Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Issue Etik dalam Bidang Engineering

Oleh:

Jibril Maulana
S2 Teknik Mesin
210516874801

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
MALANG
2021
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Etika adalah studi karakteristik moral. Etika juga berhubungan dengan pilihan moral yang
dibuat oleh tiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Kasus etika bisa saja lebih jauh
lagi melampaui isu keselamatan publik dan mungkin melibatkan penyuapan, kecurangan,
perlindungan lingkungan, keadilan, kejujuran dalam riset dan pengujian, dan konflik
kepentingan. Sebagai engineer, kita mempunyai perhatian pada etika karena defenisi ini
diterapkan pada semua pilihan yang diambil oleh seseorang dalam hidupnya, termasuk pilihan-
pilihan yang diambil ketika mempraktekkan engineering.

Etika engineering adalah aturan dan standar yang mengatur arah para engineer dalam peran
mereka sebagai professional. Etika engineering memasukkan defenisi etika yang lebih umum,
tetapi menerapkan defenisi itu secara lebih spesifik ke berbagai situasi yang melibatkan
engineer dalam kehidupan professional mereka. Jadi, etika engineering adalah sebuah bentuk
filosofi yang mengindikasikan cara bagi para engineer untuk mengarahkan diri mereka dalam
kapasitas professional mereka.

Beberapa kasus terkenal yang mendapat perhatian besar dari media dalam beberapa
tahun terakhir ini menyebabkan para engineer meningkatkan kepekaan mereka terhadap
tanggung jawab profesionalnya. Kasus-kasus ini membangkitkan kesadaran akan arti penting
etika dalam profesi engineer ketika para engineer menyadari bahwa pekerjaan teknis mereka
mempunyai dampak yang sangat luas bagi masyarakat. Pekerjaan engineer dapat mempengaruhi
kesehatan dan keselamatan publik, dan di samping itu dapat pula mempengaruhi praktek bisnis
maupun politik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dirumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Apa saja contoh kasus dalam etika engineering?
2. Bagaimana etika engineering dalam kasus tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan dicapai yaitu sebagai berikut:
1. untuk mengetahui contoh kasus dalam etika engineering
2. untuk mengetahui sudaut pandang etika engineering pada contoh kasus
BAB II
Pembahasan
2.1 Contoh Kasus : Lumpur Lapindo

Dalam kasus lumpur lapindo ini sejatinya telah terjadi korban dan tidak ada satu pihakpun
yang menolak itu. Kasus lumpur lapindo adalah bencana nasional bahkan mungkin internasional.
Kasus ini telah menggangu perekonomian negara ini. Banyak kerugian yang didapat baik dari
masyarakat maupun pemerintah. Tidak heran kasus ini mendapat perhatian dunia.

Minyak dan gas bumi memang sangat penting bagi kehidupan, baik dari segi
perekonomian, kebudayaan, hingga politik internasional. Jika tidak ditangani dengan baik,
pemasok devisa terbesar ini akan sangat berpotensi membawa kerugian bagi tatanan
kemanusiaan. Seperti kasus lumpur Lapindo yang terjadi di Porong, Sidoarjo ini. Kerusakan
lingkungan merupakan bagian dari social cost yang terjadi akibat eksplorasi dan eksploitasi di
Porong, akan menjadi tanggungan seluruh bangsa dalam jangka panjang.

Berbagai spekulasi muncul menyatakan teori tentang asal muasal lumpur ini
diantaranya :

a) Menurut lapindo-brantas.co.id, pasca penyidikan, para peneliti menyimpulkan bahwa tidak


ada hubungan antara kegiatan pengeboran dan semburan lumpur dan bahwa kegiatan pengeboran
telah dilakukan sesuai dengan peraturan pemerintah dan prosedur operasional yang telah
disepakati oleh rekan perusahaan. Para ahli geologi Lapindo Brantas Inc. meyakini bahwa
semburan lumpur tersebut memiliki kaitan dengan kegiatan seismik akibat gempa yang terjadi
dua hari sebelumnya, yang juga berkaitan dengan aktifnya kembali Gunung Semeru yang
terletak 300 km dari episentrum gempa bumi di Yogyakarta.
b) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigasi lapangan menggunakan
para ahli dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan kronologi sebagai
berikut: Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai kedalaman 9.297 kaki. Pada
kedalaman tersebut terjadi total loss circulation (hilangnya lumpur pemboran) dan kemudian
LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici Citra Nusa, pen) mencabut pipa bor. Pada saat mencabut
pipa bor, terjadi kick dan pipa terjepit (stuckpipe) pada kedalaman 4.241 kaki. Pipa tidak dapat
digerakkan ke atas dan ke bawah maupun berputar/berotasi.

Hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan oleh Rudi Rubiandini, ahli geologi dan
pemboran perminyakan dari ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi
Independen Semburan Lumpur Sidoarjo. Menurutnya, penyebab utama semburan lumpur ini ada
dua secara teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan tekanan dari bawah yang tidak
terkontrol. Kedua, tidak terpasangnya casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200, karena kedua
penyebab ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi semburan.

