Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR ALAT BUKTI

Judicial Review Pasal 65 Ayat (1) Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kepada

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI


REPUBLIK INDONESIA
di

JAKARTA

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Taris Annafi, S.H., M.H.


2. Mazarini Maulidia, S.H., M.H.
Yang memilih berdomisili pada Kantor Konsultan hukum Justitia Law Firm, beralamat
di Ruko Springhill Garden nomor 12, Kota Malang, yang bertindak baik bersama-sama atau
sendiri-sendiri.

Dalam hal ini akan mengajukan daftar alat bukti atas permohonan pengujian Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai berikut:

1. Materi muatan Pasal 65 Ayat (1) Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi bertentangan dengan UUD 1945.

Penjelasan Pasal 65 Ayat (1) Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang
berbunyi :

“Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh
Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan
Pendidikan Tinggi bermutu.”

Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahklak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Pada Pasal 65 ayat (1) UU 12 Tahun 2012 terdapat klausula bahwa PTN dapat
menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum atau dengan
membentuk PTN badan hukum. PTN mempunyai otonomi lebih untuk mengatur diri
mereka sendiri, dengan tujuan kampus tersebut memiliki keleluasaan dalam
menyelenggarakan rumah tangganya seperti pada Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan
Perguruan Tinggi disebutkan, pengertian PTN berbadan hukum adalah perguruan
tinggi negeri yang didirikan oleh Pemerintah yang berstatus sebagai subyek hukum
yang otonom.
Sehingga dalam hal ini terdapat potensi ketidak sesuaian atau dapat bertentangan
dengan konstitusi. Berdasarkan pasal 31 ayat (3) UUD 1945 Negara dalam hal ini
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
Namun dengan adanya ketentuan pasal 65 UU No. 12 Tahun 2012, PTN
dimungkinkan dapat mengalihkan kepengurusan baik bersifat akademik maupun
nonakademik kepada pihak lain. Sehingga dengan demikian dapat dimungkinkan
terjadi pergeseran tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional kepada pihak
swasta.

Menurut Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, yang seharusnya menyelenggarakan


pendidikan melalui sistem pendidikan nasional adalah Pemerintah, dan bukan pihak
swasta baik badan hukum (rechtspersoon) maupun perseorangan (natuurlijkpersoon).
Bentuk badan hukum pendidikan tidak boleh melanggar kewajiban negara dalam
pemenuhan hak atas pendidikan. Hal in didasarkan pada pendapat Mahkamah
Konstitusi, yakni apapun bentuk badan hukum yang menjadi pilihannya tidak boleh
menyebabkan hilangnya kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan. Upaya
pemerintah merubah Perguruan Tinggi Negeri menjadi PTN Badan Hukum
merupakan upaya pelepasan tanggung jawab negara melalui delegasi kepada Badan
Hukum yang memiliki kewajiban, hak, dan tujuannya sendiri. Kedepannya, Perguruan
Tinggi harus secara mandiri memenuhi segala kebutuhan penyelenggaraan kegiatan
akademis dan nonakademis. Hal ini berpotensi menggelembungkan biaya pendidikan.

Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak konstitusional,


sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945, pada alinea keempat pembukaannya,
dinyatakan bahwa :

“....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan
Indonesia....”;

Bahwa selain dari pembukaan UUD NRI 1945, ketentuan Pasal Pasal 28C, ayat
(1) yang menyatakan :
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.”

28E ayat (1), yang menyatakan :


“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Serta sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional
Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan
bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.”
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
(4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.”
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”;
3 .Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan oleh
Perguruan tinggi;

Bahwa ketentuan Pasal 90 menyatakan:

(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan


Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat
diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mendukung kepentingan nasional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan
Menteri. Bentuk Otonomi Pengelolaan dalam Pasal 64 dan 65 UU Dikti Melanggar
Hak Atas Pendidikan. Secara eksplisit dalam kedua pasal diatas, bahwa otonomi
pengelolaan pendidikan tinggi pada pasal 64 penyelenggaraannya pada pasal 65
sebatas pada Pola Pengelolaan Keuangan. Penyelenggaraan otonomi akademik dan
nonakademik diartikan pemerintah hanya pada mekanisme pengelolaan anggaran,
bukan pada tujuan perguruan tinggi yang melaksanakan Tri Dharma pendidikan.

