Anda di halaman 1dari 41

CHRONIC DISEASE

1. Imam adrian rakhman c011191014


2. Andi Fitri Atiqah R.M. C011191036
3. Rante kada, sindi wati c011191248
4. Annisa Fitriah C011191212
5. Asty Suci Ramadani C011191094
6. William Wirijanto C011191172
7. Raihan Ahmad Biruni. S C011191132
8. Irfan Ardiansyah C011191154
9. St. Faradillah C011191194
10. Raimond Loa C011191230

1
SISTEM PERNAFASAN
Pendahulan Patogenesis Etiologi Gambaran Klinis Penatalaksaan Pencegahan
Tuberkulosis adalah penyakit yang Agens infeksius utama, mycobakterium  Pada awalnya penderita hanya merasakan tidak sehat Terdapat beberapa cara untuk mencegah
TBC dikendalikan oleh respons imunitas diperantarai
sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit.
tuberkulosis adalah batang aerobik tahan asam
yang tumbuh dengan lambat dan sensitif
atau batuk terus menerus dan berdahak selama 3
minggu atau lebih
tuberkulosis :
- Sinar ultraviolet pembasmi bakteri,
Tuberkulosis adalah suatu infeksi
Respons ini merupakan raksi hipersensitivitas terhadap panas dan sinar ultra violet, dengan  Jumlah dahak biasanya akan bertambah banyak sinar ini bisa membunuh bakteri yang
menular dan menahun dan bisa
tipe IV. ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3 – sejalan dengan perkembangan penyakit. Pada akhirnya terdapat di dalam udara.
berakibat fatal, yang disebabkan
Awalnya, infeksi kuman dalam wujud droplet 0,6/um. Yang tergolong kuman dahak akan berwarna kemerahan karena mengandung - Isoniazid sangat efektif jika
oleh Mycobacterium tuberculosis,
nuklei terhirup masuk saluran nafas dan mycobakterium tuberkulosis complex adalah: darah. diberikan kepada orang-orang dengan
Mycobacterium bovis atau
menuju paru-paru. Di paru-paru, mereka akan 1. Mycobakterium tuberkulosis  Masa inkubasi berkisar antara 4 – 12 minggu. resiko tinggi tuberkulosis, misalnya
Mycobacterium africanum.
bertemu makrofag jaringan dan neutrofil 2. Varian asian  Salah satu gejala yang paling sering ditemukan adalah petugas kesehatan dengan hasil tes
Tuberkulosis paru kini bukan
sebagai garis pertahanan pertama. Sebagian 3. Varian african I berkeringat di malam hari tanpa aktivitas. tuberkulin positif, tetapi hasil rontgen tidak
penyakit yang menakutkan sampai
dari mereka mati akibat difagosit netrofil, 4. Varian asfrican II  Keluhan dapat berupa demam, malaise, penurunan menunjukkan adanya penyakit. Isoniazid
penderita harus dikucilkan, tetapi
terkena sekret makrofag dan terkena sekret 5. Mycobakterium bovis berat badan, nyeri dada, batuk darah, sesak nafas. diminum setiap hari selama 6 – 9 bulan.
penyakit kronik ini dapat
saluran nafas. Bila kuman difagosit oleh Kelompok kuman mycobakterium  Sesak nafas merupakan pertanda adanya udara - Di negara-negara berkembang,
menyebabkan cacat fisik atau
makrofag, ia akan tetap hidup karena kuman tuberkulosis dan mycobakterial othetan Tb (pneumotoraks) atau cairan (efusi pleura) di dalam vaksin BCG digunakan untuk mencegah
kematian. Penularan tuberkolosis
TB bersifat intraseluler. M. tuberculosis (mott, atipyeal) adalah : rongga pleura. Sekitar sepertiga infeksi ditemukan infeksi oleh M. tuberculosis.
paru hanya terjadi dari penderita
merupakan basil tahan asam (BTA) karena ia 1. Mycobacterium cansasli dalam bentuk efusi pleura.
tuberkulosis terbuka.
memiliki banyak lipid yang membuatnya tahan 2. Mycobacterium avium
 Pada infeksi tuberkulosis yang baru, bakteri pindah
terhadap asam, gangguan kimia dan fisik. 3. Mycobacterium intra celulase
dari luka di paru-paru ke dalam kelenjar getah bening
Kandungan lipid yang banyak dalam makrofag, 4. Mycobacterium scrofulaceum
yang berasal dari paru-paru. Jika sistem pertahanan
dimanfaatkan kuman untuk memperkuat 5. Mycobacterium malma cerse
tubuh alami bisa mengendalikan infeksi, maka infeksi
dirinya. 6. Mycobacterium xenopi
tidak akan berlanjut dan bakteri menjadi dorman.
Setelah infeksi tuberkulosis primer, ada
 Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar
kemungkinan infeksi ini akan sembuh sama
dan menekan tabung bronkial dan menyebabkan batuk
sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh
atau bahkan mungkin menyebabkan penciutan paru-
dengan meninggalkan sedikit bekas berupa
paru. Kadang bakteri naik ke saluran getah bening dan
garis fibrotik, kalsifikasi hilus dan di antaranya
membentuk sekelompok kelenjar getah bening di
dapat kambuh kembali menjadi tuberkulosis
leher. Infeksi pada kelenjar getah bening ini bisa
sekunder karena kuman yang dormant ataupun
menembus kulit dan menghasilkan nanah.
akan menimbulkan komplikasi dan menyebar
baik dapat secara perkontinuitatum, bronkogen,
limfogen atau hematogen.
Kuman yang dormant pada tuberkuloisis primer
akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai
infeksi endogen menjadi tuberkulosis sekunder.
Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan
sarang dini yang berlokasi di regio atas paru.

Metode Pemeriksaan
- Biopsi dengan (Hapusan mikroskopis negative,
penyebaran hematogen, TB ekstra paru, dan suspek

2
malignasi)
- Skin Mantoux test dan Tuberculin skin test
- Foto rontgen dan CT Scan
- Tes Darah IGRA (interferon gamma release assay)

Pada bronkitis kronis terdapat pembesaran Infeksi saluran pernafasan adalah Tanda Dan Gejala PPOK 1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan

PPOK kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet,


inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan dan
distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema ditandai
penyebab paling umum dari eksaserbasi
PPOK. Namun, polusi udara, gagal jantung,
emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan
1. batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim
dingin.
2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam
merokok, infeksi dan polusi udara.
2. Terapi ekserbasi akut dilakukan
dengan :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) merupakan suatu istilah oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. jumlah yang sangat banyak.  Antibiotik, karena eksaserbasi akut
yang digunakan untuk sekelompok terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa 3. Dispnea. biasanya disertai infeksi :
penyakit paru yang berlangsung Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi 4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).  Infeksi ini umumnya disebabkan
lama dan ditandai oleh peningkatan ireversibel dan terjadi karena perubahan disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40- 5. Anoreksia. oleh H. Influenza dan S.
resistensi terhadap aliran udara struktural pada saluran napas kecil yaitu 50% disebankan oleh bakteri, 30% oleh virus, 6. Penurunan berat badan dan kelemahan. Pneumonia, maka digunakan
sebagai gambaran patofisiologi inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi 7. Takikardia, berkeringat. ampisilin 4 x 0,25 – 0,5 g/hari atau
utamanya. PPOK adalah penyakit hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi bersamaan oleh lebih dari satu patogen 8. Hipoksia, sesak dalam dada. aritromisin 4 x 0,5 g/hari.
paru kronik yang ditandai oleh jalan napas. menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai  Augmentin (amoxilin dan asam
hambatan aliran udara di saluran 20% pasien. Meskipun ada data epidemiologis Pemeriksaan : klavuralat) dapat diberikan jika
napas yang bersifat progresif menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang - Pemeriksaan Fisis kuman penyebab infeksinya adalah
nonreversibel atau reversibel berkaitan dengan peningkatan ringan pada Inspeksi : H. Influenza dan B. Catarhalis
parsial. PPOK terdiri atas bronkitis eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah  Bentuk dada barrel chest yang memproduksi B. Laktamase.
kronis dan emfisema atau gabungan sakit, mekanisme yang terlibat sebagian besar  Purse lips breathing Pemberian antibiotic seperti
keduanya. Bronkitis kronis adalah tidak diketahui. Emboli pulmonal juga dapat  Hipertrofi otot bantu nafas kotrimoksosal, amoksisilin atau
kelainan saluran napas yang menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan,  Pelebaran sela iga doksisilin pada pasien yang
ditandai oleh batuk kronik dalam satu penelitian terbaru, Emboli Perkusi : mengalami eksaserbasi akut
berdahak minimal 3 bulan dalam Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien  Hipersonor terbukti mempercepat
setahun, sekurang-kurangnya dua rawat inap dengan eksaserbasi PPOK.. Auskultasi penyembuhan dan membantu
tahun berturut-turut, tidak  Fremitus lemah mempererat kenaikan peak
disebabkan penyakit lainnya.  Suara nafas vesikuler melemah atau normal flowrate. Namun hanya dalam 7 –
Emfisema adalah kelainan anatomis  Ekspirasi memanjang 10 hari selama periode eksaserbasi.
paru yang ditandai oleh pelebaran Bila terdapat infeksi sekunder atau
 Mengi
rongga udara distal bronkiolus tanda-tanda pneumonia, maka
 Ronki
terminal, disertai kerusakan dinding dianjurkan antiobiotik yang lebih
- Pemeriksaan penunjang
alveoli. kuat.
 Foto toraks  Terapi oksigen diberikan jika
 Spirometri terdapat kegagalan pernafasan
 Laboratorium darah (timbulnya polisitemia karena hiperkapnia dan
menunjukkan hipoksia Kronik) berkurangnya sensitivitas CO2.
 Mikrobiologi Sputum (pemilihan antibiotik

Perubahan struktur pada saluran pernapasan Etiologi Bronchitis Gejala-gejala bronkitis kronik Penatalaksanaan Bronkhitis
BRONKITI menimbulkan perubahan fisiologik yang
merupakan gejala bronkitis kronik seperti batuk
Etiologi Bronchitis biasanya lebih sering
disebabkan oleh virus seperti rhinovirus,
Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi
akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari
Untuk mengurangi demam dan rasa tidak
enak badan, kepada penderita diberikan

S kronik, produksi sputum, obstruksi jalan napas,


gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal
Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus
influenza, virus par influenza, dan Coxsackie
kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini
dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak napas
aspirin atau acetaminophen; kepada anak-
anak sebaiknya hanya diberikan
dank atau pulmonale. Akibat perubahan virus. Bronchitis adalah suatu peradangan yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan acetaminophen. Dianjurkan untuk
KRONIK bronkial terjadi gangguan pertukaran gas yang
menimbulkan dua masalah serius yaitu:
pada bronchus yang disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme baik virus, bakteri,
volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan
gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan
beristirahat dan
cairan.Antibiotik
minum
diberikan
banyak
kepada
Bronkitis Kronik adalah kondisi 1. Aliran darah dan aliran udara ke dinding maupun parasit.Bronkitis akut merupakan gangguan tidur. Gejala klinis bronkitis kronik eksaserbasi akut penderita yang gejalanya menunjukkan
peradangan satu atau lebih alveoli tidak sesuai dimana berlaku proses radang akut pada mukosa bronkus ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri
bronkus yang daoat bersifat mismatched. Sebagian tempat alveoli terdapat berserta cabang–cabangnya yang disertai gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak napas yang (dahaknya berwarna kuning atau hijau dan
kronik ataupun akut. aliran darah yang adekuat tetapi sangat sikit dengan gejala batuk dengan atau tanpasputum semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi demamnya tetap tinggi) dan penderita yang
Bronkhitis kronis adalah suatu aliran udara dan sebagian tempat lain yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. sputum, batuk yang semakin sering, dan napas yang dangkal sebelumnya memiliki penyakit paru-

3
bentuk penyakit obstruksi paru sebaliknya. Tidak dijumpai kelainanradiologi pada dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu paru.Kepada penderita dewasa diberikan
kronik, pada keadaan ini terjadi 2. Prestasi yang menurun dari pompa respirasi bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental trimetoprim-sulfametoksazol, tetracyclin
iritasi bronchial dengan sekresi terutama otot-otot respirasi sehingga terjadi akut harus dipastikan tidak berasal dari pasien atau ampisilin.Erythromycin diberikan
yang bertambah dan batuk overinflasi dan penyempitan jalan napas, penyakit saluran pernapasan lainnya walaupun dicurigai penyebabnya adalah
menimbulkan hipoventalasi dan tidak cukupnya (Gonzales R, Sande M,2008). Mycoplasma pneumoniae.Kepada
produktif selama sedikitnya tiga
udara ke aveoli menyebabkan karbon dioksida Bronkitis akut dapat disebabkan oleh: penderita anak-anak diberikan
bulan atau bahkan dua tahun darah meningkat dan oksigen dalam darah a. Infeksi virus: influenza virus, parainfluenza amoxicillin.Jika penyebabnya virus, tidak
berturut-turut, biasanya keadaan berkurang. Mekanisme patofisiologi yang virus, respiratory syncytialvirus (RSV), diberikan antibiotik.
ini disertai bertanggung jawab pada bronkitis kronik adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-
emfisema paru sangat kompleks, berawal dari rangsang iritasi lain.
pada jalan napas menimbulkan 4 hal besar b. Infeksi bakteri: Bordatella pertussis,
seperti inflamasi jalan napas, hipersekresi Bordatella parapertussis,Haemophilus
mukus, disfungsi silia dan rangsangan reflex influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau
vagal saling mempengaruhi dan berinteraksi bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae,
menimbulkan suatu proses yang sangat Chlamydia pneumonia, Legionella).
kompleks Hubungan Jenis Lama..., CAHYATI, Fakultas
Ilmu Kesehatan UMP, 2016
c. Fungi
d. Noninfeksi: polusi udara, rokok, dan lain-
lain.Penyebab bronkitis akut yang paling
sering adalah infeksi virus yakni sebanyak
90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar <
10%
(Jonssonet al, 2008).

SISTEM PENCERNAAN
PENYAKIT INFEKSI KRONIS PADA ESOFAGUS

4
Eosinofilik Esofagitis
Abstrak
Eosinofilik esofagitis merupakan gangguan dimana terjadi infiltrasi eosinofil pada mukosa superfisial esophagus yang berhubungan dengan alergi makanan dan kondisi atopi seperti asma, dermatitis atopi,
rhinitis alergika dan sering bersamaan dengan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Diperkirakan insiden tahunan 43 per 10.000 pada anak. Gejala klinis mirip dengan GERD yaitu muntah, regurgitasi, nausea,
nyeri dada atau epigastrium, disfagia dan hematemesis. Sekitar 50% pasien memiliki gejala alergi dan lebih 50% pasien memiliki orang tua dengan riwayat alergi. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
endoskopi dan histologis. Gambaran endoskopi yang ditemukan antara lain feline esophagus, corrugated esophagus, ringed esophagus, atau concentric mucosal rings, eksudat putih, vesikel atau papul dan hilangnya
pola vaskular menunjukkan area fokus infiltrasi eosinofil. Diagnosis secara histologis sangat penting dimana kriteria eosinofilik esofagitis adalah jika ditemukan eosinofil >20/HPF (High Power Field). Terapi yang
diberikan adalah terapi diet, farmakologis seperti kortikosteroid sistemik atau topikal, penghambat reseptor leukotrin dan anti IL-5. Kata kunci: eosinofilik esofagitis, alergi makanan, atopi.

