Anda di halaman 1dari 8

INTELIGENSI DAN PRESTASI BELAJAR

studi korelasi (correlational study) adalah Suatu metode yang digunakan untuk mempelajari
besarnya peranan ”untuk variabel dalam ikut menentukan variasi variabel Belum atau untuk meneliti
hubungan satu variabel dengan variabel lain. dalam studi korelasi digunakan teknik-teknik statistik yang
dapat menghasilkan ukuran kekuatan dan arah hubungan termaksud. Salah satu formula untuk
menghitung arah dan besarnya koefisien korelasi antara dua variabel yang masing-masing berskala
interval telah dirumuskan oleh ahli statistika dan disebut formula korelasi product moment Pearson.
Koefisien korelasi disimbolkan oleh huruf r. Kuat-lemahnya hubungan antara dua variabel diperlihatkan
oleh besarnya harga mutlak koefisien korelasi yang bergerak antara 0,0 sampai dengan 1.0. Semakin
kecil harga r mendekati angka 0.0 berarti hubungan semakin lemah dan semakin besar koefisien 1
mendekati angka 1,0 berarti hubungan semakin kuat.

Arah hubungan diperlihatkan oleh tanda positif (+) atau tanda negatif (-) di depan koefisien
korelasi. Tanda positif (+) berarti bahwa hubungan yang terjadi antara dua variabel merupakan
hubungan searah, yaitu naiknya angka pada satu variabel diikuti oleh naiknya angka pada variabel lain
dan turunnya angka pada satu variabel diikuti oleh turunnya angka pada variabel lain.

Tanda negatif (-) berarti bahwa hubungan yang terjadi antara dua variabel merupakan
hubungan berlawanan arah, yaitu naiknya angka pada satu variabel diikuti oleh turunnya angka pada
variabel lain dan turunnya angka pada satu variabel diikuti oleh naiknya angka pada variabel lain.
Misalnya dalam kasus hubungan variabel IQ dan skor tes matematika, tingginya koefisien korelasi r
diartikan sebagai adanya hubungan yang kuat antara IQ dengan skor tes matematika. Bila r bertanda
positif berarti bahwa mereka yang memiliki IQ tinggi cenderung memiliki skor tes matematika yang lebih
baik sedangkan mereka yang IQnya rendah cenderung memiliki skor tes yang lebih rendah pula. Dalam
kasus lain, misalkan diperoleh r yang bertanda negatif pada korelasi antara tingkat kecemasan dengan
skor tes matematika, berarti bahwa mereka yang memiliki tingkat kecemasan tinggi cenderung memiliki
skor matematika yang rendah sedangkan mereka yang tingkat kecemasannya rendah cenderung
memiliki skor tes yang lebih tinggi.

Disamping sebagai teknik komputasi yang memperlihatkan hubungan variasi antar variabel.
korelasi juga digunakan sebagai teknik validasi terutama dalam hubungan semakin lemah dan semakin
besar koefisien r mendekati angka 1,0 berarti hubungan semakin kuat.
Arah hubungan diperlihatkan oleh tanda positif (+) atau tanda negatif (-) di depan koefisien
korelasi. Tanda positif berarti bahwa hubungan yang terjadi antara dua variabel merupakan hubungan
searah, yaitu naiknya angka pada satu variabel diikuti oleh naiknya angka pada variabel lain dan
turunnya angka pada satu variabel diikuti oleh turunnya angka pada variabel lain. Tanda negatif berarti
bahwa hubungan yang terjadi antara dua variabel merupakan hubungan berlawanan arah, yaitu naiknya
angka pada satu variabel diikuti oleh turunnya angka pada variabel lain dan turunnya angka pada satu
variabel diikuti oleh naiknya angka pada variabel lain. Misalnya dalam kasus hubungan variabel IQ dan
skor tes matematika, tingginya koefisien korelasi r diartikan sebagai adanya hubungan yang kuat antara
IQ dengan skor tes matematika. Bila r bertanda positif berarti bahwa mereka yang memiliki IQ tinggi
cenderung memiliki skor tes matematika yang lebih baik sedangkan mereka yang IQnya rendah
cenderung memiliki skor tes yang lebih rendah pula. Dalam kasus lain, misalkan diperoleh r yang
bertanda negatif pada korelasi antara tingkat kecemasan dengan skor tes matematika, berarti bahwa
mereka yang memiliki tingkat kecemasan tinggi cenderung memiliki skor matematika yang rendah
sedangkan mereka yang tingkat kecemasannya rendah cenderung memiliki skor tes yang lebih tinggi.

Disamping sebagai teknik komputasi yang memv perlihatkan hubungan variasi antar variabel.
korelasi juga digunakan sebagai teknik validasi terutama dalam menentukan daya prediksi satu variabel
terhadap variabel lain yang relevan. Sebagai contoh, skor tes kemampuan numerikal yang dikorelasikan
dengan hasil belajar matematika akan menghasilkan koefisien Validitas prediktif tes kemampuan
numerikal tersebut dalam memprediksikan hasil belajar matematika yang bersangkutan. Walaupun
sama-sama merupakan korev asi akan tetapi dalam studi validasi tidak digunakan :ngujian signifikansi
untuk menentukan apakah daya rediksi yang diperoleh telah memuaskan atau tidak.
Prestasi dalam Belajar

Sangatlah wajar apabila dari mereka yang memiliki inteligensi tinggi diharapkan akan dapat
diperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Salah satu definisi inteligensi memang menyebutkan bahwa
inteligensi. antara lain, merupakan ability to learn (kemampuan untuk belajar) (Wechsler, 1958;
Freeman, 1962). Begitu juga kemudahan dalam belajar disebabkan oleh tingkat inteligensi yang tinggi
yang terbentuk oleh ikatanikatan syaraf (neural bonds) antara stimulus dan respons yang mendapat
penguatan (Thorndike; dalam Wilson, Robeck, & Michael, 1974).

Pada umumnya orang berpendapat bahwa inteligensi merupakan bekal potensial yang akan
memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan performansi yang optimal. Hal ini
didukung oleh fakta bahwa lembaga-lembaga pendidikan lebih bersedia lnenerima calon siswa yang
menampakkan indikasi kemampuan intelektual tinggi daripada yang tidak. hubungan semakin lemah
dan semakin besar koefisien r mendekati angka 1,0 berarti hubungan semakin kuat. Arah hubungan
diperlihatkan oleh tanda positif (+) atau tanda negatif (-) di depan koefisien korelasi. Tanda positif
berarti bahwa hubungan yang terjadi antara dua variabel merupakan hubungan searah, yaitu naiknya
angka pada satu variabel diikuti oleh naiknya angka pada variabel lain dan turunnya angka pada satu
variabel diikuti oleh turunnya angka pada variabel lain. Tanda negatif berarti bahwa hubungan yang
terjadi antara dua variabel merupakan hubungan berlawanan arah, yaitu naiknya angka pada satu
variabel diikuti oleh turunnya angka pada variabel lain dan turunnya angka pada satu variabel diikuti
oleh naiknya angka pada variabel lain. Misalnya dalam kasus hubungan variabel IQ dan skor tes
matematika, tingginya koefisien korelasi r diartikan sebagai adanya hubungan yang kuat antara IQ
dengan skor tes matematika. Bila r bertanda positif berarti bahwa mereka yang memiliki IQ tinggi
cenderung memiliki skor tes matematika yang lebih baik sedangkan mereka yang IQnya rendah
cenderung memiliki skor tes yang lebih rendah pula. Dalam kasus lain, misalkan diperoleh r yang
bertanda negatif pada korelasi antara tingkat kecemasan dengan skor tes matematika, berarti bahwa
mereka yang memiliki tingkat kecemasan tinggi cenderung memiliki skor matematika yang rendah
sedangkan mereka yang tingkat kecemasannya rendah cenderung memiliki skor tes yang lebih tinggi.

