Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS INSTRUMEN SOAL YANG BERBASIS PROBLEM SOLVING

PADA RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


MAHASISWA PROFESI PENDIDIKAN GURU (PPG)

Suryawati1

1
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: suryawatina@gmail.com

Abstrak. Problem solving merupakan bagian dari kurikulum 2013 yang menuntut siswa
untuk berpikir tingkat tinggi melalui pengembangan Higher Order of Thinking Skill
(HOTS). Kemampuan HOTS ini digunakan apabila seseorang menerima informasi baru
dan menyimpannya untuk kemudian digunakan atau disusun kembali untuk keperluan
problem solving berdasarkan situasi. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau instrumen
soal pada RPP mahasiswa PPG (Profesi Pendidikan Guru) yang berbasis problem
solving. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui analisis RPP mahasiswa PPG. Data
tentang instrumen soal pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mahasiswa PPG
yang berbasis problem solving diungkapkan secara deskriptif. Oleh karena itu, penelitian
ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif deskriptif. Subjek dalam penelitian
ini adalah RPP mahasiswa PPG yang diambil secara acak sebanyak 5 buah RPP. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG yang
berbasis problem solving adalah 41,67%, dan ini termasuk kategori rendah karena belum
mencapai 50%. Sehingga perlu peningkatan instrumen soal yang berbasis problem
solving. Supaya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis, analitis,
logis, dan sistematis. Instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG yang berbasis problem
solving dapat berupa soal non rutin dalam bentuk soal open ended atau soal cerita, yang
melibatkan logika, penalaran, dan uji coba dalam memecahkan soal-soal tersebut.

Kata kunci: Instrumen soal, matematika, problem solving

1. Pendahuluan
Perencanaan pembelajaran merupakan suatu proses yang harus dimulai dari penetapan tujuan yang
akan dicapai melalui analisis kebutuhan serta dokumen yang lengkap, kemudian menetapkan langkah-
langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Sanjaya, 2013:23). Perencanaan
pembelajaran harus dirancang oleh guru sebaik mungkin, karena dengan adanya perencanaan
pembelajaran yang matang, guru dapat memprediksi seberapa besar keberhasilan yang akan dicapai
melalui proses pembelajaran yang sistematis, efektif, dan efisien. Apabila kegiatan pembelajaran
dilakukan tanpa perencanaan pembelajaran yang baik, kemungkinan besar akan cenderung mengalami
kegagalan karena tidak memiliki acuan yang seharusnya dilakukan dalam rangka keberhasilan kegiatan
pembelajaran. Nuraini (2004:11) mengatakan, “Setiap guru dituntut untuk selalu menyiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan program pembelajaran yang akan berlangsung. Persiapan awal yang
dilakukan oleh guru ialah membuat suatu perencanaan pembelajaran”.

Perencanaan pembelajaran yang dipersiapkan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar merupakan kegiatan penting dan menjadi tuntutan setiap guru, agar proses pembelajaran
dapat berjalan dengan lancar dan optimal, sehingga guru harus mempersiapkan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang baik dan benar. Dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 disebutkan
bahwa RPP merupakan rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu materi pokok
atau tema tertentu yang mengacu pada silabus.

Secara garis besar, merancang RPP terdiri dari tiga kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) kegiatan
pendahuluan; (2) kegiatan inti; dan (3) kegiatan penutup. Dalam kegiatan penutup, salah satu kegiatan
yang dilakukan oleh guru adalah melakukan evaluasi. Sebelum melakukan evaluasi, guru
mempersiapkan instrumen soal untuk evaluasi hasil belajar dengan tujuan menilai pengetahuan siswa
terhadap kegiatan pembelajaran yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram.

RPP terdiri atas: (1) identitas mata pelajaran; (2) tujuan pembelajaran; (3) materi ajar; (4) metode
pembelajaran; (5) media, alat, dan sumber pembelajaran; (6) langkah-langkah kegiatan pembelajaran;
dan (7) penilaian hasil belajar. Komponen-komponen tersebut harus disajikan secara sistematis dan
terstruktur agar mudah dimengerti dalam pelaksanaan pembelajaran.

