Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM KLIMATOLOGI DASAR


ACARA IV
MENENTUKAN IKLIM SUATU TEMPAT

Disusun oleh :
1. Yesika Sion Kharista Br Ginting (424322)
2. Din Prabaningtyas (424344)
3. Dwi Febrini (424345)
4. Gia Amalia Ridha (424349)
5. Amanda Dewi Meirina (424366)
6. Amira Nur Ihsan (424367)

Gol / Kel : A1 / 1
Asisten : Fanni Wulandari

LABORATORIUM ILMU AGROKLIMATOLOGI


DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
ACARA IV
MENENTUKAN IKLIM SUATU TEMPAT

I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iklim merupakan keadaan cuaca yang terjadi sehari-hari atau rerata dari
cuaca. Dalam sebuah wilayah tertentu akan mengalami cuaca yang berbeda
dengan wilayah lainnya sehingga dilakukan pengukuran terhadap unsur-unsur
iklim untuk mengetahui iklim tersebut secara lebih rinci dan teliti. Penghitungan
harga rata-rata cuaca bergantung pada persetujuan internasional yang diambil rata-
rata cuaca selama 30 tahun terakhir. Dua tempat hampir tidak memiliki iklim yang
identik disebabkan oleh variasi unsur iklim yang besar sehingga terdapat
perbedaan iklim pada setiap daerah.
Keadaan iklim di Indonesia dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi.
Indonesia terletak diantara dua benua, yaitu benua Australia dan benua Asia, serta
terletak di daerah ekuator dengan koordinat 7°LU- 11°LS. Kedua benua yang
mengapit Indonesia termasuk kedalam monsoon foci yang menyebabkan
perbedaan musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau, serta persebaran curah
hujan tidak merata. Oleh karena itu, pada pratikum ini dilakukan pengamatan
tentang iklim di suatu tempat untuk menentukan kategori iklimnya. Pada
pengamatan ini terdapat klasifikasi iklim menurut para ahli, yaitu klasifikasi
Mohr, Schmidt & Fergusson, Oldeman, dan Koppen. Dari keempat ahli tersebut
iklim pada suatu tempat dapat diketahui klasifikasinya.

B. Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan praktikum Klimatologi Dasar Acara IV ini adalah :
1. Mempelajari serta menyatukan berbagai anasir iklim guna menentukan
tipe iklim di daerah Curug Tangerang dan Tasikmalaya Jawa Barat
2. Mengetahui hubungan tipe iklim dengan keadaan tanaman suatu daerah
II. TINJAUAN PUSTAKA

Di Indonesia terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musimm


kemarau, yang diakibatkan oleh adanya monsoon asia. Di dekat ekuator,
umumnya pada bulan desember hingga maret, angin ini secara bertahap berubah
arah dari arah Timur Laut menjadi arah Barat Laut (Glauce de S.R, 2015).
Monsoon dipengaruhi oleh beberapa fenomena antara lain seperti ENSO, osilasi
30-60 harian, seruak laut cina selatan, seruak pantai barat Australia, dan awal
monsoon Australia (Oldeman, L.R., 1975).
Iklim mempunyai peranan yang sangat penting dalam perencanaan dan
sistem produksi pertanian karena seluruh unsur iklim berpengaruh terhadap
berbagai proses fisiologis, pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Iklim
mengandung pengertian kebiasaan cuaca yang terjadi di suatu tempat atau daerah.
Faktor iklim merupakan faktor yang sulit untuk dimodifikasi karena iklim
merupakan komponen ekosistem yang sangat dinamik dan sulit dikendalikan.
Beberapa ahli klimatologi seperti Koppen, Thornwaite, Oldeman, Mohr, serta
Schmidt dan Ferguson mengklasifikasikan iklim dengan berbagai metode guna
menunjang kegiatan - kegiatan pertanian yang pada umumnya menggunakan data
suhu udara dan curah hujan. (Mahubessy, 2014). Iklim merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi produksi dan pertumbuhan tanaman serta digunakan
untuk menduga keragaman tanaman dan mengetahui apakah tanaman dapa hidup
di suatu iklim tertentu. Pemanfaatan informasi iklim di Indonesia sangat sedikit
untuk sektor pertanian yang sebagian mata pencaharian masyarakatnya sebagai
petani. Pengetahuan tentang iklim berupa karakteristik dan pendugaannya sangat
diperlukana agar para petani dapat menentukan tanaman apa yang tepat untuk
ditanam, waktu penanaman serta pengolahannya (Kamala, 2015).
Sistem klasifikasi iklim (CCS) adalah alat penting untuk mendukung
pertanian berkelanjutan yang memberikan informasi tentang karakteristik dasar
dan umum iklim regional. Köppen CCS (KGT) dianggap berguna terutama pada
makroskop dan Thornthwaite CCS (TH), dengan simbologi yang lebih kompleks,
dalam mesoscale untuk penentuan iklim (Glauco et al., 2015). Klasifikasi koppen
membagi wilayah bumi menjadi enam kategori iklim besar. Keenam iklim
klasifikasi Koppen tersebut adalah : (A) Iklim lembab tropik, (B) iklim lembab
mesothermal, (C) Iklim lembab mikrotermal, (D) Iklim kutub, dan (E) Iklim Arid
(termasuk gurun pasir dan stepa). E.C.J. Mohr membuat sistem klasifikasi iklim
untuk wilayah nusantara, berdasarkan penelitian terhadap tanah (pedologi) tetapi
kemudian disempurnakan oleh Schmidt dan Ferguson.Mereka menyetujui batasan
Mohr dalam membedakan bulan kering dan bulan basah, namun bukannya
memperhitungkan rata-rata presipitasi sebagai indikatornya, Scmhidt dan
Ferguson menggunakan kelembapan tahunan untuk menentukan hasil rerata
(Petersen, 2010).
Wladimir Koppen membuat klasifikasi iklim seluruh dunia berdasarkan
suhu dan kelembaban udara. Kedua unsur iklim tersebut sangat besar pengaruhnya
terhadap permukaan bumi dan kehidupan di atasnya. Berdasarkan ketentuan itu
Koppen membagi iklim dalam lima daerah iklim pokok. Masing-masing daerah
iklim diberi symbol utama A, B, C, D, dan E (Dewi, 2005).
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada
jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe
iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut.
Oldeman et al. (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi
adalah 150 mm per bulan, sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70
mm/bulan. Dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah
75%, maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan
diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, untuk mencukupi kebutuhan air
untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan.
III.METODOLOGI

