Anda di halaman 1dari 3

Artikel Opini

"Ironi Kebijakan RUU Cipta Kerja dari sudut pandang Ekologis"

Oleh : Amartia Eksa Irtanti dan Winda Gusmawarni


(Mahasiswa Biologi, FMIPA, Universitas Andalas)

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Senin, 2 November 2020. Presiden Joko Widodo
telah menandatangani UU Cipta Kerja di Laman Kementerian Sekretariat Negara
Republik indonesia yang telah meng-upload draft omnibus law versi 1.187 halaman.
Dalam versi ini, ada beberapa hal yang memiliki hubungan dengan ekologi terutama
pada hutan dan lingkungan. Batas minimal 30% hutan di suatu pulau ataupun daerah
aliran sungai di pasal 18 UU Kehutanan tetap dihapuskan. Dengan hal ini kehutanan
dan lingkungan mendapatkan tantangan yang sangat berisiko bahkan berat di tengah
isu pemanasan global dan masalah iklim yang cukup tidak stabil.

Namun, walaupun demikian terjadi banyaknya keraguan yang terdapat atas adanya
kekeliruan yang terjadi setelah UU Cipta Kerja disahkan. UU Cipta Kerja ini menjadi
sebuah sejarah baru dalam regulasi di Indonesia. Alih-alih banyak yang beranggapan
dengan disahkan omnibus law UU Cipta Kerja ini pastinya bertujuan untuk
mendorong kuat aspek ekonomi dan membuka lapangan kerja baru, dan apakah itu
benar? Ya, bisa saja itu benar.

Terlihat jelas pada masa sekarang ini kian rentannya kondisi lingkungan saat ini dan
tidak didukungnya tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang kian
semakin melemah. Dimana, terdapat enam perubahan pasal dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
berpotensi melemahkan usaha-usaha perlindungan lingkungan. Omnibus law kalau
dilihat-lihat lebih condong mengarah kepada pemberian suatu izin untuk sebuah
investasi yang akan datang.

Nah, mungkin saja salah satu contoh kegiatan yang meresahkan banyak masyarakat
terkait pengesahan UU Cipta Kerja ialah adanya persetujuan Presiden Joko Widodo
yang berencana untuk mengubah zona konservasi di Taman Nasional Komodo
menjadi destinasi wisata premium ala Jurassic Park yang mengancam habitat satwa
liar yang dilindungi yaitu komodo. Hal ini seolah-olah memperlihatkan bahwa
memang benar Omnimbus Law lebih condong untuk mendorong kuat dari aspek
ekonomi saja.

Dimana pada bulan Oktober lalu, tagar save komodo sempat bergema di media sosial
seluruh Indonesia. Seperti contohnya media twitter yang pada akhir bulan oktober
tersebut warganet sangat ramai membincangkan tentang komodo sehingga menjadi
trendinglah tagar save komodo. Tagar tersebut, bahkan masuk ke dalam jajaran
trending topic twitter di Indonesia. Hal ini, bukan hanya sekedar viral tanpa alasan.
Tagar tersebut dapat trending dikarenakan banyaknya masyarakat Indonesia yang tak
setuju dengan adanya pembangunan di pulau yang menjadi rumah atau habitat asli
para hewan liar yang dilindungi yakni salah satunya komodo. Warganet pun
menganggap, zona konservasi yang akan diubah konsep menjadi Jurassic Park
membuat komodo kehilangan “rumah” dan eksotisme pulau tersebut akan pudar.

Nah, Dari segi sudut pandang ekologis, bukan hanya perencanaan perubahan zona
konservasi “Taman Nasional Komodo” saja yang tuai pro dan kontrak yang memiliki
keterkaitannya dengan dampak dari disahkannya UU Cipta Kerja. Nah, bagaimana
dampak lain dari lingkungan didalam UU Cipta Kerja, Apakah semakin membaik atau
malah semakin memburuk ?
Selain kasus zona konservasi di atas, hal lain yang banyak menimbulkan pro dan
kontra adalah soal hilangnya “kesaktian” Amdal karena UU Cipta Kerja. Sejumlah
pihak menilai Amdal diperlemah, terutama dalam pengawasan lingkungan. Beberapa
hal yang membuat resah masyarakat terkait Amdal ini adalah diubahnya ketentuan
yang menjelaskan peran pemerhati lingkungan dalam penyusunan dokumen Amdal.
Dalam Pasal 26 Ayat (3) UU PPLH diatur, "dokumen Amdal disusun oleh masyarakat
yang terdampak langsung, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal".
Sementara, pada UU Cipta Kerja tertulis perubahan dalam Pasal 26 Ayat (2) PPLH
menjadi: "penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat
yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan". Selain itu,
UU Cipta Kerja juga menghapus keberadaan Komisi Penilai Amdal. Semula, komisi
ini diatur dalam Pasal 29, 30 dan 31 UU Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 29 UU
Lingkungan Hidup disebutkan, Komisi Penilai Amdal dibentuk oleh menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota dan bertugas melalukan penilaian dokumen amdal.
Sebagai gantinya, Pasal 24 UU Cipta Kerja membentuk Lembaga Uji Kelayakan
Pemerintah Pusat yang bertugas menguji kelayakan lingkungan hidup. Tim lembaga
tersebut terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan,
penghapusan Komisi Penilai Amdal dilakukan karena dokumen Amdal yang
dianalisis mencapai 1.500 izin. Hal ini dianggap memperlambat proses analisis
Amdal. Dampak dari hilangnya Komisi Penilai Amdal ini adalah adanya potensi
menjauhkan akses informasi bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah
dalam menyusun Amdal. Terutama di daerah yang sulit terjangkau dan/atau tidak
ramah dengan akses teknologi informasi. Kemudian, beban kerja pemerintah pusat
akan lebih melampaui kemampuan yang akan menyebabkan laju kerusakan
lingkungan hidup meningkat. Selain itu, masyarakat juga tidak dapat mengajukan
keberatan terhadap dokumen Amdal dalam aturan baru ini. Pelemahan aturan
lingkungan hidup ini, menurut Greenpeace, seharusnya tidak dilegalkan secara
hukum. Pemerintah harusnya merevisi undang-undang yang memiliki urgensi sangat
penting. Jangan sampai aturan baru justru tidak menyelesaikan masalah di lapangan. 

Oleh karena itu, diperlukan sikap yang lebih bijaksana dari pihak pemerintah dan juga
masyarakat terkait masalah kebijakan RUU Cipta Kerja dari berbagai aspek. Baik dari
segi sudut pandang ekologis maupun sudut pandang lainnya. Dengan harapan dapat
berjalan sebagaimana yang telah dijanjikan, sehingga dapat terjaga kelestariannya
baik dari segi zona konservasi maupun kondisi lingkungan lainnya terutama dari
sumber daya alam yang ada di hutan yang wajib dilestarikan agar dapat mewariskan
sumber daya alam bagi anak cucu bangsa di generasi yang akan datang.
- Selesai -

Anda mungkin juga menyukai