Identitas mata pelajaran yang perlu dicantumkan adalah nama sekolah, mata pelajaran, kelas, semester,
kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, dan alokasi waktu. Selain itu,
guru harus merancang tujuan umum pembelajaran yang dirumuskan sebagai indikator hasil belajar.
Tujuan pembelajaran dibedakan menurut waktu pertemuan, sehingga tiap pertemuan dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang telah diprogram. Setelah merancang tujuan pembelajaran, maka dilanjutkan
dengan penempatan materi ajar yang akan diajarkan kepada peserta didik. Dalam penempatan materi
pembelajaran, guru dapat menyesuaikan dengan indikator yang akan dicapai.
Metode pembelajaran merupakan cara yang digunakan oleh guru untuk menciptakan suasana belajar
sesuai kompetensi dasar atau indikator. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi
dan kondisi peserta didik serta karakteristik peserta didik dari setiap indikator yang ingin dicapai.
Selanjutnya, menentukan sumber pembelajaran berdasarkan kompetensi inti, kompetensi dasar, serta
materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi. Sumber pembelajaran
mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat, dan bahan. Setelah dilakukan
kegiatan pembelajaran, maka guru melakukan penilaian hasil belajar dengan tujuan untuk mengetahui
sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai.
Dalam kurikulum 2013 revisi 2017, menurut Astutik (2017) RPP harus mengacu pada penguatan
pendidikan karakter (PPK), Literasi, 4C (Communication, Collaboration, Critical Thinking and
Problem Solving, and Creativity and Innovation), dan Higher Order of Thinking Skill (HOTS). Tujuan
dari penerapan empat macam hal tersebut yaitu untuk kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif,
metakognitif, dan berpikir kreatif yang merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang perlu
diterapkan kepada peserta didik supaya mampu memecahkan soal-soal matematika dalam kehidupan
sehari-hari. RPP dirancang dengan berpusat pada peserta didik, sebagaimana tuntutan dari kurikulum
2013 bahwa pembelajaran harus berpusat pada peserta didik, supaya lebih aktif, kreatif, inspiratif, dan
mandiri dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam
kurikulum 2013 adalah metode pembelajaran yang berbasis problem solving, karena dalam metode
pembelajaran problem solving, guru dapat mengintegrasikan HOTS sebagaimana tuntutan dari
kurikulum 2013.
Dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, guru harus memfasilitasi peserta didik untuk
menjadi pemikir dan pemecah masalah yang lebih baik, yaitu dengan cara memberikan suatu masalah
yang memungkinkan peserta didik untuk menggunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Oleh
karena itu, diperlukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan
kreatif peserta didik dalam bentuk mengintegrasikan HOTS. Menurut Ariandari (2015), permasalahan
atau soal yang dapat digunakan dalam meningkatkan HOTS peserta didik adalah soal HOTS
matematika yang berkriteria: (1) membutuhkan pemikiran yang kompleks untuk menyelesaikannya
(menuntut peserta didik untuk mengeksplorasi dan menerapkan konsep-konsep matematika, atau
hubungan antar konsep), (2) menggunakan soal/masalah non-rutin, yaitu masalah yang menuntut
peserta didik menentukan sendiri strategi penyelesaiannya sebelum mereka menggunakan berbagai
rumus yang telah mereka kuasai dan dapat diselesaikan dengan berbagai cara penyelesaian atau non-
algoritmik (baik menggunakan solusi tunggal maupun banyak solusi-open ended), dan (3) menuntut
siswa untuk menggabungkan fakta dan ide dalam mensintesis, menggeneralisasi, menjelaskan,
melakukan dugaan, dan membuat kesimpulan atau interpretasi.
Holmes (dalam Wiworo , 2013:4) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, terdapat dua
jenis bentuk soal yaitu soal rutin dan soal non rutin. (1) Soal rutin ialah soal latihan biasa yang dapat
diselesaikan dengan prosedur atau strategi yang sudah ada. Soal rutin sering disebut sebagai