Praktikum Klimatologi Dasar Acara IV dengan judul Menentukan Iklim


Suatu Tempat dilaksanakan pada hari Senin, 9 September 2019 di Laboratorium
Agroklimatologi, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Praktikan diberikan data berupa curah hujan suatu wilayah
dari bulan Januari sampai Desember dalam periode 10 tahun (1980-1989) untuk
kemudian ditentukan iklimnya berdasarkan empat (4) sistem klasifikasi iklim,
yakni Sistem Klasifikasi Mohr, Sistem Klasifikasi Schmidt-Fergusson, Sistem
Klasifikasi Oldeman, dan Sistem Klasifikasi Koppen.
Dalam Sistem Klasifikasi Mohr, data CH kemudian dihitung curah hujan
rerata dari bulan sejenisnya, dan juga ditentukan derajat kebasahan suatu bulannya
(DBK) dari rerata tersebut. Dari DBK tersebut, kemudian dihitung jumlah bulan
kering (BK), bulan lembab (BL), dan bulan basah (BB). Langkah selanjutnya,
yakni tipe iklim dari daerah tersebut melalui tipe klasifikasi Mohr, yang mana
menitik beratkan kepada perbandingan jumlah BK dan BB dari bulan sejenis.
Dalam Sistem Klasifikasi Schmidt-Fergusson, dilakukan penentuan derajat
kebasahan suatu bulan dari setiap bulan yang ada selama 10 tahun. Selanjutnya,
dihitung jumlah BB, BK, dan BL selama 10 tahun, kemudian dihitung reratanya
tiap tahun. Selanjutnya, dari nilai-nilai yang didapatkan di atas, dihitung nilai Q
berdasarkan rumus di bawah ini, kemudian klasifikasi iklim wilayah tersebut
ditentukan melalui sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson yang menitikberatkan
kepada besarnya rasio Q.
𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐾
Q= 𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐵

Dalam Sistem Klasifikasi Oldeman, dilakukan penentuan derajat


kebasahan bulan seperti pada Sistem Klasifikasi Mohr, kemudian dilihat jumlah
derajat kebasahan (BK, BL, BB) yang berurutan. Jumlah derajat kebasahan ini
kemudian dimasukkan ke dalam segitiga Oldeman untuk menentukan klasifikasi
iklim wilayah tersebut. Dalam Sistem Klasifikasi Koppen, rerata curah hujan yang
terkecil dilihat untuk diklasifikasikan menurut sistem klasifikasi koppen.
Klasifikasi meliputi huruf pertama atau tipe utama dan huruf ke dua berdasarkan
rerata curah hujan terkecil.
IV. HASIL PENGAMATAN

Tabel 4.1. Data Curah Hujan Stasiun Borobudur Menurut Klasifikasi Mohr
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1980 393 306 221 178 46 16 27 27 16 147 297 299
1981 295 356 192 217 0 132 0 0 95 497 354 377
1982 573 330 279 141 0 0 0 0 0 3 51 0
1983 350 246 232 281 416 35 0 0 0 151 357 373
1984 422 333 425 249 125 19 32 22 250 264 183 453
1985 246 344 396 200 53 198 18 47 17 129 234 0
1986 268 308 565 0 39 276 29 20 183 156 419 143
1987 600 364 161 185 115 44 7 1 12 3 325 374
1988 347 442 391 178 341 90 4 35 4 176 309 195
1989 327 566 270 255 172 184 261 83 14 132 150 234
Jumlah 3821 3595 3132 1884 1307 994 378 235 591 1658 2679 2448
Rerata 382,1 359,5 313,2 188,4 130,7 99,4 37,8 23,5 59,1 165,8 267,9 244,8
kelas BB BB BB BB BB BL BK BK BK BB BB BB

Penentuan Iklim Berdasarkan Mohr


Σ BB = 8
Σ BL = 1
Σ BK = 3
Menurut klasifikasi Mohr, berdasarkan data tersebut, daerah ini termasuk ke
dalam Golongan III yaitu daerah agak kering dimana periode kering 3 – 4 bulan.

Tabel 4.2. Data Curah Hujan Stasiun Borobudur Menurut Klasifikasi


Schmidt & Fergusson
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des ΣBB ΣBL ΣBK
1980 BB BB BB BB BK BK BK BK BK BB BB BB 7 0 5
1981 BB BB BB BB BK BB BK BK BL BB BB BB 8 1 3
1982 BB BB BB BB BK BK BK BK BK BK BK BK 4 0 8
1983 BB BB BB BB BB BK BK BK BK BB BB BB 8 0 4
1984 BB BB BB BB BB BK BK BK BB BB BB BB 9 0 3
1985 BB BB BB BB BK BB BK BK BK BB BB BK 7 0 5
1986 BB BB BB BK BK BB BK BK BB BB BB BB 8 0 4
1987 BB BB BB BB BB BK BK BK BK BK BB BB 7 0 5
1988 BB BB BB BB BB BL BK BK BK BB BB BB 8 1 3
1989 BB BB BB BB BB BB BB BL BK BB BB BB 10 1 1
Σ 76 3 41
Rerata 7,6 0,3 4,1
𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐾
𝑄=
𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐵
4,1
𝑄=
7,6
𝑄 =0,54

Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui bahwa daerah tersebut


termasuk ke dalam golongan C yang dalam sistem klasifikasi Schmidt dan
Fergusson, yaitu daerah agak basah.

