Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TRAUMATOLOGI

SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG SETELAH KECELAKAAN

KELOMPOK XIV (B4)

FARRAS GHANIKAGI S G0016074


FRITZ GERALDI SYAH G0016086
GIOVANNI TIGOR JONES G0016092
FEBIANA WULANDARI G0016080
FEREN MARCELINA G0016082
FITHRAH RAMADHANI G0016084
GABRIELA CLAUDIA G0016088
GALIH SETYA NINGRUM G0016090
GRACE CHRISTIANA H G0016094
HANIINA FATHIMIYYAH G0016102
HIKMAH FEBTY MERINA G0016104

TUTOR : Istar Yuliadi, dr.,M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO I

SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG SETELAH KECELAKAAN

Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE mendapat pasien korban
kecelakaan lalu-lintas seorang laki-laki berusia 22 tahun diantar oleh tukang becak.
Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin bertambah, dan kaki
kanan tidak dapat digerakan. Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey,
dan secondary survey.

Menurut keterangan pengantar, 2 jam SMRS pasien mengendarai sepeda motor


dengan kecepatan tinggi, menabrak jembatan ketika menghindari penyeberang jalan.
Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada terbentur stang motor dan kaki tertimpa
motor.

Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Nafas cepat dan dangkal, suara
tambahan tidak didapatkan (gurgling -, snoring -). Vital sign : Nadi 110 x/menit,
tekanan darah 100/70 mmHg, suhu 37°C, RR 30x/menit.

Terdapat jejas pada hemothorax kanan, pergerakan dada kanan tertinggal,


perkusi hipersonor, auskultasi vesicular menurun, emfisema sub cutis (+). Femur dexter
terdapat luka terbuka sepanjang 3 cm, perdarahan aktif (+), fat globule (+), deformitas
(+), angulasi (+), nyeri tekan (+) dan krepitasi (+). Dokter melakukan bebat tekan,
realignment femur dan imobilisasi.

Dokter IGD menduga adanya pneumothorax ventil dan berencana untuk


melakukan torakosintesis segera. Keluarga pasien belum ada yang datang. Sambil
menunggu keuarga, dokter melakukan informed consent, permintaan cek lab darah dan
radiologi.
BAB II

DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA

A. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario.
Dalam skenario kali ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini :
1. Triage :Klasifikasi yang digunakan pada korban
perang/bencana/pasien untuk menentukan prioritas keperluan dan tempat
yang tepat untuk melakukan terapi.
2. Primary survey : Penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk
identifikasi secara cepat dan sistematis serta untuk mengambil tindakan
dari permasalahan yang mengancam jiwa pasien. Dilakukan dalam waktu
2-5 menit.
3. Secondary survey : Penilaian lanjutan secara holistik yang dilakukan
setelah pasien stabil untuk melihat jejas dan kelainan yang ada pada
pasien.
4. Nafas gugling : Suara yang menyerupai gelembung udara yang
keluar dari air.
5. Nafas snoring : Suara seperti mendengkur.
6. Emfisema subcutis : Udara pneumothoraks masuk ke jaringan lunak
dada/leher.
7. Bebat tekan : Penutupan bagian luka dengan tekanan untuk
hentikan perdarahan.
8. Realignment femur : Rekonstruksi pada femur.
B. Langkah II : Menentukan masalah
Masalah yang terdapat pada skenario 1 adalah  :
1. Bagaimana mengurutkan prioritas pada triage?
2. Mengapa nyeri dada dan sesak makin terasa?
3. Apasaja yang dilakukan pada primary dan secondary survey?
4. Apa hubungan jejas dengan trauma?
5. Batas informed consent pada pasien emergency?
6. Jenis-jenis trauma?
7. Perbedaan fraktur terbuka dan tertutup?
8. Indikasi thoracosintesis?
C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara
terhadap permasalahan (langkah II)
1. Secara umum, terdapat beberapa variasi dalam penetapan kategori dalam
pelaksanaan triage di rumah sakit. Terdapat 4 kriteria yang harus
dipenuhi dalam penetapan kategori prioritas pada pelaksanaan triage:
1) Utility: setiap skala prioritas harus dapat dimengerti dan dengan
mudah diaplikasikan oleh tenaga medis pada keadaan darurat.
2) Validity: setiap skala pengukuran digunakan untuk mengukur apa
yang seharusnya diukur dalam keadaan darurat.
3) Reliability: setiap skala yang ada harus dapat ditegakkan secara
independent oleh tenaga medis (perawat atau dokter) yang bertugas
dan harus bersifat konsisten.
4) Safety: setiap skala pengukuran yang ada harus sepadan dengan
kriteria objektif secara kinis dan harus mengoptimalkan waktu untuk
memberikan intervensi terapi.
ATS (Australian Triage Scale) memiliki 5 kategori penerapan skala
prioritas dalam pelaksanaan triage di rumah sakit:
1) Kategori 1: Immediately life-threatening
Pasien yang masuk dalam kategori 1 adalah pasien yang harus
ditangani dengan segera atau dalam rentang waktu 2 menit. Contoh
kasus yang masuk ke dalam kategori 1 antara lain pasien sakit kritis,
butuh perhatian segera, pasien datang dengan ambulan, pasien
dengan trauma/luka/injury serius atau kasus henti jantung/cardiac
arrest
2) Kategori 2: Imminently life-threatening
Pasien yang masuk dalam kategori 2 adalah pasien yang harus
mendapatkan penanganan medis dalam rentang waktu 10 menit.
Contoh kasus dalam kategori 2 antara lain penyakit kritis, keadaan
sakit berat, pasien dengan nyeri dada serius, kesulitan bernafas,
fraktur parah.
3) Kategori 3: Potentially life-threatening or important time-critical
treatment or severe pain
Pasien dalam kategori 3 harus diberikan penanganan dalam rentang
waktu 30 menit. Biasanya pasien dengan kategori 3 memiliki riwayat
severe illness, pendarahan hebat dari luka terbuka, major fractures,
atau dalam keadaan dehidrasi berat
4) Kategori 4: Potentially life-serious or situational urgency or
significant complexity
Pasien dalam kategori 4 harus diberikan penangan dalam rentang
waktu 1 jam. Pasien yang dapat diklasifikasikan dalam kategori 4
adalah pasien dengan keadaan injury/luka ringan misalkan pada area
mata, sprained ankle, migrain atau sakit pada telinga.
5) Kategori 5: Less urgent
Pasien yang termasuk dalam kategori 5 adalah pasien dengan
gejala/symptoms yang muncul lebih dari satu minggu, misalkan ada
bercak-bercak, nyeri minor, atau rasa sakit minor. Pasien yang datang
dan masuk dalam kategori 5 harus mendapatkan penanganan medis
dalam rentang waktu 2 jam.
2. Pada kasus skenario tersebut, riwayat kecelakaan pasien yaitu
mengendarai motor dengan kecepatan tinggi kemudian ketika melewati
jembatan dan ada penyebrang jalan, pasien membanting setir dan
motornya menabrak jembatan. Ketika motor menabrak jembatan, pasien
terjungkal serta jatuh dari motor dan pada prosesnya dada bagian kanan
menabrak stang motor dengan kaki juga tertimpa motor. Dari riwayat
tersebut, jejas di hemithoraks kanan serta ada pergerakan dinding dada
kanan yang tertinggal serta pemeriksaan fisik dengan hasil adanya
perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler menurun, emfisema subkutis
positif membuat dokter mencuriai pasien mengalami pneumotoraks
ventil yang merupakan kondisi kegawatdaruratan medik dan
membutuhkan penanganan segera.
Salah satu gejala klinis pneumotoraks ventil adalah sesak dan
nyeri dada yang bertambah. Hal ini diduga karena keseimbangan antara
kecenderungan jaringan paru untuk kolaps dan kecenderungan dinding
dada terganggu. Normalnya, untuk mengembang menghasilkan tekanan
negatif dalam rongga pleura. Apabila terdapat udara pada rongga pleura
maka paru akan kolaps.
Pada pneumotoraks simpel, tekanan intrapleura menyamai
tekanan atmosfir sehingga jaringan paru yang kolaps dapat mencapai
30%. Pada kondisi yang lebih berat (tension pneumotoraks), kebocoran
yang terus terjadi akan menyebabkan peningkatan tekanan positif pada
rongga pleura yang lebih jauh dapat menyebabkan kompresi paru,
pendorongan struktur mediastinum ke kontra lateral, penurunan venous
return, dan penurunan cardiac output. Oleh karena alasan tersebut,
kemungkinan karena benturan stang motor dan dinding dada kanan
pasien membuat cavum pleura bocor sehingga terjadi tekanan tambahan
pada paru yang berdampak pada paru-paru kesulitan mengembang
maksimal karena tertekan pleura dan dinding dada. Sehingga hasil
akhirnya, tubuh kekurangan oksigen dan menstimulasi sistem pernapasan
dengan menaikkan frekuensi napas serta kecepatan napas yang
bertambah.
Onset pneumotoraks ventil biasanya tiba-tiba dan berat ringannya
gejala bergantung pada luasnya jaringan paru yang mengalami kolaps
serta penyakit dasar yang telah ada sebelumnya. Pneumotoraks dapat
menyebabkan gejala nyeri, sesak napas dan sianosis. Pada bayi, gejala
dan tanda klinis mungkin sulit dikenali. Pneumotoraks yang cukup luas
mungkin dapat menyebabkan sedikit pendorongan organ intratorakal
atau mungkin tidak bergejala sama sekali. Derajat rasa nyeri tidak
berhubungan dengan luasnya pneumotoraks. Biasanya didapatkan distres
pernapasan, retraksi dan menurunnya suara napas. Laring, trakea dan
jantung mungkin bergeser ke arah berlawanan.
Sedangkan untuk nyeri dada yang timbul pada pasien
kemungkinan disebabkan oleh terstimulasinya saraf yang ada di dinding
dada akibat penambahan tekanan positif di dalam rongga dada yang tidak
bisa dikelurakan melalui inspirasi maupun ekspirasi(terperangkap). Hal
tersebut jika berlangsung terus-menerus akan membuat nyeri yang
dirasakan bertambah.
3. Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama
merupakan pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang
diberikan pada seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit
mendadak. Pertolongan ini menggunakan fasilitas dan peralatan yang
tersedia pada saat itu di tempat kejadian. (Nasution, 2009)
Tujuan yang penting dari penanganan awal kegawatdaruratan
adalah memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-
orang tersebut sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut.
Dalam penanganan pasien-pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat
penting, maka diperlukan suatu cara penilaian yang cepat untuk
menentukan tindakan perawatan yang harus diberikan sesegera mungkin
dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang. Terdapat suatu
pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment (Penilaian Awal)
yang meliputi (ATLS, 2009) :
1. Persiapan
Tahap persiapan terdiri dari dua fase yaitu, fase pra rumah sakit
dan fase rumah sakit. Pada fase pra rumah sakit yang menjadikan poin
penting adalah menjaga airway, kontrol perdarahan, syok, imobilisasi
pasien dan segera ke rumah sakit. Di fase ini tim trauma yang ada di
tempat kejadian menjadi penanggungjawab pasien dan harus
mengumpulkan keterangan yang harus dilaporkan ketika fase rumah
sakit diantaranya waktu kejadian, sebab kejadian, dan riwayat pasien,
mekanisme kejadian yang menjelaskan berat dan jenis trauma pasien.
Sedangkan pada fase rumah sakit, dimulai ketika mendapat
informasi tentang adanya kejadian trauma pasien sebelum pasien tiba
di rumah sakit dan segera mempersiapkan peralatan, petugas medis
gabungan untuk penanganan pasien, ruangan tindakan, dan obat-
obatan serta peralatan monitoring untuk menangani pasien setelah tiba
di rumah sakit.
2. Triase
Pada poin ini menjelaskan mengenai triase yang dilakukan ketika
di lapangan atau lokasi kejadian trauma pasien.
3. Primary survey (ABCDE)
Tahap ini ditujukan untuk mengenali kondisi life-threatening
pasien dengan urutan ABCDE yang terdiri dari, A-airway yaitu untuk
menjaga kontrol servikal, B-breathing untuk menjaga pernapasan dan
ventilasi, C-circulation dan kontrol perdarahan, D-disability untuk
mengenali status neurologis, dan E-exposure/environment control.