Dengan demikian pengharusan otonomi pegelolaan pendidikan tinggi berpotensi besar


melanggar akses hak atas pendidikan bagi sebagian besar anak bangsa.

 Di dalam UU Dikti disebutkan bahwa, PTN badan hukum memiliki kekayaan,


tujuan, hak, dan kewajiban sendiri, dengan tata kelola dan pengambilan keputusan
secara mandiri. Konsep PTN Badan Hukum ini akan mengganggu kegiatan
pendidikan. Ketentuan Pasal 65 ayat (4) menyatakan pemerintah memberikan
penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan
tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Ketentuan ini mengandung paradoks
rasionalitas karena badan hukum mempunyai kepentingan sendiri karena mempunyai
kekayaan yang dipisahkan. Dan kepentingan badan hukum itu menghendaki
kestabilan dalam menjaga kepentingannya. Jika suatu penugasan pemerintah
dilakukan terus menerus dan bersifat wajib terhadap suatu PTN badan hukum, berarti
di mana kepentingan dan otonomi PTN badan hukum tersebut dilindungi oleh
undang-undang?
 Sebagai PTN Badan Hukum, Institusi Pendidikan yang tidak dikecualikan
sebagai obyek kepailitan akan menimbulkan ketidakpasatian hukum dan melanggar
UUD 1945. Institusi pendidikan dengan otonomi pengelolaan memiliki wewenang
mencari dana sendiri sehingga dapat membuat perjanjian kerja sama dengan dunia
usaha dan industri. Kondisi ini menjadikan institusi pendidikan dapat memiliki dua
atau lebih kreditor layaknya perusahaan. Dengan demikian institusi pendidikan
menjadi obyek kepailitan. Jika sebuah Perguruan Tinggi dipailitkan tentu yang akan
dirugikan adalah para peserta didik.
Tidak Adanya Kejelasan Pihak yang berwenang dalam penentuan serta
penjatuhan sanksi menoleransi pelanggaran. Di dalam Pasal 63, 65, dan 78 UU Dikti
mencantumkan prinsip pengelolaan akuntabilitas PTN Badan Hukum. Namun, kata-
kata akuntabilitas hanya permainan kata-kata yang tidak ada giginya dan mengelabuhi
publik, yang berujung pada toleransi terhadap pelanggaran dan sikap kkoruptif
penyelenggara pendidikan. Di dalam UU Dikti, hanya disebutkan sanksi-nya atas
pelanggaran prinsip akuntabilitas, sedangkan struktur dan kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi jika terjadi pelanggaran tidak diatur sama sekali. Hal ini sesuai
dengan pendapat MK atas putusan UU BHP, bahwa UU yang bersifat normatif
tentunya tidak dapat digunakan dalih bahwa dalam pelaksanannya dilakukan secara
fleksibel, yang artinya akan menoleransi suatu pelanggaran.

2. Keterangan Ahli
Keterangan Ahli Dilakukan Oleh Ahli Hukum Tata Negara Yang Memberikan
Keterangan Sebagai Berikut:

Pasca disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),


pada tanggal 7 April 2011, Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi resmi
sebagai usulan inisiatif DPR untuk dibahas bersama Pemerintah. Dalam Rapat
Paripurna tersebut ditunjuk Komisi X sebagai alat kelengkapan yang akan membahas
RUU Pendidikan Tinggi ini.
Apabila melihat dari judulnya, RUU ini mengatur secara luas mengenai
pendidikan tinggi. Namun apabila dilihat pada substansinya, porsi pengaturan dalam
RUU ini lebih dominan pada pengaturan mengenai perguruan tinggi, khususnya tata
kelola perguruan tinggi. Selain itu, dari sejarah pembentukannya pun, yang tercantum
dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011 sebagai RUU
prioritas, judul RUU ini adalah RUU Tata Kelola Pendidikan Tinggi. Namun
kemudian melalui rapat internal di Komisi X DPR disepakati berubah menjadi RUU
Pendidikan Tinggi.

