Anda di halaman 1dari 9

Mata Kuliah: Analisis Kebijakan Kesehatan

Dosen : Prof.DR. Amran Razak, SE, M.Sc

PEMBANGUNAN KESEHATAN BERBASIS


GUGUS PULAU DAN ISU-ISU UTAMA
BIDANG KESEHATAN

Oleh :

FAJRIAH ANGRAINI HASRI

P1802214023

ADMINISTRASI KEBIJAKAN KESEHATAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2015
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak setiap orang, hal ini telah ditetapkan pada UU No.
36 tahun 2009 Pasal 28 H ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Jadi pelayanan kesehatan di Indonesia harus
merata untuk semua wilayah dan setiap warga. Baik di kota sampai ke pelosok.
Seperti yang kita ketahui bahwa Pembangunan Nasional bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi
bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Dengan berdasar pada tujuan dan ketentuan yang telah ditetapkan, maka Negara harus
menyusun strategi yang baik untuk pemerataan layanan kesehatan di seluruh wilayah
Indonesia dengan jangkauan yang luas, mudah dan berkualitas. Tidak hanya program
yang baik, implementasi dan strategi yang baik harus diterapkan untuk memenuhi
tujuan Pembangunan Nasional tersebut khususnya di bidang kesehatan sebagai hak
dari semua warga.
Arah Pembangunan kesehatan RPJM ke III untuk tahun 2015-2019 yakni
Akses masyarakat terhadap yankes yang berkualitas telah mulai mantap menuju ke
tahun 2020- 2025 yakni Kes masyarakat thp yankes yang berkualitas telah
menjangkau dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Ini menunjukkan bahwa
tantangan di bidang kesehatan semakin tinggi untuk mewujudkan pemerataan yankes
dan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Daerah Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau, dengan jumlah penduduk yang
besar. Ini merupakan tantangan dalam bidang kesehatan. seperti yang tercantum
dalam rencana pembangunan nasional kesehatan oleh Menkes bahwa Upaya Layanan
Kesehatan Primer : Model Intervensi Integratif yang terdiri dari 4 model, salah
satunya adalah model yang menerapkan pada daerah Terpencil, Perbatasan,
Kepulauan. Sasaran Pola Pelayanan Kesehatan Sistem Gugus Pulau adalah untuk
mengatasi keterpencilan melalui prinsip kemandirian dengan jalan mendekatkan
pelayanan kesehatan, meningkatkan kemampuan dan mutu pelayanan, memperkuat
jaringan pelayanan kesehatan termasuk upaya rujukan serta manajemen pelayanan
kesehatan, meningkatkan kemampuan dan peran serta masyarakat dan meningkatkan
kerjasama lintas sektor dalam upaya kesehatan. Dalam manajemen kesehatan berbasis
gugus pulau, Puskesmas Pusat Gugus berfungsi sebagai pusat rujukan kasus, pusat
pendidikan dan pelatihan, pusat logistik, pusat pemeliharaan, dan pusat informasi.
Konsep pelayanan kesehatan dengan pendekatan gugus pulau sangat tepat
digunakan bagi daerah dengan kondisi geografis kepulauan, dimana konsep ini
membagi atau mengelompokkan beberapa gugusan pulau untuk dijadikan sentral
(pusat gugus) yang akan bertanggung jawab terhadap seluruh program kesehatan di
wilayah gugusannya. Sentral gugus akan dijadikan sebagai pusat pelayanan rujukan
antar fasilitas kesehatan dan pusat pendidikan skill dan upgrade keilmuan bagi seluruh
tenaga kesehatan yang berada dalam wilayah gugusan. Konsekuensinya adalah bahwa
pusat gugus harus dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang lainya
yang akan mendukung perannya, demikian pula dengan distribusi tenaga kesehatan
dengan kualifikasi lengkap yang mempunyai skill yang mumpuni harus terpenuhi

