Anda di halaman 1dari 5

“Rinitis Alergi”

RIZALDI LABELO
105421106517
Pendahuluan

Alergi adalah reaksi hipersensivitas yang di perantarai oleh mekanisme imunologi .


pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler
tergantung pada aktivitas sel B dan sel T . Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensivitas .

Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi . Yang termasuk sel
mediator adalah sel mast , basofil , dan trombosit . Sel mast dan basofil mengandung
mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensivitas tipe cepat .

Hipersensivitas tipe cepat adalah reaksi yang diperantarai antibodi IgE dan sel mast ,
terhadap antigen tertentu yang menyebabkan kebocoran vaskuler cepat dan sekresi
muskosa , sering di ikuti oleh ingflamasi .

Penyakit Hipersensivitas cepat diawali dengan pengenalan alergen yang merangsang


sel th2 dan sel Tfh penghasil IL4/IL13 dan produksi imunoglobulin E (IgE) . IgE terikat pada
reseptor Fc sel mast , dan paparan berikutrnya terhadap paparan berikutnya terhadap
alergen akan mengaktifkan sel mast mensekresi mediator yang bertanggung jawab pada
reaksi patologis hipersensivitas segera [1]

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut .

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin , rinore , rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE .

Patofisiologi Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
provokasi / reaksi alergi . Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam .

Pada kontak pertama dengan alergen atau sensitasi , makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji ( Antigen Presenting Cell /APC ) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung . Setelah diproses , antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Coplex) yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper . Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2 . Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL3 , IL4 , IL 5dan Il 13 . IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit b menjadi aktif dan akan memproduksi IgE . IgE disirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
( sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif . Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi bila mukosa yang sudah tersensitasi tertapar
dengan alergen yang sama , maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi ( pecahnya dinding sel ) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk ( Preformed Mediator ) terutama Histamin . Selain
histamin juga dikeluarkan newlyformed mediator antara lain prostaglandin D2
(PGD2,Leukotrin,) leukotrin C4 . bradikinin , platelet aktifating factor (PAF) dan berbagai
sitokin . (IL3 ,IL4 , IL5 , IL6 , GM-CSF granulocyte makrofage colony stimulating factor ) inilah
yang di sebut sebagai reaksi alergi fase cepat .

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore . Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatsi sinusoit .
Selain histamin merangsang ujung saraf medianus , juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran interseluler adesi molekul 1 (ICAM1)

Pada RAVC , sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target . Respons ini tidak
berhenti sampai di sini saja , tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan pada RAFL ini di tandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil , limfosit , neutrofil , basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin IL3 , IL4 , IL5 dan granulosite makrofage colony stimulating factor (GM-
CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung . Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofill dengan mediator inflamasi dari granulasnya seperti
eosinofil cationic protein (ECP) , eosinofil derived protein (EDP) major basic protein (MBP)
dan eosinofil peroxidase (EPO) . Pada fase ini , selain faktor spesifik (alergen) , iritasi oleh
faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok , bau yang merangsang ,
perubahan cuaca dan kelembapan udara tinggi . [2]

Dengan masuknya antigen ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari :

A. Respons primer
B. Respons sekunder
C. Respons tertier

Diagnosis

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
a) In vitro
b) In vivo

Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebab (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 , yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target , dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering di pakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi . Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral .
3. Operatif
Tindakan konkotami parsial (pengobatan sebagian konka inferior) , konkoplasti atau
multiple outfractured , inferior turbinoplasty perlu di pikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat .
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan . Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgE . Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual .

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1) Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan , bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung .
2) Otitis media efusi yang sering residif terutama pada anak-anak .
3) Sinusitis paranasal. [2]
DAFTAR PUSTAKA

1) K.Abbas A , H.Lictman A , Pillai S. Buku Imunologi Dasar Abbas


.Elsevier.2016,Edisi 5
2) Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorokan. Ed. 6. Fakultas kedokteran indonesia; 2007, 08:
jakarta. p 128-32.

Anda mungkin juga menyukai