penerjemah karena deskripsi situasi dapat diterjemah dari kata-kata menjadi simbol-simbol. Soal rutin
membutuhkan satu, dua, atau lebih langkah pemecahan. Dalam pembelajaran matematika yang
diprioritaskan terlebih dahulu adalah soal rutin. (2) Soal non rutin ialah bentuk soal dalam
penyelesaiannya diperlukan pemikiran lebih lanjut karena prosedurnya tidak sejelas atau tidak sama
dengan prosedur yang dipelajari. Soal nonrutin mengharuskan pemecah masalah untuk membuat
sendiri strategi pemecahan. Strategi-strategi seperti menggambar, menebak, dan melakukan cek,
membuat tabel atau urutan kadang perlu dilakukan. Soal non rutin kadang memiliki lebih dari satu
solusi pemecahan. Soal tersebut kadang melibatkan situasi kehidupan atau melibatkan berbagai
hubungan subjek.
Departement mathematics and computer science (Carson, 2007:8) mengemukakan lima tipe soal
matematika, yaitu:
1. Soal-soal yang menguji ingatan (memori).
2. Soal-soal yang menguji keterampilan (skills).
3. Soal-soal yang membutuhkan penerapan keterampilan pada situasi yang biasa (familiar).
4. Soal-soal yang membutuhkan penerapan keterampilan pada situasi yang tidak biasa
(unfamiliar) dan mengembangkan strategi untuk masalah yang baru.
5. Soal-soal yang membutuhkan ekstensi (perluasan) keterampilan atau teori yang kita kenal
sebelum diterapkan pada situasi yang tidak biasa (unfamiliar).
Soal tipe 1, 2, dan 3 termasuk pada kelompok soal rutin. Soal tipe ini sering diberikan kepada peserta
didik, akan tetapi soal tipe ini tidak dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah.
Soal tipe 4 dan 5 merupakan soal dalam kelompok non rutin yang banyak mengasah kemampuan
dalam pemecahan masalah.
Sanjaya (2006:135) mengatakan bahwa kategori sebuah soal menjadi soal non rutin antara lain: (a)
soal tersebut memiliki lebih dari satu cara penyelesaian, (b) soal tersebut melibatkan logika, penalaran,
dan uji coba, dan (c) soal tersebut sesuai dengan situasi nyata dan minat siswa. Penyelesaian soal
matematika yang bersifat non rutin dapat meningkatkan kemampuan dalam berpikir kritis, analitis,
sistematis, dan logis (Fajriah, 2018).
Problem solving merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dapat
membantu siswa mengembangkan keterampilan intelektual dan mengajarkan cara memecahkan
masalah menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah (Suherman , 2003:83). Kemampuan
pemecahan masalah dapat dikembangkan jika mereka dibiasakan menghadapi soal yang bersifat non
rutin. Artinya, soal tersebut bukan suatu soal yang langsung tergambar cara penyelesaiannya, tetapi
dibutuhkan strategi khusus untuk menemukan solusi dari soal tersebut. Misalnya, strategi seperti
menggambar, membuat pola, membuat tabel atau diagram (Ruseffendi, 2006). Semua strategi tersebut
membutuhkan pemikiran yang rasional, kritis analitis, sitematis, dan logis. Polya (dalam Hudojo,
2005:130) mengemukakan bahwa ciri-ciri soal yang berbasis problem solving yaitu soal tersebut
menantang pikiran (challenging) dan soal tersebut tidak otomatis diketahui cara penyelesaian
(nonroutine). Berdasarkan pendapat di atas, soal non rutin inilah yang dapat digunakan sebagai soal
yang berbasis problem solving dan guru matematika hendaknya membiasakan siswa mengerjakan soal
non rutin agar siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis.
Pembelajaran berbasis problem solving merupakan salah satu metode pembelajaran yang
direkomendasikan oleh pemerintah (Kemdikbud, 2014), di mana dalam pembelajaran ini, kemandirian
peserta didik dalam menyelesaikan soal non rutin sangat diperlukan. Apabila peserta didik dibiasakan
memecahkan masalah yang bersifat non rutin, maka peserta didik tersebut akan lebih mudah
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja,
menjadi seorang pemecah masalah (problem solver) yang baik bisa membawa manfaat-manfaat besar.
Oleh karena itu, problem solving sangat penting dalam pelajaran matematika, mengingat masih banyak