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan
membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan
zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi
Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.
2.2 Kaitan Etika Engineering dalam Kasus Lumpur Lapindo

Gambar 1. Persebaran Lapindo

Pendapat tentang gempa sebagai penyebab lumpur lapindo telah ditolak oleh para ahli
dalam konferensi di cape town, Afrika Selatan yang dilaksanakan oleh 90 orang ahli geologi
dunia. 42 ahli geologi menyimpulkan PT Lapindo Brantas melakukan kesalahan prosedur
pengeboran sehingga mengakibatkan munculnya lumpur ke permukaan. Sedangkan faktor
gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum munculnya semburan lumpur hanya
didukung oleh tiga geolog. Ahli lain tidak berpendapat atau menyebut semburan lumpur
dipicu dua faktor, yakni kesalahan pengeboran dan gempa bumi. Adanya teori gempa
sepertinya hanya alasan yang dijadikan lapindo brantas atau tepatnya para engineer di lapindo
untuk menutupi kesalahan yang telah mereka buat. Isu itu digembar-gemborkan agar mereka
tidak terkena dampak hukum maupun sosial dari masyarakat.
Gambar 2. Luapan Lumpur Lapindo

Usaha ini membuahkan hasil tidak ada satupun yang dinyatakan bersalah. Hal ini
memperlihatkan kurang tegasnya penerapan etika engineering dan hukum di negara kita.
Walaupun sudah terlihat jelas bahwa penyebabnya adalah pengeboran oleh lumpur lapindo
dan bukan karena faktor alam. Disini terlihat bagaimana pemerintah masih patuh dan tunduk
terhadap ekonomi yang berkuasa. Kasus ini ditutup dengan faktor alam sebagai kambing
hitamnya.
Etika engineering yang masih dipandang sebelah mata di negara kita mungkin berperan
besar dalam menyumbang tragedi ini. Faktor terlambatnya dipasang casing pada kedalaman
3580 sampai 9200 meter menyebabkan terjadinya keretakan kemudian menghasilkan semburan.
Peran seorang rekayasawan sangat terlihat disini, bagaimana pengambilan keputusan
seorang rekayasawan dapat menentukan berapa keuntungan dan kerugian yang akan negara
dan masyarakat dapat.

Namun sayangnya di kasus ini yang kita dapat adalah sebuah kerugian sangat besar baik
materi maupun moril. Banyak warga yang kehilangan rumah, infrastruktur milik pemerintah
yang rusak dan lain sebagainya. Kesalahan dalam pengambilan keputusan aktivitas pengeboran,
teknik apa yang digunakan, serta lokasi pengeboran yang dilakukan oleh manusia telah
mengakibatkan kegagalan pengoperasian sistem teknologi. Seperti yang dipaparkan James
Chiles dalam Inviting Disaster: Lessons from the Edge of Technology (2002) banyak kasus
kegagalan teknologi yang tidak hanya merugikan secara ekonomis tetapi juga menelan ribuan
nyawa. Tidak jarang bencana teknologi terjadi hanya karena satu kesalahan kecil yang tadinya
dianggap remeh. Kasus Three Miles Island di Pennsylvania, Union Carbide di Bhopal, dan
kebocoran nuklir di Chernobyl adalah contoh-contoh mengerikan bagaimana teknologi mampu
menjadi mesin pembunuh massal. Bencana lumpur Lapindo memiliki karakter yang sama karena
berawal dari keputusan teknis yang sepele namun ceroboh.

