Anda di halaman 1dari 7

A.

Teks Editorial 1
Tragedi JembatanMahakam

Jembatan Mahakam yang diresmikan tahun 2002 ambruk. Empat orang


dilaporkan tewas, sejumlah orang luka-luka, dan korban lain masih dicari.
Ambruknya jembatan gantung terpanjang di Indonesia dan disebut sebagai
Golden Gate di kalimantan itu ramai dalam percakapan di media sosial dan media
online. Selain soal investigasi penyebab ambruknya jembatan, penyelamatan
korban yang masih tenggelam harus terus dilakukan. Sejumlah orang dilaporkan
masih hilang. Langkah darurat harus segera diambil agar transportasi di kawasan
tersebut segera bisa dipulihkan.
Presiden

Susilo

Bambang

Yudhoyono

langsung

menggelar

rapat

dan

memerintahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan


Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto meninjau lokasi. Kepala Polri Jenderal
(Pol) Timur Pradopo juga mengutus Kepala Badan Reserse Kriminal Polri
Komisaris Jenderal Sutarman untuk menyelidiki runtuhnya jembatan itu. Langkah
cepat

Presiden

itu

patut

diapresiasi.

Ambruknya jembatan gantung Mahakam , yang panjangnya 710 meter, memang


patut diselidiki. Fondasi jembatan itu selesai tahun 2000 dan jembatan Mahakam
itu diresmikan tahun 2002. Artinya, jembatan itu baru berumur sepuluh tahun.
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Djoko Murjanto,
sebagaimana dikutip situs berita Kompas.com, menyebutkan, sesuai desain awal,
jembatan Mahakam didesain hingga 40 tahun, bahkan hingga 100 tahun. Ia
menduga perawatan yang abai menjadi penyebab ambruknya jembatan.
Investigasi terhadap ambruknya Mahakam harus dilakukan. Apakah ambruknya
jembatan karena ada unsur kelalaian manusia karena jembatan itu sedang
diperbaiki? Namun, apa pun, pengurangan kekuatan jembatan dari yang dirancang

untuk beroperasi 40 tahun, tetapi ambruk dalam kurun waktu sepuluh tahun, harus
menjadi titik awal penyelidikan. Penyelidikan forensik tekhnologi perlu dilakukan
untuk mengetahui penyebab ambruknya jembatan. Apakah ambruknya jembatan
itu karena pengurangan spesifikasi bangunan atau karena desain teknis atau
karena penyebab lain. Ahli fisika pernah mengutarakan bahwa pembangunan
konstruksi jembatan Mahakam tidak mempertimbangkan teori dasar perubahan
anginya.Jika problemnya karena faktor kurangnya perawatan, kita pun
mempertanyakan mengapa perawatan itu tak dilakukan sewajarnya? Padahal,
orang yang melewati jembatan itu dipungut retribusi Rp 1.000, tanpa dasar
hukum.
Kita menggarisbawahi pernyataan Djoko Murjanto soal perawatan. Bangsa ini
punya kelemahan kultural dalam hal perawatan. Kita bisa membangun apa saja,
tetapi kita lemah dalam pemeliharaan. Mahakam hanyalah salah satu dari banyak
jembatan di Indonesia. Kita tak ingin ambruknya Mahakam

itu menulari

jembatan lain. Audit harus dilakukan terhadap jembatan lain. Penyediaan


infrastruktur

yang

aman

adalah

tanggung

jawab

pemerintah.

Sumber : Kompas | Senin, 28 November 2011

B. Struktur Teks Editorial 2

Saatnya Menurunkan Harga Solar

TIDAK henti-hentinya berbagai kalangan mendesak pemerintah agar segera


menurunkan harga solar bersubsidi. Basis argumentasi mereka amat jelas, yakni
penurunan harga solar akan memberi ruang kepada sektor riil untuk sedikit
bernapas.

Desakan itu juga dilandasi kenyataan harga minyak dunia yang menjadi dasar
penaikan harga solar beberapa waktu lalu sudah turun drastis di bawah US$60 per
barel.