4. Resusitas

5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi


6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis

Secondary survey adalah pemeriksaan dari kepala hingga kaki


pada pasien trauma yang dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan fungsi tanda
vital dimana tiap bagian tubuh tidak boleh terlewat diperiksa. Pada
tahap ini pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat skor
GCS bila belum dilakukan di primary survey. Dengan demikian pada
secondary survey ini juga dilakukan foto rontgen dan pemeriksaan
laboratorium terutama pemeriksaan yang spesifik.

Pada proses anamnesis juga ditanyakan mengenai AMPLE


(Alergi, Medikasi/obat-obatan yang diminum saat ini, Past ilness atau
Pregnancy, Last meal, dan Events/Environment). Kemudian
dilanjutkan proses pemeriksaan fisik dengan memeriksa mulai kepala,
maksilofasial, vertebra servikalis dan leher, thoraks, abdomen,
perineum, rektum, dan vagina, sistem muskuloskeletal, dan neurologis
pasien.

7. Tambahan terhadap secondary survey

8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

Reevaluasi pasien trauma dilakukan secara terus-menerus


sehingga gejala yang baru segera dapat ditangani. Masalah yang
mengancam jiwa pasien lain dapat timbul kemudian, walaupun sudah
ditangani sebelumnya. Penyakit penyerta dapat menjadi nyata, oleh
karena itu kewaspadaan yang tinggi akan memungkinkan diagnosis
dini dan terapi segera.

Monitoring tanda vital dan produksi urin penting baik pada


pasien dewasa atau anak. Pemasangan pulse oximetry dan end tidal
CO2 monitoring perlu dilakukan untuk pasien kritis.

Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting juga


dilakukan dimana digunakan golongan opiat atau ansiolitik melalui
intravena dinilai cukup efektif menangani nyeri pasien.

9. Penanganan definitif
4. Jejas sel merupakan keadaan dimana sel beradaptasi secara
berlebih atau sebaliknya, sel tidak memungkinkan untuk beradaptasi
secara normal. Di bawah ini merupakan penyebab-penyebab dari jejas
sel.
Etiologi jejas:
a. Hipoksia
 Daya angkut oksigen berkurang: anemia, keracunan CO
 Gangguan pada sistem respirasi
 Gangguan pada arteri: aterosklerosis
b. Jejas fisik
 Trauma mekanis: ruptura sel, dislokasi intraseluler
 Perubahan temperatur: vasodilatasi, reaksi inflamasi
 Perubahan tekanan atmosfer
 Radiasi
c. Jejas kimiawi
 Glukosa dan garam-garam dalam larutan hipertonis yang
dapat menyebabkan gangguan homeostasis cairan dan
elektrolit
 Oksigen dalam konsentrasi tinggi
 Zat kimia, alkohol, dan narkotika
d. Agen biologik: virus, bakteri, fungi, dan parasite
Reaksi imunologik
a. Anafilaktik
b. Autoimun
Faktor genetik: sindroma Down, anemia sel sabit
Gangguan nutrisi: defisiensi protein, avitaminosis
Jenis-jenis jejas:
i. Jejas Reversible (oedem, cloudy swelling)
Contoh: degenerasi hidropik.
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu
adanya peningkatan kandungan air pada rongga-rongga sel selain
peningkatan kandungan air pada mitokondria dan retikulum
endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak sekali
gross (gerombolan) mole yang berisi cairan. Mekanisme yang
mendasari terjadinya generasi ini yaitu kekurangan oksigen,
karena adanya toksik, dan karena pengaruh osmotik.
ii. Jejas Irreversible.
Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apotosis
dan nekrosis. Apoptosis merupakan kematian sel yang
terprogram. Sedangkan nekrosis merupakan kematian
sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel yang
mati pada nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis
pada suatu daerah yang merupakan respons terhadap inflamasi
(Lumongga, 2008). Jadi, perbedaan apoptosis dan nekrosis
terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.

5. Pertimbangan medikolegal termasuk catatan medik, persetujuan


tindakan dan bukti forensik berhubungan dengan pemberian layanan
ATLS. Pada catatan medik yang lengkap selama pasien trauma dinilai
dan dirawat, seluruhnya didokumentasikan dan hal ini sangat penting.
Seringkali tidak hanya satu dokter yang merawat pasien trauma, dan
catatan medik yang baik dapat digunakan untuk evaluasi kebutuhan
pasien dan mengetahui kondisi pasien. Catatan medik pada saat resusitasi
dilakukan oleh perawat yang bertanggungjawab untuk hal ini. Sedangkan
untuk informed consent dilakukan jika memungkinkan persetujuan untuk
pengobatan harus ditandatangani sebelum tindakan. Tetapi pada keadaan
darurat, persetujuan pasien dapat dilakukan berikutnya.
6. Jenis – jenis trauma
1) Trauma mekanik
a. Tumpul
 Memar : rusak pada kapiler bawah kulit yang biasanya
berwarna merah kebiruan
 lecet : rusak epidermis karena tekanan, geseran, atau regangan
 Robek : rusak pada epidermis dan dermis atau lebih dalam
b. Tajam : iris, tusuk, atau bacok
c. Senjata api : biasanya karena luka tembak
2) Trauma fisik
a. Suhu panas : luka bakar (eritem, vesikel dan bullae, nekrosis
koagulatif, karbonisasi)
b. Suhu dingin
c. Listrik : electric mark (hangus terbakar berwarna hitam sesuai
benda, ada port de entere)
d. Petir : aboresence mark (pelebaran pembuluh darah di bawah kulit
3) Trauma kimiawi
a. Asam : mengakibatkan presipitasi protein dan resobrbsi cairan
(gambaran luka kering, coklat, dan mengeras)
b. Basa : mengakibatkan reaksi penyabunan dan terbentuk proteinat
alkali (gambaran luka basah, pucat, licin)
7. Klasifikasi fraktur berdasarkan ada tidaknya hubungan antara
patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan


keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

 Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan


lunak sekitarnya.
 Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
 Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
 Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
 Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
 Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
 Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