Pendahuluan
Penyakit eosinofilik saluran cerna merupakan gangguan saluran cerna yang relatif jarang terjadi, berkaitan dengan peningkatan infiltrasi eosinofil tanpa etiologi utama yang mendasari. Penyakit eosinofilik
saluran cerna antara lain eosinofilik esofagitis, eosinofilik gastroenteritis, dan eosinofilik colitis. Dalam keadaan normal, esophagus tidak hanya merupakan saluran sederhana untuk menelan makanan dan cairan, tapi
organ aktif secara imunologi dapat merespon berbagai rangsangan seperti asam lambung dan alergen yang dapat merangsang eosinofil dan menimbulkan respon inflamasi. Eosinofilik esofagitis merupakan gangguan
dimana terjadi infiltasi eosinofil pada mukosa superfisial esofagus. Infiltrasi eosinofil umumnya terjadi bagian bawah esophagus bersamaan dengan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Teori terbaru eosinofilik
esofagitis dengan infiltrasi eosinofil lebih luas khususnya pada proksimal esofagus memiliki gambaran klinis berbeda dengan GERD. Teori ini semakin diakui sebagai penyebab disfagia, sering dengan riwayat impaksi
makanan. Gambaran klinis, endoskopi dan histologi menjadi lebih jelas walaupun konsensus untuk diagnosis pasti belum ada. Eosinofilik esofagitis dihubungkan dengan alergi
makanan dan kondisi atopi seperti asma dan dermatitis atopi. Studi mengenai eosinofilik esofagitis masih sedikit disebabkan masih kurangnya kriteria diagnostik. Informasi mengenai eosinofilik esofagitis lebih banyak
pada populasi anak dibanding dewasa, kemungkinan hal ini disebabkan oleh meningkatnya penyelidikan pada anak dengan gangguan gastrointestinal dan para gastroenterologist sering melakukan biopsi. Kasus
eosinofilik esofagitis pertama kali digambarkan tahun 1978. Perkiraan insiden tahunan 43 per 100.000 pada anak. Penelitian epidemiologi oleh Noel dkk, mendapatkan insiden tahunan lebih tinggi yaitu 1 per 10.000
dan 6,8% anak dengan esofagitis merupakan eosinofilik esofagitis. Liucouras dkk, mendapatkan 3,4% anak dengan eosinofilik esofagitis mengalami gejala refluks. Penulisan refrat ini akan membahas mengenai
patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis dan tatalaksana eosinofilik esofagitis.
Definisi
Eosinofilik esofagitis merupakan peradangan pada esofagus yang ditandai infiltrasi eosinofil pada mukosa superfisial esofagus yang berhubungan dengan alergi makanan, infeksi, gastroesophageal reflux dan keadaan
atopi seperti asma, rinitis, dermatitis atopi.
Epidemiologi
Eosinofilik esofagitis lebih sering ditemukan pada bangsa Kaukasia dan jenis kelamin laki-laki. Kasus pertama eosinofilik esofagitis telah dijelaskan pada tahun 1978 dengan meningkatnya insiden serta
publikasi dalam satu tahun terakhir. Insiden tahunan sekitar 1:10.000 kasus baru pada anak, sering kali salah diagnosis sebagai esofagitis kronik. Baru-baru ini eosinofilik esofagitis banyak ditemukan di negara Eropa,
Australia, Brazil dan Jepang. Penelitian epidemiologi terbaru menunjukkan kejadian meningkat di Amerika Serikat. Prevalensi eosinofilik esofagitis belum diketahui, tetapi beberapa studi menemukan perkiraan
prevalensi pada anak 4,3/100.000 dan 2,5/100.000 pada dewasa di Amerika Serikat. Beberapa studi menunjukkan 6-10% pasien yang didiagnosis GERD ternyata adalah eosinofilik esofagitis. Sebuah studi di Australia
menemukan peningkatan eosinofilik esofagitis selama dekade 1995-2004, naik dari 0,05 menjadi 0,89 per 10.000 anak.
Kebanyakan kelainan asimptomatik yang menunjukkan kejadian eosinofilik esofagitis secara signifikan lebih tinggi dari perkiraan awal. Pasien biasanya laki-laki 60 -70% dengan latar belakang alergi seperti
peningkatan kadar IgE, eosinofil perifer, penyakit alergi (asma, dermatitis atopi atau rhinitis alergi) dan sensitisasi dengan uji tusukan kulit positif. Pada anak kelainan ini biasanya dengan gejala GERD dan gagal
tumbuh, sedangkan pada remaja dengan disfagia dan pada dewasa dengan disfagia, impaksi makanan, striktura dan riwayat penyakit yang tidak diobati.
Etiologi
Etiologi eosinofilik esofagitis belum sepenuhnya dipahami. Masih tanda tanya apakah eosinofilik esofagitis didasari oleh gangguan alergi, akibat respon imunologi abnormal atau sekunder penyakit refluks berat.
Sebelum tahun 1990, eosinofilik esofagitis hanyalah penyakit deskriptif. Kelly dkk (1995), menunjukkan hubungan antara antigen makanan dengan eosinofilik esofagitis, dengan dasar imunologi, sekunder terhadap
reaksi hipersensitivitas lambat atau respon hipersensitivitas yang dimediasi sel. Makanan sebagai penyebab eosinofilik esofagitis sering tidak berdasarkan reaksi hipersensitivitas cepat dan beberapa peneliti
berpendapat alergi makanan bukanlah penyebab eosinofilik esofagitis. Beberapa artikel telah ditulis mengenai kemungkinan imunologi atau mekanisme alergi yang lain yang mungkin memberikan kontribusi timbulnya
eosinofilik esofagitis. Salah satu teori menyatakan bahwa alergen yang terhirup dapat menimbulkan oesinofil esophageal. Kemungkinan terakhir menunjukkan eosinofilik esofagitis bagian dari eosinofilik

5
gastroenteritis. Baru-baru ini, limposit CD8+ telah diidentifikasi sebagai sel T dominan dalam epitel skuamosa pasien eosinofilik esofagitis, sedangkan studi sebelumnya mendapatkan hubungan antara eosinofilik
esofagitis dengan atopi. Ini menunjukan hubungan antara atopi dengan eosinofilik esofagitis dan alergi makanan yang berperan dalam patogenesis penyakit ini. Eliminasi makanan tidak dengan segera terjadi perbaikan
gejala klinis, perbaikan terjadi dalam 1-2 minggu setelah paparan antigen penyebab dihilangkan. Gejala tidak segera muncul segera setelah terpapar antigen makanan. Biasanya dibutuhkan waktu beberapa hari
timbulnya gejala, diduga akibat respon alergi yang dimediasi sel T dan IgE atau mekanisme lambat sel T pada patogenesis penyakit ini. Beberapa peneliti menyatakan kemungkinan aeroalergen berperan pada
eosinofilik esofagitis. Mishra dkk, menggunakan model tikus untuk membuktikan bahwa inhalasi Aspergillus menyebabkan eosinofilik esofagitis, dimana allergen meningkatkan kadar eosinofil esophagus dan
hiperplasia sel epitel.7 Spergel melaporkan kasus pasien eosinofilik esofagitis dengan asma dan rinokonjungtivitis alergi, terjadi eksaserbasi selama musim serbuk sari dan diikuti resolusi selama musim dingin.

Patofisiologi dan patogenesis


Dalam keadaan normal traktus gastrointestinal adalah satu-satunya organ nonhemopoetik yang mengandung eosinofil, dimana mayoritas eosinofil berada di lamina propria. Patogenesis eosinofilik
gastrointestinal belum jelas, tetapi kondisi atopik respon hipersensitivitas diduga kuat sebagai penyebab. Beberapa penelitian telah membahas kemungkinan patogenesis dari eosinofilik esofagitis. Alergen
mengaktivasi sel mast yang bermigrasi ke esofagus melepaskan histamin, eosinofilik cemotactic factor dan platelet activating factor. Selanjutnya eosinofil diaktifkan, melepaskan protein kationik toxic dan peroksidase
yang langsung merusak mukosa dan dinding usus. Eosinofil juga mengandung interleukin (IL) seperti IL-3 dan IL-5 yang menimbulkan peradangan jaringan. Pembentukan cincin esofagus berhubungan dengan
histamin yang mengaktifkan asetilkolin menyebabkan kontraksi muskularis mukosa esofagus. Cincin ini mungkin sementara dan reversible, meskipun kontraksi terus menerus dari serat otot, hipertropi dan penebalan
lapisan otot dari mukosa dapat berkontribusi membentuk scar permanen. Straumann dkk, menyatakan perbedaan eosinofil subpopulasi dengan membandingkan ekspresi protein proinflamasi dan eosinofil jaringan di
berbagai bagian traktus gastrointestinal. Eosinofil dan interleukin diukur dalam jaringan esofagus dan usus serta eosinofil darah dari penderita eosinofilik esofagitis dan kontrol. Penderita eosinofilik esofagitis
menunjukkan bukti kuat aktivasi eosinofil dengan peningkatan CD-25, IL-5 dan IL-13. Antigen dari makanan menginduksi sel Th2 yang melepaskan IL-5 dan IL-13, dimana masing-masingnya mengaktifkan eosinofil
dan sel epitel esofagus. IL-13 menginduksi sel epitel untuk menghasilkan eotaxin-3 (suatu chemoattractant eosinofil dan activating factor) dan down-regulate fillagrin. IL-5 dan eotaxin-3 mengaktifkan eosinofil untuk
melepaskan Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil-derived Neurotoxin (EDN), yang masing-masingnya mengaktifkan sel mast dan sel dendritik, aktivasi sel mast berperan untuk terjadinya fibrosis. Eosinofil juga
memproduksi TGF-β, mengaktifkan sel-sel epitel dan menyebabkan hiperplasia, fibrosis, dan dismotilitas. Berkurangnya produksi fillagrin dapat menghambat fungsi barier esofagus dan mempertahankan proses ini
dengan penyerapan antigen makanan lokal. Variasi genetik yang mempengaruhi ekspresi dari pengaturan molekul-molekul ini dapat berperan adanya risiko eosinofilik esofagitis.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis Mirip gejala GERD
1. Muntah, regurgitasi
2. Nyeri dada dan epigastrium
3. Disfagia
Gejala berbeda pada anak dan remaja Sering gejala intermitten Laki-laki>perempuan Berhubungan dengan tanda dan gejala (>50% pasien)
1. Bronkospasme
2. Eksema
3. Rhinitis alergi
Riwayat keluarga (35-45% pasien)
1. Alergi makanan
2. Asma

Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi
Gambaran klasik eosinofilik esofagitis adalah feline esophagus, corrugated esophagus, ringed esophagus, atau concentric mucosal rings. Esofagus kecil dengan diameter internal yang sempit dengan atau tanpa stenosis
esophagus proksimal dapat jadi gambaran utama. Eksudat putih, vesikel atau papul dan hilangnya pola vaskular menunjukkan area fokus infiltrasi eosinofil. Esofagus rapuh disebut crepe paper mukosa. Ini menjelaskan

6
air mata esofagus mengikuti dilatasi saat merawat disfagia berhubungan dengan menyempitnya esofagus atau struktur cincin ( seperti striktura). Gambaran endoskopi yang umum adalah cincin mukosa (81%), alur-alur
(74%), penyempitan (31%), eksudat (15%), ukuran kecil (10%), dan edema (8%).9 Penelitian Hasosah dkk di Saudi Arabia mendapatkan gambaran endoskopi eosinofilik esofagitis berupa trachealization dan eritema
esophagus paling banyak masing-masing 46%, bercak putih 33%, penyempitan 13% dan normal 13%.
Histopatologi
Diagnosis eosinofilik esofagitis tergantung pada infiltrasi eosinofil ke epitel squamous. Meskipun tidak ada pernyataan konsensus, tetapi kebanyakan studi untuk menegakkan diagnosis eosinofilik esofagitis bila
ditemukan >20 eosinofil per HPF tetapi beberapa studi menggunakan >15 eosinofil per HPF untuk mendiagnosis eosinofilik esophagitis.
Pengobatan
Terapi diet
Penghentian makanan penyebab alergi telah terbukti berhasil menghilangkan gejala dan kelainan histologist pada pasien eosinofilik esofagitis.
Terapi farmakologis
Flutikason propionate adalah steroid topikal hirup yang sering digunakan untuk terapi asma, juga telah digunakan untuk terapi eosinofilik esofagitis. Flutikason aerosol semprot ditelan bukannya dihirup. Sebelum
pemakaian topikal steroid pasien tidak makan dan minum selama 20-30 menit setelah pemakaian obat. Setelah terapi 6-8 minggu dilakukan endoskopi dan pemeriksaan histologis ulang, jika didapatkan perbaikan dosis
diturunkan sampai dosis efektif terendah.

PENYAKIT INFEKSI KRONIS PADA KOLON

Kolitis Ulseratif
PENDAHULUAN
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit radang usus kronis yang menyebabkan peradangan di saluran pencernaan. Kolitis ulseratif (ulcerative colitis) biasanya hanya pada lapisan terdalam dari usus besar (kolon) dan rektum. Bentuk
berkisar dari ringan sampai parah. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk.2 Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada
setiap dekade kehidupan
ETIOLOGI
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.
1. Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan orang non Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa dapat ada
predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini.
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh
diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi.
3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik
tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.
4. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik
tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.

7
Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan
alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLA- DR4 positif.
5. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota
keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.
6. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3.
Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40%
dibandingkan dengan yang bukan perokok.

PATOGENESIS
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang
mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme
penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen
yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang tetap dan diperkuat karena kesamaan antara antigen lumenal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini
meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung.
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnya
produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α [TNF-α], terutama pada
aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor
imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen
kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema.

GAMBARAN FISIK DIAGNOSTIK

Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya
berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.

GAMBARAN LABORATORIUM

Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit
yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan.
PENANGANAN
Pengobatan kolitis ulseratif bertujuan untuk meredakan dan mencegah kekambuhan gejala. Metode pengobatannya tergantung pada tingkat keparahan gejala dan seberapa sering gejala kambuh, yaitu:
Mengonsumsi obat-obatan
Dokter dapat meresepkan obat-obatan untuk mengatasi kolitis ulseratif. Jenisnya tergantung pada tingkat keparahan gejala. Obat-obat yang umum diberikan antara lain:
• Obat antiradang, seperti sulfasalazine dan kortikosteroid.

8
• Obat imunosupresan, seperti azathioprine dan ciclosporin.
• Obat pereda nyeri paracetamol. Jangan menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid karena dapat memperparah gejala kolitis ulseratif.
• Antidiare, seperti loperamide.
• Antibiotik.
Menjalani operasi
Operasi merupakan pilihan terakhir jika metode pengobatan lain tidak mampu meredakan gejala yang sudah parah. Tujuan operasi adalah untuk mengangkat sebagian atau seluruh usus besar secara permanen.
Bila usus besar diangkat secara menyeluruh, usus halus akan langsung disambungkan ke anus. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, dokter bedah akan membuat lubang permanen di perut (stoma) untuk mengeluarkan tinja ke kantong
kecil di luar tubuh. Prosedur ini disebut kolostomi.