Dalam perkembangannya, dari masa ke masa, IPA tidak dapat dipisahkan dengari
teknologi, sehinggga orang cenderung untuk menyebut istilah "ilmu Pengetahuan Teknologi"
yang disingkat dalam akronim IPTEK. Pada awal perjakanan perkembangan IPA, seperti halnya
pengetahuan yang dilahirkan dari peradaban manusia, penemuan-penemuan dan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak menimbulkan persoalan yang menyangkut
kemanusiaan. Namun pada perkembangan IPTEK pada dewasa ini telah timbul persoalan-
persoatan itu, karena perkembangannya yang amat pesat ternyata telah menimbulkan dampak,
sebagaimana yang disebut Jacob, sebagai åntimanusia atau mengganggu keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta lingkungannya.
Jacob lebih lanjut menyatakan bahwa dampak tersebut disebabkan oleh perkembangan
yang makin kompleks dalam segala bidang kehidupan masyarakat, yang menyangkut perkara-
perkara (Jacob, 1988:
1. Birokrasi dan teknokrasi. Pengelolaan teknologi yang berkembang amat pesat membutuhkan
birokrasi yang besar dan makin terpusat. Spesialisasi dan fragmentasi ilmu pengetahuan
menyebabkan tidak semua orang tahu secara mendalam tentang suatu masalah, sehingga ada
suatu masalah, sehingga ada ketergantungan antara teknokrat (ahli IPTEK) dengan para
pengambil keputusan (birokrat). Para teknokrat memberi petunjuk kepada para birokrat,
selanjutnyalah birokratlah yang harus mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil.
Namun ada kalanya keputusan yang telah diambil tidak selamanya benar, karena sebetulnya
mereka tidak menguasai persoalannya secara keseluruhan.
2. Eksploitasi alam memuncak. Karena bidang-bidang kegiatan manusia modern menunjukkan
kecenderungan makin beragam dan meningkat, kebutuhan akan sumber daya alam makin
meningkat pula. Peralatan untuk eksploitasi dan pengolahan hasil makin berkembang, sehingga
dunia mesin telah menggantikan tenaga manusia dalam ruang, pekerjaan, dan hiburan. la
menuntut pula cara kerja yang berbeda dari pada van a sesuai dengan manacau.
3. Militerisasi kehidupan. Bagian terbesar dari anggaran ilmu pengetahuan jatuh ke sektor militer.
Setengah dari ahli ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia bekerja dalam bidang militer,
sehingga menurut cara kerja yang sesuai militer.
4. Eksperimentasi. Metode eksperimen telah membawa ilmu pengetahuan berkembang dengan
kecepatan yang seolah sebagai lompatan. Maka untuk pemngembangan lebih lanjut memaksa
ilmu pengetahuan untuk membuka jalur-jalur baru, misal hewan pereobaan, embrio, janin, bayi,
narapidana, tawanan, penduduk asing, pulau atau daerah terpencil, angkasa dan antariksa.
5. Emansipasi dari ruang dan waktu.. IPTEK telah membawa manusia berhasil membebaskan
dirinyä dari ruang, tetapi belum berhasil membebaskan dirinya dari waktu. Bukanlah manusia
telah berpindahpindah tempat sejak lahir sampai mati, namun keadaan siang-malam masih
merupakan irama biologiknya?
6. Komersialisasi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa aspek komersial telah merasuk ke dalam
empat darma IPTEK, yakni penelitian, pengajaran, penerapan, dan pengawetan (konservasi).
Komersialisasi menyebabkan berbagai hak bersinggung pada berbagai peringkat. Yang paling
besar ialah perbedaan kaya-miskin, sehingga informasi ilmiah yang diterima Oleh masyarakat
semakin tidak merata. Bakat dan kepribadian manusia harus disesuaikan dengan pasar dan harga.
Dari keenam perkara tersebut, untuk membatasi pengaruh buruk IPTEK dan perkembangan
diperlukan etika ilmiah, meliputi etika ilmiah yang umum meliputi, seluruh ilmu pengetahuan,
ydng murni serta terpakai, serta etika yang khusus untuk suatu spesialisasi dan profesi. Keduanya
berlaku bagi individu, perhimpunan profesi, jabatan, dam lembaga ilmiah.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dewasa ini sains dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan
kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk eksistensinya sendiri. Dan hal
ini kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti
kemanusiaannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu sudah berada diambang kemajuan yang
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja
menimbulkan gejala dehumani-sasi namun bahkan mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri
atau dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk mencapai tujuan hidupnya melainkan juga
menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Etika engineering adalah sebuah bentuk filosofi yang
mengindikasikan cara bagi para engineer untuk mengarahkan diri mereka dalam kapasitas
professional mereka. Kasus-kasus pelanggaran etika engineering saat ini membangkitkan
kesadaran akan arti penting etika dalam profesi engineer ketika para engineer menyadari
bahwa pekerjaan teknis mereka mempunyai dampak yang sangat luas bagi masyarakat.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya contoh kasus yang terjadi pada lapindo, mahasiswa dapat
berpedoman pada etika engineerin, serta mahasiswa dapat melaksanakan etika engineering
dengan baik. Sehingga kedepannya tidak ada penyelewengan yang sama.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Akbar Azhar. 2007. Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo. Yogyakarta :
Daldjoeni, N. dan A. Suyitno 1979. Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan. Alumni,
Bandung.

Fledderman, Charles B. 2006. Etika Enjiniring Edisi 2. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Hassan, F. 1985. Manusia dan Citranya. Express, Surabaya

Haynes, R. 1982. Environmental Science Methods. Chapmann and Hall, London.

Huijbers, T. 1986. Manusia Merenungkan Dunianya. Kanisius, Yogyakarta.

Mar 'at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan, serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia. , Jakarta.

Miller, G. T, Jr. 1982. Living in The Environment. Wardswarth Publishing Company, Belmont,
California.
Mitchell, J. G. and C.L. Stallings (ed). Ecotactics : The Sierra Club Handbookfor Environment
Activist. Pockets Books, New York.
Penerbit Galangpress.

Salim, E. 1988. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3Es, Jakarta.

Soerjani, M. dan B. Samad. 1985. Overview Lingkungan Hidup", Makalah Ringkas untuk Acara
Pertemuan Persiapan Pengembangan Keserasian Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Vos, de H. (Alih Bahasa: Soejono Soemargo). 1987. Pengantar Erika. PT. Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Wright, Paul H. 2005. Pengantar Engineering Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai