LAPTOR Skenario 1 B4 Sem 3
LAPTOR Skenario 1 B4 Sem 3
BLOK TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO I
Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE mendapat pasien korban
kecelakaan lalu-lintas seorang laki-laki berusia 22 tahun diantar oleh tukang becak.
Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin bertambah, dan kaki
kanan tidak dapat digerakan. Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey,
dan secondary survey.
Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Nafas cepat dan dangkal, suara
tambahan tidak didapatkan (gurgling -, snoring -). Vital sign : Nadi 110 x/menit,
tekanan darah 100/70 mmHg, suhu 37°C, RR 30x/menit.
4. Resusitas
9. Penanganan definitif
4. Jejas sel merupakan keadaan dimana sel beradaptasi secara
berlebih atau sebaliknya, sel tidak memungkinkan untuk beradaptasi
secara normal. Di bawah ini merupakan penyebab-penyebab dari jejas
sel.
Etiologi jejas:
a. Hipoksia
Daya angkut oksigen berkurang: anemia, keracunan CO
Gangguan pada sistem respirasi
Gangguan pada arteri: aterosklerosis
b. Jejas fisik
Trauma mekanis: ruptura sel, dislokasi intraseluler
Perubahan temperatur: vasodilatasi, reaksi inflamasi
Perubahan tekanan atmosfer
Radiasi
c. Jejas kimiawi
Glukosa dan garam-garam dalam larutan hipertonis yang
dapat menyebabkan gangguan homeostasis cairan dan
elektrolit
Oksigen dalam konsentrasi tinggi
Zat kimia, alkohol, dan narkotika
d. Agen biologik: virus, bakteri, fungi, dan parasite
Reaksi imunologik
a. Anafilaktik
b. Autoimun
Faktor genetik: sindroma Down, anemia sel sabit
Gangguan nutrisi: defisiensi protein, avitaminosis
Jenis-jenis jejas:
i. Jejas Reversible (oedem, cloudy swelling)
Contoh: degenerasi hidropik.
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu
adanya peningkatan kandungan air pada rongga-rongga sel selain
peningkatan kandungan air pada mitokondria dan retikulum
endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak sekali
gross (gerombolan) mole yang berisi cairan. Mekanisme yang
mendasari terjadinya generasi ini yaitu kekurangan oksigen,
karena adanya toksik, dan karena pengaruh osmotik.
ii. Jejas Irreversible.
Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apotosis
dan nekrosis. Apoptosis merupakan kematian sel yang
terprogram. Sedangkan nekrosis merupakan kematian
sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel yang
mati pada nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis
pada suatu daerah yang merupakan respons terhadap inflamasi
(Lumongga, 2008). Jadi, perbedaan apoptosis dan nekrosis
terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.
8. Indikasi torakosentesis
Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan
tindakan yang sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk
diagnosis tapi juga untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat
efusi pleura tersebut. Tetapi bagaimanapun juga, torakosintesis yang
berulang bukan pilihan yang tepat untuk penanganan efusi pleura ganas
yang progresif. Torakosintesis hanya mengurangi gejala untuk sementara
waktu dan akan membutuhkan kunjungan yang berulang ke rumah sakit
untuk melakukannya. (Yu H, 2011).
Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi
diagnostik dan terapeutik
1) Diagnostik
Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat
diambil dan diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi.
Untuk pemeriksaan laboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml.
Sebagian besar efusi pleura yang masih baru terukur lebih dari
10 mm pada foto toraks posisi lateral dekubitus, CT scan toraks,
atau USG toraks.
2) Terapeutik
Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi
gejala yang ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang
diakibatkan jumlah cairan yang besar dan membutuhkan evakuasi
segera.
Jenis trauma
Sesak napas dan
patah tulang
Triage
- Hitam
- Merah
- Kuning
-Hijau
Pemeriksaan
Pemeriksaan
penunjang
1. A: Inspeksi
2. B: Laju pernapasan (RR) dan Pox
3. C: Denyut nadi (HR) dan tekanan sistolik (SBP)
4. D: Tingkat status mental (RLS)
5. E: Suhu (temperature)
PNEUMOTHORAKS VENTIL
a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total
paru, mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke kontralateral,
deviasi trachea, hipotensi dan respiratory distress berat.
b. Sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, tekanan vena
jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang asimetris
Jika terjadi mekanisme katup pada luka di dinding thoraks atau luka di
pleura visceralis, timbul tension pneumothorax. Pada tension pneumotoraks
ditemukan mekanisme ventil atau udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar. Tekanan didalam rongga pleura akan semakin tinggi karena
penderita memaksakan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam, tetapi
ketika ekspirasi udara tidak dapat keluar. Inspirasi paksaan ini akan menambah
tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan
memperburuk keadaan umum karena paru sehat tertekan. Karena pembuluh
darah besar, terutama vena cava superior et inferior terdorong atau telipat
sehingga darah tidak bisa kembali ke jantung yang bisa menyebabkan kematian.
