dapat hidup. Pengaruh pH terhadap
pertumbuhan dan produksi senyawa asam terjadi diantaranya melalui mekanisme yaitu
Penurunan nilai pH akibat akumulasi asam organik mengubah keadaan fisiologis sel.
Pengasaman sitoplasmik menyebabkan penghambatan aktivitas enzim, akibatnya fluks katabolik
melalui glikolisis berkurang sehingga laju sintesis energi biokimia menurun.
Penurunan produksi energi bersamaan dengan peningkatan penggunaan energi untuk
mengatasi pengasaman sitoplasma menyebabkan energi untuk sintesis biomassa menjadi
terbatas. Dalam kondisi ini, laju pertumbuhan spesifik menurun secara progresif, dan
pertumbuhan akhirnya berhenti. Respon seluler terhadap fenomena ini adalah mempertahankan
mRNA gen-gen katabolic pada tingkat yang signifikan, melalui transkripsi gen dan
meningkatkan stabilitas transkrip. Jadi translasi dipertahankan dan konsentrasi intraseluler
enzim-enzim tertentu ditingkatkan, sebagai kompensasi secara parsial terhadap aktivitas
penghambatan akibat penurunan pH (Even, et al., 2002).
Stres tingkat pH asam mengubah profil ekspresi gen. Hasil penelitian Xie, et al. (2004),
menunjukan terjadi perubahan ekspresi gen akibat stress penurunan pH, yaitu beberapa gen yang
diinduksi dan gen-gen yang lainnya ditekan. Contohnya pada bakteri penyebab penyakit pada
tumbuhan maupun bakteri bermanfaat bagi tumbuhan seperti Rizhobium sp. Menurut Widyasari,
et al. (2013), bakteri Rhizobium sp. yang tahan terhadap kondisi agak asam (pH 5,8) disebabkan
karena bakteri Rhizobium sp. memiliki kemampuan untuk mempertahankan pH intraseluler (pHi)
antara 7,2 dan 7,4 ketika pH eksternalnya (pHe) rendah (pH 5,6). Ketika pH media bersifat asam
dan toksik pada bakteri Rhizobium sp., adanya kemampuan untuk memelihara kestabilan pH
internal akan menurunkan tingkat toksisitas media, sehingga bakteri tidak akan mati.
Sumber :
Even S, N.D. Lindley, P. Loubière & M. CocaignBousquet. 2002 Dynamic Response Of
Catabolic Pathways To Autoacidification In Lactococcus lactis: Transcript Profiling And
Stability In Relation To Metabolic And Energi Constraints. Mol. Microbiol. 45 :1143-52.
Widyasari, N.M., R. Kawuri, dan I.K. Muksin. 2013. Pengaruh pH media pertumbuhan terhadap
ketahanan dari Rhizobium sp. pada tanah yang bersifat asam. Jurnal Biologi 17 (2) : 56−60.
Xie, Y., C. Lan-szu, A. Cutler & B. Weimer. 2004. DNA Macroarray Profiling Of Lactococcus
lactis subsp. lactis IL1403 Gene Expression During Environmental Stresses. Appl Environ
Microbiol. 70 :6738–6747.
7. Variabilitas curah hujan Indonesia sangat tinggi, baik secara spasial maupun temporal.
Secara ekonomi, perubahan intensitas dan frekuensi curah hujan sangat berpengaruh terhadap
pertanian Indonesia. Dampak perubahan curah hujan nyata terhadap peningkatan serangan OPT
pada tanaman sayuran (Susanti et al. 2015)
Direktorat Perlindungan Hortikultura (2015) menyatakan perubahan intensitas curah
hujan memicu ledakan hama dan penyakit pada budi daya cabai dan bawang merah sehigga
mempengaruhi laju inflasi di Indonesia. Pada saat curah hujan tinggi, serangan penyakit
meningkat di antaranya penyakit layu fusarium, layu bakteri, dan antraknosa cabai. Pada saat
curah hujan rendah, serangan hama meningkat, di antaranya ulat bawang, virus kuning, trips
cabai, dan kutu kebul.
Adiyoga and Basuki (2018) mengkaji persepsi petani sayuran tehadap perubahan ikim di
Sulawesi Selatan. Secara umum hasil penelitian menunjukkan perubahan iklim tidak jarang
menggagalkan panen dengan risiko kerugian yang semakin tinggi dan berpengaruh langsung
terhadap keberlanjutan usaha tani, serangan hama penyakit tanaman meningkat dan munculnya
hama penyakit baru.
Sumber :
Adiyoga, W. and Basuki, R.S. (2018). Persepsi Petani Sayuran Tentang Dampak Perubahan
Iklim di Sulawesi Selatan. J. Hort 28(1):133–146
Susanti, E., Surmaini, E., Buono, A. and Heryani, N. (2015). Prototype of Information System
for Horticulture Pest and Disease Distribution. . Informatika Pertania 24(2):179–190