8. Indikasi torakosentesis
Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan
tindakan yang sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk
diagnosis tapi juga untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat
efusi pleura tersebut. Tetapi bagaimanapun juga, torakosintesis yang
berulang bukan pilihan yang tepat untuk penanganan efusi pleura ganas
yang progresif. Torakosintesis hanya mengurangi gejala untuk sementara
waktu dan akan membutuhkan kunjungan yang berulang ke rumah sakit
untuk melakukannya. (Yu H, 2011).
Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi
diagnostik dan terapeutik
1) Diagnostik
Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat
diambil dan diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi.
Untuk pemeriksaan laboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml.
Sebagian besar efusi pleura yang masih baru terukur lebih dari
10 mm pada foto toraks posisi lateral dekubitus, CT scan toraks,
atau USG toraks.

2) Terapeutik
Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi
gejala yang ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang
diakibatkan jumlah cairan yang besar dan membutuhkan evakuasi
segera.

D. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan


pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III.
Trauma

Jenis trauma
Sesak napas dan
patah tulang

Triage

- Hitam
- Merah
- Kuning
-Hijau

Fraktur femur Sesak napas

Pemeriksaan

Pemeriksaan
penunjang

E. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran


Terapi
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada scenario ini adalah :
1. Menjelaskan triage
2. Menjelaskan pneumothorax ventil
3. Menjelaskan fraktur femur
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang
5. Menjelaskan tatalaksana
F. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri
Pengumpulan informasi telah dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok
kami dengan menggunakan sumber referensi ilmiah seperti buku, jurnal, review,
dan artikel ilmiah yang berkaitan dengan skenario ini.
G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
TRIAGE
Triage atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah triase adalah
suatu manajemen dan penyortiran pasien bedasarkan assessment kebutuhan
medis, skala prioritas, dan evakuasi yang disusun bedasarkan system algoritma.
Dalam keadaan darurat bencana, system triage dibuat untuk memberikan
keuntungan besar pada korban dengan tujuan untuk meminimalisir angka
morbiditas dan mortilitas yang terjadi.
Pre-hospital triage adalah suatu system yang dilakukan untuk membantu
proses sortir pasien diluar area rumah sakit. Perbedaan yang ada dari masing-
masing pre-hospital triage system ada pada klasifikasi/penggolongan kode
warna/warna yang digunakan serta standar/ambang batas pada tiap level.
1. Triage Sieve dan Triage Sort
Triage Sieve dan Triage Sort adalah triage 2 langkah yang pertama kali
digunakan pada MIMMS (Major Incident Medical Management and Support
Course). Tahap pertama, Triage Sieve digunakan untuk menyortir pasien
dengan walking filter (digunakan untuk mengetahui pasien dalam keadaan
sangat parah atau tidak). Pada tahap ini diukur pula laju pernapasan, CRT
(capillary refill time) dan denyut nadi untuk menentukan klasifikasi pasien.
Pada tahap kedua, Triage Sort adalah kombinasi dari pengurukan secara
anatomi dan fisiologi. Pengukuran pada triage sort mengacu pada RTS
(Revised Trauma Score) yang terdiri dari evaluasi neurologi (dengan GCS)
dan evaluasi hemodinamik (tekanan darah sistolik dan laju pernapasan)
2. START: Simple Triage and Rapid Transport
Sistem triage START adalah system klasifikasi yang bersifat kualitatif
dengan fixed-priority method. Kategorisasi dari START didasarkan pasien
mampu berjalan, laju pernapasan, perfusi, dan tingkat status mental. START
dirancang agar tenaga medis dapat menyelesaikan assessment dalam waktu
60 detik bedasarkan kriteria medis dan kebutuhan pasien. Hasil klasifikasi
dari system START ada 4 dengan warna berbeda:
a. Minor dengan warna Hijau: pasien dapat berjalan
b. Delayed dengan warna Kuning: pasien merespon seluruh pemeriksaan
dengan baik
c. Immediate dengan warna Merah: pasien dengan kondisi yang cukup
berbahaya
d. Expectant dengan warna Hitam: pasien dengan kondiri tidak bernapas
dan apneu
3. SALT: Sort, Assess, Lifesaving Intervention, and Treatment/Transport
Sistem SALT merupakan gabungan dari proses sortis dan intervensi
dasar yang dirancang untuk dewasa dan pasien anak. Pada SALT proses
dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama pasien dibagi dalam 3 kategori:
mampu berjalan, tidak dapat berjalan namun memberikan respon, dan tidak
ada respon. Tahap kedua baru dinilai bedasarkan assessment dan pemberian
intervensi medis termasuk control pendarahan, memastikan jalan napas,
pemberian anti racun, dan perlakuan kompresi dada.
In-hospital triage adalah suatu system triage yang memiliki tujuan utama untuk
secara cepat mengidentifikasi pasien dengan keadaan yang mengancam jiwa
(life-threatening conditions), memastikan setiap pasien mendapatkan
penanganan sesuai dengan kegawat daruratan medis yang dialami, dan
mendapatkan penanganan yang tepat. Secara umum, ada 4 buah system yang
terdiri 5 tingkatan/kategori klasifikasi trauma pada triage dan diakui serta
digunakan sebagai baku standar dalam pelaksanaan in-hospital triage:

