Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FARMAKOLOGI DASAR
“BIOFARMASETIKA OBAT MELALUI PARU-PARU & PARENTERAL”

Oleh:

NAMA : PUTRI MAULIDINA


NIM : 19023049
KELAS : STIFA D3 019

DOSEN PENGAMPU : MAULITA INDRISARI, S.Si., M.Si., Apt

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt, yang telah senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayah- nya sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam
menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran Allah swt,
karena hanya dengan kerido’an-nya. Makalah dengan judul “BIOFARMASI
OBAT MELALUI PARU-PARU & PARENTERAL”  ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak,
makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-
perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya kami berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
yang membutuhkan.

Makassar, 01 – april – 2020


Penyusun
PUTRI MAULIDINA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
B.     Rumusan masalah
C.     Tujuan umum
BAB II PEMBAHASAN
A.    Gambar Dan Anatomi Paru-Paru
B.     Pembuluh Darah Paru-Paru
C.     Faktor LDA Obat Pada Paru-Paru
D.    Evaluasi Biofarmasetika Obat Pada Paru-Paru
E. Keuntungan dan kerugian sediaan parenteral
F. Rute-rute pemberian oba secara parenteral
G. Biofarmasetika obat parenteral
BAB III PENUTUP
Kesimpulan & saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan
kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetik
bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik
agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Paru-paru (Bahasa Inggris: Lung, dari kata Latin pulmones untuk paru-paru.)
adalah organ utama pada sistem pernapasan pada manusia (respirasi) dan
berhubungan dengan sistem peredaran darah (sirkulasi) dan juga sistem ekskresi.
Fungsinya adalah untuk menukar oksigen dari udara dengan karbon dioksida dari
darah atau sering disebut “bernapas”. Pada umumnya paru-paru terdapat pada
hewan mamalia termasuk juga manusia.
Sediaan farmasi steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang
banyak digunakan terutama pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Sediaan ini
sangat membantu pada saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka
terbuka yang harus diobati dan sebagainya. Dalam keadaan tersebut sangat
dibutuhkan kondisi steril karena pengobatannya lansung berhubungan dengan sel
tubuh, lapisan mukosa organ tubuh dan dimasukan langsung ke dalam cairan atau
rongga tubuh, hai ini sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi dan dalam hal
ini dibutuhkan bentuk sediaan obat yang steril. Proses pembuatan sediaan steril
sama dengan proses pembuatan sediaan non steril, tetapi pada pembuatan sediaan
steril dibutuhkan pemahaman tentang proses sterilisasi terutama yang berkaitan
dengan stabilitas bahan aktif maupun zat tambahan dalam formulasi. Dengan
demikian dalam pembuatan sediaan steril, bukan hanya pengetahuan tentang
formulasi, bentuk sediaan, tetapi juga dibutuhkan pengetahuan tentang sifat fisika
kimia sehingga dihasilkan sediaan steril yang memenuhi persyaratan (Rahman &
Djide, 2009).
Salah satu sediaan farmasi steril adalah sediaan parenteral yang digunakan
per injectionem dan per infus (Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009). Pada
umumnya pemberian dengan cara parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat
yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila penderita tidak dapat bekerja sama
dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan
melalui mulut (oral) atau bila obat itu sendiri tidak efektif dengan cara pemberian
lain (Ansel, 1989).
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam
pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain
merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat
berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan
pencegahan berbagai penyakit tidak dapat yang telah dituliskan pada pengertian
obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Penetapan diagnosa
2) Untuk pencegahan penyakit
3) Menyembuhkan penyakit
4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6) Peningkatan kesehatan
7) Mengurangi rasa sakit

C. Rumusan Masalah
1. Apa gambar dan anatomi paru-paru?
2. Bagaimana proses obat pada pembuluh darah yang melalui paru-paru?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi LDA obat pada paru-paru?
4. Bagaimana evaluasi biofarmasetika obat paru-paru?
5. Keuntungan dan kerugian sediaan parenteral?
6. Rute-rute pemberian obat secara parenteral?
7. Biofarmasetika obat secara parenteral?

D. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui gambar dan anatomi paru-paru.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses obat pada pembuluh darah yang melalui
paru.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi LDA obat pada
paru.
4. Untuk mengetahui bagaimana evaluasi biofarmasetika obat paru-paru.
5. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian sediaan parenteral.
7. Untuk mengetahui rute-rute pemberian obat secara parenteral.
8. Untuk mengetahui biofarmasetika obat secara parenteral.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Anatomi dan Gambar Paru-Paru.


1.    Anatomi paru-paru

Paru-paru (Bahasa Inggris: Lung, dari kata Latin pulmones untuk paru-paru.)


adalah organ utama pada  pada sistem pernapasan pada manusia (respirasi) dan
berhubungan dengan sistem peredaran darah (sirkulasi) dan juga sistem ekskresi.
Fungsinya adalah untuk menukar oksigen dari udara dengan karbon dioksida dari
darah atau sering disebut “bernapas”. Pada umumnya paru-paru terdapat pada
hewan mamalia termasuk juga manusia.
Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam
kantong yang dibentuk oleh pleura pariestaslis dan pleura viseralis. Kedua paru-
paru sangat lunak, elastis, sifatnya ringan terapung di dalam air, dan berada dalam
rongga torak. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90 m2. Banyaknya
gelembung paru-paru. Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian
besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa, alveoli). Gelembung alveoli
terdiri dari sel-sel epitel dan endotel kurang lebih 700 juta jiwa.
Letak Anatomi Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah rongga
dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru atau
hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oeh selaput
selaput yang bernama pleura.
Pleura dibagi menjadi dua :
·      Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung
membungkus paru-paru.
·      Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam dinding dada.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna unuk
meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan
dinding dada dimana sewaktu bernafas bergerak.
Paru-paru sendiri dibagi menjadi dua, yakni :
Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru),
·      Lobus pulmo dekstra superior,
·      Lobus medial
·      Lobus inferior
Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kanan , terdiri dari pulmo sinister
lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan
yang lebih kecil bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segment yaitu :
·       5 buah segment pada lobus superior dan,
·       5 buah segment pada inferior
 Paru-paru kananmempunyai 10 segmet yakni :
·       5 buah segment pada lobus inferior
·       2 buah segment pada lobus medialis
·       3 buah segment pada lobus inferior
Tiap-tiap segment ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang
bernama lobulus. Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh
jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf,
dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus
ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus.
Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 –
0,3 mm.
Paru-paru berwarna biru keabu-abuan dan berbintik-bintik karena adanya
partikel debu yang masuk dimakan oleh fagosit. Hal ini terlihat nyata pada pekerja
tambang. Paru-paru terletak di samping mediastinum dan melekat pada
perantaraan radiks pulmonalis yang satu sama lainnya dipisahkan oleh jantung,
pembuluh darah besar, dan struktur lain dalam mediastinum.
Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul dan menjorok ke atas
kira-kira 2,5 cm di atas klavikula. Fasies kostalis yang berbentuk konveks
berhubungan dengan dinding dada sedangkan fasies mediastinalis yang berbentuk
konkaf membentuk perikardium. Pada pertengahan permukaan paru kiri terdapat
hilus pulmonalis yaitu lekukan di mana bronkus, pembuluh darah, dan saraf
masuk ke paru-paru membentuk radiks pulmonalis.
 Paru-paru terletak di rongga dada di atas sekat diafragma. Paru-paru
terbungkus oleh selaput paru-paru (pleura). Jika pleura ini terkena radang,
penyakitnya disebut pleuritis. Paru-paru manusia terbagi menjadi dua bagian,
sebelah kanan memiliki tiga gelambir dan sebelah kiri kiri memeliki dua gelambir.
Di dalam paru-paru terdapat gelembung halus yang disebut alveolus. Dinding
alveolus mengandung kapiler darah, pada aveolus inilah terjadi pertukaran antara
O2 dan CO2.
 Paru-paru manusia memiliki volume ±5-6 liter. Daya tampung paru-paru
terhadap udara pernapasan disebut kapasitas total paru-paru.
 Udara yang masuk dan keluar pada proses pernapasan dibedakan menjadi:
1.    Udara pernapasan (udara tidal : tidal volume) adalah volume udara yang
keluar dan masuk pada pernapasan biasa, sebanyak 500 cc (masih ada sisa ± 2500
cc di dalam paru-paru).
2.    Udara komplementer adalah udara yang masih dapat dihirup lagi dengan
inspirasi maksimum, setelah inpirasi biasa. Volume udara komplementer
sebanyak 1500 cc.
3.    Udara cadangan (udara suplementer) adalah udara yang dapat dikembangkan
lagi pada ekspirasi maksimum. Volume udara cadangan sebanyak 1500 cc.
4.    Udara residu (udara sisa adalah udara yang tidak dapat dihembuskan lagi,
menetap di dalam paru-paru. Volume udara residu : 1000 cc.
2.    Gambar anatomi paru-paru
Bagian-bagian utama paru-paru adalah alveoli, trachea, diapragm, bronchi, dan
bronchioles.
1.    Trachea atau batang tenggorokan, berupa pipa tempat lalunya udara. Udara
yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea menuju paru-paru.
2.    Bronchi,  merupakan batang yang menghubungkan paru-paru kanan dan kiri
dengan trachea. Udara dari trachea akan di bawa keparu-paru lewat batang ini.
3.    Bronchioles, merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabung-tabung
kecil yang jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru. Bronchioles ini
akan membawa oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru.
4.    Alveoli, merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta
pada paru-paru manusia dewasa. Pada aveoli ini oksigen akan didifusi
menjadi karbondioksida yang di ambil dari dalam darah.