Disamping sebagai teknik komputasi yang memperlihatkan hubungan variasi antar variabel.
korelasi juga digunakan sebagai teknik validasi terutama dalam menentukan daya prediksi satu variabel
terhadap variabel lain yang relevan. Sebagai contoh, skor tes kemampuan numerikal yang dikorelasikan
dengan hasil belajar matematika akan menghasilkan koefisien Validitas prediktif tes kemampuan
numerikal tersebut dalam memprediksikan hasil belajar matematika yang bersangkutan. Walaupun
sama-sama merupakan korelasi akan tetapi dalam studi validasi tidak digunakan pengujian signifikansi
untuk menentukan apakah daya prediksi yang diperoleh telah memuaskan atau tidak.

Fakta lain adalah didirikannya lembaga-lembaga pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki
hambatan atau kelemahan intelektual. Belajar, dalam pengertian yang paling umum, adalah setiap
perubahan perilaku yang diakibatkan pengalaman atau sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungannya. Oleh karena manusia bersifat dinamis dan terbuka terhadap berbagai bentuk perubahan
yang dapat terjadi pada dirinya dan pada lingkungan sekitarnya maka proses belajar akan selalu terjadi
tanpa henti dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan sebagian ahli psikologi kognitif, proses belajar
bahkan terjadi secara otomatis tanpa memerlukan adanya motivasi.

Dalam pengertian yang lebih spesiiik, belajar didefinisikan sebagai akuisisi atau perolehan
pengetahuan dan kecakapan baru. Pengertian inilah yang merupakan tujuan pendidikan formal di
sekolah-sekolah atau di lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki program terencana, tujuan
instruksional yang konkret, dan diikuti oleh para siswa sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara
sistematis. Dalam hal ini, pengertian prestasi atau keberhasilan belajar dapat dioperasionalkan dalam
bentuk indikator-indikator berupa nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan, predikat
keberhasilan, dan semacamnya.

Salah satu konsep yang pernah dirumuskan oleh para ahli mengatakan bahwa keberhasilan
dalam belajar dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam (internal) maupun dari luar
(eksternal) diri individu.diagram pada gambar menjelaskan konsep yang dimaksud.
Gambar diagram

Dari gambar 19 tampak bahwa inteligensi hanya merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan
keberhasilan dalam belajar.interaksi antar berbagai faktor tersebutlah yang menjadi determinan atau
penentu bagaimana hasil akhir proses belajar yang dialami oleh individu. Peranan masing-masing faktor
penentu itu tidak selalu sama dan tetap. Besarnya kontribusi suatu faktor akan ditentukan oleh
kehadiran faktor lain dan bersifat sangat situasional, yaitu tidak dapat diprediksikan dengan cermat
akibat keterlibatan faktor lain yang sangat bervariasi.

Inteligensi sebagai unsur kognitif dianggap memegang peranan yang cukup penting. Bahkan
kadang. kadang timbul anggapan yang menempatkan inteligensi dalam peranan yang melebihi proporsi
yang sebenarnya Sebagian orang bahkan menganggap bahwa hasil tes inteligensi yang tinggi merupakan
jaminan kesuksesan dalam belajar sehingga bila terjadi kasus kegagalan belajar pada anak yang memiliki
IQ tinggi akan timbul reaksi berlebihan berupa kehilangan kepercayaan pada institusi yang
menggagalkan anak tersebut atau kehilangan kepercayaan pada fihak yang telah memberikan diagnosa
IQnya. Sejalan dengan itu, tidak kurang berbahayanya adalah anggapan bahwa _hasil tes IQ_ yang
rendah " merupakan ironis akhir bahwa individu yang bersangkutan tidak mungkin dapat mencapai
prestasi yang baik. Hal ini tidak saja merendahkan selfesteem (harga diri) seseorang akan tetapi dapat
menghancurkan Pula motivasinya untuk belajar yang justru menjadi awal dari Segala kegagalan yang
tidak seharusnya terjadi.
Beberapa Temuan Penelitian

Seberapa besarkah kontribusi atau peranan faktor inteligensi dalam ikut menentukan
keberhasilan belajar? Diantara hasil studi korelasi yang pernah dilakukan untuk mejawab pertanyaan
tersebut, menghasilkan beberapa kesimpulan berikut ini.