PENYAKIT INFEKSI KRONIS PADA GASTER


Gastritis Kronis
Definisi
Gastritis kronik adalah Suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun yang disebabkan oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau bakteri Helicobacter pylori. Bakteri ini berkoloni pada
tempat dengan asam lambung yang pekat. Gastritis kronik adalah Suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun yang disebabkan oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau bakteri
Helicobacter pylori. Bakteri ini berkoloni pada tempat dengan asam lambung yang pekat.

Etiologi
Penyebab pasti dari gastritis kronik belum diketahui, tapi ada dua predisposisi penting yang bisa meningkatkan kejadian gastritis kronik, yaitu infeksi dan non-infeksi

Faktor infeksi
kronik. Beberapa agen yang diidentifikasi meliputi hal-hal berikut.
a) H. Pylori. Beberapa peneliti menyebutkan bakteri itu merupakan penyebab utama dari gastritis kronik
b) Helicobacter heilmanii, Mycobacteriosis, dan Syphilis
c) Infeksi parasit
d) Infeksi virus

Faktor non-infeksi
a) Gastropai akbiat kimia, dihubungkan dengan kondisi refluks garam empedu
kronis dan kontak dengan OAINS atau aspirin.
b) Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronik yang menyebabkan ureum
terlalu banyak beredar pada mukosa lambung

9
Epidemiologi
Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena dinding mukosa lambung semakin menipis akibat usia tua dan pada usia tua lebih mudah untuk terinfeksi Helicobacter pylori atau penyakit autoimun
daripada usia muda. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri

Patofisiologi
Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein, alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme
tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya OAINS (indomestasin, ibuprofen, naproksen),
sulfonamid, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak
dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum secara terpisah.

Gejala klinis
Gastritis kronis yang berkembang secara bertahap biasanya menimbulkan gejala seperti sakit yang tumpul atau ringan (dull pain) pada perut bagian atas dan terasa penuh atau kehilangan selera setelah makan beberapa
gigitan.

Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan secara sistematis yang mengharuskan menampilkan topografi. Gambaran endoskopi yang ditemukan adalah
eritema, eksudatif, flat erosison, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi, sering juga menggambarkan proses yang mendasari misalnya
autoimun, atau respon adaptif mukosa lambung.

Pengobatan
Antasida
Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik, membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung.

H2 Bloker
Meskipun antagonis histamin reseptor H2 menghambat histamin pada semua reseptor H2 namun penggunaan klinis utamanya ialah sebagai penghambat sekresi asam lambung

Proton Pump Inhibitor


Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H +ATPase (pompa proton) yang akan memecah K+H +ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke
dalam lumen lambung.

SISTEM UROGENITALIA

10
infeksi Saluran Kemih (Ginjal, Ureter, buli - buli, uretra)

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu infeksi akibat berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain.
Infeksi ini melibatkan ginjal, ureter, buli-buli, ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin.
Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) adalahmenunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105colony forming unit (cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai gejala
klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai gejala klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan
gejala klinis tanpa bekteriuria bermakna. Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per lapangan pandang.
Patogenesis
Patogenesis bakteriuria asimtomatik menjadi bakteriuria simptomatik dengan gejala klinis ISK tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri (host).
1. Peran Patogenisitas Bakteri.
Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia colididuga terkait dengan etiologi ISK. Patogenisitas E.coli terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype dari
170 serotipe O/ E.coli yang berhasil diisolasi dari pasien ISK, diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus. Bakteri patogen dari urin dapat menyebabkan gejala klinis dari ISK tergantung juga dari factor
lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, factor virulensi dan variasi fase factor virulensi.
a. Peranan bacterial attachment of mucosa.
Untuk melakukan kolonisasi dan invasi ke sel inang, bakteri harus mengadakan perlekatan pada permukaan sel inang. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae merupakan satu pelengkap patogenesis yang mempunyai
kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya fimbriae akan terikat pada blood group antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah.
b. Peranan faktor virulensi lainnya.
Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti α-hemolisin, cytotoxic necrotizing factor-1(CNF-1), dan iron uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95%
α-hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan dengan Pathogenicity Island (PAIS) dan hanya 5% terikat pada gen plasmio.Laporan penelitian Johnson mengungkapkan virulensi E coli sebagai penyebab ISK
terdiri atas fimbriae type I (55%), P-fimbriae (24%), aero bactin (38%), haemolysin (20%), antigen K (22%), resistensi serum (25%) dan antigen O (28%).
c. Peranan variasi fase faktor virulensi.
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi diantara individu
dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal.

ETIOLOGI
Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan MO penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 50 - 90%,
diikuti oleh Klebsiella atau Enterobacter 10 – 40%. 28 MO lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak laki-laki berusia 5 tahun ), Klebsiella spp dan Staphylococcus dengan koagulase negatif.
Infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Staphylococcus aureus jarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang sering timbul adalah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya
terjadi bersamaan, disertai nyeri supra pubik dan daerah pelvis. Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus dilakukan investigasi faktor predisposisi atau pencetus.
a. Pielonefritis Akut (PNA).
Gejala klinis PNA seperti panas tinggi (39,5-40,5 °C), disertai mengigil dan sakit pinggang. Gejala klinis PNA ini sering didahului gejala ISK bawah (sistitis).
b. ISK Bawah (sistitis).

11
Gejala klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakiuria, nokturia, disuria, dan stanguria.
c. ISK Atas
Dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri punggung, muntah, skoliosis, dan penurunan berat badan.
d. Sindroma Uretra Akut (SUA).
Gejala klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 thun. Gejala klinis SUA sangat sedikit (hanya disuria dan sering kencing) sering disebut sistitis abakterialis.
Sindrom uretra akut (SUA) dibagi 3 kelompok pasien, yaitu:

1. Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan uria dapat diisolasi E-coli dengan cfu/ml urin 103-105. Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-uretral atau uretra sendiri. Kelompok pasien ini memberikan respon
baik terhadap antibiotik standar seperti ampsilin.
2. Kelompok kedua pasien leukosituri 10-50/lapangan pandang besar (LPB) dan kultur urin steril. Kultur khusus ditemukan clamydia trachomatis atau bakteri anaerobic.
3. Kelompok ketiga pasien tanpa piuria dan biakan urin steril.

e. ISK rekuren.
ISK rekuren terdiri 2 kelompok; yaitu:
a). Re-infeksi (re-infections). Pada umumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu mikroorganisme (MO) yang berlainan.
b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan MO yang sama, disebabkan sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM

Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi
sampel urin harus sesuai dengan protokol yang dianjurkan.
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin, harus berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang
merupakan faktor predisposisi ISK.
Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK:
• Ultrasonogram (USG)
• Radiografi (Foto polos abdomen, Pielografi IV, Micturating cystogram)
•Isotop scanning.
Pemeriksaan laboratorium
1. Urinalisis
a. Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 10 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Pada test dipstick urin
biasanya akan diperoleh hasil test leukosit esterase positif. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena
dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituria yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur.

b. Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun
oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.

12
2. Tes kimiawi

Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterococcus, mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat
dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh
enterococcus dan acinetobacter.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan ISK harus mempertimbangkan beberapa hal :


1. Pola resistensi kuman lokal
2. Populasi pasien
3. Farmakokinetik dari obat
4. Lamanya terapi
5. Efek samping obat
6. Harga obat29

1. ISK Bawah

Prinsip manajemen ISK bawah meliputi istirahat, intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi asimtomatik untuk alkalinisasi urin:
• Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antbiotika tunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim 200mg
• Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisa (lekosituria) diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari
• Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa lekositoria.

Reinfeksi berulang (frequent re-infection)


• Disertai faktor predisposisi.

Terapi antimikroba yang intensif diikuti koreksi faktor resiko.


• Tanpa faktor predisposisi
- Asupan cairan banyak
- Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi
antimikroba takaran tunggal (misal trimetroprim 200mg)
- Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.

Sindroma Uretra Akut (SUA)

13
Pasien dengan SUA dengan hitungan kuman 103-105memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi Clamidia memberikan hasil yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobic diperlukan antimikroba
yang serasi, misal golongan kuinolon.

2. ISK Atas
Pielonefritis
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis
Indikasi Rawat Inap Pasien dengan PNA26
• Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotika oral.
• Pasien sakit berat atau debilitasi.
• Terapi antibiotika oral selama rawat jalan mengalami kegagalan.
• Diperlukan investigasi lanjutan.
• Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi.
• Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes mellitus, usia lanjut

PENCEGAHAN
Data epidemiologi klinik mengungkapkan skrining bakteriuria asimtomatik bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai gejala klinik ISK. Skrining bakteriuria harus rutin dengan
jadwal tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan kateterasi laki-laki dan perempuan.

EPIDIDIMIS
Epididymitis
Epididimitis merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi pada epididimis. Berdasarkan timbulnya nyeri, Epididimitis dibedakan menjadi Epididimitis akut dan kronik. Epididimitis kronik, timbulnya nyeri dan
peradangan pada epididimitis telah berlangsung sedikitnya selama enam minggu disertai dengan timbulnya indurasi pada skrotum.

Patofisiologi terjadinya epididimitis masih belum jelas, dimana diperkirakan terjadinya epididimitis disebabkan oleh aliran balik dari urin yang mengandung bakteri, dari uretra pars prostatika menuju epididimis
melalui duktus ejakulatorius vesika seminalis, ampula dan vas deferens. Oleh karena itu, penyumbatan yang terjadi di prostat dan uretra serta adanya anomali kongenital pada bagian genito-urinaria sering
menyebabkan timbulnya epididimitis karena tekanan tinggi sewaktu miksi. Setiap kateterisasi maupun instrumentasi seperti sistoskopi merupakan faktor resiko yang sering menimbulkan epididimitis bacterial. Infeksi
berawal di kauda epididimis dan biasanya meluas ke tubuh dan hulu epididimis. Kemudian mungkin terjadi orkitis melalui radang kolateral. Tidak jarang berkembang abses yang dapat menembus kulit dorsal skrotum.
Jarang sekali epididimitis disebabkan oleh refluks dari jalan kemih akibat tekanan tinggi intra abdomen karena cedera perut.

Etiologi
Bermacam penyebab timbulnya epididimitis tergantung dari usia pasien, sehingga penyebab dari timbulnya epididimitis dibedakan menjadi;
· Infeksi bakteri non spesifik Bakteri coliforms (misalnya E coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella) menjadi penyebab umum terjadinya epididimitis pada anak-anak, dewasa dengan usia lebih dari 35 tahun dan
homoseksual. Ureaplasma urealyticum, Corynebacterium, Mycoplasma, and Mima polymorpha juga dapat ditemukan pada golongan penderita tersebut. Infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae and N
meningitides sangat jarang terjadi.
· Penyakit Menular Seksual Chlamydia merupakan penyebab tersering pada laki-laki berusia kurang dari 35 tahun dengan aktivitas seksual aktif. Infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, Treponema
pallidum, Trichomonas dan Gardnerella vaginalis juga sering terjadi pada populasi ini.

14
· Virus
Virus menjadi penyebab yang cukup dominan pada anak anak. Pada epididimitis yang disebabkan oleh virus tidak didapatkan adanya pyuria. Mumps merupakan virus yang sering menyebabkan epididimitis selain
coxsackie virus A dan varicella.
· Tuberkulosis Epididimitis yang disebabkan oleh basil tuberkulosis sering terjadi di daerah endemis TB dan menjadi penyebab utama terjadinya TB urogenitalis.
· Penyebab infeksi lain (seperti brucellosis, coccidioidomycosis, blastomycosis, cytomegalovirus [CMV], candidiasis, CMV pada HIV) dapat menjadi penyebab terjadinya epididimitis namun biasanya hanya terjadi
pada individu dengan sistem imun tubuh yang rendah atau menurun.
· Obstruksi (seperti BPH, malformasi urogenital) memicu terjadinya refluks.
· Vaskulitis (seperti Henoch-Schönlein purpura pada anakanak) sering menyebabkan epididimitis akibat adanya proses infeksi sistemik.

Gejala Klinis
Gejala yang timbul tidak hanya berasal dari infeksi lokal namun juga berasal dari sumber infeksi yang asli. Gejala yang sering berasal dari sumber infeksi asli seperti duh uretra dan nyeri atau itching pada uretra
(akibat uretritis), nyeri panggul dan frekuensi miksi yang meningkat, dan rasa terbakar saat miksi (akibat infeksi pada vesika urinaria yang disebut Cystitis), demam, nyeri pada daerah perineum, frekuensi miksi yang
meningkat, urgensi, dan rasa perih dan terbakar saat miksi (akibat infeksi pada prostat yang disebut prostatitis), demam dan nyeri pada regio flank (akibat infeksi pada ginjal yang disebut pielonefritis). Gejala lokal
pada epididimitis berupa nyeri pada skrotum. Nyeri mulai timbul dari bagian belakang salah satu testis namun dengan cepat akan menyebar ke seluruh testis, skrotum dan kadangkala ke daerah inguinal disertai
peningkatan suhu badan yang tinggi. Biasanya hanya mengenai salah satu skrotum saja dan tidak disertai dengan mual dan muntah.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya suatu infeksi adalah:
· Pemeriksaan darah dimana ditemukan leukosit meningkat dengan shift to the left (10.000-30.000/µl)
· Kultur urin dan pengecatan gram untuk kuman penyebab infeksi
· Analisa urin untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak
· Tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoeae.
· Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada penderita

Penatalaksanaan epididimitis
meliputi dua hal yaitu penatalaksanaan medis dan bedah, berupa :
Penatalaksanaan Medis Antibiotik digunakan bila diduga adanya suatu proses infeksi. Antibiotik yang sering digunakan adalah :
Fluorokuinolon, namun penggunaannya telah dibatasi karena terbukti resisten terhadap kuman gonorhoeae
· Sefalosforin (Ceftriaxon)
· Levofloxacin atau ofloxacin untuk mengatasi infeksi klamidia dan digunakan pada pasien yang alergi penisilin
· Doksisiklin, azithromycin, dan tetrasiklin digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri non gonokokal lainnya
○ Penanganan epididimitis lainnya berupa penanganan suportif, seperti :
Pengurangan aktivitas
· Skrotum lebih ditinggikan dengan melakukan tirah baring total selama dua sampai tiga hari untuk mencegah regangan berlebihan pada skrotum.

15
· Kompres es
· Pemberian analgesik dan NSAID
· Mencegah penggunaan instrumentasi pada urethra e.

Penatalaksanaan Bedah Penatalaksanaan di bidang bedah meliputi :


· Scrotal exploration Tindakan ini digunakan bila telah terjadi komplikasi dari epididimitis dan orchitis seperti abses, pyocele, maupun terjadinya infark pada testis. Diagnosis tentang gangguan intrascrotal
baru dapat ditegakkan saat dilakukan orchiectomy.
· Epididymectomy Tindakan ini dilaporkan telah berhasi mengurangi nyeri yang disebabkan oleh kronik epididimitis pada 50% kasus.
· Epididymotomy Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan epididimitis akut supurativa.