B.       Pembuluh Darah Yang Melalui Paru


Terdapat dua system sirkulasi yang menyuplai darah ke paru-paru yaitu bronchial
dan pulmonary (Staub, 1991, dalam Tronde, A., 2002). Sirkulasi bronchial
melalui arteri bronchial berasal dari aorta atau arteri interkostadan terdapat
umumnya dua pada masing-masing paru-paru yaitu bagian hilum. Arteri ini di
bagi untuk membentuk pleksus subepitel dan pleksus adventisial pada lapisan otot
halis bronchial. Aliran dara pada arteri ini adalah 1% dari total produksi jantung
dan menyuplai darah teroksigenasi menuju paru - paru.
Arteri ini menutupi area permukaan yang besar. Sebagai tambahan, system
sirkulasi ini mungkin penting dalam distribusi obat seca sistemik yang di berikan
melalui rute paru-paru, juga dalam absobsi obat-obat inhalasi dari saluran
pernafasan (Chediak et al.,1190,dalam Tronde, A.,2002) sirkulasi pulmonary
terdiri dari sebua bantalan ekstensif pembuluh darah bertekanan rendah yang
menerima saluran produksi jantung. Bantalan ini menyatukan kapiler-kapiler
alveolus untuk mengamankan efiensi pertukaran gas dan suplai nutrisi pada
dinding-dinding alveolus (Tronde, A.,2002) untuk kemudian melalui pembuluh
darah vena perifer mengalirkan darah melalui vena pulmonar menuju atrium kiri
(Bisgaard, Hans et al, 2002).

C.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi LDA Pada Sediaan Paru           


Penghantaran obat melalui paru-paru mengacu pada pendekatan,
formulasi,teknologi, dan system untuk mengangkut senyawa obat dalam tubuh
yang diperlukan untuk mencapai efek terapi yang diinginkan dangan aman ke
bagian paru - paru. Penghantara obat melalui paru-paru merupakan rute yang
potensial untuk menghantarkan obat secara local ke paru-paru dan juga secara
sistemik (Milala, A. S.,2013).
Adapun factor-factor yang dapat mempengaruhi penghantaran obat ke paru-paru
diantaranya :
1.      Deposisi partikel di paru – paru
Dengan adanya gaya grafitasi, obat yang terhirup dapat terdeposisi dalam saluran
pernafasan. Yang paling mempengaruhi mekananisme deposisi ini adalah ukuran
partikel obat dan kecepatan aliran pernafasan. Semakin lama suatu obat berada
pada daerah tertentu maka semakin banyak partikel yang terdeposisi pada daerah
tersebut ( yadaf et al., 2010 ).
2.      Factor fisiologis
Factor fisiologis yang mempengaruhi penghantaran obat adalah adanya
mekanisme pertahanan pada paru-paru terdapat benda asing, sehingga terjadi
barrier yang harus diatasi untuk memastikan deposisi dan absorpsi obat yang
efisien pada saluran pernafasan. Adapun beberapa barrier tersebut diantaranya
( Teronde, A., 2002 ) : Epitel paru-paru, Sel-sel Berselia, Alveolar Macrophage,
Lapisan cairan epitel, Surfaktan paru-paru, Mucociliary Clearance.
3.      Factor Farmasetik
Factor terkait formulasi yang mempengaruhi system penghambatan obat ini
adalah ukuran, bentuk, kerapatan dan stabilitas fisik partikel. Partikel dengan
ukuran lebih dari 10 µm akan bertubrukan pada saluran pernafasan bagian atas
dan mudah dikeluarkan oleh kejadian batuk, menelan, dan proses bersihan oleh
mukosiliari.