1. ATS (Australian Triage Scale)


2. CATS (Canadian Triage and Acute Scale)
3. MTS (Manchester Triage System)
4. ESI (American Emergency Severity Index)
Pada ATS (Australian Triage Scale) memiliki 5 kategori penerapan skala
prioritas dalam pelaksanaan triage di rumah sakit:
1. Kategori 1: Immediately life-threatening
Pasien yang masuk dalam kategori 1 adalah pasien yang harus ditangani
dengan segera atau dalam rentang waktu 2 menit. Contoh kasus yang masuk
ke dalam kategori 1 antara lain pasien sakit kritis, butuh perhatian segera,
pasien datang dengan ambulan, pasien dengan trauma/luka/injury serius atau
kasus henti jantung/cardiac arrest
2. Kategori 2: Imminently life-threatening
Pasien yang masuk dalam kategori 2 adalah pasien yang harus mendapatkan
penanganan medis dalam rentang waktu 10 menit. Contoh kasus dalam
kategori 2 antara lain penyakit kritis, keadaan sakit berat, pasien dengan
nyeri dada serius, kesulitan bernapas, fraktur parah.
3. Kategori 3: Potentially life-threatening or important time-critical
treatment or severe pain
Pasien dalam kategori 3 harus diberikan penanganan dalam rentang waktu 30
menit. Biasanya pasien dengan kategori 3 memiliki riwayat severe illness,
pendarahan hebat dari luka terbuka, major fractures, atau dalam keadaan
dehidrasi berat
4. Kategori 4: Potentially life-serious or situational urgency or significant
complexity
Pasien dalam kategori 4 harus diberikan penangan dalam rentang waktu 1
jam. Pasien yang dapat diklasifikasikan dalam kategori 4 adalah pasien
dengan keadaan injury/luka ringan misalkan pada area mata, sprained ankle,
migrain atau sakit pada telinga.
5. Kategori 5: Less urgent
Pasien yang termasuk dalam kategori 5 adalah pasien dengan
gejala/symptoms yang muncul lebih dari satu minggu, misalkan ada bercak-
bercak, nyeri minor, atau rasa sakit minor. Pasien yang datang dan masuk
dalam kategori 5 harus mendapatkan penanganan medis dalam rentang
waktu 2 jam.
Di Swedia, RETTS (Rapid Emergency Triage and Treatment System)
adalah system triage yang umum digunakan. Penilaian dilakukan secara
bertahap dari A hingga E yang terdiri dari:

1. A: Inspeksi
2. B: Laju pernapasan (RR) dan Pox
3. C: Denyut nadi (HR) dan tekanan sistolik (SBP)
4. D: Tingkat status mental (RLS)
5. E: Suhu (temperature)

PNEUMOTHORAKS VENTIL

Pneumothorax ventile/ Peneumothorax tension/ Pneumothorax desakan

Pneumothorax terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga dada


dan dunia luar. Hubungan mungkin melalui luka di dinding dada yang
menembus pleura parietalis atau melalui luka dijalan napas yang sampai ke
pleura viseralis.

Gejala dan tanda klinisnya adalah:

a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total
paru, mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke kontralateral,
deviasi trachea, hipotensi dan respiratory distress berat.
b. Sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, tekanan vena
jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang asimetris
Jika terjadi mekanisme katup pada luka di dinding thoraks atau luka di
pleura visceralis, timbul tension pneumothorax. Pada tension pneumotoraks
ditemukan mekanisme ventil atau udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar. Tekanan didalam rongga pleura akan semakin tinggi karena
penderita memaksakan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam, tetapi
ketika ekspirasi udara tidak dapat keluar. Inspirasi paksaan ini akan menambah
tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan
memperburuk keadaan umum karena paru sehat tertekan. Karena pembuluh
darah besar, terutama vena cava superior et inferior terdorong atau telipat
sehingga darah tidak bisa kembali ke jantung yang bisa menyebabkan kematian.
Pada tension pneumothorax traumatik dapat terjadi emfisema. Karena
tekanan tinggi di rongga pleura, udara ditekan masuk ke jaringanlunak melalui
luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah membengkak seperti pada udem hebat.
Pada perabaan terdapat krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan sub kutis
thorax

Tatalaksana Pneumothorax Ventil

Tension pneumotoraks merupakan keadaan life-threatening, maka tidak


perlu dilakukan pemeriksaan foto toraks. Penatalaksanaan tension pneumotoraks
berupa dekompresi segera dengan needle insertionpada sela iga II linea mid-
klavikula pada daerah yang terkena. Sehingga tercapai perubahan keadaan
menjadi suatu simple pneumotoraks dan dilanjutkan dengan pemasangan
Torakostomi+ WSD

Diagnosis pneumothorax ventil harus ditegakkan secara klinis tanpa perlu


melakukan foto polos thorax maupun pemeriksaan penunjang lainnya. Setelah
diagnosis tegak, penatalaksaan pneumothorax ventil harus segera dilakukan,
meliputi

1. Needle Thoracentesis
Prosedur ini sesuai untuk pasien yang kritis dengan kemunduran yang
cepat dan mengancam jiwa serta tidak memungkinkannya pemasangan cepat
tube thoracostomy. Needle thoracocentesis dilakukan mengunakan jarum
ukuran 14-16 g pada SIC 2 linea medioclavicularis/ SIC 4-5 linea axillaris
anterior. Tujuan dari tatalaksana ini adalah untuk membantu udara keluar
dari cavum pleura sehingga tekanan udara pada cavum pleura menjadi sama
dengan tekanan udara pada atmosfer. Needle thoracocentesis tidak dapat
mengembalikan tekanan negatif pada pleura, sehingga setelah keadaan
pasien lebih stabil, harus dilakukan tube thoracostomy
Tatalaksana ini sifatnya hanya untuk dekompresi, yaitu untuk membuka
jalan keluar bagi udara, sehingga membuat pneumothorax ventil menjadi
pneumothorax simple. Apabila teknik ini digunakan pada pasien yang tidak
memiliki pneumothorax ventil, maka kerusakan paru dapat terjadi, sehingga
diagnosis pneumothorax ventil harus benar-benar dipastikan.
2. Pemberian oksigen
Pemberiaan okseigen ditujukan untuk mengurangi distres pernapasan dan
hipoksia. Hindari menggunakan ventilasi tekanan positif karena dapat
memperparah pneumothorax ventil karena udara akan menambah udara yang
masuk ke cavum pleura.
3. Chest tube
Dapat dilakukan ketika pasien sudah stabil.