Prostat
prostatitis
Adalah inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat terjadi karena bakteri maupun non bakteri.
Pada prostatitis bakterial kronis, Escherichia coli merupakan etiologi utamanya.

Secara umum, etiologi prostatitis dapat dibedakan menjadi infeksi, abnormalitas struktural, dan penyebab lain yang belum terbukti secara definitif.
Infeksi
Patogen yang menyebabkan prostatitis dapat berasal dari infeksi asenden dari uretra atau dari refluks urin ke saluran prostat. Infeksi umumnya disebabkan oleh bakteri gram negatif dan seringnya hanya
disebabkan oleh satu mikroorganisme. Walau demikian, infeksi jamur dan virus juga dapat menyebabkan prostatitis, khususnya pada kondisi penurunan sistem imun, misalnya akibat HIV atau diabetes
mellitus.
Abnormalitas Struktural
Abnormalitas struktural perlu dipertimbangkan pada pasien yang mengalami infeksi saluran kemih berulang. Abnormalitas struktural ini dapat berupa:
Striktur uretra
Batu uretra/ uretrolitiasis
Pembesaran prostat baik jinak maupun akibat keganasan
Obstruksi saluran ejakulatori
Hipertrofi atau obstruksi leher buli
Disfungsi dasar panggul akibat cedera neurologis

Tanda dan gejala dari prostatitis adalah:

 Nyeri atau rasa panas yang dirasakan ketika berkemih.


 Kesulitan dalam buang air kecil (urine menetes atau sulit memulai BAK).
 Frekuensi BAK yang meningkat, terutama di malam hari.
 Sulit menahan BAK.
 Urin berwarna keruh.
 Terdapat darah pada urine.
 Nyeri pada perut, selangkangan, dan punggung bagian bawah.

16
 Nyeri atau rasa tidak nyaman pada penis atau testis.
 Nyeri saat ejakulasi.
 Tanda dan gejala flu seperti demam dan meriang (akibat bakteri).

Patofisiologi Prostatitis Kronis


Prostatitis kronis diperkirakan disebabkan oleh kelainan pada sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal dan gangguan hormon yang melibatkan hormon adrenokorteks yang dapat berasal dari respons variabel
terhadap stres, peradangan neurogenik, dan sindrom nyeri miofasial. Pada pemeriksaan mikroskopik, neutrofil atau limfosit dapat terlihat di dalam kelenjar prostat, di antara sel-sel epitel atau di dalam
komponen stroma.
Patofisiologi Prostatitis Bakterial
Patofisiologi terjadinya infeksi bakteri pada prostat berhubungan dengan anatomi prostat. Untuk itu, penting untuk mengerti terlebih dahulu mengenai anatomi prostat.

Tatalaksana
a. Prostatitis Bakteria Akut
Fluoroquinolones digunakan untuk pengobatan pada pasien prostatitis bakteri akut, dimana pengobatan awal diberikan melalui intaravena. Antibiotik alternatif lain yang dapat diberikan pada pasien ini antara
lain ampicillin/ gentamycin yang digunakan secara kombinasi, doksisiklin, dan trimethoprim-sulfat. Pengobatan diberikan selama 4-6 minggu dan pengobatan diselesaikan dengan pemberian obat secara oral
setelah gejala akut berkurang dimana tujuannya untuk mencegah timbulnya prostatitis bakteri kronis atau abses prostat. Laki–laki dengan retensi urin, penggunaan kateter uretral dapat meningkatkan resiko dari
kemungkinan pembentukan dari abses prostat, oleh karena itu, perlu suatu pertimbangan pemasangan kateter suprapubik pada pasien.

b. Prostatitis Bakteri Kronis

Meskipun dengan terapi, dasar pengobatan untuk Prostatitis Bakteri Kronis masih kurang optimal. Antibiotik yang diberikan tidak dapat mencapai konsentrasi dan menembus barier plasma epitelium dan masuk
ke dalam sel kelenjar prostat. Pemberian fluoroquinolones memberikan hasil yang baik dalam hal tersebut. Antibiotik alternatif lain yang dapat diberikan carbenicillin, doksisiklin, minoksiklin dan sefaleksin.
Jangka waktu perawatan dapat diberikan minimal 4 minggu sampai 4 bulan.

17
SISTEM INDRA DAN INTEGUMENTUM
PENYAKIT INFEKSI KRONIK PADA TELINGA
A. Otitis Eksterna (OE)
Definisi
Otitis eksterna (OE) adalah peradangan atau infeksi pada saluran eksternal pendengaran (SEP), daun telinga, atau keduanya. Kondisi ini dapat ditemukan pada semua kelompok umur [18].
OE dapat diklasifikasikan sebagai berikut [18]:
a. Otitis Eksterna Difus Akut – Bentuk Otitis Eksterna Paling umum, umumnya terlihat pada perenang.
b. Otitis Eksterna Lokal Akut – Terkait dengan infeksi dari folikel rambut.
c. Otitis Eksterna Kronis – Sama seperti Otitis Eksterna Difus Akut tapi memiliki durasi yang lebih lama (> 6 minggu).
d. Otitis Eksterna Eksematosa (eczematoid) - Meliputi berbagai kondisi dermatologi (seperti, dermatitis atopik, psoriasis, lupus eritematosus sistemik, dan eksim) yang dapat menginfeksi SEP dan menyebabkan Otitis Eksterna.
e. Otitis Eksterna Nekrotik (ganas) – Infeksi yang meluas ke jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan SEP, terjadi terutama pada orang dewasa yang memiliki gangguan sistem imun (penderita diabetes, penderita
AIDS).
f. Otomikosis – Infeksi saluran telinga dari spesies jamur (Candida, Aspergillus).

Penyebab
OE paling sering disebabkan oleh bakteri patogen; varietas lain termasuk OE fungal/jamur (otomikosis) dan OE eksematoid ( psoriasis) [18]. Dalam sebuah penelitian, 91% dari kasus OE disebabkan oleh bakteri [18]. Selain itu
ditemukan bahwa sebanyak 40% dari kasus OE tidak teridentifikasi mikroorganisme primer sebagai agen penyebab. Bakteri penyebab yang paling umum adalah spesies Pseudomonas (38% dari semua kasus) [18], spesies
Staphylococcus, dan anaerob dan organisme gram–negatif [18].

Gejala
Ciri gejala fisik dari Otitis Eksterna adalah nyeri pada palpasi tragus (anterior ke saluran telinga) atau aplikasi dari daya cengkeram ke pina (ciri khas Otitis Eksterna).
Pasien umumnya memiliki gejala berikut [18]:
a. Otalgia (rasa nyeri pada telinga) – Rentang dari ringan hingga berat, umumnya berkembang selama 1 – 2 hari.
b. Gangguan/penurunan pendengaran.
c. Telinga terasa penuh atau tertekan (fullness) di liang telinga. Keluhan ini biasa terjadi pada tahap awal otitis eksterna difus dan sering mendahului otalgia dan nyeri tekan daun telinga.
d. Dengungan pada telinga (tinitus).
e. Demam (jarang).
f. Gatal/pruritus (terutama di Otitis Eksterna bakteri/fungal atau Otitis Eksterna kronis).
g. Cairan (discharge) yang mengalir dari liang telinga.

Keterangan Penanganan (Pengobatan)

Kebanyakan penderita Otitis Eksterna diperlakukan secara empiris. pengobatan primer melibatkan berikut [18]:
a. Manajemen nyeri.
b. Penghapusan debris dari SEP.
c. Pemberian obat topikal untuk mengontrol edema dan infeksi.
d. Menghindari faktor.

Farmakoterapi [18]:

18
a. Obat topikal (seperti, asam asetat dalam aluminium asetat, hidrokortison dan larutan acetic acid otic, campuran alcohol vinegar otic).
b. Agen analgesik (seperti, acetaminophen, acetaminophen and codeine).
c. Antibiotik (seperti, hydrocortisone/neomycin/polymyxin B, otic ofloxacin, otic ciprofloxacin, otic finafloxacin, gentamicin 0.3% / prednisolone 1% ophthalmic, dexamethasone / tobramycin, otic ciprofloxacin dan
dexamethasone, otic ciprofloxacin dan hydrocortisone suspension).
d. Antibiotik oral (seperti, ciprofloxacin).
e. Agen antijamur (seperti, larutan otic clotrimazole 1%, bubuk nistatin).

Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah [15]:
a. Rutin mengeringkan telinga setelah cuci rambut maupun mandi, dan keringkan dengan hati-hati serta perlahan dengan memiringkan telinga ke salah satu sisi kemudian tarik perlahan pada cuping telinga apabila kemasukan
air.
b. Pakai penyumbat telinga pada waktu berenang, serta jangan berenang pada air yang kotor (sungai) dan tempat lain yang berpolusi.
c. Pakai sampo yang tidak mengandung parfum, serta hindari penggunaan produk penata rambut dan pewarna rambut.
d. Apabila memakai pengering rambut, gunakan dengan suhu rendah, serta jaga jarak ± 30 cm dengan telinga.

INFEKSI KRONIK PADA SISTEM INTEGUMENTUM


1. IMPETIGO
DEFINISI
Impetigo adalah infeksi permukaan kulit, di mana penyakit ini merupakan salah satu bentuk pioderma (infeksi kulit akibat bakteri Staphylococcus, Streptococcus, atau keduanya) yang sangat menular. Impetigo dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu impetigo yang ditandai dengan keropeng (impetigo krustosa), dan impetigo yang ditandai dengan benjolan berisi cairan (impetigo bulosa). Sebanyak 70% impetigo adalah bentuk keropeng.

Impetigo krustosa
Impetigo jenis ini ditandai dengan keropeng, sebagian besar terdapat pada anak usia 2-5 tahun, karena sistem imun anak yang belum berkembang sempurna. Impetigo krustosa merupakan infeksi kulit bakteri yang
paling sering dijumpai pada anak, terutama anak yang tinggal di iklim panas dan lembab. Penyebab impetigo krustosa adalah bakteri Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta hemolytic grup A, atau kombinasi keduanya. Sebagian besar infeksi diawali oleh infeksi Streptococcus, namun seiring waktu akan digantikan oleh Staphylococcus.

Impetigo bulosa
Impetigo jenis ini ditandai dengan benjolan berisi cairan, sering ditemui pada bayi baru lahir, namun juga bisa ditemui pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa benjolan kecil yang dengan cepat membesar menjadi
benjolan besar berisi cairan (bula). Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe 71 yang dapat menghasilkan racun. Racun ini dapat menyebabkan benjolan besar berisi cairan di kulit. Sebanyak 20%
dari impetigo bulosa disebabkan oleh bakteri resisten terhadap antibiotic (methicilin-resistant S. aureus) yang lebih sulit diobati.
Faktor risiko :
- usia (anak 2-6 tahun),
- tempat tinggal yang padat,
- cuaca yang hangat dan lembab,
- kegiatan olahraga tertentu yang melibatkan kontak kulit dengan kulit (seperti sepak bola atau gulat),
- adanya kerusakan kulit
- kebersihan dan hiegene yang buruk
- anemia dan malnutrisi
- imunodefisiensi
c. Hasil Anamnesis (Subyektif)

Impetigo krustosa
Penderita datang ke dokter dengan keluhan rasa gatal. Gejala timbul 1-3 hari setelah infeksi. Kelainan kulit diawali oleh kemerahan mendatar pada kulit yang dengan cepat berubah
menjadi benjolan seperti jerawat yang berisi cairan atau nanah berukuran kurang lebih 2 cm. Benjolan kecil ini dapat pecah, mengeluarkan isi nanah atau cairan, kemudian mengering dan

19
meninggalkan keropeng tebal berwarna kuning seperti madu. Jika keropeng ini dikelupas, terdapat luka dangkal yang merah dan basah di bawahnya. Terdapat beberapa benjolan seperti ini yang berkumpul di suatu
tempat atau bergabung satu sama lain menjadi besar. Benjolan ini umumnya tidak nyeri, namun dapat terasa gatal ringan sesekali. Jika kelainan kulit ini disentuh atau digaruk oleh penderita, maka kuku-kuku penderita
dapat menjadi pembawa bakteri dan menyebabkan benjolan-benjolan baru di kulit daerah lain yang disentuh penderita. Kemerahan atau bengkak di sekitar kelainan kulit jarang ditemui. Gejala demam dan pembesaran
kelenjar getah bening lebih sering ditemui pada tipe krustosa. Jika tidak diobati, dapat sembuh spontan dalam beberapa minggu tanpa bekas luka.

Impetigo bulosa
Penderita datang ke dokter dengan keluhan timbul lepuh mendadak pada kulit. Kelainan kulit berupa benjolan kecil yang dengan cepat membesar menjadi benjolan besar berisi cairan ( bula). Pada awalanya cairan
berwarna jernih, kemudian menjadi keabu-abuan dan akhirnya menjadi kuning gelap seperti nanah (bula hipopion). Permukaan benjolan ini datar dan di sekitarnya tidak terdapat kemerahan, umumnya berukuran
kurang dari 3 cm. Benjolan besar ini sangat rapuh sehingga mudah pecah, mengeluarkan nanah kekuningan dan meninggalkan luka dangkal dengan sisik ditepinya (collarette). Pada bayi, dapat disertai gejala umum
seperti demam, lemas, dan diare.

d. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Obyektif)


1. Impetigo krustosa
o Lokalisasi : daerah yang terpajan, terutama wajah (lubang hidung dan mulut karena dianggap sebagai sumber infeksi dari daerah tersebut),leher, dapat juga ditemui di lengan atau tungkai, namun jarang mengenai
telapak tangan dan telapak kaki.
o Efloresensi : macula eritematosa miliar sampailentikular, difus, anular, sirsinar; vesikel dan bula lentikular difus; pustule miliar sampai lentikular; krusta kuning kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat.
o Pemeriksaan penunjang :
Gambaran histopatologi : berupa peradangan superficial folikel pilosebasea bagian atas.
Terbentuklah vesikopustula subkornea yang berisis kokus serta debris berupa leukosit dan sel
epidermis. Pada lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi PMN.
Biakan bakteriologis eksudat lesi ; biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan dengan tes resistensi.
2. Impetigo bulosa
o Lokalisasi : di daerah lipatan kulit, seperti di leher, ketiak, dan lipat paha. Kelainan kulit dapat menyebar ke daerah kulit lain akibat garukan penderita.
o Efloresensi : tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar hingga lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan kadang-kadang tampak hipopion.
o Pemeriksaan penunjang :
Gambaran histopatologi : pada epidermis tampak vesikel subkornea berisi sel-sel radang yaitu leukosit. Pada dermis tampak sebukan sel-sel radang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah.
Preparat mikroskopik langsung dari cairan bula untuk mencari stafilokokus.
Biakan cairan bula dan uji resistensi.
e. Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Diagnosis banding Impetigo krustosa :
1. Varisela : lesi lebih kecil, berbatas tegas, umbilikasi vesikel.
2. Ektima : lesi lebih besar, lebih dalam dan peradangan lebih berat. Ditutupi krusta yang keras, jika diangkat akan berdarah secara luas.
3. Impetigenisasi : pioderma sekunder, prosesnya menahun sering masih tampak penyakit dasarnya.
Komplikasi Impetigo krustosa :
Komplikasi dari impetigo krustosa adalah radang pada ginjal yang disebut glomerulonefritis pasca-streptococcus yang terjadi pada 1-5% penderita. Pengobatan impetigo dengan antibiotik tidak berpengaruh terhadap
risiko terjadinya glomerulonefritis. Komplikasi lain yang jarang namun mungkin terjadi adalah infeksi luas, radang pada tulang atau sendi, radang otot jantung, radang paru-paru, radang jaringan kelenjar getah bening,
dan radang jaringan lunak kulit.