peserta didik yang merasa kesulitan dalam mengkonstruksikan dan mengaplikasikan ide-ide dalam
problem solving matematika. Langkah-langkah penyelesaian soal tidak rutin sebaiknya mengikuti
langkah-langkah problem solving model Polya, karena merupakan langkah-langkah penyelesaian yang
sistematis sehingga penyelesaian mudah dan terarah (Fajriah, 2018). Problem solving model Polya
(1973) terdapat empat (4) langkah penyelesaian yaitu: (1) memahami masalah; (2) merencanakan
penyelesaian masalah; (3) melaksanakan rencana penyelesaian; dan (4) memeriksa kembali.
Menurut Susanto (2013:197) dilihat dari aspek kegunaan atau fungsinya, problem solving dalam
pembelajaran matematika dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu:
a. Problem solving sebagai tujuan
Problem solving ditetapkan atau dianggap sebagai tujuan pengajaran, maka ia tidak tergantung
pada soal atau masalah yang khusus, prosedur, atau metode serta isi matematika. Anggapan
yang penting dalam hal ini bahwa pembelajaran tentang bagaimana menyelesaikan masalah
(solve problem) merupakan alasan utama belajar matematika.
b. Problem solving sebagai proses
Dalam hal ini problem solving diartikan sebagai proses mengaplikasikan segala pengetahuan
yang dimiliki pada situasi yang baru dan tidak biasa. Dalam interpretasi ini, yang perlu
diperhatikan adalah metode, prosedur, strategi dan heuristik yang digunakan siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah.
c. Problem solving sebagai keterampilan dasar
Keterampilan dasar dalam hal ini yaitu menyangkut keterampilan minimal yang harus dimiliki
siswa dalam matematika, dan keterampilan minimal yang diperlukan seseorang agar dapat
menjalankan fungsinya dalam berhitung, keterampilan aritmatika, keterampilan logika dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu, problem solving menjadi fokus penting dalam pembelajaran matematika sehingga
secara jelas terdapat pada kurikulum mata pelajaran matematika, mulai dari jenjang sekolah dasar
sampai sekolah menengah. Dalam setiap kompetensi inti, ada salah satu kompetensi dasar yang
mengarahkan siswa untuk mampu menggunakan konsep-konsep matematika dalam menyelesaikan
masalah.
Menurut Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013, Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah suatu program
pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapakan lulusan S1 Kependidikan atau S1/DIV
Nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru
secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan, sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik
prefesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sistem
pembelajaran pada program PPG mencakup lokakarya pengembangan perangkat pembelajaran, latihan
mengajar melalui pembelajaran mikro, pembelajaran pada teman sejawat, dan Progam Pengalaman
Lapangan (PPL), dan program pengayaan bidang studi dan/atau pedagogi yang diselenggarakan
dengan pemantauan langsung secara intensif oleh dosen pembimbing. Lokarya pengembangan
perangkat pembelajaran dan program pengalaman lapangan dilaksanakan dengan berorientasi pada
pencapaian kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Dengan demikian, fokus penelitian ini yaitu tentang instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG
(Pendidikan Profesi Guru) sebagai calon guru, karena berdasarkan konteks permasalahan yang telah
diuraikan bahwa selama ini instrumen soal yang dikembangkan oleh guru belum mencapai kriteria
yang diharapkan dalam kurikulum 2013 (Kinasih, 2017). Sementara Suryadi (2010) menyatakan
bahwa hasil belajar peserta didik dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang digunakan guru, baik
sebelum pembelajaran (merancang RPP), saat pembelajaran dimulai (penerapan RPP) dan setelah
pembelajaran (penilaian terhadap proses pembelajan). Berdasarkan permasalahan tersebut, kemudian
dirumuskan ke dalam pertanyaan peneliti: “ bagaimana instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG
yang berbasis problem solving?”.

2. Metode
Penelitian ini bertujuan untuk meninjau instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG (Profesi Pendidikan
Guru) yang berbasis problem solving. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui analisis RPP mahasiswa
PPG. Sumber data dalam penelitian ini ialah mahasiswa PPG bidang studi pendidikan matematika dan
RPP yang dibuat mahasiswa tersebut. Subjek penelitian ini adalah lima buah RPP mahasiswa PPG
Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala. Jadi, data yang dikumpulkan berupa dokumentasi
RPP yang dibuat oleh mahasiswa PPG tersebut. Setelah RPP matematika buatan mahasiswa PPG
dikumpulkan, selanjutnya RPP tersebut dianalisis dengan tujuan untuk mengetahui seberapa banyak
persentase instrumen soal yang berbasis problem solving. Kemudian, setelah mendapat seberapa
banyak persentase soal rutin dan soal non rutin, selanjutnya dilakukan pendeskripsian terhadap soal
non rutin yang digunakan sebagai soal yang berbasis problem solving.

3. Hasil dan Pembahasan


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah RPP buatan mahasiswa PPG bidang studi
pendidikan Matematika yang diambil secara acak sebanyak 5 buah RPP. Berikut ini penjelasan
mengenai kelima RPP tersebut.
RPP 1: Butir soal yang dievaluasikan sebanyak dua butir soal, salah satunya soal non rutin. Pada soal
non rutin ini mengharuskan pemecah masalah menentukan prosedur penyelesaian terlebih dahulu.
Kemudian, mencocokkan prosedur/pola yang sudah ditentukan dengan data-data yang ada dalam soal.
Soal seperti ini melibatkan logika, penalaran, dan uji coba dalam menentukan prosedur/pola
matematikanya. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui karakteristik peserta didik supaya lebih mudah
dalam menentukan soal-soal non rutin.
RPP 2 adalah barisan geometri dan soal yang dievaluasikan sebanyak dua butir soal, salah satunya soal
non rutin yang berbasis problem solving terintegrasi HOTS. Dalam memecahkan soal non rutin yang
berbasis problem solving terintegrasi HOTS, sangat diperlukan pemahaman terhadap soal supaya dapat
mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam memecahkan soal tersebut. Kemudian, menentukan
konsep matematika yang terlibat dalam barisan geometri.
RPP 3: menjelaskan materi peluang, dalam RPP 3, hanya satu soal yang termasuk soal non rutin dari
dua soal yang dievaluasikan. Soal non ruti dalam RPP 3 ini merupakan soal non rutin yang berbasis
open ended, sehingga siswapeserta didik perlu melibatkan logika, penalaran, dan uji coba dalam
memecahkan soal-soal tersebut. Soal open ended biasanya memiliki lebih dari satu cara penyelesaian
atau memilki lebih dari satu solusi.
RPP 4 membahas materi barisan aritmatika. Dalam RPP ini, soal yang dievaluasikan sebanyak empat
soal, tiga diantaranya soal rutin dan satu soal non rutin. Seharusnya, minimal ada dua soal non rutin
yang dapat dimunculkan dalam materi ini karena semakin banyak diberikan soal non rutin, maka akan
semakin meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan soal barisan aritmatika. Soal non rutin
yang ada dalam RPP ini merupakan soal yang open ended, sehingga memberikan kesempatan yang
sangat luas kepada siswa untuk menggunakan segala kemampuan matematisnya dalam
mengembangkan dan menggunakan ide-ide beserta skill matematikanya, mendemonstrasikan
pemahaman yang mendalam melalui berbagai cara, untuk mengkonstuksi berbagai kemungkinan
solusi dan argumentasi terhadap masalah matematika yang dipecahkan.
RPP 5 membahas materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Dalam RPP ini, hanya dua
soal yang dievaluasikan, salah satunya soal non rutin. Soal non rutin pada materi ini memiliki lebih
dari satu solusi pemecahan, baik menggunakan metode grafik, metode substitusi, dan metode
eliminasi.
Hasil analisis instrumen soal yang ada dalam RPP tersebut berjumlah 12 butir soal. Berikut ini rincian
soal rutin dan soal non rutin.
Tabel 1. Rincian Soal Rutin dan Soal Non Rutin
RPP RPP 1 RPP 2 RPP 3 RPP 4 RPP 5 Total
Soal Rutin 1 1 1 3 1 7
Soal Non Rutin 1 1 1 1 1 5