Tabel 4.3. Data Curah Hujan Stasiun Borobudur Menurut Klasifikasi


Oldeman
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1980 393 306 221 178 46 16 27 27 16 147 297 299
1981 295 356 192 217 0 132 0 0 95 497 354 377
1982 573 330 279 141 0 0 0 0 0 3 51 0
1983 350 246 232 281 416 35 0 0 0 151 357 373
1984 422 333 425 249 125 19 32 22 250 264 183 453
1985 246 344 396 200 53 198 18 47 17 129 234 0
1986 268 308 565 0 39 276 29 20 183 156 419 143
1987 600 364 161 185 115 44 7 1 12 3 325 374
1988 347 442 391 178 341 90 4 35 4 176 309 195
1989 327 566 270 255 172 184 261 83 14 132 150 234
Jumlah 3821 3595 3132 1884 1307 994 378 235 591 1658 2679 2448
Rerata 382,1 359,5 313,2 188,4 130,7 99,4 37,8 23,5 59,1 165,8 267,9 244,8
Kelas BB BB BB BL BL BK BK BK BK BL BB BB

Penentuan Iklim Berdasarkan Oldeman


Σ BB = 5
Σ BL = 2
Σ BK = 4
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa daerah tersebut termasuk ke
dalam zona C yaitu daerah dengan 5 BB berurutan.
Penentuan Iklim Berdasarkan Segitiga Oldeman
Σ BB = 5
Σ BL = 2
Σ BK = 4
Dapat dilihat juga pada segitiga Oldeman bahwa iklim di Stasiun Borobudur
masuk pada zona D3.
Gambar 4.1. Segitiga Oldeman untuk Penentuan Iklim Oldeman di Stasiun
Borobudur

Tabel 4.4. Data Curah Hujan Stasiun Borobudur Menurut Klasifikasi


Koppen
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jumlah
1980 393 306 221 178 46 16 27 27 16 147 297 299 1973
1981 295 356 192 217 0 132 0 0 95 497 354 377 2515
1982 573 330 279 141 0 0 0 0 0 3 51 0 1377
1983 350 246 232 281 416 35 0 0 0 151 357 373 2441
1984 422 333 425 249 125 19 32 22 250 264 183 453 2777
1985 246 344 396 200 53 198 18 47 17 129 234 0 1882
1986 268 308 565 0 39 276 29 20 183 156 419 143 2406
1987 600 364 161 185 115 44 7 1 12 3 325 374 2191
1988 347 442 391 178 341 90 4 35 4 176 309 195 2512
1989 327 566 270 255 172 184 261 83 14 132 150 234 2648
Jumlah 3821 3595 3132 1884 1307 994 378 235 591 1658 2679 2448 22722
Rerata 382,1 359,5 313,2 188,4 130,7 99,4 37,8 23,5 59,1 165,8 267,9 244,8 2272,2

Rd = 23,5
Ry = Jumlah / 10 = 2272,2
Rd …. (98,5 – Ry/25)
= 98,5 – Ry/25
= 98,5 – 2272,2/25
= 98,5 – 90,888
= 7,612
Karena Rd > 7,612
Maka Tipe Iklim Am atau daerah tropika basah-kering

Tabel 4.5. Data Curah Hujan Stasiun Cilacap Menurut Klasifikasi Mohr

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1980 275 229 307 407 201 130 254 0 0 76 755 650
1981 235 303 461 392 266 752 543 195 239 153 489 289
1982 390 162 165 227 12 27 8 0 0 30 81 67
1983 299 285 179 118 592 0 104 74 11 287 878 282
1984 549 364 467 343 30 24 0 64 721 404 723 268
1985 452 416 419 224 142 235 14 38 3 108 94 223
1986 420 296 601 250 189 573 419 388 560 614 575 685
1987 657 380 184 380 56 2 193 1 2 8 110 628
1988 804 178 218 240 0 243 13 24 42 239 349 392
1989 247 355 242 369 181 81 4 0 0 500 273 369
Jumlah 4328 2968 3243 2950 1669 2067 1552 784 1578 2419 4327 3853
Rerata 432,8 296,8 324,3 295 166,9 206,7 155,2 78,4 157,8 241,9 432,7 385,3
Kelas BB BB BB BB BB BB BB BL BB BB BB BB
Penentuan Iklim Berdasarkan Mohr
Σ BB = 11
Σ BL = 0
Σ BK = 1
Menurut klasifikasi Mohr, berdasarkan data tersebut, daerah ini termasuk ke
dalam Golongan I yaitu daerah basah dimana daerah dengan CH melebihi
penguapan selama 12 bulan.

Tabel 4.6. Data Curah Hujan Stasiun Cilacap Menurut Klasifikasi Schmidt
& Fergusson
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des ΣBB ΣBL ΣBK
1980 BB BB BB BB BB BB BB BK BK BL BB BB 9 1 2
1981 BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB 12 0 0
1982 BB BB BB BB BK BK BK BK BK BK BL BL 4 2 6
1983 BB BB BB BB BB BK BB BL BK BB BB BB 9 1 2
1984 BB BB BB BB BK BK BK BL BB BB BB BB 8 1 3
1985 BB BB BB BB BB BB BK BK BK BB BL BB 8 1 3
1986 BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB 12 0 0
1987 BB BB BB BB BK BK BB BK BK BK BB BB 7 0 5
1988 BB BB BB BB BK BB BK BK BK BB BB BB 8 0 4
1989 BB BB BB BB BB BL BK BK BK BB BB BB 8 1 3
Σ 85 7 28
Rerata 8,5 0,7 2,8

𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐾
𝑄=
𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐵
2,8
𝑄=
8,5
𝑄 =0,329412
Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui bahwa daerah tersebut
termasuk ke dalam golongan B yang dalam sistem klasifikasi Schmidt dan
Fergusson, yaitu daerah basah.

Tabel 4.7. Data Curah Hujan Stasiun Cilacap Menurut Klasifikasi Oldeman
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
1980 275 229 307 407 201 130 254 0 0 76 755 650
1981 235 303 461 392 266 752 543 195 239 153 489 289
1982 390 162 165 227 12 27 8 0 0 30 81 67
1983 299 285 179 118 592 0 104 74 11 287 878 282
1984 549 364 467 343 30 24 0 64 721 404 723 268
1985 452 416 419 224 142 235 14 38 3 108 94 223
1986 420 296 601 250 189 573 419 388 560 614 575 685
1987 657 380 184 380 56 2 193 1 2 8 110 628
1988 804 178 218 240 0 243 13 24 42 239 349 392
1989 247 355 242 369 181 81 4 0 0 500 273 369
Jumlah 4328 2968 3243 2950 1669 2067 1552 784 1578 2419 4327 3853
Rerata 432,8 296,8 324,3 295 166,9 206,7 155,2 78,4 157,8 241,9 432,7 385,3
Kelas BB BB BB BB BL BB BL BK BL BB BB BB

Penentuan Iklim Berdasarkan Oldeman


Σ BB = 7
Σ BL = 1
Σ BK = 1
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa daerah tersebut termasuk ke
dalam zona B yaitu daerah dengan 8 BB berurutan.
Penentuan Iklim Berdasarkan Segitiga Oldeman
Σ BB = 7
Σ BL = 1
Σ BK = 1
Dapat dilihat juga pada segitiga Oldeman bahwa iklim di Stasiun Cilacap masuk
pada zona B1.