Kekosongan Hukum Pasca Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-


VII/2009. Dasar pemikiran munculnya RUU Pendidikan Tinggi ini adalah untuk
merespon adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-
VII/2009, yang salah satu implikasinya adalah menjadikan Undang-undang No. 9
tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) secara keseluruhan tidak
lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan ada anggapan bahwa pasca UU
BHP “dibatalkan”, perguruan tinggi tidak memiliki dasar hukum dalam melakukan
segala aktivitasnya. Namun anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena pada
dasarnya pengaturan dalam UU BHP didasari oleh pengaturan dalam Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Adapun anggapan adanya kekosongan hukum lebih tepat ditujukan untuk satu
aspek saja, yaitu tata kelola perguruan tinggi, itupun hanya terpusat pada tata kelola
perguruan tinggi yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Hal ini
disebabkan karena pasca pengesahan UU BHP, Peraturan Pemerintah No. 60 tahun
1999 tentang Pendidikan Tinggi (PP 60/1999), dan Peraturan Pemerintah No. 61
tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum (PP
61/1999) direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (PP 17/2010).

Dalam PP 17/2010 tersebut tidak mengatur perihal tata kelola perguruan


tinggi, terutama yang sudah terlanjur memiliki status badan hukum, karena dianggap
sudah diatur dalam UU BHP. Sehingga pasca putusan MK yang “membatalkan” UU
BHP, ketentuan mengenai tata kelola perguruan tinggi pun menjadi tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat lagi. Namun kondisi ini tidak berlarut-larut, karena pada
bulan September 2010, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
mengisi kekosongan hukum tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas PP No. 17 tahun tentang 2010 Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan (PP 66/2010).Dalam PP 66/2010 memperjelas status tata
kelola dari perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang sudah terlanjur berstatus
BHMN. Sehingga sebenarnya permasalahan terkait dengan kekosongan hukum dalam
aspek tata kelola perguruan tinggi sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan
argumentasi dibentuknya produk hukum baru (termasuk RUU Pendidikan Tinggi).
Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Ketentuan UUD 1945
Pengaturan mengenai sistem pendidikan nasioanl dalam UUD 1945 secara
khusus diatur dalam Pasal 31. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam ran
gka mencerdaskan kehidupan ba gsa, yang diatur dengan undang-undang”
Dari Pasal terebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai sistem
pendidikan nasional diatur secara terpusat pada satu UU saja, dan UU tersebut sudah
ada, yaitu UU 20/2003. Sehingga dapat dikatakan bahwa materi muatan dari RUU
Pendidikan Tinggi, yang juga merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional,
bukanlah berasal dari ketentuan lebih lanjut dari UUD 1945.

Pemenuhan Kebutuhan Hukum Dalam Masyarakat


Kriteria materi muatan UU terakhir ini memang kerap menjadi pilihan bagi
pembentuk UU untuk mengakomodir kepentingannya dalam pembentukan UU,
karena kriteria ini seakan mudah untuk dibuktikan, tanpa harus merujuk kepada
peraturan perundang-undangan manapun. Oleh karena itu, kriteria terakhir ini kerap
disebut sebagai “tong sampah”. Namun dalam konteks RUU Pendidikan Tinggi sudah
seharusnya pembentuk UU memiliki argumentasi yang jelas apabila ingin
menggunakan argumentasi ini sebagai materi muatan RUU Pendidikan Tinggi.
Dengan kata lainm pembentuk UU harus mampu membuktikan bahwa memang RUU
Pendidikan Tinggi dibutuhkan masyarakat.
Kondisi yang terjadi saat ini, substansi dari RUU Pendidikan Tinggi hanya
dibutuhkan, atau hanya mengakomodir kepentingan sebagian pihak saja, yaitu mereka
yang tidak menginginkan PP 66/2010 berlaku, dan menginginkan status BHMN atau
sejenisnya tetap berlaku. Sedangkan kepentingan stakeholders lain, seperti pegawai
atau mahasiswa masih terabaikan.