Diagnosis banding Impetigo Bulosa :


1. Pemfigus : biasanya dinding bula tebal, dikelilingi oleh daerah eritematosa dan keadaan umum buruk.
2. Impetigenisasi : menunjukkan pula gejala-gejala penyakit primer dengan gejala konstitusi berupa demam dan malaise.
3. Tinea sirsinata : jika lepuh pecah, bagian tepi masih menunjukkan adanya lepuh, tetapi bagian tengah menyembuh.

Komplikasi
a. Erisipelas adalah peradangan epidermis dan dermis yang ditandai dengan infiltrat eritema, edema, berbatas tegas, dan disertai dengan rasa panas dan nyeri. Onset penyakit ini sering didahului dengan gejala
prodromal berupa menggigil, panas tinggi, sakit kepala, mual muntah, dan nyeri sendi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat dijumpai lekositosis 20.000/mm3 atau lebih.
b. Selulitis adalah peradangan supuratif yang menyerang subkutis, ditandai dengan peradangan lokal, infiltrate eritema berbatas tidak tegas, disertai dengan rasa nyeri tekan dan gejala prodromal tersebut di atas.
c. Ulkus
d. Limfangitis

20
e. Limfadenitis supuratif
f. Bakteremia (sepsis)
f. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Impetigo krustosa :
- Jika krusta banyak, dilepas dengan mencuci dengan H2O2 dalam air, lalu diberi salep antibiotic seperti kloramfenikol 2% dan teramisin 3%. Jika lesi banyak dan disertai gejala konstitusi (demam, dll), berikan
antibiotic sistemik, misalnya penisilin, kloksasilin, atau sefalosporin.
- Konseling dan edukasi :
o menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun 2 kali sehari
o menjaga kebersihan lingkungan
o mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita
o perbaiki keadaan umum
o menghilangkan faktor-faktor predisposisi
- Kriteria rujukan : jika terdapat tanda-tanda komplikasi Glomerulonefritis yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, bengkak pada wajah atau tubuh, dan air seni berwarna merah. Gejala timbul 10 hari setelah
impetigo pertama kali muncul; namun dapat juga timbul 1-5 minggu kemudian.

Impetigo Bulosa :
- Jika bula besar dan banyak, sebaiknya dipecahkan, selanjutnya dibersihkan dengan antiseptic (betadin) dan diberi salep antibiotik (kloramfenikol 2% atau eritromisin 3%). Jika ada gejala konstitusi berupa demam,
sebaiknya diberi antibiotic sistemik, misalnya penisilin 30-50mg/kgBB atau antibiotic lain yang lebih sensitif.
- Konseling dan edukasi :
o menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun 2 kali sehari
o menjaga kebersihan lingkungan
o mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita
o perbaiki keadaan umum
o menghilangkan faktor-faktor predisposisi
- Kriteria rujukan :
Pasien dirujuk apabila terjadi:
- Komplikasi mulai dari selulitis.
- Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari.
- Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik endokrin dan imunodefisiensi).
g. Prognosis : Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya bonam, bila dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam.
h. Sarana Prasarana
1. Laboratorium : mikroskop, pemeriksaan Gram, mediaagar darah
2. Obat-obatan.

2. FOLIKULITIS SUPERFISIALIS
Folikulitis adalah peradangan bagian distal folikel rambut yang biasanya hanya mengenai ostium, tapi dapat meluas sedikit ke bawah. Sebenarnya folikulitis merupakan keadaan yang sering ditemui dan umunya
diabaikan oleh penderita. Folikulitis bias mengenai anak-anak, remaja, dan orang dewasa, terutama penderita jerawat atau yang cenderung sebore. Folikulitis terdiri dari dua tipe yaitu superfisialis dan profunda. Sering
kedua tipe ini terjadi secara bersamaan. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, tapi lebih sering dijumpai pada anak-anak. Folikulitis disebabkan oleh stafilokokus koagulase positif.

Hasil Anamnesis (Subyektif)


Pasien datang ke dokter dengan keluhan rasa gatal dan terbakar pada daerah kulit yang berambut. Pertumbuhan rambut tidak terganggu.
Faktor risiko :
- Banyak berkeringat karena tinggal di daerah tropis yang panas
- Hygiene jelek
- Penyakit DM, kelelahan dan kurang gizi dapat memperberat penyakit
- Kebersihan lingkungan jelek Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Obyektif)
- Pemeriksaan fisik :
o Lokalisasi : daerah kulit berambut, paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas.

21
o Efloresensi : makula eritematosa, papula, pustula, dan miliar sampai lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut. Terlihat pustula folikuker kecil dan berbentuk kubah, sering ditembus oleh rambut halus.
Krusta tipis dapat menutupi muara folikel yang menyembul. Biasanya lesi banyak, meskipun lesi tunggal dapat terjadi. Masing-masing lesi saling terpisah, yang diantarai kulit normal, tanpa ada kecenderungan untuk
bergabung.

Pemeriksaan penunjang :
o Gambaran histopatologi : Khas, terdapat pustula subkorneal di muara folikel rambut. Folikel rambut tampak edematosa dengan sebukan sel-sel radang akut. Infiltrate peradangan terdiri dari netrofil yang mengelilingi
bagian atas folikel. Pada bentuk kronik, terdapat abses folikuler yang segera berubah menjadi nekrosis.
o Pemeriksaan bakteriologis dari sekret lesi dengan pewarnaan Gram.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis banding:
1. Akne vulgaris : terutama di wajah dan punggung
2. Impetigo Bockhart : daerah yang terkena adalah ekstremitas, dengan dasar eritematosa dan tampak pustula miliar.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


- Sistemik : diberikan jika luas
o Eritromisin 3 x 250 mg selama 7-14 hari, atau
o Penisilin 600.000-1,5 juta IU im selama 7-14 hari
- Topikal
o Kemicetin 2%
o Jika terjadi eksudasi kompres dengan PK 1/5.000
- Konseling dan edukasi
o Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
o Makan tinggi protein dan tinggi kalori
- Kriteria rujukan :
Pasien dirujuk apabila terjadi:
o Komplikasi mulai dari selulitis.
o Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari.
o Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik
endokrin dan imunodefisiensi).
Prognosis : baik
Sarana Prasarana :
1. Laboratorium : mikroskop, cat Gram
2. Obat-obatan

3. FURUNKEL, KARBUNKEL
Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya. Furunkel dapat terjadi sekunder terhadap dermatosis lain. Sering mengenai anak-anak sebagai komplikasi penyakit parasit, sperti
pedikulosis atau skabies. Furunkel sering terjadi pada kulit yang sering mendapat gesekan, tekanan, dan iritasi lokal, seperti garukan. Sedangkan karbunkel adalah gabungan beberapa furunkel yang dibatasi oelh
trabekula fibrosa yang berasal dari
jaringan subkutan yang padat. Perkembanangan dari furunkel menjadi karbunkel bergantung pada status imunologis penderita. Penyebab keduannya adalah Staphylococcus aureus.

Hasil Anamnesis (Subyektif)


Penderita datang ke dokter karena rasa gatal dan nyeri pada daerah lesi yang timbul mendadak. Keluhan disertai demam dan malaise.
Faktor risiko :
- Lebih sering pada musim panas, karena banyak berkeringat.
- Kebersihan dan hygiene yang kurang
- Lingkungan yang kurang bersih
- Penyakit DM, obesitas, hiperhidrosis, anemia, stress, kurang gizi, penderita imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Obyektif)

22
- Pemeriksaan fisik
o Lokalisasi : sering pada tubuh yang berambut dan mudah terkena iritasi, gesekan, atau tekanan; atau pada daerah yang lembap seperti ketiak, bokong, punggung,
leher, dan wajah.
o Efloresensi : mula-mula berupa macula eritematosa lentikular-numular setempat, kemudian menjadi nodula lentikular-numular berbentuk kerucut. Dalam satu minggu terjadi supurasi dan pus keluar melalui beberapa
muara folikel. Kemudian muara-muara ini bersatu dan terbentuklah nekrosis sebagai jaringan mati berwarna kuning, yang jika dibuang akan terbentuk
cekungan seperti kawah. Lesi yang sembuh akan membentuk parut.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


- Furunkel :
o Jika masih berupa infiltrat, topikal diberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibiotic.
o Antibiotik sistemik : Eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin
o Jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi, selanjutnya dikompres atau diberi salep kloramfenikol 2%.

- Karbunkel
o Jika masih berupa infiltrat, topikal diberikan kompres salep iktiol 10%, jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi, pasang drainase, selanjutnya dikompres.
o Antibiotik sistemik : Eritromisin 4 x 250 mg selama 7-14 hari; penisilin 600.000 IU selama 5-10 hari.

- Konseling dan edukasi


o Mengatasi faktor predisposisi seperti obesitas, DM, danhiperhidrosis.
o Menjaga kebersihan dan mencegah luka-luka kulit
o Menjaga kebersihan lingkungan Pasien dirujuk apabila terjadi:

- Komplikasi mulai dari selulitis.


- Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari.
- Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolic endokrin dan imunodefisiensi).
Prognosis : baik, jika faktor predisposisi dapat teratasi. Prognosis menjadi kurang baik jika terjadi rekurensi.

Sarana Prasarana
1. laboratorium : mikroskop, pemeriksaan secret
2. Lup
3. obat-obatan

PENYAKIT INFEKSI KRONIK PADA MATA


A. PTERIGIUM
Pterigium adalah suatu kondisi degenerasi elatoik subkonjungtiva. Merupakan suatu perluasan pinguekula ke kornea, seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga
merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultra violet, lingkungan yang kering, dan berangin.

Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan :
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
1. Mata sering berair dan tampak merah
2. Merasa seperti ada benda asing
3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan pada pterigium yang lanjut
(derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun

- Faktor risiko :
1. Paparan sinar matahari (ultra violet)
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over-produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi,migrasi seluler, dan
angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea

23
menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


- Pemeriksaan fisik :
1. Kemerahan lokalisata di medial atau lateral
2. Iritasi (+/-)
3. Penglihatan kabur (akibat obstruksi sumbu visual atau astigmatisme)
4. Tampak jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan.
- Pemeriksaan penunjang : -
Penegakan Diagnosis (Assessment)
- Derajat pertumbuhan pterigium :
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4
(Gradasi klinis menurut Youngson) :
a. Derajat 1
Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2
Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3
Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3 ‐ 4 mm)
d. Derajat 4
Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan

- Diagnosis Klinis :
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
- Diagnosis Banding :
1. Pinguekula (nodul kuning pada kedua sisi kornea di daerah apertura palpebra, lebih banyak di sisi nasal, jarang tumbuh besar, tetapi sering meradang)
2. Pseudo-pterigium (diawali riwayat kerusakan permukaan kornea,bagian limbus dapat dilalui sonde)

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


- Penatalaksanaan :
1. Medikamentosa
Lubrikan topical (+/-) G Volterol untuk mengurangi iritasi. Pada pterigium derajat 1 ‐ 2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5 ‐ 7
hari.Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3 ‐ 4 dilakukan tindakan bedah berupa eksisi pterigium. Sedapat mungkin setelah eksisi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan
cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat.
- Konseling & Edukasi :
Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu, dan udara kering dengan kacamata pelindung.
- Kriteria Rujukan :
Pterigium derajat 3 – 4
Sarana Prasarana
Pemeriksaan laboratorium patologi anatomi ditemukan lapisan Bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.
Prognosis
- Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan :
ad bonam
- Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya : ad bonam

24
- Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa : ad bonam

B. CHALAZION
Merupakan radang granulomatosa kronik yang steril dan idiopatik pada kelenjar meibom. Kondisi ini biasanya akan sembuh secara bertahap dalam beberapa minggu tanpa pengobatan.

Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan :
1. Benjolan pada palpebra
2. Tidak terasa sakit
3. Berkembang dalam beberapa minggu (awalnya berupa radang ringan disertai nyeri tekan)
- Faktor Risiko :
Riwayat kalazion sebelumnya

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


- Pemeriksaan fisik :
1. Benjolan pada palpebra (kebanyakan mengarah ke permukaan konjungtiva)
2. Bila kalazion cukup besar dan menekan bola mata, dapat menimbulkan astigmatisme
- Pemeriksaan penunjang : -

Penegakan Diagnosis (Assessment)


- Diagnosis Klinis :
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
- Diagnosis Banding :
Hordeolum (disertai tanda radang akut)
- Komplikasi :
Jika kalazion timbul kembali, terutama pada pasien tua, lakukan biopsy insisional segera untuk analisis histopatologi karena mungkin merupakan karsinoma kelenjar sebasea (karsinoma kelenjar meibom).

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


- Penatalaksanaan
1. Konservatif
Kompres panas dan cabut bulu mata jika terjadi stye (hordeolum eksternum)
2. Medikamentosa
G Chloromycetin setiap jam selama 3 jam, atau empat kali sehari selama 10 hari
Jika selulitis preseptal awal, tambahkan antibiotic sistemik selama 10 hari
3. Bedah
Jika tidak membaik dengan pengobatan, atau ukuran benjolan cukup besar sehingga mengganggu penglihatan dan mengganggu secara kosmetik, dianjurkan eksisi lesi.
Eksisi bedah dilakukan melalui insisi vertikal ke dalam kelenjar tarsal dari permukaan konjungtiva, diikuti kuretase materi gelatinosa dan epitel kelenjarnya dengan hati-hati.
Penyuntikan steroid intralesi bermanfaat untuk lesi kecil. Tindakan ini dikombinasi dengan tindakan bedah pada kasus yang sulit.
- Konseling & Edukasi :
Penanganan awal dengan pengobatan medikamentosa untuk mengurangi inflamasi, namun apabila inflamasi tidak menunjukan adanya perbaikan klinis, maka disarankan untuk dilakukan tindakan bedah
- Kriteria Rujukan
Kalazion berulang

Sarana Prasarana
Pemeriksaan laboratorium jarang diminta, akan tetapi pemeriksaan histologis menunjukkan proliferasi epitel asinus dan respon radang granulomatosa yang melibatkan sel kelenjar jenis Langerhans.Biopsi diindikasikan
pada kalazion berulang karena tampilan karsinoma
kelenjar meibom dapat menyerupai tampilan kalazion.

Prognosis
- Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan :ad bonam

25
- Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya : ad bonam
- Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa : ad bonam

C. TRIKIASIS
Merupakan penggesekan bulu mata pada kornea dan dapat disebabkan oleh entropion (pelipatan palpebra ke arah dalam), epiblefaron, atau hanya pertumbuhan yang salah arah. Keadaan ini menyebabkan iritasi
kornea dan mendorong terjadinya ulserasi.

Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan :
1. Sensasi benda asing atau mengganjal pada mata
2. Iritasi lokal
3. Berair refleks (hipersekresi)
4. Kemerahan

Faktor Risiko :
1. Entropion
2. Epiblefaron
3. Penyakit radang kronik palpebra, contoh blefaritis (parut folikel bulu mata yang terbentuk dapat menyebabkan arah pertumbuhan bulu mata yang salah)
4. Trakoma
5. Sikatrisial pemfigoid
6. Trauma kimia basa
7. Trauma kelopak lainnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
- Pemeriksaan fisik :
1. Kelopak mata terbalik ke dalam ke arah kornea dan bulu mata
menyentuh permukaan mata (entropion)
2. Konjungtiva kemotik dan hiperemi
3. Erosi pada kornea
4. Keratopati
5. Ulkus
- Pemeriksaan penunjang : -
Penegakan Diagnosis (Assessment)
- Diagnosis Klinis :
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
- Diagnosis Banding :
1. Entropion
2. Distikiasis
- Komplikasi :
1. Erosi kornea
2. Keratitis
3. Ulkus kornea
4. Endolftalmitis
5. Kebutaan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
- Penatalaksanaan :
1. Epilasi atau mencabut bulu mata yang salah tumbuh
2. Lubrikasi topical (untuk menghindari erosi kornea)
- Konseling & Edukasi :
Biasanya kejadian akan berulang akibat pertumbuhan bulu mata kembali dalam 6-8 minggu. Terapi akan lebih efektif dengan elektrolisis. Bila dilakukan pada bagian yang lebih luas maka dilakukan dengan terapi krio.
- Kriteria Rujukan : -

26
Prognosis
- Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan : ad bonam
- Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya : ad bonam
- Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa : dubia ad bonam

27
SITEM PEREDARAN DARAH DAN JANTUNG
ATEROSKLEROSIS

A. Latar Belakang

Banyak bukti yang mengatakan bahwa aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi kronis dan senyawa inflamasi seperti CRP dapat digunakan sebagai pengukur resiko kardiovaskular secara global ( Tarkun, İ.,
Arslan, B. Ç., Cantürk, Z., Türemen, E., Şahı̇ n, T., & Duman, C. (2004). Endothelial Dysfunction in Young Women with Polycystic Ovary Syndrome: Relationship with Insulin Resistance and Low-Grade Chronic
Inflammation. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 89(11), 5592–5596. doi:10.1210/jc.2004-0751)

Arteriosklerosis yang berarti pengerasan dinding arteri adalah istilah umum bagi penebalan dan hilangnya elastisitas dinding arteri. Aterosklerosis merupakan bentuk arteriosklerosis yang paling sering, dan secara
karakteristik ditandai oleh adanya lesi pada intima yang disebut bercak ateroma. Bercak ini dapat menonjol ke dalam dan menutupi lumen pembuluh darah, serta dapat melemahkan tunika media dibawahnya (Kumar,
Abbas, Fausto, Mitcheel. Robbins Basic Pathology. 8th edition. Elsevier. 2007. p343-353).

Aterosklerosis merupakan penyakit yang melibatkan cabang-cabang aorta yang besar dan arteri berukuran sedang, seperti arteri yang menyuplai darah ke bagian-bagian ekstremitas, otak, jantung dan organ dalam
utama. Penyakit ini multifokal, dan lesi unit, atau ateroma (bercak aterosklerosis), terdiri dari masa bahan lemak dengan jaringan ikat fibrosa. Sering disertai endapan sekunder garam kalsium dan produk-produk darah.
Bercak aterosklerosis mulai pada lapisan intima atau lapisan dalam dinding pembuluh tetapi dalam pertumbuhannya dapat meluas sampai melewati tunika media atau bagian muskuloelastika dinding pembuluh (Guyton
dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC).

Sekarang aterosklerosis tak lagi dianggap merupakan proses penuaan saja. Timbulnya "bercak-bercak lemak" di dinding arteria koronaria merupakan fenomena alamiah bahkan sejak masa kanak-kanak dan tidak
selalu harus menjadi lesi aterosklerotik; terdapat banyak faktor saling berkaitan yang dapat mempercepat proses aterogenik. Telah dikenal beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis koroner
pada individu tertentu.( Lipkin, David. 2003. Finding the Age Patient’s Heart. 326:1045-1046, available at:http://www.BMJ.com).

Aterosklerosis adalah perubahan dinding arteri yang ditandai akumulasi lipid ekstrasel, recruitment dan akumulasi lekosit, pembentukan sel busa, migrasi dan proliferasi miosit, deposit matriks ekstrasel, akibat
pemicuan patomekanisme multifaktor yang bersifat kronik progresif, fokal atau difus, bermanifestasi akut maupun kronis, serta menimbulkan penebalan dan kekakuan arteri.Aterosklerosis disebabkan faktor genetik
serta intensitas dan lama paparan faktor lingkungan (hemodinamik, metabolik, kimiawi eksogen, infeksi virus dan bakteri, faktor imunitas dan faktor mekanis), dan atau interaksi berbagai faktor tersebut (Price Sylvia
Anderson, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC)

Atherosklerosis bukanlah penyakit yang baru dikenal. Pembuluh darah mummi Mesir, lebih dari 3500 tahun yang lalu, ternyata telah mengidap penyakit ini. Otopsi pertama yang dilakukan pada tahun
1931menunjukkan adanya tanda-tanda pengapuran pada pembuluh koroner seorang mummi wanita berusia 50 tahun. Otopsi pada 200 serdadu yang mati muda dalam perang Korea menunjukkan 50 persen serdadu itu
menunjukkan tanda-tanda pengapuran pada pembuluh koronernya walaupun mereka tidak mempunyai keluhan sama sekali. Di Amerika Serikat, 46 persen dari anak muda yang mati karena kecelakaan lalu lintas
ternyata sudah mengidap pengapuran koroner yang nyata, tetapi tetap tanpa gejala yang nyata. Penyakit jantung koroner (PJK) yang berawal dari aterosklerosis telah menjadi penyebab utama kematian dewasa ini.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 117 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002. angka ini diperkirakan meningkat 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia, kasus PJK
semakin sering ditemukan karena pesatnya perubahan gaya hidup. Meski belum ada data epidemiologis pasti, angka kesakitan/kematiannya terlihat cenderung meningkat. Hasil survey kesehatan nasional tahun 2001
menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK. Perbaikan kesehatan secara umum dan kemajuan teknologi kedokteran menyebabkan umur harapan hidup meningkat, sehingga jumlah penduduk
lansia bertambah. Survey di tiga kecamatan di daerah Djakarta Selatan pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi lansia melewati angka 15% yang sebelumnya diperkirakan hanya 7,5% bagi Negara berkembang. Usia
lansia yang didefinisikan sebagai umur 65 tahun ke atas (WHO) ditenggarai meningkatkan berbagai penyakit degeneratif yang bersifat multiorgan. Prevalensi PJK (Penyakit Jantung Koroner) diperkirakan mencapai

28
50% dan angka kematian mencapai lebih dari 80% yang berarti setiap 2 (dua) orang lansia satu mengidap PJK dan jika terserang PJK maka kematian demikian tinggi dan hanya 20% yang dapat diselamatkan.(WHO
(2020), Cardiovascular Diseases. Available at: https://www.who.int/health-topics/cardiovascular-diseases)

B. Patogenesis

Fatty streak yaitu penumpukan lemak pada daerah subintima. Secara makroskopis, fatty streak tampak sebagai daerah berwarna kekuningan pada permukaan dalam arteri. Pada umumnya berbentuk guratan dengan
lebar 1-2mm dan panjang sampai 1 cm. Fatty streak ditandai dengan pengumpulan sel-sel besar yang disebut sel busa (foam cell) di subintima. Sel busa ini pada mulanya adalah makrofag yang memfagosit ox-LDL
(Histologi Pembuluh Darah, Universitas Muhammadiyah Malang)

A B

Gambar A: Fatty Streak, Gambar B: Foam Cell (H.E. 400x) (Histologi Pembuluh Darah, Universitas Muhammadiyah Malang)

Patogenesis aterosklerosis merupakan proses interaksi kompleks yang terjadi di endotel. Lipid dan inflamasi telah terbukti memiliki peran penting terhadap terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel merupakan
awal mula proses aterogenesis. Rangsangan biokimiawi atau mekanis dapat menimbulkan endothelial injury (jejas endotel). Disfungsi endotel menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, adhesi, dan infiltrasi
monosit dan sel T, serta peningkatan growth factor (Guyton, A.C., Hall, J.E. 2012. Pocket Companion to Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. US : Saunders Elsevier).

29
Gambar 1: Patogenesis Aterosklerosis (Guyton, A.C., Hall, J.E. 2012. Pocket Companion to Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. US : Saunders Elsevier)

Gambar 2: Disfungsi Endotel pada Aterosklerosis (Ross Russell. Atherosclerosis – An Inflammatory Disease. N.Engl.J.Med. 199 340:115-126)

30
Berdasarkan kedua gambar di atas, disfungsi endotel disebabkan oleh penurunan bio-availabilitas NO yang disebabkan salah satunya oleh stres oksidatif. Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara oksidan
dan antioksidan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah reactive oxygen species (ROS) atau reactive nitrogen species (RNS) dibandingkan dengan sistem pertahanan antioksidan endogen tubuh (Afanas’ev, I. (2011),
‘ROS and RNS signaling in heart disorders: Could antioxidant treatment be successful?’, Oxidative Medicine and Cellular Longevity)

C. Etiologi

Aterosklerosis dimulai saat terjadi jejas pada endotel akibat berbagai faktor risiko dengan berbagai intensitas. Salah satu penjejas utama endotel adalah Low Density Lipoprotein (LDL) plasma yang tinggi. LDL akan
mengalami oksidasi menjadi LDL–oks yang mudah sekali menempel dan menumpuk pada dinding pembuluh darah, menjadi deposit lipid. Penumpukan ini menyebabkan jejas pada endotel. Pada keadaan terjejas,
endotel normal akan menjadi endotel yang hiperpermeabel, yang ditunjukkan dengan terjadinya berbagai proses eksudasi (misalnya: protein, glukoprotein) dan infiltrasi monosit ke dalam lapisan pembuluh darah,
akibat peningkatan adesivitas terhadap lipoprotein, leukosit, platelet dan kandungan plasma lain. Selain itu, endotel terjejas juga memiliki prokoagulan yang lebih banyak dibanding antikoagulan, serta mengalami
pemacuan molekul adesi lekosit seperti L-selektin, integrin, plateletendothelial-cell adhesion molecule (PECAM)-1 dan molekul adesi endotel seperti E-selektin, P-selektin, intraceluler cell adhesion molecule (ICAM1)
dan vascular-cell adhesion molecule (VCAM-1). Keadaan ini mengakibatkan makromolekul lebih mudah menempel pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan jejas pada endotel. Respon inflamasi yang
terjadi pada aterogenesis diperantarai oleh makrofag derivat monosit dan limfosit T, yang apabila berlanjut akan meningkatkan jumlah makrofag dan limfosit yang beremigrasi. Aktivasi makrofag dan limfosit
menimbulkan pelepasan enzim hidrolitik, sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan, yang dapat menginduksi kerusakan lebih lanjut, dan akhirnya menimbulkan nekrosis fokal. Respon inflamasi ini apabila terus
berlanjut akan menstimulasi migrasi dan proliferasi miosit yang saling bercampur pada area inflamasi dan membentuk lesi intermedia. Apabila inflamasi tidak mereda, maka arteri akan mengalami remodeling, yaitu
penebalan dan pelebaran dinding pembuluh darah secara bertahap hingga lumen pembuluh darah tidak dapat berdilatasi kembali (Sima,C., Stancu, C., Simionescu, M. (2009), ‘Vascular endothelium in atherosclerosis’,
Cell and Tissue Research, vol. 335, pp. 191-203)

Gambar 3: Penebalan Tunika intima (Sima,C., Stancu, C., Simionescu, M. (2009), ‘Vascular endothelium in atherosclerosis’, Cell and Tissue Research, vol. 335, pp. 191-203)

Berdasarkan etiologi, aterosklerosis terdiri berbagai keadaan yang erat kaitannya dengan aterosklerosis yaitu faktor genetik, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, usia, kelamin pria,
kebiasaan merokok, dislipidemia, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, kurang aktifitas fisik dan menopause (Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC, 1022)

31
D. Gambaran Klinis

Gejala aterosklerosis baru akan terasa ketika arteri sudah sangat menyempit dan menghambat peredaran darah menuju  jaringan atau organ tubuh. Gejala yang muncul tergantung pada lokasi terjadinya ateriosklerosis,
di antaranya:

 Aterosklerosis pada tangan dan kaki; menimbulkan nyeri saat berjalan (klaudikasio).
 Aterosklerosis pada ginjal; menyebabkan gagal ginjal dan tekanan darah tinggi.
 Aterosklerosis pada jantung; menyebabkan nyeri dada (angina).
 Aerosklerosis pada otak; mengakibatkan tangan dan kaki lemah atau kaku, kesulitan bicara, otot wajah melemah, atau kehilangan penglihatan sementara pada salah satu mata. Gejala dapat bertambah berat dan
menyebabkan terjadinya stroke.

Penyebab pasti aterosklerosis belum diketahui, namun penyakit ini dimulai saat terjadi kerusakan atau cedera pada lapisan dalam arteri (endothelium). 

A. Penyempitan Pembuluh Arteri. Iskemia, akibat dari penyempitan arteri merupakan akibat yang paling banyak dijumpai pada atherosclerosis. Berkurangnya aliran darah biasanya terjadi pada penyempitan yang
berat ( > 70% ). Sering terjadi pada arteri coronaria (dapat terjadi MCI ), Arteri cerebral ( menimbulkan stroke ), arteri renalis, arteri mesenterica dan arteri pada iliofemoral.

B. Embolisme. Ulserasi pada atheromarous plaque dapat menimbulkan emboli lipid. Hal ini penting pada sirkulasi serebral, dimana emboli yang kecil dapat mengakibatkan transient ischemic attack. Dapat juga
terjadi pada arteri retina, yang dapat dilihat dengan funduscopy.

C. Aneurysm Pada atherosclerosis yang berat pada aorta, dindingnya menjadi lemah yang bisa menimbulkan dilatasi dan aneurysma. Atherosclerosis aneurysma terutama terjadi pada aorta abdominalis.

E. Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis dapat diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terjadinya gangguan peredaran darah dapat ditandai dengan denyut nadi yang melemah, tekanan darah yang rendah pada area tungkai yang terganggu,
serta penyembuhan luka . Hasil pemeriksaan fisik tersebut perlu diperkuat dengan beberapa pemeriksaan lanjutan yang meliputi:

 Pemeriksaan laboratorium darah, untuk melihat kadar kolesterol dan gula darah.


 Perbandingan indeks tekanan darah kaki dan lengan, guna memeriksa penyumbatan arteri pada tangan dan kaki.
 Elektrokardiogram (EKG), untuk memeriksa aktivitas jantung yang dapat menunjukkan bukti serangan jantung sebelumnya.
 USG Doppler, guna melihat adanya penyumbatan arteri dengan gelombang suara.
 Stress test atau pemeriksaan treadmill, untuk memeriksa aktivitas elektrik jantung dan tekanan darah saat melakukan kegiatan fisik.
 Pemindaian, meliputi magnetic resonance angiogram (MRA) dan CT scan untuk memeriksa kondisi arteri.
 Angiogram dan katerisasi jantung, yaitu pemeriksaan kondisi arteri jantung dengan menyuntikkan zat kontras (pewarna) pada arteri sehingga dapat terlihat melalui foto Rontgen.