D. Evaluasi Biofarmasi Sedian Paru-paru


  Evaluasi Ketersediaan Hayati
• Tergantung dari efek yang diinginkan
• Untuk efek sistemik dapat diperkirakan aktivitas farmakologi atau terapeutik
• Untuk efek lokal (tidak bisa, karena sangat tergantung ukuran partikelnya)
• Evaluasi yang dilakukan evaluasi ketersediaan hayati relatif
• Membandingkan berbagai formulasi
  Tahap-tahap Evaluasi
1.    Pemilihan tempat aksi (efek yang diinginkan)
•   Aksi setempat/lokal atau Sistemik
•  Tergantung pada sifat zat aktif (stabilitas fisiko-kimia, laju penyerapan,
metabolisme dll)
•   diameter ukuran partikel
2.    Pembuatan aerosol
• Pemilihan bahan dan alat yang sesuai untuk pembuatan sediaan (diameter
partikel, higroskopisitas)
• Sesuai dengan cara pemberian (tergantung tujuan : bukal, nasal, masker wajah
dll)
• Pengujian dengan studi in vitro :
-  Jaringan organ terpisah: Sel paru terpisah, hancuran jaringan, cincin trakea,
paru      terpisah, getah bronkus, surfaktan aveoler dll
-  Model in vitro tiruan Saluran cerna dari bahan plastik, trakea dan bronkus
tiruan, labu berpalung
3.    Studi in Vivo
• Dengan mengunakan hewan penelitian (anjing, kelinci)
• Dipasangkan pipa khusus ke berbagai tempat saluran nafas untuk mengamati
reaksi yang terjadi
• Dikonversikan ke dosis manusia (hati-hati)
 Evaluasi pada subjek manusia
• Keadaan pemberian dan penghirupan partikel harus tepat
• Ritme pernafasan diatur
• Kedua hal diatas berhubungan dengan jumlah aerosol yang dihirup dan jumlah
zat aktif yang diserap
Evaluasi biofarmasetik :
• Pengukuran konsentrasi zat aktif dalam aerosol, dalam udar ekspirasi, dan yang
tertahan
• Studi radiologi
• Evaluasi kadar obat dalam darah/efek farmakologi
• Evaluasi sifat alir getah bronkus
• Model kompartemen (satu kompartemen,task group, lung dinamic, mamilum)
DEFINISI PARENTERAL
Parenteral berasal dai kata Yunani, para dan enteron yang berarti di luar usus
halus dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah parenteral seperti
yang umum digunakan menunjukan pemberian lewat suntikan seperti berbagai
sediaan yang diberikan lewat suntikan (Ansel, 1989).
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk injeksi atau
sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara menyemprotkan
larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik.
Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam alairan darah, ke dalam jaringan atau
organ. Asal kata injeksi dai injectio yang berarti memasukan ke dalam, sedangkan
infusio berarti penuangan ke dalam (Lukas, 2006).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau selaput lendir. Infus
intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan
sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikan langsung ke dalam
vena dalam volume relatif banyak (Depkes R.I, 1979). Dalam Farmakope
Indonesia Ed. IV (Depkes R.I, 1995), yang dimaksud dengan larutan parenteral
volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam
wadah bertanda lebih dari 100 ml. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang
dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang.
Sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang
berbeda yaitu (Depkes R.I 1995; Rahman & Djide, 2009) :
1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, di tandai
dengan nama Injeksi....... Contoh. Injeksi Vitamin C
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan dapat
dibedakan dari nama bentuknya,......Steril. Contoh Inj.
Dehidrostreptomisin Sulfat Steril.
3. Sediaan seperti tertera pada poin 2 tetapi mengandung satu atau lebih
dapar, penegncer atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya,......untuk Injeksi. Contoh Inj. Penicillin Oil untuk Injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan dapat
dibedakan dari nama bentuknya, Suspensi........Steril. Contoh.Inj. Suspensi
Hidrokortison Asetat Steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya,.......Steril untuk Suspensi. Contoh Inj. Prokain Penisilin G steril
untuk suspensi.