Berdasarkan tabel tersebut, maka diperoleh 58,33% butir soal rutin dan 41,67% butir soal non rutin.
Soal non rutin dalam penelitian ini merupakan soal yang berbasis problem solving terintegrasi HOTS.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG yang berbasis
problem solving terintegrasi HOTS adalah 41,67% dan ini termasuk kategori rendah karena belum
mencapai 50%, sehingga perlu peningkatan mutu soal yang berbasis problem solving terintegrasi
HOTS. Hal ini sejalan dengan penelitian Suandito, dkk (2009:10) menunjukkan bahwa pengembangan
soal-soal yang berbasis problem solving yang terintegrasi soal HOTS masih sangat rendah dalam
pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan guru belum terbiasa menerapkan soal HOTS dalam
pembelajaran dan guru hanya menggunakan soal-soal yang ada dalam buku panduan, dengan alasan
banyak menghabiskan waktu ketika siswa menyelesaikan soal-soal yang berbasis problem solving.
Padahal, soal yang berbasis problem solving banyak memberikan manfaat kepada siswa. Siswa
menjadi terampil dalam memecahkan soal matematis. Selain itu, siswa juga akan terampil dalam
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari karena dalam kehidupan sehari-hari, tidak dapat
dipungkiri dari masalah sehingga perlu pemecahan masalah (problem solving) yang efektif. Hal serupa
juga dikemukakan oleh Fajriah (2016:54) bahwa guru lebih dominan mengajarkan soal-soal rutin
kepada siswa, sehingga soal-soal non rutin jarang diajarkan dalam pembelajaran matematika. Soal-soal
yang diterapkan dalam pembelajaran matematika belum berbasis problem solving, sehingga perlu
adanya peningkatan mutu soal yang berbasis problem solving supaya dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam berpikir kritis, analitis, logis, dan sistematis. Dengan demikian, guru sebaiknya
membiasakan penerapan soal-soal non rutin dalam pembelajaran matematika supaya siswa terbiasa
dengan soal pemecahan masalah. Sebagaimana tuntutan dari kurikulum 2013, salah satunya
pembelajaran berbasis problem solving.

