Anda di halaman 1dari 29

TUGAS ATM

TENTANG PENYAKIT KUSTA

Disusun oleh :

Aknes Simanjuntak 2019082024045


Amdita Bangkit Pertiwi 2019082024065
Nur Hayani 2019082024045
Ririn Irianti 2019082024035
Rivel F.Pattinasarany 2019082024036
Usulina Okoseray 2019082024048

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

JAYAPURA

2020

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Tuhan Yang Maha
Esa, akhirnya makalah tentang “Penyakit Kusta”ini dapat tersusun. Makalah ini
memuat mengenai kegeawatdaruratan pada sistem pencernaan yaitu trauma
abdomen. Materi makalah ini diambil dari berbagai sumber, penulisan makalah ini
merupakan tugas ATM.

Penulis telah berupaya menyelaraskan makalah ini seringkas dan sejelas


mungkin agar mudah untuk dipahami. Namun, tiada gading yang tak retak, telah
disadari makalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Untuk itu saran
penyempurnaan sangat diharapkan.

Jayapura, 20 Februari 2020

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman……………………………………………………………………….. i
Kata pengantar……………………………………………………………….. ii
Daftar isi……………………………………………………………………… iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar belakang………………………………………………………… 1
B. Rumusan masalah…………………………………………………….. 1
C. Tujuan
1. Tujuan umum……………………………………………………… 2
2. Tujuan khusus…………………………………………………….. 2
D. Manfaat……………………………………………………………….. 2
BAB II Tinjauan Teori
A. Konsep Teori………………………………………………………… 3
1. Definisi…………………………………………………………… 3
2. Etiologi…………………………………………………………… 3
3. Manifestasi klinis ………………………………………………… 5
4. Patofisiologi………………………………………………………. 5
5. Pathway…………………………………………………………... 7
6. Pemeriksaan Penunjang………………………………………….. 8
7. Komplikasi……………………………………………………….. 9
8. Diagnosa Banding………………………………………………… 9
9. Penatalaksanaan…………………………………………………… 10
B. Konsep Asuhan Keperawatan……………………………………….. 11
1. Pengkajian………………………………………………………… 11
2. Klasifikasi data…………………………………………………… 18
3. Analisa data………………………………………………………. 18
4. Diagnosa…………………………………………………………. 20
5. Intervensi…………………………………………………………. 21
BAB II Tinjauan Kasus .................................................................................... 22

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal
oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang
cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan dibelahan dunia, seperti: India, dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan
diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab
lepra bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini
terjadi hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980-an dan penyakit
inipun mampu ditangani kembali.
Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Gangguan Sistem Integumen Dengan Kusta”
dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit kusta,
penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini antara lain :
1.3.1 Bagaimana gambaran tentang konsep penyakit kusta?
1.3.2 Bagaimana pengkajian keperawatan pada klien dengan kusta?
1.3.3 Bagaimana pembuatan diagnosa berdasarkan pengkajian?
1.3.4 Bagaimana tentang pembuatan rencana keperawatan berdasarkan teori
keperawatan?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas
Sistem Integumen berkenaan dengan penyakit Kusta.
2. Tujuan Khusus
a) Menjelaskan gambaran tentang konsep penyakit kusta;
b) Menjelaskan tentang pengkajian keperawatan pada klien dengan
kusta;
c) Menjelaskan tentang pembuatan diagnosa berdasarkan pengkajian;
d) Menjelaskan tentang pembuatan rencana keperawatan berdasarkan
teori keperawatan
D. Manfaat
Mahasiswa dapat memahami masalah keperawatan dan menerapkan
Asuhan keperawatan dengan penyakit kusta

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
kuman Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali
menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa
(mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata,
otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2000).
Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf
tepi, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf pusat, untuk
mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang berhubungan
dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada
kulit ( Depkes, 2005 ).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi.
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum
yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid.
Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang saluran pernafasan
bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan dalam
jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya
tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa. ( Jurnal Universitas
Sumatera Utara, 2012 ).
Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae. (Kapita Selekta,
2000)

2. Etiologi
Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang
bersifat obligat intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ
lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mycrobacterium leprae
12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.

Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman penyebab


penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer
Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang
dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media
buatan.

ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun
yang tidak utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi,
selanjutnya membentuk kompleks imun yang mengendap dalam vaskuler.
Reaksi tipe – 2 yang tipikal pada kulit ditandai dengan nodul – nodul
eritematosa yang nyeri, timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih
dalam. Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi

kusta antara lain : setelah pengobatan antikusta yang intensif, infeksi


rekuren, pembedahan, dan stres fisik.