Korelasi antara tes prestasi di sekolah dengan faktor yang mendasari keberhasilan tes dalam
kemampuan umum berada di sekitar r = 0,70 (Nunnaly, Jr., 1970). Studi yang dilakukan oleh Yule dan
temantemannya pada tahun 1982 terhadap anak-anak usia sekolah dasar menunjukkan korelasi antara
IQ WPPSI dengan tes membaca sebesar r = 0,61 sedangkan antara IQ dengan skor matematika
ditemukan setinggi r = 0,72. Hasil yang mengesankan ini antara lain dikarenakan variasi subjek yang luas.

Pada tingkat perguruan tinggi, dimana subjeknya relatif homogen, biasanya korelasi yang
diperoleh tidak dapat memuaskan. Di universitas-universitas di Eropa yang seleksi mahasiswanya lebih
ketat daripada di Amerika, meskipun masih diperoleh koefisien korelasi yang positif akan tetapi
angkanya lebih rendah (Eysenck, dalam Freeman, 1985). Hasil studi mengenai skor WISC sebagai skala
inteligensi anak yang dilihat validitas prediktifnya terhadap prestasi di sekolah menunjukkan, antara lain,
bahwa korelasi antara skor keseluruhan skala dengan skor keseluruhan prestasi sebesar r = 0,76 pada
suatu kelompok yang terdiri atas 54 orang, sedangkan pada konklusif. Adanya temuan yang tidak secara
konsisten memperlihatkan korelasi yang signifikan mengisyarata kan bahwa pada situasi tertentu
memang prestasi belajar ikut ditentukan oleh faktor inteligensi namun masih banyak faktor-faktor lain
yang juga ikut berx peranan.
Implikasi Pendidikan

Anak yang memiliki inteligensi abnormal, baik sangat tinggi (superior) maupun yang sangat
rendah (inferior) sama-sama menimbulkan masalah bila ditinjau dari dunia pendidikan. Pentingnya
makna perbedaan individual, khususnya dalam hal ini perbedaan inteligensi, membawa kesadaran
dalam dunia pendidikan akan perlunya perlakuan khusus terhadap anak didik yang tergolong memiliki
tingkat inteligensi tidak biasa. ' Anak yang memiliki inteligensi begitu rendah sehingga kemampuan
belajarnya sangat terbatas memerlukan program khusus yang memungkinkan mereka belajar dengan
beban dan kecepatan yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Pada sisi lain, anak yang memiliki
kemampuan superior pun memerlukan program khusus yang memungkinkan mereka mengembangkan
segenap potensi berlebih yang mereka punyai sehingga dapat mencapai prestasi yang optimal dan tidak
menimbulkan problem psikologis lain.

Tidaklah bijaksana untuk memperlakukan sama anak-anak yang memiliki potensi berbeda
semata-mata karena mereka kebetulan duduk di kelas yang samar Anak yang lambat belajar (slow
learner) akan merasakan siksaan di sekolah maupun di rumah karena ketidakmampuan mereka
mengikuti pelajaran sebagaimana teman-teman sekelasnya. Anak-anak ini merasa rendah diri, kadang-
kadang sampai menarik diri dari pergaulan dan merasa tidak pernah dapat sejajar dengan
temantemannya. Dapat pula terjadi reaksi kompensatif berupa perilaku kenakalan di kelas dan di
sekolah sebagai usaha menunjukkan “kelebihannya” dari teman-teman. terutama apabila anak ini lebih
tua usianya atau lebih besar badannya (misalnya karena sudah dua kali tinggal di kelas yang sama),
karena ia sendiri tahu bahwa ia tidak mampu berprestasi dalam belajar sebagaimana teman-teman
lainnya. Sebaliknya, anak yang superior tidak kurang mendatangkan masalah. Mereka merasa menerima
pelajaran yang terlalu mudah bagi diri mereka. Mereka cenderung melihat teman-temannya sebagai
terlalu bodoh. Rasa kebosanan di kelas yang timbul dari kurangnya tantangan bagi potensi mereka
menyebabkan mereka cenderung “kreatif” untuk berbuat hal-hal yang dapat menjengkelkan guru dan
kawan sekelas. Lebih buruk lagi daripada itu, sebenarnya, adalah tidak dapat berkembangnya potensi
yang mereka miliki secara optimal. Suatu hal yang dilihat dari sumber daya manusia adalah penyia-
nyiaan yang harus dihindari.

Kadangkala kenakalan yang timbul akibat merasa lain dari teman sebaya atau teman sekelas
berakibat lebih buruk dengan” timbulnya perilaku delinkuen pada anak-anak yang sangat pintar ini
(gifted delinquency). Kasus seperti ini tidak langka terjadi. Gath, Tennant, dan Pidduck (1970a dalam
Brooks, 1985) melaporkan bahwa anak delinkuen berIQ 115 keatas meliputi 73% dari keseluruhan anak
yang mereka tes. Pringle (1970 dalam Brooks, 1985) melakukan studi mengenai kesukaran perilaku dan
pendidikan pada 103 anak yang IQnya antara 120 sampai 200 dan menemukan bahwa berbagai problem
dialami oleh kelompok ini mulai dari kesukaran perilaku biasa sampai neurotik dan gejala. gejala agresi.
Temuan-temuan ini mengingatkan kita untuk lebih menaruh perhatian pada masalah perlakuan
terhadap anak berinteligensi superior dan anak berbakat. Perlakuan khusus diperlukan bukan saja dari
segi kurikulum yang lebih menantang potensi mereka tetapi juga pada pendidikan afeksi dan
kepribadian.

Di Indonesia, sekolah khusus untuk anak yang berkemampuan inferior telah banyak didirikan
dan dikenal sebagai sekolah luar biasa dengan kurikulum yang khusus pula bagi mereka. Untuk anak-
anak berkemampuan superior belum ada sekolah khusus yang menyelenggarakan pendidikan
berkurikulum khusus. Beberapa sekolah unggulan yang telah diselenggarakan memang menjaring calon-
calon terbaik dan berpotensn tinggi akan tetapi kurikulumnya masih mengacu kepada kurikulum sekolah
biasa yang agaknya memang dirancang untuk siswa berkemampuan rata-rata. Idealnya, bagi anak-anak
superior diselenggarakan pendidikan superior pula baik dari segi kurikulum, tenaga pengajar, sistem
kenaikan kelas, sarana, dan lainlainnya.

Sementara itu perhatian khusus terhadap proses belajar anak-anak berbakat belum banyak
diberikan. Hal itu antara lain disebabkan masalah-masalah identifikasi terhadap anak yang berbakat,
belum adanya guru yang kompeten untuk mengajar anak-anak berbakat, ketidaktahuan orangtua dan
masyarakat mengenai hal tersebut (Wimbarti,1996). Sekolah di Indonesia belum dirancang dengan baik
untuk menampung perbedaan individual. Banyak guru yang masih berasumsi bahwa kelas merupakan
satu-satunya klasifikasi kemampuan yang harus diikuti sebagai dasar perlakuan terhadap siswa.
Akibatnya, anak yang superior menjadi frustrasi, nakal, atau bahkan keluar dari sekolah. Gardner (1961)
menemukan bahwa anak yang tak acuh dalam kelas merupakan tanda jelas terjadinya kegagalan untuk
memberikan program yang individualis. Wolfle (1960) mengatakan bahwa menyamakan saja program
bagi anak yang superior dengan anak-anak yang normal hanya akan menghasilkan prestasi yang sedang-
sedang saja dan menghambat berkembangnya potensi secara Optimal (Mouly, 1973).

Anda mungkin juga menyukai