FRAKTURFEMUR
A. Definisi
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),
dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah
ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, dan dapat
mengakibatkan penderita jatuh dalam syok.
B. Epidemiologi
Fraktur femur biasanya disebabkan oleh trauma akibat tekanan yang
berlebihan pada tulang melebihi kapasitas tulang tersebut. Secara
epidemiologi, fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 3:1. Insiden fraktur femur di USA diperkirakan 1
orang setiap 10.000 penduduk setiap tahunnya. Berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh unit pelaksana teknis terpadu Imunoendokrinologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2006 di Indonesia
dari 1690 kasus kecelakaan lalu lintas, 249 kasus atau 14,7%-nya mengalami
fraktur femur.
C. Klasifikasi Fraktur Femur
1. Fraktur Collum Femur :
Fraktur Collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung
yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah
trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras ataupun
disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan eksorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :
a. Fraktur Intrakapsuler (Fraktur Collum femur)
b. Fraktur Extrakapsuler (Fraktur Intertrochanter femur)
2. Fraktur Subtrochanter Femur
Adalah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari
trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih
sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding dan Magliato,
yaitu:
a. Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
b. Tipe 2 : garis patah berada 1-2 inch di bawah dari batas atas
trochanter minor
c. Tipe 3 : garis patah berada 2-3 inch di distal dari batas atas
trochanter.
Fraktur ini dapat terjadi pada setiap umur dan biasanya akibat
trauma yang hebat. Gambaran klinisnya berupa anggota gerak bawah
dalam keadaan rotasi eksterna, memendek, dan ditemukan
pembengkakan pada daerah proksimal femur disertai nyeri pada
pergerakan. Pada pemeriksaan radiologis dapat meninjukkan fraktur
yang terjadi dibawah trokhanter minor. Garis fraktur bisa bersifat
transverse, oblik atau spiral, dan sering bersifat kominutif. Fragmen
proksimal dalam keadaan posisi fleksi sedangkan distal dalam keadaan
posisi abduksi dan bergeser ke proksimal. Pengobatan dengan reduksi
terbuka dan fiksasi interna dengan menggunakan plate dan screw.
Komplikasi yang sering timbul adalah nonunion dan malunion.
Komplikasi ini dapat dikoreksi dengan osteotomi atau bone grafting.
3. Fraktur Batang (midshaft) Femur
Fraktur batang femur merupakan fraktur yang sering terjadi pada
orang dewasa muda. Jika terjadi pada pasien manula, fraktur ini harus
dianggap patologik sebelum terbukti sebaliknya. Fraktur spiral biasanya
disebabkan oleh jatuh dengan mekanisme terpuntir/ twisting injury.
Fraktur transverse dan oblik biasanya akibat angulasi atau benturan
langsung, oleh karena itu sering ditemukan pada kecelakaan sepeda
motor. Pada benturan keras, fraktur mungkin bersifat kominutif atau
tulang dapat patah lebih dari satu tempat.
Femur diliputi oleh otot yang kuat dan merupakan proteksi untuk
tulang femur, tetapi juga dapat berakibat jelek karena dapat menarik
fragmen fraktur sehingga bergeser. Femur dapat pula mengalami fraktur
patologis akibat metastasis tumor ganas. Fraktur femur sering disertai
dengan perdarahan masif yang harus selalu dipikirkan sebagai penyebab
syok. Klasifikasi fraktur femur dapat bersifat tertutup atau terbuka,
simpel, komunitif, fraktur Z atau segmental.
4. Fraktur Distal Femur
Dibagi menjadi 2 :
a. Suprakondiler Femur
Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal
kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur. Fraktur
terjadi karena tekanan varus atau valgus disertai kekuatan aksial dan
putaran. Klasifikasi fraktur suprakondiler femur terbagi atas : tidak
bergeser, impaksi, bergeser, impaksi, bergeser dan komunitif.
Fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hasil ini
biasanya disebabkan karena adanya tarikan otot – otot gastrocnemius,
biasanya fraktur supracondylar ini disebabkan oleh trauma langsung
karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus
atau varus dan disertai gaya rotasi.
b. Interkondiler Femur
Fraktur intercondylar femur, adalah fraktur dimana, garis fraktur
diantara condylus medialis dan lateralis, umumnya terjadi bentuk T
fraktur atau Y fraktur.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Darah pada Kasus Trauma
Pemeriksaan darah pada kasus trauma digunakan sebelum tindakan
operatif. Pemeriksaan darah pada kasus trauma meliputi complete blood
count, elektrolit (natrium dan kalium), urea, kreatinin, dan profil koagulasi
(prothrombin time dan partial tromboplastin time)(Duggan, Tillotson dan
McCann., 2011).
1. Pemeriksaan Darah Lengkap atau Comple Blood Count.
Pemeriksaan darah lengkap terdiri atas :
a. Hemoglobin
b. Hematokrit
c. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
d. Trombosit (platelet)
e. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
f. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
g. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
h. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
i. Platelet Disribution Width (PDW)
j. Red Cell Distribution Width (RDW)

2. Pemeriksaan Serum Elektrolit


a. Natrium
Nilai normal : 135 – 144 mEq/L SI unit : 135 – 144 mmol/L
b. Kalium (K+)
Nilai normal:
(1) 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L
(2) ≥ 18 tahun : 3,6 – 4,8 mEq/L SI unit :3,6 – 4,8 mmol/L
3. Pemeriksaan Profil Koagulasi
a. Waktu protrombin (Prothrombin time/PT)
Nilai normal: 10 – 15 detik (dapat bervariasi secara bermakna antar
laboratorium)
Deskripsi: Mengukur secara langsung kelainan secara potensial
dalam sistem tromboplastin ekstrinsik (fibrinogen, protrombin,
faktor V, VII dan X).
b. aPTT (activated Partial Thromboplastin Time)
Nilai normal : 21 – 45 detik ( dapat bervariasi antar laboratorium).
Rentang terapeutik selama terapi heparin biasanya 1,5 – 2,5 kali
nilai normal (bervariasi antar laboratorium)(Herawati., 2011).
B. Pemeriksaan Radiologi pada Trauma Thoraks dan Femur
1. Pemeriksaan X-Ray Regio Thoraks
Foto X-Ray regio thoraks atau sering disebut sebagai Chest X-Ray
(CXR).Foto thoraks terdiri atas foto anteroposterior (AP) dan Lateral.
a. Syarat foto Lateral
(1) Diafragma
(2) Sternum
(3) Jantung
(4) Paru

Gambar 1. Foto Thoraks Lateral Sinister Normal.