Gambar 4.2. Segitiga Oldeman untuk Penentuan Iklim Oldeman di Stasiun


Cilacap

Tabel 4.8. Data Curah Hujan Stasiun Cilacap Menurut Klasifikasi Koppen

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jumlah
1980 275 229 307 407 201 130 254 0 0 76 755 650 3284
1981 235 303 461 392 266 752 543 195 239 153 489 289 4317
1982 390 162 165 227 12 27 8 0 0 30 81 67 1169
1983 299 285 179 118 592 0 104 74 11 287 878 282 3109
1984 549 364 467 343 30 24 0 64 721 404 723 268 3957
1985 452 416 419 224 142 235 14 38 3 108 94 223 2368
1986 420 296 601 250 189 573 419 388 560 614 575 685 5570
1987 657 380 184 380 56 2 193 1 2 8 110 628 2601
1988 804 178 218 240 0 243 13 24 42 239 349 392 2742
1989 247 355 242 369 181 81 4 0 0 500 273 369 2621
Jumlah 4328 2968 3243 2950 1669 2067 1552 784 1578 2419 4327 3853 31738
Rerata 432,8 296,8 324,3 295 166,9 206,7 155,2 78,4 157,8 241,9 432,7 385,3 3173,8
Rd = 78,4
Ry = 3173,8
Rd .... 98,5 – Ry/25
= 98,5 – Ry/25
= 98,5 – 3173,8/25
= 98,5 – 126,952
= -28,452
Karena Rd > -28,452
Maka Tipe Iklim Am atau daerah tropika basah-kering

Tabel 4.9.Data Curah Hujan Stasiun Semarang Tahun 2015

Tanggal Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 39.1 7.1 0 43.9 23.9 0 0 0 0 0 0 0


2 37.1 0 37.1 8888 0 0 0 0 0 0 26.9 0
3 0.8 1 10.9 15 10.4 0.3 0 0 0 0 3 0
4 3 9.9 23.1 3 39.1 0 0 11.9 0 0 0 4.1
5 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20.1
6 0 0.8 0 0 15 0 0 0 0 0 0.3 0
7 0 0.5 7.1 0 0 0 0 0 0 0 33 0
8 0 0 8888 0 0 0 0 0 0 0 1 3
9 0 0 2 0 0 23.1 0 0 0 0 0 72.9
10 8.9 0 0 2 0 0 0 0 0 0 8888 0.5
11 16 0 8888 8.9 0 0 0 0 0 0 4.1 0
12 0 111 3 40.9 0 0 0 0 0 0 7.9 0
13 8888 10.9 5.1 0 0 0 0 0 0 0 2 0
14 8888 0 8888 41.9 0 54.1 0 0 0 8888 0 49
15 0 0 7.9 8888 0 0 0 0 0 0 0 2
16 18 0 0.5 8888 0 0 0 0 0 0 8888 43.4
17 0.3 0 0.5 0.5 0 0 0 0 0 0 7.6 7.1
18 0 4.1 0 8888 0 0 0 0 0 0 0 5.1
19 22.1 2 3 2.8 0 0 0 0 0 0 6.1 0.3
20 3 0 18 0 0 0 0 0 0 0 8888 1
21 0 0.5 0 0 0 0 0 8888 0 0 0 4.3
22 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0.5
23 1 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 5.1
24 11.9 0 4.1 22.1 0 0 0 0 0 0 0 0
25 0.8 0 0 0.5 0 0 2 0 0 0 1 0
26 2 8888 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
29 0.5 0 32 0 0 0 0 0 0 3.6 2
30 0 0 36.1 0 0 0 0 0 0.5 0.3 8888
31 0.8 45 0 0 0 0 8888
Jumlah 165.3 148.3 167.3 264.1 88.4 77.5 2 11.9 0 0.5 96.8 220.4

Tabel 4.10. Data Curah Hujan Stasiun Semarang Tahun 2016

Tanggal Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
1 2 8888 4.1 0 8888 0.5 0 0 21.1 0 0 5.1
2 2 0 0 0 0 8888 47 0 8888 3 0 0
3 6.1 0 0 22.1 0 0 0 0 41.9 0 0 3
4 0 3.6 5.1 7.1 0 0 0 0 0 0.8 8.9 0
5 7.9 10.9 0.5 0 0 0 0 0 0 2 32 0
6 0 0.5 0 11.9 0 0 0 0 0 0 7.9 1
7 0 3 0 0 1 0 0 6.1 0 0 0 11.9
8 23.1 7.1 0 0 0 0 0 0 0 6.1 0 0
9 0 27.9 0 3 0 0 0 0 71.1 20.1 27.9 3
10 2 3 0 73.9 0 0 22.1 0 0 10.4 0.5 8.1
11 0 9.9 0 0.8 1 0 0 0 0 0 8888 4.1
12 0 0.8 0 3 15 0 0 55.1 0 0 0 0
13 0 0 0 45 0 0 0 0 3 2 7.9 5.6
14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23.1 6.1
15 0 0.5 0 5.1 13 2 0 0 14 0 22.1 0
16 0 3.6 0 0 0 0 1 0 7.1 0 0 0
17 4.1 0 0 0 0.3 7.1 0 22.1 9.9 0 0 0
18 12.2 2 0.8 9.9 0 16 1 0 0 10.9 15 3
19 1 0 0 0 33 0 0 0 34 0 0 1
20 0 9.9 0 16 2 2 0 0 52.1 0 11.9 0
21 3.6 65 0 0 0 0 0 0 10.4 0 7.6 0
22 1 70.1 0.3 13 0 33 0 0 17 0 0.3 0
23 0.3 3 0 4.1 0 0.5 0 0 4.1 29 14.5 11.9
24 9.9 0.3 0 0 0.5 0 0 7.1 1.3 1 8888 0
25 0 7.1 10.9 0 2 4.1 0.3 0 0 0.3 2 5.1
26 0 2.3 0 0 0 0 0 0 58.9 0 8888 3
27 24.9 0 16 2 1 2 0 0 1 0 0 0
28 0 0 8888 23.9 0 0 0 15 8888 3 16 8888
29 0 16.5 0 1 2 0 0 33 0 0 0.3 8888
30 0.3 7.9 0 0 0 0 0 6.1 11.9 2 8888
31 9.4 4.1 0 0 0 0 8888
Jumlah 109.8 247 49.7 241.8 70.8 67.2 71.4 138.4 353 100.5 199.9 71.9
Tabel 4.11 Data Dasarian Tahun 2015 di Stasiun Semarang