32
SISTEM REPRODUKSI
PENYAKIT INFEKSI PADA CERVIX
KANKER SERVIKS

A. PENDAHULUAN
Kanker serviks merujuk pada berbagai jenis keganasan pada jaringan serviks atau mulut ende dengan tipe terbanyak yaitu karsinoma sel skuamosa. Kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua pada wanita
yang menyebabkan angka mortalitas yang tinggi. Kanker serviks disebabkan oleh virus Human Papilloma Virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18 yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kanker serviks
merupakan kanker yang dapat dicegah dengan melakukan skrining secara rutin dan melakukan vaksinasi HPV.
Beberapa ender risiko dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker serviks, di antaranya ender ender , perilaku seksual, dan riwayat infeksi menular seksual. Data WHO pada tahun 2012 menyebutkan
bahwa sekitar 270.000 wanita meninggal karena penyakit ini. Pemeriksaan penunjang seperti Pap Smear dan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dapat membantu menegakkan diagnosis.
Pemilihan penatalaksanaan dilakukan berdasar stadium kanker serviks. Modalitas tatalaksana di antaranya adalah operatif, kemoterapi, dan radioterapi.

B. Patogenesis
Kanker serviks merupakan kanker yang menyerang area mulut ende. Serviks merupakan bagian terbawah dan ujung dari ende atau uterus. Serviks menghubungkan antara uterus dan liang vagina. Serviks
memiliki dua bagian yaitu ektoserviks yang merupakan bagian luar serviks dan endoserviks yang merupakan bagian dalam serviks.
Ektoserviks ditempati oleh sel skuamousa yang pipih dan tipis. Sedangkan bagian endoserviks yang merupakan bagian dalam serviks, ditempati oleh sel kolumnar. Area tempat dimana ektoserviks bertemu dengan
endoserviks dinamakan area transformasi (T-zone). Area transformasi ini merupakan tempat pertama kali terjadinya perkembangan sel abnormal atau lesi pra kanker di serviks. Kanker serviks memiliki dua tipe
histopatologi yaitu karsinoma sel skuamosa (squamous cell carcinoma) dan adenokarsinoma (adenocarcinoma). Jenis kanker serviks yang terbanyak adalah tipe karsinoma sel skuamosa (squamous cell carcinoma)
yaitu sekitar 80-90% dari semua kasus kanker serviks.
Kanker serviks disebabkan oleh infeksi virus Human ender e Virus (HPV) tipe tertentu yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dua tipe virus HPV yaitu tipe 16 dan 18 merupakan tipe terbanyak yang
menyebabkan lesi pra kanker dan kanker serviks.[2] Virus HPV 16/18 menyebabkan 70% kasus kanker serviks di dunia dengan rincian 41% - 67% menyebabkan lesi kanker high-grade dan 16 – 32% menyebabkan
lesi kanker low-grade. Selain virus HPV tipe 16/18, tipe virus HPV lain yang menyebabkan kanker serviks di dunia diantaranya virus HPV 31, 33, 35, 45, 52 dan 58. Keenam tipe virus HPV ini menjadi penyebab
20% kasus kanker serviks di dunia

C. Etiologi
Etiologi kanker serviks terbanyak adalah infeksi virus HPV terutama tipe 16 dan 18. Tetapi, tidak semua wanita yang menderita infeksi virus HPV berkembang menjadi kanker serviks. Beberapa ender risiko lain
mempengaruhi perkembangan infeksi virus HPV ini menjadi kanker serviks.
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya kanker serviks di antaranya:
1) Faktor ender : Wanita yang memiliki saudara kandung atau saudara kembar yang menderita kanker serviks 2x lebih tinggi berisiko terkena kanker serviks.
2) Perilaku seksual : berhubungan pertama kali pada saat usia muda, berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual, berhubungan seksual dengan pasangan yang sering berganti-ganti pasangan,
riwayat penyakit menular seksual.
3) Kondisi ender kekebalan tubuh yang rendah seperti status gizi yang buruk, infeksi HIV dan kondisi lain yang menyebabkan sistem imunitas turun. Penderita HIV berisiko 5x lebih tinggi terkena kanker
serviks.
4) Merokok

Keterbatasan fasilitas untuk melakukan skrining atau pemeriksaan pap smear secara rutin.
Tipe virus HPV yang menginfeksi : Infeksi virus HPV tipe 6 dan 11 umumnya hanya menyebabkan terjadinya penyakit kondiloma dan lesi epitel skuamousa yang ringan (low grade squamous epithelial lesion) dan
tidak pernah ditemukan menjadi penyebab kanker serviks. Sedangkan infeksi virus HPV tipe 16 dan 18 menyebabkan 70% kasus kanker serviks di dunia.

D. Manifestasi Klinik 
1) Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan sekitar 75%-85%, berbau busuk dan terdapat perubahan warna akibat fungsi sekretori dari kelenjar serviks meningkat ,infeksi dan nekrosis
jaringan.

33
2) Pendarahan kontak merupakan 75-80% gejala karsinoma serviks. Perdarahan timbul akibat terbukanya pembuluh darah. Kebanyakan terjadi setelah hubungan badan atau pada saat melakukan
pemeriksaan ginekologi atau terlalu memaksa pada waktu buang air besar, ada darah segar bercampur dengan sekresi vagina (keputihan).
3) Pendarahan tidak teratur pada vagina. Wanita usia lanjut yang telah menopause bertahun-tahun, tiba-tiba “menstruasi” lagi tanpa sebab.
4) Rasa nyeri, terjadi akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf, adanya infeksi atau peradangan .
5) Cepat lelah
6) Kehilangan berat badan
7) Anemia
8) Obtruksi ureter sering terjadi karena metastasis ke KGB, terutama pada ureter 2,5 cm dari pelvicouretero junction berada kira – kira 1 cm dari serviks. Obstruksi ureter juga dapat terjadi di ureter yang
melewati vasa iliaca
9) Gejala lainnya adalah gejala-gejala yang timbul akibat metastase jauh.
Pada pemeriksaan fisik serviks dapat teraba membesar, ireguler, terraba lunak. Bila tumor tumbuh eksofitik maka terlihat lesi pada porsio atau sudah sampai vagina.

E. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus
mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear
dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap
wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka
pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999):
a. Normal.
b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
d. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar).
e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).

2) Pemeriksaan DNA HPV


Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA
HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun
sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat
sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang
persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.
3) Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan
untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk
mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni,
1997).
4) Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan
kolposkopis dalam mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997).
5) Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks
yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen ( Prayetni, 1997).
6) Radiologi
a. Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau peroartik limfe.

34
b. Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk
mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis
digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999).
F. Pencegahan
1) Melakukan Pap Smear.
2) Melakukan Suntik Vaksin HPV.
3) Berhenti Merokok.
4) Hidup Sehat.
5) Hindari membersihkan organ vital dengan toilet umum, kebersihan air sangat tidak terjamin
6) Hindari penggunaan sabun selesai buang air kecil atau buang air besar di area tersebut, karena kemungkinan PH kulit dan sabun tentu berbeda
7) Hindari penggunaan tisu di toilet umum, karena kemungkinan telah tercemar berbagai virus.
8) Gantilah celana dalam secara rutin minimal 2x satu hari.
9) Pada saat haid, ganti pembalut sesering mungkin, usahakan maksimal 3 jam satu kali, jika lagi “deras” bisa 2 jam sekali.
10) Gunakan pembalut yang menggunakan bahan baik, yang berkualitas, dan tidak berbau.
11) Hindari penggunaan minum minuman es saat masa menstruasi
12) Hindari menstruasi saat haid belum bersih
13) Screening rutin (tes rutin)
14) Jangan memegang area intim jika dalam kondisi tangan kotor.
15) Hindari makanan yang menyebabkan lendir keputihan berlebihan seperti timun.

PENYAKIT INFEKSI PADA OVARIUM


KANKER OVARIUM

A. Pendahuluan
Kanker ovarium merupakan keganasan pada ovarium yang menyebabkan angka mortalitas yang tinggi. Angka mortalitas yang tinggi ini berhubungan dengan sulitnya deteksi dini kanker ovarium karena tidak
adanya gejala spesifik pada stadium awal.
Berdasarkan jenis histologinya, kanker ovarium dibagi menjadi tipe epitelial, tumor stromal, tumor sel germinal, karsinoma peritoneal primer dan metastasis tumor ovarium.
Kanker ovarium memiliki etiologi multifaktorial dengan faktor genetik sebagai faktor yang berperan penting. Faktor genetik yang berperan dalam kanker ovarium adalah adanya mutasi pada gen BRCA1 dan 2.
Anamnesis gejala pada kanker ovarium umumnya bersifat tidak spesifik sehingga menyulitkan deteksi dini pada pasien, misalnya mudah lelah, perut kembung, sesak napas, dan penurunan berat badan. Walau
demikian, dapat digali faktor yang meningkatkan risiko kanker ovarium, seperti riwayat kanker pada keluarga dan riwayat penggunaan obat hormonal. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya efusi pleura,
asites, serta massa pada pelvis atau abdomen.

B. Patogenesis
Patofisiologi kanker ovarium berhubungan dengan adanya mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2.
Mutasi Gen BRCA1 dan BRCA2
Kanker ovarium berkaitan dengan faktor genetik yaitu mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2. Gen BRCA1 berperan penting dalam perbaikan DNA, kontrol siklus reproduksi sel, mitosis, remodelling kromatin dan
regulasi transkripsi. Gen BRCA2 berperan penting dalam rekombinasi homolog dan perbaikan DNA.[2] Mutasi genetik ini dapat meningkatkan risiko perubahan sel epitel normal menjadi kanker. Selain mutasi
genetik, lingkungan mikro juga berpengaruh dalam patogenesis dari kanker epitel ovarium. Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan satu diantara faktor angiogenesis yang penting dalam kanker
ovarium. Faktor angiogenesis lain di antaranya adalah fibroblast growth factor, angiopoietin, endothelin, Interleukin (IL)-6, IL-8, protein makrofag kemotaksis dan platelet derived growth factors.

C. Etiologi

35
Etiologi spesifik kanker ovarium belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya kanker ovarium, misalnya faktor genetik, usia, penggunaan terapi hormon pada wanita
menopause, infertilitas dan nuliparitas.
Faktor risiko genetik yang diduga berkaitan erat dengan kanker ovarium terutama tipe sel kanker epitel adalah mutasi pada gen TP53, BRCA1 dan BRCA2. Mutasi gen BRCA juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker lain seperti kanker payudara (BRCA1 dan BRCA2), kanker prostat (BRCA2), melanoma (BRCA2) dan kanker endometrium (BRCA1). Selain mutasi gen BRCA, mutasi gen lain yang terlibat
dalam perbaikan DNA juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium diantaranya adalah RAD51C, RAD51D, BRIP1, BARDI, PALB2, CHEK2, MRE11A, RAD50 dan ATM.

D. Manifestasi Klinis
Kanker ovarium jarang menimbulkan gejala pada stadium awal. Oleh sebab itu, kanker ovarium biasanya baru terdeteksi ketika sudah memasuki stadium lanjut atau sudah menyebar ke organ lain.
Gejala stadium lanjut dari kanker ovarium juga tidak terlalu khas dan menyerupai penyakit lain. Beberapa gejala yang dialami oleh penderita kanker ovarium adalah:
1) Perut kembung.
2) Cepat kenyang.
3) Mual.
4) Sakit perut.
5) Konstipasi (sembelit).
6) Pembengkakan pada perut.
7) Penurunan berat badan.
8) Sering buang air kecil.
9) Sakit punggung bagian bawah.
10) Nyeri saat berhubungan seks.
11) Keluar darah dari vagina.
12) Perubahan siklus menstruasi, pada penderita yang masih mengalami menstruasi.

E. Pemeriksa penunjang
1.Pemeriksaan panggul
    Oleh dokter yang berpengalaman, di cek rahim melalui vagina dan bagian lain dari palpasi ovarium untuk menentukan ukuran tumor, sifat, kegiatan, hubungan dengan organ sekitarnya dan
sebagainya. Seperti kembung atau massa perut gejala yang jelas, pemeriksaan ini adalah dapat diterima.

  2.Tes darah CA-125


CA-125 digunakan dalam deteksi diagnosis kanker ovarium, pengobatan dan tindak lanjut dan pemantauan epitel diagnosis kanker ovarium memiliki nilai penting untuk diagnosis
adenokarsinoma serosa didiagnosis lebih dari 80%. Namun, CA-125 adalah hasil yang normal tidak selalu berarti kanker ovarium, karena beberapa penyakit ginekologi, seperti akut radang panggul
penyakit, endometriosis juga dapat muncul peningkatan hasil CA-125.

  3.Biopsi
Biopsi dilakukan dengan mengumpulkan sel sitologi untuk mendeteksi sel-sel kanker. Untuk pasien yang didiagnosis setelah tes lain tidak bisa, perlu biopsi. Metode pengumpulan Biopsi: operasi,
laparoskopi, aspirasi jarum halus (FNA).

  4. Pencitraan
(1) USG vagina: diagnosis kanker ovarium adalah alat skrining penting, dapat menentukan hubungan antara ukuran tumor, sifat, lokasi, dan adanya ascites dan uterus. Untuk kanker ovarium pada
populasi berisiko tinggi dan ketidaknyamanan atau gejala, seperti perdarahan perut, kami merekomendasikan bahwa cek ini.

(2) CT dan MRI: kanker ovarium untuk menentukan ukuran, sifat, situs metastasis dan menemukan kelenjar getah bening panggul atau aorta meningkat untuk membantu.

(3) PET / CT pemeriksaan: dapat digunakan untuk menemukan tumor dan metastasis, dapat digunakan untuk memandu pengobatan, prognosis dan pemantauan hasil pengobatan.

F. Pencegahan

36
Kanker ovarium sulit untuk dicegah karena penyebabnya belum diketahui. Namun, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko terkena kanker ovarium, yaitu:

Mengonsumsi pil KB kombinasi


Tidak menggunakan terapi penggantian hormon
Tidak merokok
Menerapkan pola hidup sehat
Menjaga berat badan ideal
Pada wanita yang memiliki risiko tinggi terkena kanker ovarium, operasi pengangkatan ovarium sebelum terkena kanker juga dapat dilakukan guna meminimalkan risiko. Prosedur ini biasanya dianjurkan bagi
wanita yang sudah memutuskan untuk tidak memiliki keturunan lagi.

PENYAKIT INFEKSI PADA KELENJAR BARTOLIN


BARTOLINITIS

A. Pendahuluan
Bartolinitis adalah Infeksi pada kelenjar bartolin atau bartolinitis juga dapat menimbulkan pembengkakan pada alat kelamin luar wanita. Biasanya, pembengkakan disertai dengan rasa nyeri hebat bahkan sampai
tak bisa berjalan. Juga dapat disertai demam, seiring pembengkakan pada kelamin yang memerah.