Gambar 2. Foto
Thoraks Lateral Sinister Pneumothoraks
b. Syarat foto Anteroposterior
(1) Pulmo dekter et sinister
(2) Jantung
(3) Margin dexter et sinister
(4) Trakea
(5) Apeks Jantung
Gambar 3.Foto Thoraks Anteroposterior Normal.

Gambar 4.Foto Thoraks pada Pneumothoraks.


2. Pemeriksaan X-Ray Regio ekstermitas Bawah : Femur
Foto X-ray femur dilakukan dalam dua posisi yaitu anteroposterior dan
lateral. Pada foto lateral dan lateral setelah cedera. Foto femur
melibatkan dua sendi, yaitu sendi coxae dan sendi genu.
Gambar 5.Foto X-Ray Femur dan Artikulasio Coxae Anteroposterior normal.

Gambar 6.Foto X-Ray Femur dan Artikulasio GenuAnteroposterior normal

TATALAKSANA

1. Terapi non-operatif
a. Parenteral antibiotik
Semua pasien dengan fraktur terbuka harus menerima cefazolin atau
antibiotik gram positif yang setara (cukup untuk cedera tipe I), ditambah
dengan perlindungan dari gram negatir (untuk cedera tipe II atau III),
ditambah dengan penicillin atau clindamycin (untuk cedera yang
mungkin terinfeksi bakteri anaerob seperti nekrosis, cedera pertanian).
b. Imunisasi tetanus dan profilaksis
Imunisasi dan profilaksis terhadap tetanus perlu dipertimbangan secara
spesifik. Ada beberapa hal yang direkomendasikan mengenai vaksin
tetanus dalam kasus luka traumatis yaitu melakukan irigasi dan
debridemen yang sesuai, mendapatkan riwayat imunisasi pasien,
memberikan toksoid tetanus jika booster terakhir diberikan lebih dar 10
tahun sebelumnya atau jika riwayatnya tidak jelas atau tidak tersedia,
memberikan immunoglobulin tetanus kepada pasien dengan imunisasi
primer tidak lengkap atau untuk pasien yang sudah lebih dari 10 tahun
sejak dosis penguat terakhir mereka.
c. Protein morfogenetik tulang
2. Terapi operatif
a. Persiapan operasi
Evaluasi preoperasi harus akurat mendokumentasikan status neurologis
dan vaskularnya. Luka fraktur terbuka dapat diberi kasa steril, kasa
lembab, dan realignment anggota tubuh dapat dilakukan dengan bidadi
atau traksi semenatara.
b. Irigasi
Membersihkan luka dengan volume cairan yang besar akan
menghilangkan kontaminasi makro dan pembekuan darah yang dapat
mengaburkan pandangan dari kontaminasi lebih dalam atau jaringan
yang rusak. Setelah kontaminasi makro dihilangkan, irigasi berfungsi
untuk mengurangi kontaminasi bakteri residu dari jaringan sehat yang
tersisa. Irigasi sering dilakukan bersamaan dengan debridemen bedah.
Penggunaan sabun atau bahan aditif akan berpotensi menyebabkan
pembengkakan jaringan dan rusaknya permukaan atas jaringan. Irigasi
sangat penting dalam manajemen fraktur, namun ada beberapa perbedaan
metode dan cairan yang digunakan. Cairan yang paling sering digunakan
adalah saline normal, selanjutnya bacitracin, menambahkan larutan
deterjen atau sabun, menambahkan larutan berbasis yodium. Irigasi
tekanan rendah lebih disukai. Metode tekanan rendah harus digunakan
secara rutin, tekanan diatas 50 psi kemungkinan merusak jaringan lunak
dan tulang.
c. Debridemen
Debridemen fraktur terbuka harus dilakukan secara menyeluruh dan
sistematis untuk menghindari jaringan yang rusak atau kontaminasi. Tepi
kulit luka traumatis harus dipangkas sampai batas tepi perdarahan yang
sehat. Lemak subkutan yang lepas juga dihilangkan, bersama dengan otot
yang tidak berkontraksi. Untuk memastikan debridemen yang memadai,
luka traumatis harus diperpanjang dan kompartemen otot dibuka dan
dieksplorasi. Penghapusan jaringan yang rusak tidak terbatas pada
jaringan lunak; tulang juga harus diangkat jika bebas dari perlekatan
jaringan lunak. Fragmen artikular mayor mungkin merupakan
pengecualian dari aturan ini; mereka harus dipertahankan sedapat
mungkin untuk memungkinkan upaya fiksasi dan pemulihan stabilitas
dan gerak sendi. Secara umum, tujuannya adalah untuk menghilangkan
jaringan yang rusak yang akan berfungsi sebagai tempat berkembang
biak bagi bakteri, tanpa menciptakan trauma bedah tambahan yang luas
dengan pengupasan periosteal yang tidak perlu atau merusak flap kulit.
Dalam kasus-kasus berenergi tinggi, seringkali diperlukan untuk
melakukan beberapa debridemen sehingga dapat mengangkat jaringan
yang mungkin berevolusi setelah waktu pemeriksaan operasi awal. Pada
prinsipnya, yang terbaik adalah menghindari infeksi dengan membuang
tulang dan otot yang sudah mati dan kemudian menangani rekonstruksi
selanjutnya dengan menggunakan pencangkokan tulang dan flap jaringan
lunak dalam lingkungan aseptik. Waktu intervensi bedah menjadi
kontroversial sebagai akibat dari evaluasi ulang literatur yang menjadi
dasar dogma ortopedi - yaitu, bahwa semua fraktur terbuka harus di-
debridasi dan distabilkan secara operasional dalam waktu 6 jam setelah
cedera. Pada tahun 2006, Pollak menulis tinjauan literatur sebelumnya
dan yang lebih baru dan menyimpulkan bahwa "konsep debridement
wajib dalam 6 jam cedera minimal didukung oleh literatur." Banyak
penelitian yang telah menggunakan strategi fiksasi modern dan segera
penggunaan antibiotik belum menunjukkan perbedaan terkait waktu
dalam tingkat infeksi.Seperti ditunjukkan Pollak, uji coba acak di bidang
ini tidak layak, tetapi studi tambahan diperlukan untuk lebih menjelaskan
peran waktu intervensi bedah awal memainkan hasil penting variabel.
Schenker et al menerbitkan tinjauan sistematis dan juga menyimpulkan
bahwa "aturan 6 jam" tidak didukung dengan baik oleh literatur yang
ada. Ini didasarkan pada evaluasi dekat penulis terhadap 16 studi yang
mencakup lebih dari 3500 fraktur terbuka. Dalam praktik klinis, pasien
mungkin tertarik untuk menggunakan pendekatan yang lebih praktis dan
tidak dogmatis yaitu, bahwa fraktur terbuka harus ditangani secara
pembedahan dengan cara yang mendesak (tetapi tidak harus darurat),
menggunakan cakupan antibiotik yang tepat waktu, terampil debridemen,
dan stabilisasi kerangka.
d. Stabilisasi
Stabilisasi fraktur sangat penting untuk manajemen ekstremitas yang
terluka dan untuk manfaat keseluruhan pasien. Stabilitas yang diberikan
pada tulang membantu meminimalkan trauma yang sedang berlangsung
pada jaringan lunak dan memberikan perancah yang stabil untuk
penyembuhan jaringan. Selain itu, stabilitas tulang memungkinkan gerak
fungsional awal ekstremitas. Perawatan dan memobilisasi pasien dari
tempat tidur juga difasilitasi.
Pilihan metode fiksasi fraktur didasarkan pada banyak faktor, termasuk
kualitas jaringan lunak lokal, lokasi dan pola fraktur, kesehatan
keseluruhan pasien, dan keberadaan dan sifat cedera yang terkait.
Diskusi rinci tentang semua metode fiksasi yang mungkin untuk berbagai
fraktur terbuka berada di luar cakupan artikel ini. Secara umum, metode
fiksasi harus meminimalkan trauma bedah tambahan pada zona cedera
sambil memberikan stabilitas yang memadai untuk mobilisasi pasien dan
penyembuhan jaringan lunak.