Pada tension pneumothorax traumatik dapat terjadi emfisema. Karena
tekanan tinggi di rongga pleura, udara ditekan masuk ke jaringanlunak melalui
luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah membengkak seperti pada udem hebat.
Pada perabaan terdapat krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan sub kutis
thorax
1. Needle Thoracentesis
Prosedur ini sesuai untuk pasien yang kritis dengan kemunduran yang
cepat dan mengancam jiwa serta tidak memungkinkannya pemasangan cepat
tube thoracostomy. Needle thoracocentesis dilakukan mengunakan jarum
ukuran 14-16 g pada SIC 2 linea medioclavicularis/ SIC 4-5 linea axillaris
anterior. Tujuan dari tatalaksana ini adalah untuk membantu udara keluar
dari cavum pleura sehingga tekanan udara pada cavum pleura menjadi sama
dengan tekanan udara pada atmosfer. Needle thoracocentesis tidak dapat
mengembalikan tekanan negatif pada pleura, sehingga setelah keadaan
pasien lebih stabil, harus dilakukan tube thoracostomy
Tatalaksana ini sifatnya hanya untuk dekompresi, yaitu untuk membuka
jalan keluar bagi udara, sehingga membuat pneumothorax ventil menjadi
pneumothorax simple. Apabila teknik ini digunakan pada pasien yang tidak
memiliki pneumothorax ventil, maka kerusakan paru dapat terjadi, sehingga
diagnosis pneumothorax ventil harus benar-benar dipastikan.
2. Pemberian oksigen
Pemberiaan okseigen ditujukan untuk mengurangi distres pernapasan dan
hipoksia. Hindari menggunakan ventilasi tekanan positif karena dapat
memperparah pneumothorax ventil karena udara akan menambah udara yang
masuk ke cavum pleura.
3. Chest tube
Dapat dilakukan ketika pasien sudah stabil.
FRAKTURFEMUR
A. Definisi
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),
dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah
ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, dan dapat
mengakibatkan penderita jatuh dalam syok.
B. Epidemiologi
Fraktur femur biasanya disebabkan oleh trauma akibat tekanan yang
berlebihan pada tulang melebihi kapasitas tulang tersebut. Secara
epidemiologi, fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 3:1. Insiden fraktur femur di USA diperkirakan 1
orang setiap 10.000 penduduk setiap tahunnya. Berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh unit pelaksana teknis terpadu Imunoendokrinologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2006 di Indonesia
dari 1690 kasus kecelakaan lalu lintas, 249 kasus atau 14,7%-nya mengalami
fraktur femur.
C. Klasifikasi Fraktur Femur
1. Fraktur Collum Femur :
Fraktur Collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung
yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah
trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras ataupun
disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan eksorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :
a. Fraktur Intrakapsuler (Fraktur Collum femur)
b. Fraktur Extrakapsuler (Fraktur Intertrochanter femur)
2. Fraktur Subtrochanter Femur
Adalah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari
trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih
sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding dan Magliato,
yaitu:
a. Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
b. Tipe 2 : garis patah berada 1-2 inch di bawah dari batas atas
trochanter minor
c. Tipe 3 : garis patah berada 2-3 inch di distal dari batas atas
trochanter.
Fraktur ini dapat terjadi pada setiap umur dan biasanya akibat
trauma yang hebat. Gambaran klinisnya berupa anggota gerak bawah
dalam keadaan rotasi eksterna, memendek, dan ditemukan
pembengkakan pada daerah proksimal femur disertai nyeri pada
pergerakan. Pada pemeriksaan radiologis dapat meninjukkan fraktur
yang terjadi dibawah trokhanter minor. Garis fraktur bisa bersifat
transverse, oblik atau spiral, dan sering bersifat kominutif. Fragmen
proksimal dalam keadaan posisi fleksi sedangkan distal dalam keadaan
posisi abduksi dan bergeser ke proksimal. Pengobatan dengan reduksi
terbuka dan fiksasi interna dengan menggunakan plate dan screw.