B. Patogenesis
Lama kelamaan cairan memenuhi kantong kelenjar sehingga disebut sebagai kista (kantong berisi cairan). “Kuman dalam vagina bisa menginfeksi salah satu kelenjar bartolin hingga tersumbat dan
membengkak. Jika tak ada infeksi, tak akan menimbulkan keluhan.

C. Etiologi
Bartolinitis disebabkan oleh infeksi kuman pada kelenjar bartolin yang terletak di bagian dalam vagina agak keluar. Mulai dari chlamydia, gonorrhea, dan sebagainya. Infeksi ini kemudian menyumbat mulut
kelenjar tempat diproduksinya cairan pelumas vagina
ETIOLOGI INFEKSI
a. Infeksi alat kelamin wanita bagian bawah biasanya disebabkan oleh :
Virus : kondiloma akuminata dan herpes simpleks.
Jamur : kandida albikan.
Protozoa : amobiasis dan trikomoniasis.
Bakteri : neiseria gonore.
b. Infeksi alat kelamin wanita bagian atas :
Virus : klamidia trakomatis dan parotitis epidemika.
Jamur : asinomises.
Bakteri : neiseria gonore, stafilokokus dan E.coli

D. Manifestasi Klinis
o Pada vulva : perubahan warna kulit,membengkak, timbunan nanah dalam kelenjar, nyeri tekan.
o Kelenjar bartolin membengkak,terasa nyeri sekali bila penderia berjalan atau duduk,juga dapat disertai demam
o Kebanyakkan wanita dengan penderita ini datang ke PUSKESMAS dengan keluhan keputihan dan gatal, rasa sakit saat berhubungan dengan suami, rasa sakit saat buang air kecil, atau ada benjolan di sekitar
alat kelamin.
o Terdapat abses pada daerah kelamin
o Pada pemeriksaan fisik ditemukan cairan mukoid berbau dan bercampur dengan darah.

E. Pemeriksa Penunjang
Pemeriksaan dengan spekulum : ostium uteri eksternum bisa tampak normal, kemerahan atau erosif. Tampak vaginal discharge dengan sifat mukoid keruh, mukopurulen atau purulen. Mungkin didapatkan
komplikasi seperti : bartolinitis, salpingitis, abses tubo ovarii bahkan pelvik peritonitis. Ketiga komplikasi tersebut terahir disebut Pelvis Inflamatory Disease (PID).

37
Laboratorium :
Asupan servik atau vaginal discharge : Diplokokus gram negatif intraseluler lekosit.
Kriteria Minimal :
1) Riwayat kontak (+).
2) Asupan servik atau vaginal discharge : Diplokokus intraseluler lekosit gram negatif.

Terapi :
1) Penisilin Prokain : 4,8 juta IU IM (skin test dulu), 2 hari berturut turut, atau
2) Kanamisin : 2 gram IM dosis tunggal, atau
3) Amoksisilin atau Ampisilin : 3,5 gram oral dosis tunggal (lebih poten bila ditambahkan Probenesid 1 gram), atau
4) .Tetrasiklin cap: 4 X 500 mg selama 5 hari, atau
dosis awal 1.500 mg, dilanjutkan 4 X 500 mg selama 4 hari, atau
5) Kotrimoksasol tablet 480 : 1 X 4 tablet selama 5 hari
6) Bila ada komplikasi : Amoksisilin atau Ampisilin : 3,5 gram oral dosis tunggal diteruskan 4 X 500 mg selama 10 hari.
7) Pengamatan dan pemberian ulang dilakukan pada hari ke 3, 7 dan 14, sesudah itu setiap bulan selama 3 bulan.

F. Pencegahan
Untuk menghadang radang, berbagai cara bisa dilakukan. Salah satunya adalah gaya hidup bersih dan sehat :
1. Konsumsi makanan sehat dan bergizi. Usahakan agar Anda terhindar dari kegemukan yang menyebabkan paha bergesek. Kondisi ini dapat menimbulkan luka, sehingga keadaan kulit di sekitar selangkangan
menjadi panas dan lembap. Kuman dapat hidup subur di daerah tersebut.
2. Hindari mengenakan celana ketat, karena dapat memicu kelembapan. Pilih pakaian dalam dari bahan yang menyerap keringat agar daerah vital selalu kering.
3. Periksakan diri ke dokter jika mengalami keputihan cukup lama. Tak perlu malu berkonsultasi dengan dokter kandungan sekalipun belum menikah. Karena keputihan dapat dialami semua perempuan.
4. Berhati-hatilah saat menggunakan toilet umum. Siapa tahu, ada penderita radang yang menggunakannya sebelum Anda.
5. Biasakan membersihkan diri, setelah buang air besar, dengan gerakan membasuh dari depan ke belakang.
6. Biasakan membersihkan alat kelamin setelah berhubungan seksual.
7. Jika tidak dibutuhkan, jangan menggunakan pantyliner. Perempuan seringkali salah kaprah. Mereka merasa nyaman jika pakaian dalamnya bersih. Padahal penggunaan pantyliner dapat meningkatkan
Kelembapan kulit di sekitar vagina.
8. Alat reproduksi memiliki sistem pembersihan diri untuk melawan kuman yang merugikan kesehatan. Produk pembersih dan pengharum vagina yang banyak diperdagangkan sebetulnya tidak diperlukan.
Sebaliknya jika digunakan berlebihan bisa berbahaya.
9. Hindari melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan. Ingat, kuman juga bisa berasal dari pasangan Anda. Jika Anda berganti-ganti pasangan, tak gampang mendeteksi sumber penularan bakteri.
Peradangan berhubungan erat dengan penyakit menular seksual dan pola seksual bebas.

PROSTATITIS

A. Pendahuluan
Prostatitis adalah infeksi atau inflamasi kelenjar prostat yang muncul sebagai kumpulan gejala dengan berbagai spektrum klinis. Prostatitis bisa terjadi pada semua laki-laki dari segala usia, terutama usia kurang
dari 50 tahun.
Prostatitis adalah kondisi pada pria yang menyebabkan gangguan dalam berkemih seperti nyeri, pembesaran kelenjar prostat, dan gangguan dalam mengeluarkan air kencing. Prostatitis merupakan salah satu
masalah urologi tersering.
Prostatitis diklasifikasikan menjadi 4 kategori:
Kategori I: prostatitis bakterial akut
Kategori II: prostatitis bakterial kronis

38
Kategori III: prostatitis nonbakterial kronis
Kategori IV: prostatitis inflamasi asimtomatik

B. Patogenesis
Prostatitis adalah reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat disebabkan oleh bakteri maupun nonbakteri. Inflamasi ini akan menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga menekan uretra dan
menyebabkan gangguan berkemih. Patofisiologi prostatitis non bakteri berhubungan dengan terjadinya disfungsi neuromuskular atau refluks urin ke saluran prostat. Selain itu, prostatitis non bakteri juga dapat
disebabkan oleh infeksi HIV. Pada orang dengan HIV, prostatitis viral umum terjadi dengan penyebab utama adalah cytomegalovirus.
Pada prostatitis bakterial, infeksi dapat berasal dari transmisi seksual, tetapi dapat pula berasal dari penyebaran hematogen, limfatik, atau dari lokasi yang berdekatan. Sumber patogen pada prostatitis bakterial dapat
berasal dari refluks urin intraprostatik, infeksi asenden uretral, penyebaran limfatik dari rektum, atau penyebaran langsung dari hematogen. Refluks urin merupakan penyebab utama terjadinya prostatitis.
Refluks Urin
Refluks urin intraprostatik merupakan dasar patofisiologi utama, baik dari prostatitis bakteri maupun non bakteri. Refluks urin yang mengandung bakteri akan menyebabkan terjadinya prostatitis bakterial. Namun,
refluks urin yang steril sekalipun akan menyebabkan terjadinya iritasi dan inflamasi pada prostat sehingga menyebabkan prostatitis nonbakteri.

C. Etiologi
Etiologi prostatitis bakterial akut umumnya disebabkan oleh organisme gram negatif. Pada prostatitis bakterial kronis, Escherichia coli merupakan etiologi utamanya.
Secara umum, etiologi prostatitis dapat dibedakan menjadi infeksi, abnormalitas struktural, dan penyebab lain yang belum terbukti secara definitif.

D. Manifestasi klinis
Gejala prostatitis bisa ringan hingga berat, tergantung pada jenis prostatitisnya. Gejala yng dapat muncul adalah:
1) Demam
2) Menggigil
3) Aliran urine melemah
4) Urine berbusa dan berbau tidak sedap
5) Terdapat darah dalam urine atau sperma
6) Terus-menerus merasa ingin buang air kecil atau malah sulit buang air kecil
7) Sering buang air kecil di malam hari (nokturia)
8) Nyeri saat buang air kecil, buang air besar, atau ejakulasi
9) Nyeri di perut, pangkal paha, penis, testis, perineum (area antara pangkal testis dan anus), atau punggung bawah
E. Pencegahan
Pada sebagian besar kasus, penyebab prostatitis tidak diketahui, sehingga sulit untuk dicegah. Meski demikian, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terserang prostatitis, yaitu:
1) Rutin menjaga kebersihan area kelamin
2) Menghindari duduk terlalu lama dan melakukan perubahan posisi dari duduk ke berdiri secara berkala
3) Rutin berolahraga minimal 3 kali dalam seminggu
4) Banyak minum air putih
5) Banyak mengonsumsi buah dan sayur untuk menjaga daya tahan tubuh
6) Tidak mengonsumsi makanan pedas, minuman berkafein, dan minuman beralkohol
7) Menjaga berat badan ideal
8) Mengelola stres dengan baik, misalnya dengan meditasi atau relaksasi
9) Melakukan hubungan seks yang aman, yaitu dengan menggunakan kondom dan tidak bergonta-ganti pasangan

Epididimitis
A. Pendahuluan
Epididimis dibentuk oleh saluran yang berlekuk-lekuk secara tidak teratur yang disebut duktus epididimis. Panjang duktus epididimis sekitar 600 cm. Duktus ini berawal dari puncak testis (kepala epididimis) dan berjalan
berliku-liku, kemudian berakhir pada ekor epididimis yang kemudian menjadi vas deferens. Epididimis merupakan tempat terjadinya maturasi akhir sperma.

39
Epididimitis merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi pada epididimis. Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk kurva (koil) yang menempel di belakang testis dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan sperma
yang matur. Berdasarkan timbulnya nyeri, epididimitis dibedakan menjadi epididimitis akut dan kronik. Epididimitis akut memiliki waktu timbulnya nyeri dan bengkak hanya dalam beberapa harisedangkan pada epididimitis
kronik, timbulnya nyeri dan peradangan pada epididimis telah berlangsung sedikitnya selama enam minggu disertai dengan timbulnya indurasi pada skrotum. Epididymitis menyebabkan hilangnya fungsi seksual pria secara
menyeluruh.
B. Patogenesis
epididimitis disebabkan oleh aliran balik dari urin yang mengandung bakteri, dari uretra pars prostatika menuju epididimis melalui duktus ejakulatorius vesika seminalis,ampula dan vas deferens. Oleh karena itu, penyumbatan
yang terjadidi prostat dan uretra serta adanya anomali kongenital pada bagiangenito-urinaria sering menyebabkan timbulnya epididimitis karenatekanan tinggi sewaktu miksi. Setiap kateterisasi maupuninstrumentasi seperti
sistoskopi merupakan faktor resiko yang sering menimbulkan epididimitis bakterial. 4,17 Infeksi berawal di kauda epididimis dan biasanya meluas ke tubuh dan hulu epididimis. Kemudian mungkin terjadi orkitis melalui
radang kolateral. Tidak jarang berkembang abses yang dapatmenembus kulit dorsal skrotum. Jarang sekali epididimitisdisebabkan oleh refluks dari jalan kemih akibat tekanan tinggi intraabdomen karena cedera perut.
C. Etiologi
Infeksi bakteri non spesifik Bakteri coliforms (misalnya E coli, Pseudomonas Proteus Klebsiella) menjadi penyebab umum terjadinya epididimitis pada anak-anak, dewasa dengan usia lebih dari 35 tahun danhomoseksual.
1. Ureaplasma urealyticum
2. Corynebacterium
3. Mycoplasma
4. Mima polymorpha
juga dapat ditemukan pada golongan penderita tersebut. Infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus influenza
Penyakit Menular Seksual Chlamydia merupakan penyebab tersering pada laki-laki berusia kurang dari 35 tahun dengan aktivitas seksual aktif.Infeksi yang disebabkan oleh :
1. Neisseria gonorrhoeae
2. Treponema pallidum
3. Trichomonas
4. Gardnerella vaginalis
juga sering terjadi pada populasi ini Virus Virus menjadi penyebab yang cukup dominan pada anak-anak. Pada epididimitis yang disebabkan oleh virus tidak didapatkan adanya pyuria. Mumps merupakan virus yang sering
menyebabkan epididimitis selain coxsackie virus A danvaricella· Tuberkulosis Epididimitis yang disebabkan oleh basil tuberkulosis sering terjadi di daerah endemis TB dan menjadi penyebab utamaterjadinya TB urogenitalis
Penyebab lainnya yaitu :
1. coccidioidomycosis
2. blastomycosis
3. Cytomegaloviruscandidiasis

D. Manifestasi Klinik
Gejala yang timbul tidak hanya berasal dari infeksi local namun juga berasal dari sumber infeksi yang asli. Gejala yang sering berasal dari sumber infeksi asli seperti duh uretra dan nyeri atau itching pada uretra (akibat
uretritis), nyeri panggul dan frekuensimiksi yang meningkat, dan rasa terbakar saat miksi (akibat infeksipada vesika urinaria yang disebut Cystitis), demam, nyeri padadaerah perineum, frekuensi miksi yang meningkat,
urgensi, dan rasaperih dan terbakar saat miksi (akibat infeksi pada prostat yangdisebut prostatitis), demam dan nyeri pada regio flank (akibat infeksipada ginjal yang disebut pielonefritis). Gejala lokal pada epididimitis berupa
nyeri pada skrotum.Nyeri mulai timbul dari bagian belakang salah satu testis namundengan cepat akan menyebar ke seluruh testis, skrotum dankadangkala ke daerah inguinal disertai peningkatan suhu badan yangtinggi.
Biasanya hanya mengenai salah satu skrotum saja dan tidak disertai dengan mual dan muntah.
E. Penatalaksaan pencegahan
1. konodm, Kondom dapat membantu untuk mengurangi penyebaran penyakit menular seksual, dalam hal ini termasuk bakteri/virus klamidia dan genore
2. Menjaga kebersihan tubuh terutama pada derah vital

40
3. Pada saat pembedahan sering diberikan antibiotic profilaktik
4. Mengurangi seks bebas

F. Metode Pemeriksaan
 Pemeriksaan urin kultur
 Urethral smear (tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoe)
 Pemeriksaan darah CBC (complete blood count)
 Dopller ultrasound, untuk mengetahui kondisi testis, menentukan diagnosa dan mendeteksi adanya abses pada skrotum
 Testicular scan
 Analisa air kemih
 Pemeriksaan kimia darah

41

Anda mungkin juga menyukai