SARAN & HAMBATAN

Dalam berdiskusi tutorial anggota kelompok kami sudah aktif menyatakan


pendapat terkait permasalahan pada skenario maupun secara umum. Selain itu, masukan
maupun pertanyaan dari tutor telah membantu untuk mentrigger wawasan tiap anggota
untuk berdiskusi dan mengingat materi yang telah dipelajari.

Tetapi meskipun sudah membahas menyeluruh satu per satu, masih ada
beberapa materi yang perlu diperdalam baik dari pemahaman hingga penyampaian ke
pada sesama anggota serta tiap anggota diskusi perlu untuk tidak ragu menyampaikan
pendapat agar diskusi tidak berhenti di tengah jalan.

Selanjutnya, kami perlu mempelajari materi diskusi lebih cermat dan dapat
menyesuaikan dengan LO yang telah disepakati dan disetujui setelah diskusi dan
membangun rasa percaya diri untuk bisa berpendapat ketika diskusi berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 2013. ATLS Student Course Manual 9th Ed.
NSW Government. 2017. Hospital triage.
https://www.health.nsw.gov.au/Hospitals/Going_To_hospital/Pages/triage.aspx.
[diakses 28 April 2019].
Lampi, M. 2017. Triage: Management of trauma patient. Linköping University Medical
Faculty. Linköping, Swedia.
Department of Health and Ageing Australian Government. 2009. Emergency triage
education kit. Canberra, Australia.
Committee on Trauma. 2012. Advanced Trauma Life Support(ATLS):Student Course
Manual. Chicago: American College of Surgeons.
Jurnal Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR. 2017. [https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://spesialis1.ika .fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/RS19_Pneumotoraks
Q.pdf&ved=2ahUKEwivx9fO9e_hAhUGbisKHRMKBaQQFjAIegQIBxAB&us
g=AOvVaw1ISyMu45GYTm8p8ZRG5Vet]. Diakses pada, 27 April 2019 pukul
16.30 WIB.
Primary Trauma Care. [https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://www.primarytraumacare.org/wp-
content/uploads/2011/09/PTC_INDO.pdf&ved=2ahUKEwik1pDg_e_hAhUD5a
wKHQwhA-
YQFjABegQIBBAB&usg=AOvVaw3kRD89qWR0DfHplswJTotu]. Diakses
pada, 27 April 2019 pukul 15.53 WIB.
Prabowo, DHS. 2016. Repository UMY. [https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/1234
56789/6415/6.%2520BAB%2520II.pdf%3Fsequence%3D6%26isAllowed
%3Dy&ved=2ahUKEwik1pDg_e_hAhUD5awKHQwhA-
YQFjAHegQIARAB&usg=AOvVaw0xSYiL0aShU5t8kuElo_q4]. Diakses
pada, 27 April 2019 pukul 15.30.
M Thomas, S. (2019). Open Fractures Treatment & Management: Approach
Considerations, Nonoperative Therapy, Surgical Therapy. [online]
Emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1269242-treatment#showall [Accessed
24 Apr. 2019].
DerSarkissian, C. 2017. Understanding Bone Fractures -- the Basics. ‘WebMD Medical
Reference’. [https://www.webmd.com/a-to-z-guides/qa/what-are-the-different-
kinds-of-fractures]. Diakses pada 21 April 2019
Khan AN.(2008). Thorax and Trauma. http://emedicine.medscape.com/article/357007-
overview. Diakses 23 April 2019.
Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension
Pneumothorax. JIACM ;9(1): 42-50

Anda mungkin juga menyukai