3. Keterangan Para Pihak

Pemohon

Norma yang ingin diujikan oleh Pemohon adalah Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang berbunyi “Penyelenggaraan otonomi
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif
berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan
hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.”
Pemohon merasa bahwa ketentuan norma tersebut bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahklak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
1. Pada Pasal 65 ayat (1) UU 12 Tahun 2012 terdapat klausula bahwa PTN dapat
menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum atau dengan
membentuk PTN badan hukum. PTN mempunyai otonomi lebih untuk mengatur diri
mereka sendiri, dengan tujuan kampus tersebut memiliki keleluasaan dalam
menyelenggarakan rumah tangganya seperti pada Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan
Perguruan Tinggi disebutkan, pengertian PTN berbadan hukum adalah perguruan
tinggi negeri yang didirikan oleh Pemerintah yang berstatus sebagai subyek hukum
yang otonom. Sehingga dalam hal ini terdapat potensi ketidak sesuaian atau dapat
bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan pasal 31 ayat (3) UUD 1945 Negara
dalam hal ini pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional. Namun dengan adanya ketentuan pasal 65 UU No. 12 Tahun
2012, PTN dimungkinkan dapat mengalihkan kepengurusan baik bersifat akademik
maupun nonakademik kepada pihak lain. Sehingga dengan demikian dapat
dimungkinkan terjadi pergeseran tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
nasional kepada pihak swasta.
2. Menurut Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, yang seharusnya menyelenggarakan
pendidikan melalui sistem pendidikan nasional adalah Pemerintah, dan bukan pihak
swasta baik badan hukum (rechtspersoon) maupun perseorangan (natuurlijkpersoon).
3. Bentuk badan hukum pendidikan tidak boleh melanggar kewajiban negara dalam
pemenuhan hak atas pendidikan. Hal in didasarkan pada pendapat Mahkamah
Konstitusi, yakni apapun bentuk badan hukum yang menjadi pilihannya tidak boleh
menyebabkan hilangnya kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan. Upaya
pemerintah merubah Perguruan Tinggi Negeri menjadi PTN Badan Hukum
merupakan upaya pelepasan tanggung jawab negara melalui delegasi kepada Badan
Hukum yang memiliki kewajiban, hak, dan tujuannya sendiri. Kedepannya, Perguruan
Tinggi harus secara mandiri memenuhi segala kebutuhan penyelenggaraan kegiatan
akademis dan nonakademis. Hal ini berpotensi menggelembungkan biaya pendidikan.
4. pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak konstitusional, sebagaimana
dijamin oleh UUD NRI 1945, pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa
“....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia....”;
5. Bahwa selain dari pembukaan UUD NRI 1945, ketentuan Pasal Pasal 28C, ayat (1)
yang menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan 28E ayat (1), yang menyatakan “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” serta sebagai
Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga Negara
berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.”
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
(4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.”;
6. Bahwa ketentuan Pasal 90 menyatakan:
(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan
Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mendukung kepentingan nasional.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.6 .Bentuk
Otonomi Pengelolaan dalam Pasal 64 dan 65 UU Dikti Melanggar Hak Atas Pendidikan.
Secara eksplisit dalam kedua pasal diatas, bahwa otonomi pengelolaan pendidikan tinggi
pada pasal 64 penyelenggaraannya pada pasal 65 sebatas pada Pola Pengelolaan
Keuangan. Penyelenggaraan otonomi akademik dan nonakademik diartikan pemerintah
hanya pada mekanisme pengelolaan anggaran, bukan pada tujuan perguruan tinggi yang
melaksanakan Tri Dharma pendidikan. Mahkamah Konstitusi pernah mengkritisi latar
belakang pembentukan Badan Hukum Pendidikan, apakah otonomi pengelolaan sebagai
keharusan normatif? Apakah betul bahwa ada hubungan kausal fungsional antara otonomi
pengelolaan pendidikan formal dengan mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila? Artinya, apakah untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut secara mutlak harus diperlukan otonomi pengelolaan pendidikan formal?