Komplikasi yang sering timbul adalah nonunion dan malunion.
Komplikasi ini dapat dikoreksi dengan osteotomi atau bone grafting.
3. Fraktur Batang (midshaft) Femur
Fraktur batang femur merupakan fraktur yang sering terjadi pada
orang dewasa muda. Jika terjadi pada pasien manula, fraktur ini harus
dianggap patologik sebelum terbukti sebaliknya. Fraktur spiral biasanya
disebabkan oleh jatuh dengan mekanisme terpuntir/ twisting injury.
Fraktur transverse dan oblik biasanya akibat angulasi atau benturan
langsung, oleh karena itu sering ditemukan pada kecelakaan sepeda
motor. Pada benturan keras, fraktur mungkin bersifat kominutif atau
tulang dapat patah lebih dari satu tempat.
Femur diliputi oleh otot yang kuat dan merupakan proteksi untuk
tulang femur, tetapi juga dapat berakibat jelek karena dapat menarik
fragmen fraktur sehingga bergeser. Femur dapat pula mengalami fraktur
patologis akibat metastasis tumor ganas. Fraktur femur sering disertai
dengan perdarahan masif yang harus selalu dipikirkan sebagai penyebab
syok. Klasifikasi fraktur femur dapat bersifat tertutup atau terbuka,
simpel, komunitif, fraktur Z atau segmental.
4. Fraktur Distal Femur
Dibagi menjadi 2 :
a. Suprakondiler Femur
Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal
kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur. Fraktur
terjadi karena tekanan varus atau valgus disertai kekuatan aksial dan
putaran. Klasifikasi fraktur suprakondiler femur terbagi atas : tidak
bergeser, impaksi, bergeser, impaksi, bergeser dan komunitif.
Fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hasil ini
biasanya disebabkan karena adanya tarikan otot – otot gastrocnemius,
biasanya fraktur supracondylar ini disebabkan oleh trauma langsung
karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus
atau varus dan disertai gaya rotasi.
b. Interkondiler Femur
Fraktur intercondylar femur, adalah fraktur dimana, garis fraktur
diantara condylus medialis dan lateralis, umumnya terjadi bentuk T
fraktur atau Y fraktur.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Darah pada Kasus Trauma
Pemeriksaan darah pada kasus trauma digunakan sebelum tindakan
operatif. Pemeriksaan darah pada kasus trauma meliputi complete blood
count, elektrolit (natrium dan kalium), urea, kreatinin, dan profil koagulasi
(prothrombin time dan partial tromboplastin time)(Duggan, Tillotson dan
McCann., 2011).
1. Pemeriksaan Darah Lengkap atau Comple Blood Count.
Pemeriksaan darah lengkap terdiri atas :
a. Hemoglobin
b. Hematokrit
c. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
d. Trombosit (platelet)
e. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
f. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
g. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
h. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
i. Platelet Disribution Width (PDW)
j. Red Cell Distribution Width (RDW)
TATALAKSANA
1. Terapi non-operatif
a. Parenteral antibiotik
Semua pasien dengan fraktur terbuka harus menerima cefazolin atau
antibiotik gram positif yang setara (cukup untuk cedera tipe I), ditambah
dengan perlindungan dari gram negatir (untuk cedera tipe II atau III),
ditambah dengan penicillin atau clindamycin (untuk cedera yang
mungkin terinfeksi bakteri anaerob seperti nekrosis, cedera pertanian).
b. Imunisasi tetanus dan profilaksis
Imunisasi dan profilaksis terhadap tetanus perlu dipertimbangan secara
spesifik. Ada beberapa hal yang direkomendasikan mengenai vaksin
tetanus dalam kasus luka traumatis yaitu melakukan irigasi dan
debridemen yang sesuai, mendapatkan riwayat imunisasi pasien,
memberikan toksoid tetanus jika booster terakhir diberikan lebih dar 10
tahun sebelumnya atau jika riwayatnya tidak jelas atau tidak tersedia,
memberikan immunoglobulin tetanus kepada pasien dengan imunisasi
primer tidak lengkap atau untuk pasien yang sudah lebih dari 10 tahun
sejak dosis penguat terakhir mereka.
c. Protein morfogenetik tulang
2. Terapi operatif
a. Persiapan operasi
Evaluasi preoperasi harus akurat mendokumentasikan status neurologis
dan vaskularnya. Luka fraktur terbuka dapat diberi kasa steril, kasa
lembab, dan realignment anggota tubuh dapat dilakukan dengan bidadi
atau traksi semenatara.
b. Irigasi
Membersihkan luka dengan volume cairan yang besar akan
menghilangkan kontaminasi makro dan pembekuan darah yang dapat
mengaburkan pandangan dari kontaminasi lebih dalam atau jaringan
yang rusak. Setelah kontaminasi makro dihilangkan, irigasi berfungsi
untuk mengurangi kontaminasi bakteri residu dari jaringan sehat yang
tersisa. Irigasi sering dilakukan bersamaan dengan debridemen bedah.
Penggunaan sabun atau bahan aditif akan berpotensi menyebabkan
pembengkakan jaringan dan rusaknya permukaan atas jaringan. Irigasi
sangat penting dalam manajemen fraktur, namun ada beberapa perbedaan
metode dan cairan yang digunakan. Cairan yang paling sering digunakan
adalah saline normal, selanjutnya bacitracin, menambahkan larutan
deterjen atau sabun, menambahkan larutan berbasis yodium. Irigasi
tekanan rendah lebih disukai. Metode tekanan rendah harus digunakan
secara rutin, tekanan diatas 50 psi kemungkinan merusak jaringan lunak
dan tulang.
c. Debridemen
Debridemen fraktur terbuka harus dilakukan secara menyeluruh dan
sistematis untuk menghindari jaringan yang rusak atau kontaminasi. Tepi
kulit luka traumatis harus dipangkas sampai batas tepi perdarahan yang
sehat. Lemak subkutan yang lepas juga dihilangkan, bersama dengan otot
yang tidak berkontraksi. Untuk memastikan debridemen yang memadai,
luka traumatis harus diperpanjang dan kompartemen otot dibuka dan
dieksplorasi. Penghapusan jaringan yang rusak tidak terbatas pada
jaringan lunak; tulang juga harus diangkat jika bebas dari perlekatan
jaringan lunak. Fragmen artikular mayor mungkin merupakan
pengecualian dari aturan ini; mereka harus dipertahankan sedapat
mungkin untuk memungkinkan upaya fiksasi dan pemulihan stabilitas
dan gerak sendi. Secara umum, tujuannya adalah untuk menghilangkan
jaringan yang rusak yang akan berfungsi sebagai tempat berkembang
biak bagi bakteri, tanpa menciptakan trauma bedah tambahan yang luas
dengan pengupasan periosteal yang tidak perlu atau merusak flap kulit.
Dalam kasus-kasus berenergi tinggi, seringkali diperlukan untuk
melakukan beberapa debridemen sehingga dapat mengangkat jaringan
yang mungkin berevolusi setelah waktu pemeriksaan operasi awal. Pada
prinsipnya, yang terbaik adalah menghindari infeksi dengan membuang
tulang dan otot yang sudah mati dan kemudian menangani rekonstruksi
selanjutnya dengan menggunakan pencangkokan tulang dan flap jaringan
lunak dalam lingkungan aseptik. Waktu intervensi bedah menjadi
kontroversial sebagai akibat dari evaluasi ulang literatur yang menjadi
dasar dogma ortopedi - yaitu, bahwa semua fraktur terbuka harus di-
debridasi dan distabilkan secara operasional dalam waktu 6 jam setelah
cedera. Pada tahun 2006, Pollak menulis tinjauan literatur sebelumnya
dan yang lebih baru dan menyimpulkan bahwa "konsep debridement
wajib dalam 6 jam cedera minimal didukung oleh literatur." Banyak
penelitian yang telah menggunakan strategi fiksasi modern dan segera
penggunaan antibiotik belum menunjukkan perbedaan terkait waktu
dalam tingkat infeksi.Seperti ditunjukkan Pollak, uji coba acak di bidang
ini tidak layak, tetapi studi tambahan diperlukan untuk lebih menjelaskan
peran waktu intervensi bedah awal memainkan hasil penting variabel.
Schenker et al menerbitkan tinjauan sistematis dan juga menyimpulkan
bahwa "aturan 6 jam" tidak didukung dengan baik oleh literatur yang
ada. Ini didasarkan pada evaluasi dekat penulis terhadap 16 studi yang
mencakup lebih dari 3500 fraktur terbuka. Dalam praktik klinis, pasien
mungkin tertarik untuk menggunakan pendekatan yang lebih praktis dan
tidak dogmatis yaitu, bahwa fraktur terbuka harus ditangani secara
pembedahan dengan cara yang mendesak (tetapi tidak harus darurat),
menggunakan cakupan antibiotik yang tepat waktu, terampil debridemen,
dan stabilisasi kerangka.
d. Stabilisasi
Stabilisasi fraktur sangat penting untuk manajemen ekstremitas yang
terluka dan untuk manfaat keseluruhan pasien. Stabilitas yang diberikan
pada tulang membantu meminimalkan trauma yang sedang berlangsung
pada jaringan lunak dan memberikan perancah yang stabil untuk
penyembuhan jaringan. Selain itu, stabilitas tulang memungkinkan gerak
fungsional awal ekstremitas. Perawatan dan memobilisasi pasien dari
tempat tidur juga difasilitasi.
Pilihan metode fiksasi fraktur didasarkan pada banyak faktor, termasuk
kualitas jaringan lunak lokal, lokasi dan pola fraktur, kesehatan
keseluruhan pasien, dan keberadaan dan sifat cedera yang terkait.
Diskusi rinci tentang semua metode fiksasi yang mungkin untuk berbagai
fraktur terbuka berada di luar cakupan artikel ini. Secara umum, metode
fiksasi harus meminimalkan trauma bedah tambahan pada zona cedera
sambil memberikan stabilitas yang memadai untuk mobilisasi pasien dan
penyembuhan jaringan lunak.
Tetapi meskipun sudah membahas menyeluruh satu per satu, masih ada
beberapa materi yang perlu diperdalam baik dari pemahaman hingga penyampaian ke
pada sesama anggota serta tiap anggota diskusi perlu untuk tidak ragu menyampaikan
pendapat agar diskusi tidak berhenti di tengah jalan.
Selanjutnya, kami perlu mempelajari materi diskusi lebih cermat dan dapat
menyesuaikan dengan LO yang telah disepakati dan disetujui setelah diskusi dan
membangun rasa percaya diri untuk bisa berpendapat ketika diskusi berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. 2013. ATLS Student Course Manual 9th Ed.
NSW Government. 2017. Hospital triage.
https://www.health.nsw.gov.au/Hospitals/Going_To_hospital/Pages/triage.aspx.
[diakses 28 April 2019].
Lampi, M. 2017. Triage: Management of trauma patient. Linköping University Medical
Faculty. Linköping, Swedia.
Department of Health and Ageing Australian Government. 2009. Emergency triage
education kit. Canberra, Australia.
Committee on Trauma. 2012. Advanced Trauma Life Support(ATLS):Student Course
Manual. Chicago: American College of Surgeons.
Jurnal Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR. 2017. [https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://spesialis1.ika .fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/RS19_Pneumotoraks
Q.pdf&ved=2ahUKEwivx9fO9e_hAhUGbisKHRMKBaQQFjAIegQIBxAB&us
g=AOvVaw1ISyMu45GYTm8p8ZRG5Vet]. Diakses pada, 27 April 2019 pukul
16.30 WIB.
Primary Trauma Care. [https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://www.primarytraumacare.org/wp-
content/uploads/2011/09/PTC_INDO.pdf&ved=2ahUKEwik1pDg_e_hAhUD5a
wKHQwhA-
YQFjABegQIBBAB&usg=AOvVaw3kRD89qWR0DfHplswJTotu]. Diakses
pada, 27 April 2019 pukul 15.53 WIB.
Prabowo, DHS. 2016. Repository UMY. [https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/1234
56789/6415/6.%2520BAB%2520II.pdf%3Fsequence%3D6%26isAllowed
%3Dy&ved=2ahUKEwik1pDg_e_hAhUD5awKHQwhA-
YQFjAHegQIARAB&usg=AOvVaw0xSYiL0aShU5t8kuElo_q4]. Diakses
pada, 27 April 2019 pukul 15.30.
M Thomas, S. (2019). Open Fractures Treatment & Management: Approach
Considerations, Nonoperative Therapy, Surgical Therapy. [online]
Emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1269242-treatment#showall [Accessed
24 Apr. 2019].
DerSarkissian, C. 2017. Understanding Bone Fractures -- the Basics. ‘WebMD Medical
Reference’. [https://www.webmd.com/a-to-z-guides/qa/what-are-the-different-
kinds-of-fractures]. Diakses pada 21 April 2019
Khan AN.(2008). Thorax and Trauma. http://emedicine.medscape.com/article/357007-
overview. Diakses 23 April 2019.
Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension
Pneumothorax. JIACM ;9(1): 42-50