Tahun Dasarian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
2015 1 88.9 19.8 78.2 61.9 88.4 23.4 0 11.9 0 0 64.2 100.6
2015 2 59.4 126 19 94.2 0 54.1 0 0 0 0 27.7 107.9
2015 3 17 2.5 70.1 108 0 0 2 0 0 0.5 4.9 11.9

Tabel 4.12. Data Dasarian Tahun 2016 di Stasiun Semarang

Tahun Dasarian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
2016 1 43.1 56 9.7 118 1 0.5 69.1 6.1 134.1 42.4 77.2 32.1
2016 2 17.3 26.7 79.8 79.8 64.3 27.1 2 77.2 120.1 12.9 80 19.8
2016 3 49.4 164.3 39.2 44 5.5 39.6 0.3 55.1 98.8 45.2 42.7 20
V. PEMBAHASAN

Sebagian besar wilayah kepulauan Indonesia tergolong dalam zona iklim


tropika basah dan sebagian kecil masuk dalam zona iklim pegunungan atau
tropika moonson. Aktivitas moonson tersebut disebabkan oleh pergerakan
matahari yang berpindah dari 23.50 Lintang Utara ke 23.50 Lintang Selatan
sepanjang tahun (Athoillah et al., 2017). Indonesia merupakan Negara agraris
yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani, oleh karena itu
klasifikasi iklim di Indonesia lebih diutamakan untuk pemanfaatan dalam kegiatan
pertanian.
Secara garis besar, klasifikasi iklim dibedakan menjadi dua, yaitu
klasifikasi secara empiris dan klasifikasi iklim secara genetis. Klasifikasi iklim
secara genetis merupakan klasifikasi menggunakan faktor-faktor iklim sebagai
kriteria klasifikasi, misalnya lama penyinaran, aliran udara, dan zona angin.
Sistem ini merupakan sistem klasifikasi iklim pertama dan paling sederhana yang
dikembangkan oleh ahli Yunani Kuno. Berdasarkan klasifikasi genetis, bumi akan
dibagi menjadi 5 wilayah iklim yaitu :
a. Iklim tropis
b. Iklim kutub di belahan bumi utara
c. Iklim kutub di belahan bumi selatan
d. Iklim subtropis belahan bumi utara
e. Iklim subtropis belahan bumi selatan
Klasifikasi iklim secara empiris merupakan klasifikasi yang dilakukan
dengan cara monitoring hasil pengamatan atas iklim. Klasifikasi secara empiris
dibedakan menjadi dua, yaitu klasifikasi iklim berdasarkan Rational Moisture
Budged (Thornthwaite) dan klasifikasi iklim berdasarkan pertumbuhan vegetasi
alami. Klasifikasi iklim berdasarkan Thornthwaite dikembangkan oleh
Thornthwaite pada tahun 1948 yang menggunakan konsep evapotranspirasi
potensial (PE) dan moisture budged. Sedangkan menurut pertumbuhan vegetasi
alami, klasifikasi iklim dibedakan menjadi empat, yaitu :
1. Mohr (1933)
2. Schmidt dan Fergusson (1951)
3. Oldeman (1975)
4. Koppen

1. Sistem klasifikasi menurut Mohr


Dalam sistem pengklasifikasian menurut Mohr, pengklasifikasiannya
didapatkan berdasarkan curah hujan dan derajat kebasahan bulan selama setahun.
Selain itu, pengklasifikasiannya juga berdasarkan hubungan antara penguapan
serta curah hujan yang didapatkan. Apabila curah hujan >100 mm per bulan maka
digolongkan sebagai Bulan Basah (BB), apabila curah hujan berada dikisaran 60
mm-100 mm digolongkan sebagai Bulan Lembab (BL), dan curah hujan <60 mm
tergolong sebagai Bulan Kering (BK).
Kelebihan metode Mohr adalah cukup mewakili berbagai jenis tanah
meskipun jenis tanah tidak menjadi dasar sistem klasifikasi Mohr, metode ini
telah diterapkan dengan berhasil pada daerah tropis seperti Trinidad, bahkan
adapula yang diterapkan dalam bentuk variasi seperti di Konyo. Sistem klasifikasi
ini menyajikan data curah hujan bulanan dapat diketahui pergeseran iklim tiap
bulan. Sedangkan kekurangannya adalah kurang memberi gambaran secara
sempurna mengenai keadaan iklim Indonesia karena pengklasifikasiannya
didasarkan pada rata-rata bulanan, selain itu juga tidak mengikutsertakan sifat fisis
suatu tanah yang juga dapat memberi pengaruh pada penentuan iklim. Dengan
metode klasifikasi tersebut juga tidak dapat diketahui pergeseran iklim tiap tahun,
dasar penentuannya hanya dari curah hujan sehingga hanya dapat digunakan
untuk menentukan iklim di daerah dengan curah hujan stabil maupun periodik
(Wisnubroto et al., 1981).