Kemudian, Apakah otonomi pengelolaan pendidikan formal merupakan sebuah keharusan
yang diamanatkan oleh UUD 1945? Dengan demikian pengharusan otonomi pegelolaan
pendidikan tinggi berpotensi besar melanggar akses hak atas pendidikan bagi sebagian
besar anak bangsa.
 Di dalam UU Dikti disebutkan bahwa, PTN badan hukum memiliki kekayaan, tujuan,
hak, dan kewajiban sendiri, dengan tata kelola dan pengambilan keputusan secara
mandiri. Konsep PTN Badan Hukum ini akan mengganggu kegiatan pendidikan.
Ketentuan Pasal 65 ayat (4) menyatakan pemerintah memberikan penugasan kepada
PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau
oleh masyarakat. Ketentuan ini mengandung paradoks rasionalitas karena badan
hukum mempunyai kepentingan sendiri karena mempunyai kekayaan yang
dipisahkan. Dan kepentingan badan hukum itu menghendaki kestabilan dalam
menjaga kepentingannya. Jika suatu penugasan pemerintah dilakukan terus menerus
dan bersifat wajib terhadap suatu PTN badan hukum, berarti di mana kepentingan dan
otonomi PTN badan hukum tersebut dilindungi oleh undang-undang?
 Sebagai PTN Badan Hukum, Institusi Pendidikan yang tidak dikecualikan sebagai
obyek kepailitan akan menimbulkan ketidakpasatian hukum dan melanggar UUD
1945. Institusi pendidikan dengan otonomi pengelolaan memiliki wewenang mencari
dana sendiri sehingga dapat membuat perjanjian kerja sama dengan dunia usaha dan
industri. Kondisi ini menjadikan institusi pendidikan dapat memiliki dua atau lebih
kreditor layaknya perusahaan. Dengan demikian institusi pendidikan menjadi obyek
kepailitan. Jika sebuah Perguruan Tinggi dipailitkan tentu yang akan dirugikan adalah
para peserta didik.
 Tidak Adanya Kejelasan Pihak yang berwenang dalam penentuan serta penjatuhan
sanksi menoleransi pelanggaran. Di dalam Pasal 63, 65, dan 78 UU Dikti
mencantumkan prinsip pengelolaan akuntabilitas PTN Badan Hukum. Namun, kata-
kata akuntabilitas hanya permainan kata-kata yang tidak ada giginya dan mengelabuhi
publik, yang berujung pada toleransi terhadap pelanggaran dan sikap kkoruptif
penyelenggara pendidikan. Di dalam UU Dikti, hanya disebutkan sanksi-nya atas
pelanggaran prinsip akuntabilitas, sedangkan struktur dan kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi jika terjadi pelanggaran tidak diatur sama sekali. Hal ini sesuai
dengan pendapat MK atas putusan UU BHP, bahwa UU yang bersifat normatif
tentunya tidak dapat digunakan dalih bahwa dalam pelaksanannya dilakukan secara
fleksibel, yang artinya akan menoleransi suatu pelanggaran.
Dengan terciptanya komersialisasi pendididikan di negara ini maka akan memberikan
dampak bagi masyarakat, ada beberapa masalah yang timbul diantaranya:
1. Rakyat kalangan bawah tak mampu untuk merealisasikan keinginannya
dikarenakan biaya pendidikan yang mahal.
2. Memperkaya pihak-pihak tertentu
3. Biaya yang dibayar tidak sebanding dengan sarana-prasarana yang
diterima
4. Biaya yang dibayar tidak sebanding dengan kualitas lulusan suatu
lembaga pendidikan formal-informal.
5. Menimbulkan kesenjangan sosial kelompok orang-orang kaya dan
kelompok orang-orang miskin.
Komersialisasi Pendidikan tanpa adanya alternatif lain untuk mengimbanginya akan
menyebabkan orang berlomba-lomba untuk memperoleh pendidikan di Universitas atau
Sekolah yang terkenal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ujung-ujungnya bagi
kelompok kaya, ada yang mencari jalan pintas agar dapat gelar S2 dan S3 dari Universitas
atau Sekolah bergengsi dengan mengucurkan dana yang besar agar mendapatkan kemudahan-
kemudahan.
Bahwa dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 65 ayat (1) selain
menimbulkan potensi kerugian bagi mahasiswa aktif yang sedang menempuh jenjang
pedidikan tinggi di perguruan tinggi negeri, juga akan menimbulkan potensi kerugian bagi
calon mahasiswa akibat potensi peningkatan biaya uang pangkal pendidikan yang harus
ditanggung saat hendak melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi negeri.
Bahwa dengan potensi peningkatan uang pangkal tersebut akan menyebabkan sulitnya akses
pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri bagi masyarakat ekonomi rendah, karena tidak
dapat membayar uang pangkal yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran.