Gambar: Bakteri Mycobacterium leprae


3. Manifestasi klinis
Tanda gejala pada penyakit kusta, yaitu :
a. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi
boederline).
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya
kekebalan seluler secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe
kusta ke arah PB (paucibacillary). Faktor pencetusnya tidak diketahui
secara pasti tapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Gejala klinis reaksi tipe I berupa
perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan/atau
gangguan keadaan umum pasien.

b. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum).


Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB (multibacillary) dan
merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak
utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan
komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun
terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini
dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal
sebagai eritema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi
(artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti
demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya. Hal-
hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik
(kondisi lemah, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi) dan stres
mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu.
Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

4. Patofisiologi
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum
diketahui Secara pasti. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penularannya yang paling sering melalui kulit yang lecet, pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah
mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang.
Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat
sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem
imunitas seluler tinggi, berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid
dan bila rendah, berarti berkembang ke arah lepromatosa. Mycrobacterium
leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada sel makrofag disekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila
kuman masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan
makrofag untuk memfagosit.
a. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler
yang rendah dimana makrofag tidak mampu menghancurkan kuman,
dan dapat membelah diri dan dengan bebas merusak jaringan.
b. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi
dimana makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman
difagositosis, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan
kemudian bersatu membentuk sel, bila tidak segera diatasi terjadi
reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitar.

Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler


mendadak, sehingga respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae
yang mati dapat meningkat. Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan
transformasi limfosit.Tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti
antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian patologis tersebut dapat
terjadi. Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta
pada tiap penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat
berbeda pula sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan
antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan saraf.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena
respons imun pada tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding
dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu
penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

5. Patway

M. Leprae Resiko Trauma Sensabilitas


M. Tuberkoloid

Menyerang kulit Menyerang saraf tepi Neuritis


dan saraf tepi sensorik & motorik

Macula, nodula, Ulkus Menyerang saraf ulnaris,


papula nervus popliteus, nervus
aurikularis, nervus radialis
Keganasan cancer
Kulit terlihat rusak epidemoid
Kelumpuhan otot

Malu Metastasea
Kontraktur otot dan
sendi
Inefektif koping
individu
Gangguan aktivitas

Gangguan citra Amputasi


tubuh Hambatan mobilitas
fisik

Infasif bakteri

Gangguan rasa nyaman Perubahan aktivitas


Resti infeksi Nyeri
Resti Cidera
Hambatan mobilitas
fisik
6. Pemeriksaan penunjang

Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk


menekan tingkat kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala
sisa.Tingkat keberhasilan terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini
dideteksi dan ditangani secara dini.Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan :
Gejala klinik tersebut diantara lain :
a. Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak.
b. Nyeri, dan terdapat pembesaran saraf tepi.
c. Adanya tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik maupun
motorik.
d. Demam dan malaise.
e. Kedua tangan dan kaki membengkak.
f. Munculnya lesi-lesi baru pada kulit.
g. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut:
1). Laboratorium
a. Darah rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
2). Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate
limfosit yang meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi.
Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel
giant memberi gambaran sel langerhans.Kadang-kadang terdapat
gambaran nekrosis (kematian jaringan) didalam
granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
7. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta. Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut
dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan
(respon seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan
akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum
mendapat pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan.
Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai
pengobatan.

8. Diagnosa Banding
a. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan citra tubuh
terhadap lesi pada kulit.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan
kaku sendi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh primer dan kerusakan integritas kulit.
d. Resiko trauma berhubungan dengan peningkatan resiko cidera
jaringan karena neuritis.
e. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan integritas kulit
9. Penatalaksanaan
Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut :
a). Tipe PB ( Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak
lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b). Tipe MB ( Multi Basiler)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24
dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum
24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
c). Dosis untuk anak
Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian
50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian
50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
d). Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan
dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai
obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e). Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe
MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
B. Konsep Asuhan Keperawatam

1. Pengkajian
a) Identitas pasien
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan,
anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan,
alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan
lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar
penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan
pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita
(demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c) Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika
dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat
imunisasi.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e) Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian
besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri,
sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f) Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada
tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.

g) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena
reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen.
Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
- Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan
mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus
hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-
organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause
basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
- Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
- Sistem persarafan
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/
mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan
kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/ hilangnya reflek kedip.
b. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh
dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan
akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
- Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
- Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
h) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan
bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan
mikobakterium leprae ialah:
 Cuping telinga kiri atau kanan.
 Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
 Tidak menyenangkan pasien.
 Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
 Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada
selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
 Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
 Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
 Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis
sebagai pasienkusta.
 Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau
karenatersangka kuman resisten terhadap obat.
 Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3
metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau
seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan
clumps.
Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA
dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe
kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan
menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
 0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
 1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
 2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
 3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
 4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
 5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
 6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap
seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan
kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu
menentukan resistensi terhadap obat.
i) Pengobatan
. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan
mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Jenis-jenis obat kusta:
o obat primer : dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamide,
prothionamide.
o obat sekunder: INH, streptomycine
 Dosis menurut rekomendasi WHO :
a. Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)
- Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari
- Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan
Ket: Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6
dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam 2 tahun.
b. Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)
- Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan
- Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari
- Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian
dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari
Ket : Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi ± 5 tahun
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis
yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung
dinyatakan RFT.
 Dosis untuk anak
a. Klofazimin:Umur dibawah 10 tahun
- Bulanan 100mg/bulan
- Harian 50mg/2kali/minggu
- Umur 11-14 tahun
- Bulanan 100mg/bulan
- Harian 50mg/3kali/minggu
- DDS:1-2mg /Kg BB
b. Rifampisin:10-15mg/Kg BB
1) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan
minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam
6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
2) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4
dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan
pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12
dosis dari yang seharusnya.

ANALISA DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan citra tubuh terhadap
lesi pada kulit.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan kaku
sendi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer dan kerusakan integritas kulit.
4. Resiko trauma berhubungan dengan peningkatan resiko cidera jaringan
karena neuritis.
5. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
a. Biodata
Tanggal Masuk Rumah Sakit :

Tanggal pengkajian :

No.RM :
Ruangan :

Diagnosa Medis :

A. Identitas
1. Klien
Nama :
TTL :
Anak Ke :
Alamat :
Pendidikan :
Penanggung Jawab
Nama :
Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Agama :
Alamat :

b. Keluhan Utama
Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan
adanya bercak putih yang tidak terasa atau datang dengan keluhan
kontraktur pada jari-jari.

c. Riwayat penyakit sekarang


Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi atau
kontraktur tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan bagaimana
proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan lainnya. Pada
beberapa kasus, ditemukan keluhan, gatal, nyeri, panas atau rasa tebal.
Kaji juga apakah klien pernah menjalani pemeriksaan laboratorium. Ini
penting untuk mengetahui apakah klien pernah menderita penyakit tersebut
sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat kulit yang dioles atau
diminum? pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan
perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan
apakah keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah, obat apa yang
diminum? Teratur atau tidak?
d. Riwayat penyakit dahulu.
Salah satu faktor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh
yang menurun. Akibatnya, M. Leprae dapat masuk ke daam tubuh. Oleh
karena itu, perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain
yang pernah diderita.
e. Riwayat penyakit keluarga.
Penyakit kusta ukan penyakit turunan, tetapi jika anggota keluarga
atau tetangga menderita penyakit kusta, risiko tinggi tertular sangat
mungkin terjadi. Perlu dikaji adakah anggita keluarga lain yangmenderita
atau memiliki keluhan yang sama, baik yang masih hidup maupun sudah
meninggal.