2. Sistem Klasifikasi Schmidt dan Fergusson


Dengan sistem pengklasifikasian Schmidt dan Fergusson, cara
penentuannya adalah menggunakan dasar daripada nisbah bulan basah dan bulan
kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering pada klasifikasi iklim Mohr.
Pencarian rata-rata bulan kering atau bulan basah dalam klasifikasian iklim
Schmidt dan Fergusson dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekuensi
bulan kering atau bulan basah selama tahun pengamatan dengan banyaknya tahun
pengamatan. Setelah itu, barulah dicari rasio Q dengan rumus rerata BK/rerata
BB.
Sistem klasifikasi menurut Schmidt-Fergusson menggunakan harga
perbandingan atau rasio Q yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
rerata BK
𝑄=
rerata BB
Untuk mendapatkan rerata bulan basah dan rerata bulan kering, dapat dilakukan
dengan cara masing-masing bulan pada tiap tahun ditentukan kategorinya apakah
bulan basah atau bulan kering. Setelah itu bulan basah dan bulan kering tersebut
dihitung jumlahnya. Setelah dihitung, masing-masing bulan basah dan bulan
kering tersebut dibagi 10. Hasil tersebut merupakan rerata dari bulan basah dan
bulan kering. Sistem klasifikasi yang digunakan oleh Schmidt dan Fergusson pada
dasarnya memiliki kesamaan dengan klasifikasi Mohr yang membandingkan
bulan basah serta bulan kering dan dengan kriteria bulan basah dan bulan kering
yang sama juga. Namun, perbedaannya Mohr mencari bulan basah dan bulan
kering melalui harga rata-rata curah hujan untuk tiap bulan, sedangkan Schmidt
dan Fergusson melalui pencarian setiap bulannya untuk masing-masing satu
tahun. Setelah itu, barulah dicari rasio Q untuk menentukan golongannya.
Kelebihan dari sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson adalah dapat
mengetahui pergeseran iklim tiap tahun, mempermudah pengamatan dalam
melihat kapan terjadinya bulan kering dan bulan basah serta didasarkan pada suatu
harga rasio Q dalam penggolongan iklim sehingga lebih spesifik atau lebih
rendah. Sedangkan kekurangannya adalah kriteria bulan basah ataupun bulan
kering untuk beberapa wilayah terlalu rendah, sehingga terjadi kesulitan dalam
mengelompokkan bulan kering dan bulan basah pada suatu daerah, tidak dapat
mengetahui sifat masing-masing bulan pada suatu daerah, apakah termasuk bulan
basah, bulan lembab atau kering. Klasifikasi ini menggunakan keadaan iklim dan
vegetasi sebagai pengklasifikasiannya, sehingga dengan mudah dapat dilihat
vegetasi yang sesuai untuk suatu wilayah. Oleh karena itu, klasifikasi ini banyak
digunakan di bidang perkebunan maupun kehutanan (Handoko, 1993).
3. Sistem klasifikasi Oldeman
Sistem klasifikasi iklim menurut Oldeman berdasarkan unsur curah hujan
dalam hubungannya dengan kebutuhan air tanaman, khususnya tanaman pangan
semusim seperti padi dan palawija. Selain itu, Oldeman juga menggunakan istilah
bulan basah dan bulan kering untuk membantu penggolongan iklim. Bulan basah
mempunyai curah hujan sekurang-kurangnya 200 mm, sementara bulan kering
mempunyai jumlah curah hujan kurang dari 100 mm dan bulan lembab
mempunyai jumlah curah hujan antara 100 mm hingga 200 mm. Ketentuan bulan
basah dan bulan kering ini didasarkan karena padi sawah dipandang cukup untuk
dibudidayakan pada curah hujan 200 mm tiap bulan, sedangkan untuk sebagian
besar palawija, jumlah curah hujan minimal yang diperlukan tiap bulan adalah
100 mm. Pengklasifikasian iklim menurut metode Oldeman ini dibantu dengan
penggunaan “Segitiga Agroklimat”.
Klasifikasi Oldeman dibandingkan dengan klasifikasi Mohr dan Schmidt
dan Fergusson berbeda dalam kriterianya. Klasifikasi Oldeman selain
menggunakan derajat kebasahan bulan juga menggunakan data evapotranspirasi
tanaman. Klasifikasi Oldeman juga dipakai untuk menentukan lama periode
pertumbuhan. Kelebihan dari klasifikasi iklim menurut oldeman adalah caranya
sudah lebih maju dibanding dengan cara-cara sebelumnya seperti dalam sistem
Mohr dan Schmidt-Fergusson. Hal ini dikarenakan metode Oldeman yang telah
mempertimbangkan unsur cuaca yang lain seperti radiasi matahari yang dihasilkan
dengan kebutuhan air tanaman, selain itu dapat diketahui pergeseran iklim tiap
tahun yang telah memperhitungkan evaporasi, menggunakan sistem klasifikasi
agroklimat untuk penentuan tipe iklimnya, sistem ini dapat dijadikan acuan dalam
penentuan periode tanam tanaman pangan terutama padi dan palawija. Sehingga,
dengan memanfaatkan sistem klasifikasi ini, sudah dapat diperkirakan pola tanam
dengan keterkaitan antara iklim dan tanaman. Sedangkan, kekurangannya adalah
sistem ini menjadikan curah hujan sebagai salah satu indikator pentingnya.
Sehingga, akan terdapat banyak kesulitan dan kendala dalam menentukan wilayah
yang mempunyai 4 musim. Selain itu, tidak dapat digunakan untuk wilayah pantai
batasan kriteria BB dan BK yaitu angka 200 mm dan 100 mm terlalu tinggi dan
kurang relevan untuk tanaman non pangan. Kekurangan yang lain adalah belum
dapat menjelaskan pergeseran iklim bulanan dengan bantuan segitiga oldeman
(Lakitan, 20012).

Gambar 4.3. Segitiga Agroklimat untuk Penentuan Iklim Oldeman


Berdasarkan jumlah bulan basah berturut-turut ini, Oldeman membuat 5 zona
agroklimat utama, istilah agroklimat digunakan untuk mencerminkan zona iklim
yang dikaitkan dengan kebutuhan budidaya pertanian (Lakitan, 2002).