Harga

yang

terendah

Logika desakan agar harga solar

dalam

20

bulan

terakhir.

segera diturunkan makin menemukan

pembenaran karena banyak sektor ekonomi terkait dengan solar. Misalnya


menyangkut nelayan, angkutan umum, dan industri kecil hingga menengah.
Menurunkan harga solar bisa memberikan dampak positif yang lebih signifikan
ketimbang

hanya

menurunkan

harga

premium.

Data dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menunjukkan lebih dari
30% orang miskin di Indonesia adalah nelayan. Mereka semakin jatuh miskin
setelah pemerintah menaikkan harga solar sebanyak tiga kali dalam tiga tahun
terakhir. Padahal, sekitar 60% biaya operasional nelayan habis untuk membeli
solar.
Belum lagi banyak kapal, truk, dan angkutan umum lainnya yang mengangkut
bahan makanan dan barang-barang kebutuhan pokok yang keuntungannya
semakin tergerus karena habis untuk membeli solar. Industri kecil hingga
menengah pun banyak yang kian mati suri karena tak sanggup membeli solar di
tengah sepinya order akibat krisis keuangan global.
Maka, dalam dua pekan terakhir, gelombang PHK mulai menjadi pilihan. Di Riau,
sedikitnya 13 ribu karyawan dari berbagai sektor usaha, terutama yang
berorientasi ekspor, sudah terkena PHK.
Sebuah perusahaan tekstil di Boyolali, Jawa Tengah, juga melakukan PHK
terhadap 600 karyawannya terhitung 10 November. Sebelumnya, Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Tengah mencatat sebanyak 2.591
karyawan telah dirumahkan sejumlah perusahaan perkayuan dan perkebunan.
Jumlah karyawan yang bakal dipecat terus bertambah karena saat ini sudah ada
enam perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, perkayuan, dan garmen
mengusulkan untuk merumahkan 7.600 karyawan.

Semua itu terimbas oleh ambruknya raksasa finansial di Amerika Serikat dan
Eropa. Dua wilayah yang menjadi tujuan utama ekspor dan impor kita.
Untuk melindungi perekonomian kita dari dampak krisis finansial global yang
lebih parah, pemerintah harus segera mengambil langkah cepat untuk
melonggarkan sektor riil dari belitan krisis. Yaitu segera turunkan harga solar,
tidak usah menunggu awal Desember.
Keengganan menurunkan harga solar dengan dalih biaya produksi solar masih
tinggi, jatah subsidi sudah habis, dan hasil windfall profit dipakai untuk keperluan
lain merupakan alasan yang terlalu kalkulatif dan bernuansa jangka pendek. Yakni
agar APBN bisa aman hingga akhir tahun.
Mengamankan anggaran hingga akhir tahun memang perlu. Akan tetapi,
mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan perekonomian nasional jauh
lebih penting. Lagi pula, pemerintah masih memiliki bantalan cadangan fiskal
sebesar lebih dari Rp8 triliun, yang kalau dipakai semua bisa menambal
kebutuhan

dana

tambahan

akibat

penurunan

harga

solar.

Persoalannya kini tinggal keberanian untuk memutuskan. Bukannya terus


menghitung dan mengkaji sehingga rakyat yang susah bernapas bisa-bisa malah
berhenti bernapas.
Sumber : Liputan6.com

Membandingkan Teks Editorial 1 dan 2 :


A. Isi :
Pada teks editorial 1 berisi tentang ambruknya jembatan terpanjang di
Indonesia, jembatan gantung Mahakam yang menyebabkan adanya korban
tewas,luka-luka dan hilang. Teks tersebut berisi kritikan terhadap kinerja
pemerintah yang berwenang dalam membangun jembatan yang harusnya dapat
bertahan 40 tahun bahkan hingga 100 tahun dan juga dalam merawat jembatan