E .KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN SEDIAAN PARENTERAL


A. Keuntungan
1. Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat
2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Biovaibilitas sempurna atau hampir sempurna
4. Kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindarkan
5. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang
sedang dalam keadaan koma (Lukas, 2006)
B. Kerugian
1. Dapat menimbulkan rasa nyeri/sakit pada saat disuntik, apalagi bila
pemberiannya berulang.
2. Memberikan efek psikologis pada pasien yang takut disuntik
3. Bila terjadi kekeliruan pada saat pemberian, maka hampir tidak dapat
diperbaiki terutama setelah pemberian intravena.
4. Bila obat sudah masuk ke dalam tubuh pasien, maka sulit untuk ditarik
kembali atau dikeluarkan.
5. Obat hanya dapat diberikan kepada pasien di rumah sakit, atau di
tempat praktek dokter dan hanya dilakukan oleh perawat yang
berpengalaman (Rahman & Djide, 2009).

F. RUTE-RUTE PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL


Sediaan parenteral bisa diberikan dalam berbagai rute. Lima rute yang paling
umum adalah intravena, intramuskular, subkutan, intrakutan dan intraspinal
(Lachman dkk, 1994). Cara pemberian lainnya meliputi intraperitoneal dan
intraartikular (Lukas, 2006). Rute pemberian yang dimaksud mempunyai efek
nyata terhadap formulasi suatu produk parenteral. Volume di mana suatu dosis
obat harus dimasukan merupakan faktor untuk dipertimbangkan (Lachman dkk,
1994).
 Subkutan (s.c) atau dibawah kulit.
1. Tempat penyuntikan dibagian tubuh yang sedikit lemak dan masuk ke
jaringan di bawah kulit.
2. Volume tidak lebih dari 1 ml
3. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidri. Larutan yang sangat
meyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis
dan absorpsi zat aktif tidak optimal
4. Onset (mula kerja) obat berbentuk larutan dalam air lebih cepat
daripada sediaan suspensi. Determinan kecepatan absorpsi ialah total
luas permukaan tempat terjadinya penyerapan.
5. Zat aktif bekerja lambat daripada secara i.v (Lukas, 2006)
 Intramuskular (i.m)
1. Disuntikan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha.
2. Volume sediaan umumnya 2 ml
3. Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot
mentoleransi minyak dan partikel-partikel yang tersuspensi dengan
baik, di dalam minyak sehingga jaringan otot tersebut merupakan rute
yang cocok untuk minyak dan suspensi dalam minyak. Bentuk larutan
sebaiknya isotonis.
4. Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.
5. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta muda terakumulasi.
Pemberian suatu obat ke dalam jaringan otot akan menghasilkan
pengumpulan produk pada tempat injeksi. Dari depo ini, obat
dilepaskan pada suatu laju yang sebagian besar ditentukan oleh
karakteristik formula tersebut. Larutan dalam air lebih cepat diabsorpsi
daripada minyak. (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
 Intravena (i.v)
1. Disuntikan ke dalam pembuluh darah i.v
2. Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya isotonis
dan isohidri, sedangkan volume besar (infus) harus isotonis dan
isohidris.
3. Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
onset (mula kerja) segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006)
 Intraspinal, Intraperitoneal, Intraartikular dan Intradermal
1. Intraspinal, disuntikan ke dalam susmsum tulang belakang. Larutan
harus isotonik dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan serebrospinal
lambat dan gangguan tekanan osmotik dengan cepat menyebabkan
sakit kepala dan muntah (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
2. Peritoneal (i.p), yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan operasi
untuk memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus hipertonis, zat
aktif diabsorpsi dengan cepat dan volume diberikan dalam jumlah
besar (1 atau 2 liter) (Lukas, 2006).
3. Intraartikular, yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis dan
isohidris (Lukas, 2006)
4. Intradermal/intrakutan (i.c), disuntikan ke dalam kulit. Umumnya
diberikan untuk tujuan diagnostik, desensitasi (alergi) atau imunisasi,
larutan sebaiknya isotonis dan isohidris karena larutan yang
nonisotonik dapat memberikan tanda-tanda iritasi palsu (Lukas, 2006;
Lachman dkk, 1994).
Gambar 1. Rute pemberian obat secara parenteral