4. Sistem Klasifikasi Koppen


Sistem klasifikasi koppen diperkenalkan oleh Dr. Vladimir Koppen pada
tahun 1918. Klasifikasi iklim berdasarkan koppen didasarkan pada rerata suhu dan
curah hujan bulanan atau tahunan. Curah hujan pada sistem Koppen merupakan
rata-rata jumlah curah hujan yang terjadi tiap tahunnya. Dalam system klasifikasi
ini, permukaan bumi dibagi menjadi lima golongan iklim, yaitu :
a. Iklim hujan tropika, yaitu iklim dengan temperatur bulan terdingin lebih
besar daripada 18°C.
b. Iklim kering
c. Iklim sedang, yaitu iklim dengan temperatur bulan terdingin lebih besar
daripada -3°C namun lebih kecil daripada 18°C.
d. Iklim dingin, yaitu iklim dengan temperatur bulan terdingin kurang dari -
3°C.
e. Iklim kutub, yaitu iklim dengan temperatur bulan terdingin kurang dari
10°C.
Klasifikasi iklim Koppen berbeda dengan klasifikasi iklim lainnya.
Klasifikasi iklim Mohr, Schmidt dan Fergusson, dan Oldeman tersebut didasarkan
pada curah hujan maupun hubungan iklim dengan tanaman sedangkan klasifikasi
iklim Koppen didasarkan pada rerata suhu dan curah hujan baik bulanan maupun
tahunan dan batas-batas iklimnya ditentukan oleh mulai berkurangnya populasi
tanaman asli.
Kelebihan dari sistem klasifikasi koppen adalah terletak dalam penyusunan
simbol-simbol tipe iklim yang dengan tepat merumuskan sifat dan curah masing-
masing tipe iklim dengan tanda yang terdiri dari kombinasi beberapa huruf saja
yang dapat dengan tepat merumuskan sifat dan corak iklim suatu wilayah. Selain
itu, sistem klasifikasi koppen bersifat ekologis relevan dimana klasifikasi telah
banyak digunakan untuk memetakan distribusi geografis dari iklim rata-rata
jangka panjang dan terkait kondisi ekosisten. Sedangkan, kelemahan dari sistem
klasifikasi iklim ini adalah sistem ini kurang menggambarkan kondisi detail iklim
Indonesia apabila diterapkan di Indonesia. Hal tersebut karena adanya perbedaan
curah hujan wilayah-wilayah di Indonesia meskipun suhu udara tahunannya sama
sepanjang tahun (Williams, 1983).
Berdasarkan penjelasan beberapa klasifikasi tersebut, dapat dikatakan
bahwa klasifikasi iklim yang cocok diterapkan di Indonesia adalah klasifikasi
Oldeman. Hal tersebut dikarenakan metode oldeman cocok untuk komoditas
tanaman pangan yaitu padi dan palawija. Pada metode oldeman, unsur curah hujan
adalah unsur iklim yang dianalisis karena sangat berperan langsung terhadap
pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan unsur-unsur iklim lainnya. Hal
tersebut dapat dilihat pada daerah pesawahan tadah hujan, sehingga diperlukan
upaya yang sistematis dan praktis untuk memahami perilaku iklim (Fadholi &
Dina, 2012).
Menurut Kusumawardhani (2015), di Indonesia pada umumnya
menggunakan klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth & Fergusson. Hal ini
sangat berkaitan dengan pola iklim di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor berikut:
1. Wilayah Indonesia berada di garis khatulistiwa, sehingga rata-rata suhu
tahunan tinggi.
2. Mempunyai kelembaban yang tinggi karena merupakan negara kepulauan
yang dikelilingi lautan.
3. Terletak di antara dua benua dan dua samudra, sehingga dipengaruhi oleh
angina muson.
Menurut Dewi (2005), klasifikasi iklim yang cocok diterapkan di
Indonesia yaitu sistem klasifikasi Schmidt dan Fergusson dan Oldeman. Sistem
klasifikasi Schmidt dan Fergusson merupakan sistem yang sesuai untuk
pertumbuhan tanaman keras/ perkebunan dan kehutanan sedangkan Oldeman
untuk tanaman semusim yakni padi dan palawija.

Curah Hujan per Dasarian Stasiun Semarang


Tahun 2015 (mm)
120

100

80

60

40

20

0
Jan Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

dasarian 1 dasarian 2 dasarian 3

Grafik 4.1 Histogram Curah Hujan Dasarian Stasiun Semarang 2015

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa awal musim hujan di tahun
2015 adalah pada bulan Maret dasarian ke-3. Hal ini dikarenakan dimulai dari
dasarian ke-3 bulan Maret 2015 curah hujan bernilai lebih dari 50 mm berturut-
turut. Pada awal musim kemarau tahun 2015 adalah pada bulan Mei dasarian ke-2
dikarenakan dimulai saat itu curah hujan bernilai kurang dari 50 mm berturut-
turut. Hal tersebut sesuai dengan penetapan oleh BMKG bahwa untuk mengetahui
awal musim hujan dan awal musim kemarau dapat dilakukan dengan melihat nilai
curah hujan selama 3 dasarian berturut-turut. Awal musim hujan terjadi pada saat
curah hujan ≥ 50 mm selama 3 dasarian berturut-turut, sedangkan awal musim
kemarau terjadi saat curah hujan < 50 mm selama 3 dasarian berturut-turut
(Giarno et al., 2012).

Curah Hujan per Dasarian Stasiun Semarang


Tahun 2016 (mm)
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

dasarian 1 dasarian 2 dasarian 3

Grafik 4.2 Histogram Curah Hujan Dasarian Stasiun Semarang 2016

Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa awal musim hujan tahun
2016 terjadi pada bulan Agustus dasarian ke-2, sedangkan awal musim kemarau
adalah pada bulan Mei dasarian ke-3. Awal musim hujan dan awal musim
kemarau pada tahun 2016 ini berbeda dengan awal musim hujan dan musim
kemarau tahun 2015. Hal ini menunjukkan terjadinya pegeseran awal musim
hujan dan awal musim kemarau.
Curah Hujan Bulanan Stasiun Semarang Tahun
2015 (mm)
300

250

200

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Grafik 4.3 Histogram Curah Hujan Bulanan Stasiun Semarang 2015