tersebut padahal setiap orang yang melewati jembatan itu dipungut retribusi Rp
1.000, tanpa dasar hukum. Selain kritikan, teks tersebut berisi harapan agar
pemerintah segera mengambil langkah cepat dalam menangani korban hilang serta
segera melakukan audit tentang ambruknya jembatan tersebut. Sehingga,
peristiwa ambruknya jembatan Mahakam menulari jembatan lain di Indonesia.
Pada teks editorial 2 berisi tentang bidang ekonomi yang merupakan desakan
dari masyarakat untuk pemerintah agar segera menurunkan harga solar mengingat
banyaknya pihak yang dirugikan dengan adanya kenaikan harga solar tersebut.
Diantaranya menyangkut nelayan, angkutan umum, dan industri kecil hingga
menengah. Kenaikan harga solar juga berdampak langsung pada karyawan yaitu
salah satu contohnya di Riau, sedikitnya 13 ribu karyawan dari berbagai sektor
usaha, terutama yang berorientasi ekspor, sudah terkena PHK. Oleh sebab itu
masyarakat mendesak agar menurunkan harga solar.
B. Bahasa :
Pada teks editorial 1 rangkaian peristiwa sudah dijelaskan secara beurutan.
Tetapi, bahasa yang digunakan tidak semuanya dapat dimengerti oleh seluruh
kalangan masyarakat karena penggunaan diksi yang tidak dapat dimengerti
oleh seluruh kalangan masyarakat seperti kata problem,golden gate.
Sedangkan, pada teks editorial 2 rangkaian peristiwa juga dijelaskan secara
beurutan. Tetapi, bahasa yang digunakan tidak semuanya dapat dimengerti
oleh seluruh kalangan masyarakat karena penggunaan diksi banyak
menggunakan

istilah

dalam

ekonomi,

seperti

kata

windfall

profit,

ekspor,impor,PHK, cadangan fiskal,APBN,sektor rill.


C. Menganalisis
a) Bahasa ( ejaan,diksi,kalimat)
Ejaan.
Teks editorial 1 :
Ejaan pada teks editorial 1 masih ada yang kurang tepat seperti
pada paragraf pertama pada kata kalimantan, huruf k pada kata
tersebut menggunakan huruf kecil. Terdapat kata yang tidak baku
seperti kata tekhnologi pada paragraf keempat seharusnya
teknologi.

Teks editorial 2 :
Ejaan pada tekseditorial 2 masih menggunakan kata dalam bahasa
inggris seperti, windfall profit. Kata tidak pada paragraf pertama

semuanya menggunakan huruf capital seharusnya Tidak.


Diksi.
Teks editorial 1 :
Pemilihan kata sudah bagus, dapat dimengerti oleh seluruh lapisan
masyarakat dan mampu menarik pembaca untuk membaca teks
tersebut.
Teks editorial 2 :
Pemilihan kata sudah bagus tetapi ada beberapa kata yang tidak
dimudah dimengerti oleh seluruh kalangan masyarakat seperti,
windfall profit, ekspor,impor,PHK, cadangan fiskal,APBN,sektor

rill.
Kalimat
Teks editorial 1 :
Kalimatnya sudah menggunakan kalimat yang efektif, jelas dan
mudah dimengerti.
Teks editorial 2 :
Kalimatnya cukup bagus. Tetapi, karena pada teks tersebut terdapat
kata yang sulit dimengerti oleh semua kalangan serta kata yang

menggunakan bahasa inggris.


b) Isi (logis, tidak logis).
Teks editorial 1
Pada paragraf kelima, terdapat kalimat yang tidak logis yaitu pada
kata menggarisbawahi pada kalimat Kita menggarisbawahi
pernyataan Djoko Murjanto soal perawatan. Tetapi, secara
keseluruhan isi teks tersebut sudah logis karena disertai dengan
fakta-fakta yang ada dan isi berita dalam teks tersebut diisesuaikan

dengan fakta serta tidak dilebih-lebihkan.


Teks editorial 2
Teks tersebut sudah logis karena dampak dari kenaikan harga solar
pada kenyataannya juga sebagaimana dalam teks tersebut. Kalimat
dalam teks tersebut juga sudah bagus.

XII MIA 2/10

Anda mungkin juga menyukai