Pemerintah

1. Terhadap dalil tentang Otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dimohonkan
Pemohon, dalam bidang akademik meliputi norma dan kebijakan operasional.
Pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi tidak akan tercapai tanpa otonomi non-akdemik
yang meliputi organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, serta sarana dan
prasarana. Hal ini menjadi factor pendorong agar PTN Berbadan Hukum (PTNBH),
sesuai Pasal 97 huruf c UU No. 12 tahun 2012, tidak terjebak dalam pola pengelolaan
(keuangan, organisasi, kemahasiswaan, ketenagaan, serta saran dan prasarana) yang
rumit, birokratis dan politis.Tanpa diberikan otonomi, akan sulit sebuah PTN BH
melaksanakan perintah UUD 45 serta UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Tridarma Perguruan Tinggi.

Pemberian otonomi di PTN BH sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas dan diatur


dalam UU Dikti diharapkan dapat mempercepat tercapainya apa yang menjadi tujuan
pelaksanaan pemenuhan atas pelaksanaan hak azasi manusia mengenai mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum. Khususnya hak mendapatkan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 c ayat (1), 28 d ayat (1), 281 ayat (4) dan Pasal 31 UUD RI tahun
1945.

Implementasi otonomi PTN, seperti di Institut Pertanian Bogor (IPB) terbukti dapat
meningkatkan mutu dan relevansi pelaksanaan Tridarma PTN, menguatkan tata kelola dan
akuntabilitas PTN serta transformasi budaya kerja dan layanan pada PTNBH. Ini bukti bahwa
otonomi pengelolaan kampus tidak mengurangi akses masyarakat untuk memperoleh
pendidikan berkualitas dan terjangkau.

Otonomi PTN yang dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba,


penjaminan mutu, efektivitas dan nefisiensi telah mampu meningkatkan mutu pelaksanaan
Tridarma PT, memperluas akses bagi seluruh masyarakat untuk mengikuti pendidikan tinggi,
dan meningkatkan daya saing IPB di tingkat global.

Bahwa paradigma menjadi badan hukum yang sama dengan proses privatisasi merupakan
sebuah hal yang dianggap umum di masyarakat. Namun, perlu diketahui terlebih dahulu
apakah itu sebenarnya Badan Hukum Publik. Disebut badan hukum publik karena
merupakan badan negara atau pemerintah yang menjalankan fungsi-fungsi atau tugas
pemerintahan, tetapi diberi status sebagai badan hukum, bukan karena ada penyertaan modal
negara atau pemerintah. Selain itu, frasa otonomi juga kerap kali salah kaprah diartikan.
Otonomi mengandung makna kemandirian, dan bukan suatu susunan kemerdekaan yang
berdaulat. Sehingga otonomi merupakan suatu bagian, satu kesatuan dari satuan kesatuan
yang lebih besar yaitu negara.

Mengenai pengertian Badan Hukum Publik dimana negara masih mempunyai tanggung
jawab secara tidak langsung, terlebih dalam PP 58/2013 sudah jelas diatur mengenai subsidi
untuk dana operasi dan hibah untuk dana investasi.

2. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU Dikti
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945, dan dalil bahwa dengan adanya
ketentuan mengenai PTN BH maka penyelenggaraan pendidikan beralih dari pemerintah
ke pihak swasta sehingga terjadi komersialisasi pendidikan, dan juga dalil yang
mengatakan bahwa PTN BH merupakan salah satu objek kepailitan, Pemerintah dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut:

Dari perspektif kebijakan publik, perbedaan antara pengelolan (manajemen) dan tata kelola
(governance) badan hukum publik dengan badan hukum pivat atau perseroan terbatas
berbeda karena :

a. Berdasarkan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau badan hukum
privat bahwa Perseroan Terbatas harus mempunyai Anggaran Dasar dengan
tujuan utama mengejar keuntungan
b. PTNBH tidak bisa dikatakan badan hukum privat atau korporasi atau seperti
korporasi karena PTNBH didirikan bukan dengan kumpulan modal dari pemegang
saham seperti layaknya korporasi. Korporasi mengenal adanya pemegang saham
atau shareholders tetapi di PTNBH dikenal dengan stakeholders (pemangku
kepentingan) yang meliputi masyarakat dan alumni. Jadi jelas orientasinya bukan
mencari keuntungan.

c. PTN BH juga menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern yang berlaku


universal (seperti manajemen resiko, sistem manajemen kinerja, dan system
manajemen pelayanan prima) yang selama ini juga diterapkan dalam pengelolaan
PTNBH dan terbukti bisa menghasilkan lulusan yang berkualitas.

d. Badan hukum untuk PTNBH hanya bersifat fungsi pengelolaan yang berorientasi
pada mutu dan kinerja bukan merupakan bentuk badan hukum tertentu (sesuai
dengan amar Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tentang UU
BHP) karena statusnya tetap PTN.

e. Sistem pertanggungjawaban PTNBH dilakukan pada otoritas publik dan diaudit


oleh Kantor Akuntan Publik independen. Berbeda dengan Perseroan Terbatas
yang pertanggungjawabannya kepada pemegang saham, meskipun juga diaudit
oleh akuntan publik independen. PTNBH tetap sebagai PTN. Jadi sulit atau tidak
mungkin kalau PTN harus dijadikan barang privat.

f. Pengelolaan PTNBH oleh PTN memiliki mekanisme kontrol (check and balance)
dalam penyelenggaraan tata kelola (governance) yang dapat memastikan tidak
akan terjadi privatisasi penyelenggaraan pendidikan tinggi.

g. PTNBH memiliki organ Majelis Wali Amanat (MWA) yang mempresentasikan


kepentingan Pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat yang memiliki
kewenangan diantaranya mengangkat dan memberhentikan Rektor, menetapkan
Renstra, menetapkan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT). Keberadaan
Majelis Wali Amanat (anggotanya merupakan representasi dari Pemerintah,
perguruan tinggi, dan masyarakat), Dewan Audit, Senat Akademik dan Dewan
Guru Besar akan menempati ruang-ruang publik yang berfungsi untuk mengontrol
dan menyeimbangkan kekuatan-kekuatan yang ada di PTN BH. Sehingga
diharapkan organ tersebut dapat berperan sebagai lembaga civil society dimana
kepentingan dan kebutuhan masyarakat dapat lebih diprioritaskan daripada
kepentingan komersial. Kekuatan civil society pada badan hukum publik
merupakan pencerminan akses publik sebagai fungsi kontrol pengelolaan PTN
BH, sekaligus merupakan faktor utama pembeda dengan badan hukum privat yang
kontrolnya dilakukan oleh para pemegang saham.

h. PTNBH memiliki organ Senat Aksdemik (SA) yang memiliki fungsi pengawasan
di bidang akademik, organ Dewan Audit (DA) yang melakukan fungsi audit
secara independen, dan Dewan Guru Besar (DGB) yang berfungsi dalam menjaga
tegaknya norma dan etika akademik.

Berdasarkan seluruh uraian tersebut menurut Pemerintah, diktum Menimbang huruf b, Pasal
1 angka 1 dan angka 2, Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 ayat (2) UU JPH tidaklah
mengurangi, menghilangkan, membatasi, mempersulit maupun merugikan hak dan
kewenangan Pemohon dalam rangka melaksanakan aktifitasnya sebagaimana dijamin oleh
Ketentuan Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28F dan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945.

HORMAT KAMI

KUASA HUKUM PARA PEMOHON

Anda mungkin juga menyukai