Berdasarkan pada grafik diatas dapat diketahui bahwa pada bulan Januari,
Febuari, Maret, April serta bulan Desember jumlah curah hujan di Semarang
tergolong tinggi. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April sedangkan curah
hujan terendah terjadi pada bulan September dan Oktober. Keseluruhan curah
hujan yang terjadi pada tahun 2015 di Semarang yakni 1242,5 mm. Besarnya
jumlah curah hujan yang terjadi pada tahun tersebut dikarenakan adanya peristiwa
La Nina kategori kuat (Strong) pada tahun 2015 yaitu pada bulan April. La Nina
yang terjadi menyebabkan adanya peningkatan curah hujan di Kota Semarang.
La Nina yang terjadi di Indonesia menyebabkan peningkatan curah hujan.
Hal tersebut terjadi karena selama periode La Nina suhu permukaan laut di Pasifik
Ekuator Timur lebih rendah daripada kondisi normalnya. Sedangkan di Indonesia
terjadi peningkatan suhu permukaan air laut yang mengakibatkan massa udara
berkumpul di wilayah Indonesia termasuk massa udara dari Pasifik Ekuator
Timur. Karena adanya hal tersebut maka terjadilah pembentukan hujan di wilayah
Indonesia yang akhirnya meningkatkan jumlah curah hujan di Indonesia (Fitria et
al., 2013).
Curah Hujan Bulanan Stasiun Semarang Tahun
2016 (mm)
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Grafik 4.4 Histogram Curah Hujan Bulanan Stasiun Semarang 2016

Berdasarkan pada grafik diatas dapat diketahui bahwa pada bulan Febuari,
April serta bulan September jumlah curah hujan di Semarang tergolong tinggi.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September sedangkan curah hujan
terendah terjadi pada bulan Maret. Keseluruhan curah hujan yang terjadi pada
tahun 2016 di Semarang yakni 1721,4 mm. Pada bulan April hingga bulan
September, jumlah curah hujan terjadi penurunan kemudian terjadi peningkatann
yang fluktuatif. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada bulan tersebut terjadi
pergeseran musim dari kemarau ke awal musim penghujan.

Tabel 4.13. ENSO


Pada web ENSO tahun 2015-2016 terjadi iklim El Nino sangat kuat dan
dari hasil analisis data stasiun Semarang pada tahun 2015-2016 menunjukkan
bahwa iklim El Nino kuat mulai terlihat dampaknya pada musim kering yaitu
berupa penurunan curah hujan di bawah 50 mm/bulan terjadi pada bulan Juli
hingga Oktober 2015, bulan berikutnya terjadi penurunan dan peningkatan curah
hujan namun keseluruhan curah hujan masih tergolong tinggi, sehingga menurut
data tersebut, pada tahun 2015-2016 daerah Semarang mengalami La Nina lemah
kemudian tinggi. Hal ini kurang sesuai dengan tabel ENSO yang menunjukkan El
Nino kuat hingga pertengahan tahun 2016. Ketidaksesuaian tersebut
dimungkinkan karena pada daerah Semarang mengalami anomali iklim lain.
KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :


1. Berdasarkan klasifikasi Mohr Stasiun Borobudur termasuk ke dalam golongan III
(agak kering) dan Stasiun Cilacap termasuk golongan I (basah). Menurut Klasifikasi
Schmidt & Fergusson Stasiun Borobudur termasuk tipe C (agak basah) dan Stasiun
Cilacap termasuk tipe B (basah). Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman,
iklim di Stasiun Stasiun Borobudur termasuk ke dalam golongan D1 dan Stasiun
Cilacap termasuk golongan B1, serta berdasarkan klasifikasi Koppen baik
Borobudur mau Cilacap tergolong iklim hujan tropika basah-kering (Am).
2. Iklim suatu daerah dapat mempengaruhi pola tanam dan waktu penanaman serta
jenis tanaman yang dibudidayakan yang mempengaruhi hasil produksi tanaman.
DAFTAR PUSTAKA

Athoillah, Ibnu., R. M. Sibarani, dan D. E. Doloksaribu. 2017. Analisis spasial el


nino kuat tahun 2015 dan la nina lemah tahun 2016 (Pengaruhnya terhadap
kelembaban, anin,, dan curah hujan di Indonesia). Jurnal Sains &
Teknologi Modifikasi Cuaca 18(1) : 33-41.

Dewi, N. K. 2005. Kesesuaian iklim pertumbuhan tanaman. Jurnal Ilmu-Ilmu


Pertanian. 1:1-15.

Fadholi, Akhmad dan D. Supriatin. 2012. Sistem pola tanam di wilayah priangan
berdasarkan klasifikasi iklimj oldeman. Jurnal Pendidikan Geografi 12(2) :
61-70.

Fitria, W., dan M.S. Pratama. 2013. Pengaruh fenomena el nino 1997 dan la nina
1999 terhadap curah hujan di Biak. Jurnal Mateorologi dan Geofisika
14(2):65-74.

Giarno, Z., L. Dupe, dan M. A. Mustofa. 2012. Kajian awal musim hujan dan
awal musim kemarau di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 13
(1) : 1-8.

Glauco de, S.R., and E. Lucas de O.A. 2015. Camargo, Köppen and Thornthwaite
climate classification systems in defining climatical regions of the state of
São Paulo, Brazil. International Journal of Climatology 36 : 636–643.

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Jurusan Geofisika dan Meteologi IPB, Bogor.

Kamala, Rifqi., Y. Priyana, A. A. Sigit. 2015. Analisis agihan iklim klasifikasi


oldeman menggunakan sistem informasi geografis di Kabupaten Cilacap.
Fakultas Geografi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kusumawardhani, I.D., dan G. Rahmat. 2015. Analisis perubahan iklim berbagai


variabilitas hujan dan emisi gas metana (CH4) dengan metodeanalysis and
display system (GrADS) di Kabupaten Semarang. Younger Physics
Journal (1) : 49-54.
Lakitan, B. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mahubessy, R. C. 2014. Tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman padi berdasarkan


faktor iklim dan topografi di Kabupaten Merauke. Agrologia 3 : 125-131.

Oldeman, L.R. 1975. Agroclimatic map of Java&Madura. Contr. Of Centra Res.


Inst. For Food Crops 16/17, Bogor.

Oldeman, L. R., I. Las, Muladi. 1980. The Agroclimatic Maps of Kalimantan,


Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Contributions
No. 60. Bogor. Central Research Institute for Agriculture. Page 32.
Petersen, J.F., D.I. Sack., and R.E. Gabler. 2010. Fundamentals of Physical
Geography. Cengage Learning, Stamford.

Williams, G.D.V. 1983. Agroclimatic resource and analysis an example using a


index derived and applied for Canada. Journal of Agricultural
Meteorological 28 : 31-47.

Wisnubroto, S., S. L. Aminah, dan M. Nitisapto. 1981. Asas-asas Meteorologi


Pertanian. Ghalia Indonesia, Jakata.

Anda mungkin juga menyukai