Dengan demikian, guru harus membiasakan penerapan soal non rutin dalam pembelajaran matematika,
supaya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis, analitis, logis, dan sistematis
melalui pemecahan masalah. Selanjutnya, guru harus mengajarkan kepada siswa langkah-langkah
problem solving matematika yang tepat dalam pemecahan soal yang terintegrasi HOTS. Misalnya,
menggunakan langkah-langkah problem solving model Polya. Penyelesaian soal-soal non rutin bukan
sekadar menyelesaikan prosedur perhitungan matematika saja, namun pada setiap kegiatan pemecahan
soal non rutin harus disertai dengan pemahaman yang bermakna. Dengan kata lain, tiap langkah
penyelesaian soal non rutin harus disertai dengan kesadaran terhadap konsep matematika yang terlibat,
keterkaitan terhadap konsep yang dinyatakan dalam bentuk model matematika permasalahan,
menerapkan konsep sesuai dengan aturan yang berlaku, serta memeriksa kebenaran solusi sesuai
dengan masalah awal.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG
yang berbasis problem solving adalah 41,67%, dan ini termasuk kategori rendah, sehingga perlu
peningkatan instrumen soal yang berbasis problem solving karena dapat meningkatkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi melalui pengembangan Higher Order of Thinking Skill (HOTS). Instrumen soal
pada RPP mahasiswa PPG yang berbasis problem solving dapat berupa soal non rutin dalam bentuk
soal open ended atau soal cerita, yang melibatkan logika, penalaran, dan uji coba dalam memecahkan
soal-soal tersebut. Soal non rutin dalam bentuk open ended merupakan soal-soal yang memiliki lebih
dari satu solusi pemecahan, sedangkan soal non rutin dalam bentuk soal cerita merupakan soal-soal
yang terkait dengan situasi nyata atau dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai instrumen soal pada RPP mahasiswa PPG (Pendidikan Profesi
Guru) yang berbasis problem solving, maka saran-saran yang ingin peneliti sampaikan adalah sebagai
berikut:
1. Mengingat pentingnya HOTS dalam pembelajaran matematika, maka dalam pengembangan
pembelajaran problem solving hendaknya diintegrasikan HOTS sehingga potensi peserta didik
dapat diasah secara maksimal.
2. Diharapkan kepada guru (pengajar) mata pelajaran matematika untuk menyisipkan soal-soal non
rutin dalam pembelajaran matematika agar kemampuan berpikir kritis, analitis, logis, dan
sistematis siswa dapat meningkat sebagaimana tuntutan dari kurikulum 2013.
3. Pengajar hendaknya dalam proses pembelajaran mengajarkan keempat langkah problem solving
model Polya kepada siswa, yaitu langkah memahami masalah, merencanakan penyelesaian,
melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali, supaya siswa terbiasa bekerja secara
sistematis.

Daftar Pustaka
Ariandari, Pramita. W .(2015). Mengintegrasikan higher order thinking dalam pembelajaran creative
problem solving. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY (p. 489-
496).
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
-------------. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Edisi Revisi. Cetakan Keempat
belas. Jakarta: Rineka Cipta
Astutik, P. P .(2018). Integrasi penguatan pendidikan karakter (PPK) dan higer order thinking skills
(HOTS) dalam pembelajaran tematik SD. Seminar Nasional Pendidikan (p. 47- 59).
Carson, Jamin. 2007. A problem with problem solving: teaching thinking without teaching knowledge.
Diakses dari http:// files.eric.ed.gov/fulltext/EJ841561.pdf
Fajriah. (2016). Analysis of problem solving ability in social arithmetics. Dalam International
Conference on Mathematics and Science Education (ICMScE) (p. 265-272).
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.
Hudojo, H. (2005). Pengembangan kurikulum dan pembelajaran matematika. Malang: UM-Press.
Kemdikbud. (2014). Materi pelatihan guru implementasi Kurikulum 2013 Tahun Ajaran 2014/2015.
Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan.
Kinasih, Mawar, A. (2017). Problematika guru dalam penyusunan perangkat pembelajaran di SD
Muhammadiyah 14 surakarta. Seminar Nasional Pendidikan (p. 102- 115)
Nuraini. 2013. Penerapan pendekatan problem solving pada materi sistem persamaan linear dua
variabel di MAN Model Banda Aceh tahun ajaran 2012/2013. (Skripsi tidak diterbitkan).
Universitas Syiah Kuala:Banda Aceh
Polya, G.1973. How to solve it. New Jersey: Princeton University Press.
Ruseffendi, E.T. 2006. Membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran
matematika. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Suandito, B., Darmawijoyo, dan Purwoko. (2009). Pengembangan soal matematika non rutin di SMA
Xaverius 4 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika 3(2), pp.1-13. Diakses dari
http://fmipa.um.ac.id/index.php/ component/attachments/download/147.html.
Suherman, H. Erman dkk. 2003. Strategi pembelajaran matematika kontemporer. UPI. Bandung.
Susanto, Ahmad. 2013. Teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Wiworo. 2013. “problem solving “. Makalah disajikan dalam pelatihan guru pembina olimpiade sains
kerjasama dinas pendidikan aceh-PPPPTK Matematika. Banda Aceh.

Anda mungkin juga menyukai