G. BIOFARMASETIKA OBAT PARENTERAL


Hubungan antara ilmu fisika, kimia, dan biologi yang menyangkut obat,
bentuk dan absorpsi obat disebut biofarmasetika. Respon farmakologis suatu obat,
termasuk cara kerja dan intensitas kerja obat sangat tergantung pada cara
pemberiannya (Lukas, 2006).
1. Obat Masuk ke Dalam Tubuh
Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular dan ekstravaskular (Lukas,
2006; Rahman & Djide, 2009)
1. Cara intravaskular ialah obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan
didistribusikan ke seluruh tubuh seperti pada cara pemberian intravena
(injeksi dan infus). Obat tidak mengalami fase absorpsi. Konsentrasi
obat dalam plasma ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan
kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari tubuh.
2. Cara ekstravaskular ialah obat harus diabsorpsi dulu sebelum masuk ke
peredaran sistemik seperti pemberian i.m, s.c, i.c, dan i.p. Syarat untuk
diabsorpsi adalah obat harus dibebaskan dari bentuk sediaannya yang
tergantung dari faktor fisikokimia obat, faktor lingkungan tempat
absorpsi dan teknik pembuatan.
Hubungan antara nasib obat dalam tubuh dengan rute pemberiannya (Lukas,
2006; Rahman & Djide, 2009).
1. Intravena (i.v)
Obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan
kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari tubuh. Cara pemberian intravena sebagai
berikut :
a. Secara bolus, injeksi diberikan secara langsung dengan kadar
tinggi dan pada waktu yang pendek.
b. Secara intermitant infus, injeksi i.v diberikan melalui infus dengan
periode pemberian 20 menit sampai 4 jam dalam sehari.
c. Secara continous infus, injeksi i.v melalui infus dengan waktu
pemberian lebih dari 6 jam sampai 24 jam.
2. Intramuskular (i.m)
a. Obat yang berbahaya bila diberikan secara intravena, maka
diberikan secara i.m.
b. Respon terhadap obat yang diberikan secara i.m tidak secepat i.v
tetapi secara kuantitatif hasil absorpsi i.m baik, biovaibilitas
mencapai 80-100%.
c. Larutan obat dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada bentuk
suspensi atau larutan dalam minyak.
d. Kecepatan absorpsi tergantung pada vaskularitas tempat suntikan
dengan kecepatan darah antara 0,02-0,07 ml/menit.
e. Molekul kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler. Molekul besar
masuk ke sirkulasi melalui saluran getah bening.
f. Obat tertentu (ampisilin, klodiazepoksida, diazepam) tidak
terabsorpsi secara sempurna karena terjadi presipitasi yang
menyebabkan redisolusi sangat lambat atau terjadinya fagositosis
partikel obat.
3. Subkutan (s.c)
a. Faktor yang mempengaruhi absorpsi secara s.c sama dengan i.m.
Namun karena kecepatan peredaran darah pada s.c dan sirkulasi
regional kurang, maka kecepatan absorpsi obat kurang pula.
b. Absorpsi dapat diperlambat dengan penambahan Adrenalin, yang
menyebabkan konstriksi pembulu darah, sehingga difusi obat
tertahan atau diperlambat.
c. Absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakharida dan matriks
jaringan yang menyebabkan penyebaran dipercepat.
4. Intradermal (i.c)
a. Obat-obat tertentu diberikan secara i.c di bawah epidermis, lokasi
biasanya pada bagian lengan bawah.
b. Volume yang diberikan tidak lebih dari 0,2 ml karena volume
jaringan kecil dan kompak, absorpsi lambat karena kurangnya
pembulu daraH.
2 .Farmakokinetika Obat Parenteral
Farmakokinetika berarti berhubungan dengan nasib obat dalam tubuh, yang
mencakup proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi/eliminasi)
(Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009).
1. Absorpsi obat parenteral
Obat yang diberikan secara ekstravaskular (i.m, s.c) akan mengalami absorpsi dan
obat yang diberikan secara intravaskular (i.v) tidak mengalami absorpsi. Molekul
obat diabsorpsi dalam bentuk bebas (tidak terikat dengan zat lain) dan utuh ke
dalam darah atau peredaran sistemik.
Umumnya, obat baru memberikan efek terapi bila kalau mencapai kadar minimal