B. Isu-Isu Yang Berkembang dan Terjadi di Wilayah Gugus Pulau


Permasalahan utama dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan adalah tidak terpenuhinya tenaga kesehatan.
Kondisi geografi merupakan alasan kuat bagi tenaga kesehatan untuk menolak
ditempatkan terutama di pulau dan gugus pulau perbatasan, karena alasan kebutuhan
sosial yang sulit dipenuhi. Kebutuhan pembiayaan kesehatan di pulau dan gugus
pulau sangat tinggi satuan biayanya, yang memerlukan anggaran untuk ketenagaan
yang tinggi dengan memperhitujgloamn kondisi geografis, kebutuhan finansial
tenakes yang bersangkutan serta kebutuhan sosial terhadap pengembangan karir dan
profesi. Sehubungan dengan hal tersebut telah diidentifikasi beberapa isu sebagai
berikut:
1) Tidak Ada Standar Pelayanan Kesehatan Yang Spesifik di DTPK
Kebijakan yang ada saat ini adalah Kepmenkes tentang kebijakan standar
pelayanan kesehatan secara umum. Kebijakan tersebut tidak secara jelas
mengatur standar pelayanan kesehatan spesifik untuk DTPK khususnya untuk
pulau dan gugus pulau, padahal permasalahan dan kebutuhan pelayanan
kesehatan di daerah tersebut sangat berbeda. Variasi sarana kesehatan yang
dibutuhkan pada daerah perbatasan, dan pulau-pulau atau gugus pulau
mengharuskan tersedianya tenaga kesehatan dengan standar yang spesifik baik
jenis maupun kompetensinya.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dinyatakan tentang pengelolaan tenaga
strategis namun tidak ditegaskan tenaga kesehatan apa saja yang termasuk dalam
kategori tenaga strategis, terlebih lagi jika dikaitkan dengan spesifikasi tenaga
kesehatan strategis untuk DTPK.
Dalam PP tersebut juga tidak dijelaskan tentang kompetensi minimum, hak dan
kewenangan khusus bagi tenaga kesehatan strategis di DTPK untuk boleh
melakukan tindakan medik spesialistik tertentu yang didukung dengan aspek
legal yang mempunyai kekuatan hukum.
2) Kompetensi Tenaga Kesehatan Tidak Dapat Memenuhi Pelayanan di DTPK.
Tenaga kesehatan yang baru lulus, kompetensinya tidak dapat memenuhi
kebutuhan untuk DTPK, karena kurikulum pendidikan tenaga kesehatan bersifat
umum tidak ada muatan khusus untuk dapat memenuhi pelayanan kesehatan di
DTPK. Kompetensi tenaga kesehatan yang sudah ditempatkan pun tidak
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan kesehatan spesifik untuk DTPK.
3) Manajemen Tenaga Kesehatan DTPK Tidak Spesifik
Manajemen tenaga kesehatan untuk daerah perbatasan, dan kepulauan tidak
didukung dengan kebijakan yang mengatur secara spesifik. Sebagaimana
dipahami di dalam PP 38/2007 hanya mengatur secara umum tentang
pengelolaan, penempatan dan pemanfaatan tenaga kesehatan strategis di tiap
tingkatan pemerintahan.
Pola perencanaan tenaga kesehatan yang ada saat ini hanya untuk menghitung
jumlah kebutuhan setiap jenis tenaga kesehatan, masih bersifat blanket
berdasarkan ratio normatif masing-masing jenis tenaga kesehatan terhadap
populasi. Sehingga daerah dengan ratio dan densitas tenaga kesehatan yang sudah
tinggi merasa tidak berkewajiban menempatkan tenaga ke DTPK.
Pola penempatan tenaga kesehatan di DTPK saat ini tidak efektif dan tidak efisien
karena durasi penempatannya relatif pendek sehingga pemahaman lapangan
relatif kurang. Selain itu turn over tenaga kesehatan tinggi, periode tanpa tenaga
lebih panjang dibanding periode dengan tenaga.
Daerah mulai mencari peluang pemanfaatan tenaga kesehatan asing dalam rangka
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di daerahnya, hal ini merupakan
fenomena ketidakpuasan daerah terhadap cara penanganan tenaga kesehatan oleh
Pusat. Padahal daerah tidak memiliki kewenangan memberikan izin kepada
tenaga kesehatan asing untuk bekerja di DTPK.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kesulitan memperoleh formasi tenaga
kesehatan terutama untuk DTPK karena tidak jelas mekanisme pengusulannya,
sementara itu kriteria prioritas ketenagaan/kepegawaian dan penetapannya
dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah.
Pengorbanan finansial dari tenaga kesehatan selama pendidikan merupakan
hambatan untuk menerima penempatan di DTPK karena kompensasi dan insentif
yang disediakan dianggap tidak memadai dan tidak atraktif/menarik. Disamping
itu juga tidak cukup menjamin tenaga kesehatan mau dan mampu memberikan
pelayanan berkualitas di DTPK.
4) Ketidakjelasan Jaminan Pengembangan Karir dan Profesi Pasca Penugasan
di DTPK.
Selama menjalankan tugas di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan,
tenaga kesehatan telah kehilangan kesempatan mengumpulkan dana untuk biaya
melanjutkan pendidikan. Selain itu tenaga kesehatan tersebut juga kehilangan
akses untuk mendapatkan peningkatan keilmuan baik melalui internet, mengikuti
seminar, ataupun memperoleh literatur/referensi serta ketertinggalan informasi
tentang perijinan kemandirian penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Demikian
juga hal yang terkait dengan kepastian pengembangan karir sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS).

C. Kebijakan
Pemerintah daerah memiliki peranan dan tanggung jawab besar untuk
melindungi kesehatan seluruh masyarakat. Termasuk menjaga kondisi lingkungan
yang sehat bagi warganya. Pemerintah daerah dengan kemampuan yang dimiliki
harus membuat kebijakan yang pro rakyat dibidang pelayanan kesehatan. Peraturan
Daerah adalah salah satu sarana pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang
dapat memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal kepada masyarakat.
Berbagai upaya tersebut harus dilakukan kearah kesatuan pembangunan kesehatan
untuk seluruh masyarakat yang menyeluruh terpadu dan berkesinambungan mencakup
upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan
(kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif).
Dasar hukum Penentuan Gugus Pulau :
1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Ratifikasi Unclos 1982 Tentang
Konvensi Hukum Laut Internasional
2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil
4) Pp 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Nasional Tentang Rtrwn Peraturan Daerah
Nomor 05 Tahun 2009 Tentang Rtrw Provinsi Maluku

Sebagai salah satu contoh permasalahan tentang kebijakan Kesehatan gugus Pulau,
saya akan membahas tentang politik hukum daerah tentang kebijakan pembangunan bidang
kesehatan di kepulauan Maluku.
Kebijakan pemberlakuan suatu regulasi daerah dipengaruhi oleh dua faktor yakni
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar
daerah Maluku, misalnya kebijakan pembangunan bidang kesehatan dari pemerintah pusat
secara nasional yang terlalu berorientasi kedaerah daratan (kontinental), seperti misalnya
program bantuan pengadaan mobil untuk difungsikan sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) keliling. Mereka mungkin lupa atau sengaja tidak tahu bahwa pada provinsi
yang berkarakteristik kepulauan tentu yang lebih diperlukan adalah kapal yang difungsikan
sebagai Puskesmas Keliling. Mencermati hal tersebut, Agus Purwadianto mengingatkan agar
penanganan pelayanan kesehatan masyarakat harus memperhatikan kondisi keragaman
masing-masing daerah. Perbedaan karakteristik suatu daerah dengan daerah lain perlu
diperlakukan berbeda dalam pelayanan kesehatan dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah
yang bersangkutan

Demikian juga, pengaturan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan


Pemerintah Daerah sebagaimana dalam UU No. 33 Tahun 2004 maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, selalu menguntungkan daerah dengan karakteristik
kontinental, terutama terkait dengan Dana Alokasi Umum (DAU) yang menyangkut indikator
luas wilayah yang hanya memperhitungkan luas wilayah darat. Setelah Badan Kerjasama
Provinsi Kepulauan dimana di dalamnya bergabung 7 (tujuh) Provinsi Kepulauan
memperjuangkannya barulah Pemerintah memperhatikannya, akan tetapi formula
perhitungan DAU masih tetap mengabdi pada PP Nomor 55 Tahun 2005 tersebut. Dalam
konteks ini cara menghitung luas wilayah yang hanya wilayah darat. Hal ini dapat merugikan
masyarakat pada daerah-daerah kepulauan. Perhitungan DAU seperti ini dapat dinilai sebagai
suatu kebijakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 25A, Pasal 28H ayat (2)
dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Seharusnya, cara menghitung DAU harus dilakukan
dengan rumus “daerah kontinental (wilayah kecil dan penduduk banyak) sama dengan daerah
kepulauan (wilayah besar dan penduduk sedikit tapi tersebar)”. Hal ini penting karena,
perhitungan luas wilayah laut masih mengacuh pada Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun
2004, dimana cara menghitung luas wilayah lautnya masih berorientasi pada daerah
kontinental. Demikian juga halnya dalam pembagian dana bagi hasil perikanan masih dirasa
tidak adil bagi Maluku. Jumlah DAU dan dana bagi hasil yang kecil dan tidak adil bagi
Provinsi Maluku sangat berdampak pada ketersediaan anggaran yang memadai bagi
pembiayaan pembangunan termasuk bidang kesehatan di Kepulauan Maluku. Akibatnya
pembangunan infrastruktur kesehatanpun menjadi lambat.

Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam daerah Maluku seperti keinginan
individu, atau kelompok yang memegang kekuasaan membentuk regulasi daerah, keinginan
partai politik, keinginan lembaga swadaya masyarakat, serta keinginan masyarakat di daerah
Maluku. Kebijakan pemberlakuan memiliki muatan politis karena kebijakan pemberlakuan
pada dasarnya bergantung pada kehendak pembuat regulasi didaerah. Ini berbeda dengan
kebijakan dasar yang lebih bersifat netral dan bergantung pada nilai obyektif.

Regulasi daerah salah satunya adalah peraturan daerah (Perda). Perda adalah aturan
daerah dalam arti materiil (in materieele zin). Perda mengikat (legally binding) terhadap
warga dan penduduk daerah otonom. Regulasi Perda merupakan bagian dari kegiatan
legislasi lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang berkaitan dengan
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Kedudukan Perda pada era otonomi luas dewasa ini
sangat penting dan menjadi lebih kuat.

Kebijakan pemberlakuan atas sebuah Perda dapat diketahui dengan menganalisa


substansi perda tersebut yang secara eksplisit terdapat dalam konsideran menimbang atau
penjelasan umum. Sayangnya Perda menyangkut bidang kesehatan di Maluku sangatlah
sedikit sehingga sangat sedikit pula yang dapat dianalisa. Hasil analisa terhadap Perda yang
ada, ditemukan bahwa kebijakan pemberlakukannya masih jauh dari alasan dasar atau
kebijakan dasar (basic policy) sebagai tujuan dari politik hukum daerah dalam pembangunan
kesehatan di kepulauan Maluku. Pada umumnya Perda tentang kesehatan di Maluku hanya
mengatur tentang retribusi daerah bidang kesehatan yang orientasinya hanya pada upaya
bagaimana menggali potensi daerah dalam bidang kesehatan guna dijadikan sebagai sumber
penerimaan daerah untuk membantu meringankan pembiayaan pengeluran daerah. Seperti
Perda Provinsi Maluku No. 16 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian dan Peredaran
Minuman Beralkohol. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No. 14 Tahun 2010 tentang
Retribusi Pelayanan Kesehatan, Perda Kabupaten Maluku Tenggara No. 16 Tahun 2010
tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, dan Perda Kabupaten Buru No. 15
Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan. Selebihnya masih berkutat pada
pengaturan internal organisasi seperti Perda Kabupaten Buru No. 02 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Perda Kabupaten
Maluku Tenggara No. 05 Tahun 2011 tentang Susunan Organisasi Dinas Kesehatan
Kabupaten Maluku Tenggara.

Contoh lain, Pemerintah Kalimantan Timur mengarahkan lembaga-lembaga kesehatan


yang ada di Kaltim untuk menempatkan tenaga medisnya di daerah perbatasan, pedalaman
dan daerah terluar Kaltim sehingga menyentuh ke masyarakat yang terisolasi. Dalam hal ini,
pemerintah menyediakan anggaran pemberian insentif kepada para tenaga medis, dan juga
anggaran subsidi obat-obatan, perbaikan atau melengkapi fasilitas seperti puskesmas dengan
layanan rawat inap yang perlu ditingkatkan.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan, kebijakan umum pembangunan


kesehatan diarahkan pada :
 Peningkatan kualitas, keterjangkauan, dan pemerataan pelayanan kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama bagi keluarga miskin, kelompok
rentan dan penduduk di daerah terpencil, perbatasan, rawan bencana dan konflik;
 Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan terutama untuk pelayanan
kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan;
 Penjaminan mutu, keamanan dan khasiat produk obat, kosmetik, produk komplemen,
dan produk pangan yang beredar, serta mencegah masyarakat dari penyalahgunaan
obat keras, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan bahan berbahaya lainnya; dan
 Peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dalam perilaku hidup
bersih dan sehat
 Peningkatan upaya pemeliharaan, pelindungan, dan peningkatan derajat kesehatan dan
status gizi terutama bagi penduduk miskin dan kelompok rentan;
 Peningkatan upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit baik menular maupun
tidak menular.

Anda mungkin juga menyukai