f. Riwayat psikososial.
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikan. Ini
disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan. Oleh
karena itu, perlu dikaji bagaimana konsep diri klien dan respons
masyarakat di sekitar klien.
g. Kebiasaan sehari-hari.
Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-hari,
perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan / nutrisi klien. Hal ini
sangat penting karena faktor gizi berkaitan erat dengan sistem imun.
Apabila sudah ada deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan
kemampuan klien dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dapat
terganggu.
h. Pemeriksaan fisik
Seperti pada kasus yang lain, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara
menyeluruh tidak hanya terbatas pada lesi saja. Kelenjar regional juga
harus diperiksa karena pada penderita kusta dapat pula ditemukan adanya
pembesaran beberapa kelenjar limfe. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
denagan cara inpeksi,palpasi dan pemeriksaan sederhana menggunakan
jarum, kapas, tabung reaksi (masing-masing dengan air panas dan es),
pensil tinta dan sebagaiya.
Inpeksi dilakukan untuk menetapkan ruam yang ada pada kulit.
Biasanya dapat ditemukan adanya macula hipopigmentasi/
hiperpigmentasi dan eritematosa dengan permukaan yang kasar atau licin
denga batas yang kurang jelas atau jelas, bergantung pada tipe yang
diderita. Pada tipe tuber kuloid, dapat ditemukan gangguan saraf kulit yang
disertai dengan penebalan serabut saraf, nyeri akibat peradangan atau
reaksi fibrosis,anhidrasis, dan kerontokan rambut (sering dijumpai pada
rambut asli dan bulu mata).
Pada kusta tipe repromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah
singa(lionin face). Selain itu, ada pula kelainan otot berupa atrofi distese
otot di yang di tandai dengan keumpuhan otot otot, diikuti kekakuan, sendi
atau kontraktur sehingga terjadi clow hean , drop put, dan drop hean,
kelainan pada tulang dapat berupa osteomilitis dan resopsi tulang yang
mengakibatkan pemendakan dan kerusakan tulang( ujung
bengkok),terutama jari jari tangan dan kaki.
Pada penderita kusta, dapat juga ditemukan kelain pada mata akibat
kelumpuhan m.orbicularis aulisehingga terjadi lago pthalamus atau mata
tidak dapat dipejam kan, akibatnya mata menjadi kering dan berlanjut pada
keratitis,ulkus kornea,iritis,iridosikilitik dan berahir dengan kebutaan.
Pada testis dapat terjadi patrofi yang mengakibatkan ginekomastia.
Kecatatan yang seringa diderita oleh penderita kusta disebabkan kerusakan
fungsi saraftepi dan neuritis waktu terjadi reaksi kusta, juga cidera pada
anesthesia.

B. ANALISA DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN


6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan citra tubuh terhadap
lesi pada kulit.
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan kaku
sendi.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer dan kerusakan integritas kulit.
9. Resiko trauma berhubungan dengan peningkatan resiko cidera jaringan
karena neuritis.
10. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.

Klasifikasi Data
Data Subjektif Data Objektif
klien mengatakan : klien tampak :
-ada luka seperti panu -KU : Lemah
- malu memiliki penyakit seperti ini -terdapat lesi yang nampak seperti panu
-sulit diajak komunikasi dan hanya mau
bersama keluarga yang ia percaya
-mengurung diri dikamar dan tidak
ingin bertemu dengan yang lain karena
merasa malu/Minder

Analisa Data
Data Etiologi Masalah
DS : ketidakmampuan dan Gangguan konsep diri
Klien mengatakan malu kehilangan fungsi tubuh. (citra diri) yang
terhadap penyakit yang berhubungan dengan
diderita ketidakmampuan dan
DO : kehilangan fungsi tubuh.
Klien Tampak
sulit diajak komunikasi
dan hanya mau bersama
keluarga yang ia percaya
-mengurung diri dikamar
dan tidak ingin bertemu
dengan yang lain karena
merasa malu/minder

C. INTERVENSI
No Diagnosa NOC / Tujuan NIC/ Intervensi
Keperawatan
1 Gangguan citra Tujuan:  Kaji secara verbal dan
tubuh  Body image non verbal respon klien
berhubungan  Self esteem terhadap tubuhnya
dengan Kriteria hasil:  Monitor frekuensi
perubahan citra  Body image positif mengkritik dirinya
tubuh terhadap  Mampu  Jelaskan tentang
lesi pada kulit. mengindetifikasi pengobatan, perawatan,
kekuatan personal kemajuan dan
 Mendriskripsikan secara prognosis penyakit
faktual perubahan fungsi  Dorong klien
tubuh mengungkapkan
 Mempertahankan perasaannya
interaksi sosial  Identifikasi arti
pengurangan melalui
pemakaian alat bantu.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratosius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu
memahami tentang penyakit lepra dan mampu melaksanakan pemberian
asuhan keperawatan pada pasien lepra yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction.

Loetfia Dwi Rahariyani ; editor, Eka Anisa Mardella, Monica Ester. 2007. Buku
Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta :
EGC
https://www.kemkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infoDatin-kusta-2018.pdf diakses pada tanggal
20 februari 2020
https://www.scribd.com/document_downloads/direct/230235821?
extension=docx&ft=1581688974&lt=1581692584&user_id=334639414&uahk=C
P8rtL6nilApvJ_lw8BAbSFPlk4 diakses pada tanggal 20 februari 2020

https://id.scribd.com/doc/230235821/Konsep-Asuhan-Keperawatan-KUSTA
diakses pada tanggal 20 februari 2020

Anda mungkin juga menyukai