tertentu dalam darah (MEC = minimum effective concentration). Selama kadar
obat masih dalam darah masih berada di atas MEC, obat akan memberikan efek
farmakologis. Setelah ekskresi berlanjut dan kadar obat turun di bawah MEC.
Kecepatan absorpsi mempengaruhi cepat atau lambatnya obat mencapai kadar
MEC, yang merupakan onset atau mula kerja obat dan waktu obat (tmax) mencapai
kadar maksimum (puncak) dalam darah (Cmax). Selanjutnya obat berangsur-angsur
akan dieliminasi dengan cara diekskresikan atau biotransformasi atau keduanya.
Lama kerja obat (durasi) atau obat memberikan respon terapi yang dikehendaki
adalah kadar obat tersebut dalam darah berada di atas MEC.
Untuk menjamin efektivitas klinik, maka perlu dipertahankan konsentrasi obat
dalam darah tetap dalam dosis yang cukup, misalnya pemberian antibiotika,
sitostatika, hormon dan sebagainya. Oleh karena itu dalam praktek sehari-hari
ditemukan pemberian berulang misalnya 2 kali atau 3 kali sehari.
2. Distribusi obat parenteral
Pada pemberian secara i.v molekul obat langsung masuk ke dalam peredaran
darah. Bila pemberian secara i.m atau s.c, molekul obat bercampur dengan cairan
tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian
didistribusikan ke jaringan tempat obat bekerja.
Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur jaringan dengan perbedaan
karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat dan struktur jaringan menyebabkan
konsentrasi obat tidak sama dalam jaringan tubuh. Maka, karakteristik distribusi
obat, erat kaitannya dengan respon farmakologi.
3. Metabolisme obat parenteral
Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses biotransformasi obat
secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan biologis. Sebagian besar reaksi
metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut dalam air
daan siap dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat parenteral
adalah di hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu faktor
genetik, umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.
4. Eksresi Obat Parenteral
Eksresi obat dan metabolitnya merupakan tahapan terakhir dari aktivitas serta
keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh
dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan diekskresikan dari tubuh
bersama dengan berbagai cairan tubuh melalui beberapa perjalanan. Ginjal
merupakan organ utama untuk mengeliminasi obat bersama urin. Organ lain yang
dapat mengeksresikan obat yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI dan kulit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam
kantong yang dibentuk oleh pleura pariestaslis dan pleura viseralis. Kedua paru-
paru sangat lunak, elastis, sifatnya ringan terapung di dalam air, dan berada dalam
rongga torak. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90 m 2. Paru-paru manusia
memiliki volume ±5-6 liter. Daya tampung paru-paru terhadap udara pernapasan
disebut kapasitas total paru-paru. Sedangkan pemberian obat secara perenteral
adalah pemberian obat atau cairan dengan cara dimasukan langsung kedalam
kulit, dibawah kulit, kedalam otot ataupun ke dalam vena.

B. Saran
Paru-paru merupakan organ vital pada manusia. Oleh karena itu, seorang
farmasis harus mrrmahami bagaimana biofarmasi sediaan obat yang diberikan
melalui paru-paru agar sediaan obat dapat memberikan efek yang diinginkan.
Serta pemberiaan obat secara parenteral juga harus melewati beberapa kajian
sehingga sediaan parenteral dapat memberikan efek terapi yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel H.C. 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV, Jakarta.
Lachman L., Lieberman H.A., Kanig J.L., 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi III (Buku III), Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Latifah R., Djide M.N., 2009. Sediaan Farmasi Steril, Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin (Lephas), Makassar. .
Lukas S., 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai